Share

6 - Rasa Kehilangan

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Ryder terus memukulkan tinjunya yang kencang ke samsak gantung di hadapannya. Keringat keluar deras. Sudah membasahi badan dan wajahnya.

Ryder enggan berhenti, andai saja sang sahabat, Erren Verlen, tidak semakin mendekat. 

Langsung saja dilayangkan tatapan tajam pada sahabatnya itu. Hendak ditunjukkan kehadiran Erren sedang tidak diinginkan. Sang sahabat pasti akan paham apa yang dirinya inginkan.

"Aku tidak bermaksud mengganggumu. Tapi, Bibi terus menghubungiku. Meminta menyampaikan pesan padamu agar kau mengangkat teleponnya."

Ryder tak langsung menjawab. Butuh beberapa waktu untuknya mengambil sikap. Sebab, menerima panggilan orangtuanya terkait kematian sang kakak adalah hal yang paling dihindari.

"Kau jangan menambah beban orangtuamu dengan membuat mereka cemas, karena kau tidak menerima telepon dari mereka."

Ucapan sang sahabat pun menyadarkan Ryder. Ia dengan cepat mengambil keputusan. Kepala pun dianggukan, walau hanya sekali.

"Aku akan menelepon." Ryder berujar dengan nada datar. "Tolong kau pergi."

"Baiklah, Kawan. Aku akan ada di bawah, kalau kau butuh bantuan. Telepon aku atau Michael."

Ryder tak menjawab. Namun, memerhatikan Erren yang beranjak keluar dari kamarnya. 

Saat sang sahabat sudah benar-benar pergi, barulah Ryder mengambil handphone dan menelepon ibunya.

Panggilan diangkat diangkat di seberang sana.

"Berhentilah bersikap egois, Ryder!"

"Kau tidak akan datang? Bagaimana bisa kau begitu dengan kakakmu sendiri?"

"Kau harus kemari sekarang. Kau hanya punya kesempatan terakhir hari ini memberi kakakmu penghormatan. Kau mengerti ucapan, Nak?"

Ryder langsung mematikan telepon, tepat setelah sang ibu menyelesaikan ucapan. Handphone pun dilempar ke lantai hingga mengalami kerusakan.

Ryder sudah tidak mampu mengendalikan diri dengan emosi dan amarah yang semakin besar membara. Ia perlu melampiaskan semua.

Dadanya sudah terasa terbakar sejak kemarin. Kepala berdenyut menyiksa juga. Ryder dilanda kekacauan besar yang tak bisa diatasinya.

Lebih tepat merasakan kehancuran. Hidupnya terguncang oleh kepergian sang kakak. Ryder belum bisa menerima kenyataan.

Semua terjadi begitu cepat. Tak pernah sekalipun terpikirkan peristiwa buruk akan menimpa saudara laki-laki satu-satunya yang Ryder miliki itu.

Meski, hubungan mereka tidak terlalu dekat. Namun, tak pernah ada pertengkaran serius di antaranya dan sang kakak yang menyebabkan mereka sampai bertengkar hebat.

Walau, tidak pernah mengungkapkan pada satu sama lain, kalau selalu ada kasih sayang besar bagi mereka masing-masing.

Ryder tadinya berencana menumpahkan segala emosi dengan bermain boxing tunggal. Meluapkan dengan cara demikian lebih baik, dibandingkan harus menangis. Ia enggan terlihat cengeng.

Namun nyatanya, air mata Ryder keluar. Terdorong begitu saja netranya ke pipi begitu deras. Sudah tak ada pertahanan diri Ryder lagi. Runtuh.

Menangis dalam diam sembari mengingat satu demi satu kenangan yang pernah dilalui bersama kakaknya. Air mata terus berjatuhan.

Ryder benci kelemahan dirinya ini, namun kendali untuk bersikap kuat dan tegar, tidak bisa lakukan. Ryder sudah terlalu merasa hancur karena sang kakak meninggalkannya.

"Aku tidak mau mengganggumu sebenarnya. Aku hanya mau menyam--"

"Ada apa?" Ryder menjawab dalam suara dingin ucapan Erren Verlen, sang sahabat.

"Tapi, tamu spesial yang kau tunggu sudah datang. Pelayan memberitahuku lewat pesan baru saja."

Ryder bangun dari kursi. Berjalan menuju ke kamar mandi. Ia ingin mencapai wastafel secepatnya guna membasuh wajah dari air mata. 

Dalam waktu satu menit, sudah selesai dilakukan. Ryder kembali ke ruang tidurnya. Pandangan mengedar ke sekeliling. Tak ditemukan sang sahabat. Erren sudah pergi. 

Ryder baru saja hendak keluar juga, namun sang sahabat yang justru masuk lagi ke kamarnya. Erren tak datang sendiri. Melainkan, bersama seorang bayi dengan tubuh yang kecil dan ringkih.

"Tamu spesialmu sudah datang, Kawan."

Ryder mengabaikan celotehan Erren. Fokusnya hanya tertuju ke sosok mungil bayi perempuan dalam gendongan sang sahabat.

Ryder seketika berkaca-kaca, saat menyentuhnya tangan ke kepala bayi itu. "Aku akan berusaha …."

"Aku akan mencoba menjadi orangtua yang baik untukmu, Baby Jassie."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status