"Bayi ini adalah anakku. Dan, kau adalah wanita yang sudah mengandung darah dagingku." Rosen Green langsung mempererat dekapannya pada sosok kecil Jassie, dalam gendongannya. Kepeningan di kepala menghantam Rosen semakin besar saja. Bahkan, membuatnya tak bisa berpikir. "Miss Rosen, apa kau tidak ingat kita pernah tidur bersama? Walau hanya satu malam?" Rosen segera mengangguk. "Aku masih ingat, walau aku lupa kapan tepatnya." "Tapi, sungguh. Aku tidak pernah mengandung seorang bayi. Aku belum hamil sama sekali." "Bagaimana bisa aku punya anak darimu?" Rosen melengkingkan suara karena rasa terkejutnya sendiri. "Aku yakin kau bukan orang gila, Mr. Ryder." "Bayi ini diletakkan di depan pintu rumahku, bukan aku yang melahirkannya. Aku juga tidak per--" "Kau bebas mengelak sekarang, Miss Rosen. Aku tidak akan memaksamu mengakui jika bayi ini adalah anakku, kalau kau merasa berat." "Aku akan tetap bertanggung jawab atas bayiku. Bagaimana pun juga, dia akan menjadi pewaris utama bisnis-bisnisku." "Sebagai ibu dari bayiku, kau akan mendapatkan bagian juga, Miss Rosen. Asalkan kau mau sepakat membesarkan bayi kita bersama-sama." Rosen kembali terkejut. "Kau akan mengajakku menikah?" Dilontarkan kesimpulannya. Tanpa menunggu jawaban Ryder Davis, kepala digeleng-gelengkan. "Tidak. Aku tidak bisa." "Aku tidak melahirkan anakmu, Pria Gila!" …………. Kehidupan Rosen Green berubah total, setelah ada seorang bayi perempuan ditinggalkan di depan rumahnya. Rosen mendapat tuduhan dari Ryder Davis, bahwa ia sudah hamil dan melahirkan bayi pria itu. Memang, mereka berdua pernah tidur bersama dan terlibat percintaan panas satu malam. Namun, Rosen belum pernah mengandung sama sekali. Ingin dielaknya prasangka Ryder, akan tetapi saat pria itu menawarkan kesepakatan yang sayang ia lewatkan. Rosen memutuskan bersandiwara. Ryder tak hanya memberikan kehidupan mewah padanya. Namun, mereka kembali cocok berbagi kehangatan di atas ranjang, bersama.
View More"Hahh!" Rosen berseru dalam suara teredam karena wajah ditutup dengan kedua tangan.
"Menyebalkan sekali!" seru Rosen kembali.
"Aku tahu kau sangat kesal. Aku pun kalau menjadi kau akan sangat emosi."
"Aku pasti sudah menampar pria itu dengan keras beberapa kali. Aku tidak peduli kalau dia adalah klien penting perusahan."
Rosen mengangguk-angguk. Gerakan kepala yang lemah saja. Lalu, tangan-tangannya disingkirkan dari wajah.
Arah pandang langsung tertuju pada sang sahabat, yakni Varlon Lewis. Wanita itu tengah duduk di kursi seberang meja.
Varlon itu menampakkan ekspresi galak. Kontras dengan dirinya yang memasang raut cemberut dan kerucutan bibir.
Semarag apa pun sedang dirasakan Rosen, ia masih kalah dibanding Varlon dalam cara menunjukkan amarah yang meluap-luap.
Kemudian, Rosen menggeleng. Respons atas ucapan sang sahabat tadi. "Aku juga mau begitu. Menampar pria itu. Tapi ...."
"Tapi, kenapa? Kau takut dipecat? Dia pasti sudah mengancammu juga. Kurang ajar."
Kepala Rosen gelengkan lagi. "Entahlah. Aku malas membahas masalahku itu."
"Jadi, kita cari topik pembicaraan lain," usul Rosen. Ide tersebut dirasanya bagus.
"Tapi ...." Rosen menggantung ucapan.
"Tapi, kenapa?"
"Tapi, aku terus memikirkan perkataan klien itu. Walau, aku ingin melupakan."
"Dia bilang aku ini wanita yang kurang akan terlihat menarik karena aku kurang bisa berdandan. Padahal, badanku seksi."
"Cihh! Menghina sekali." Rosen mendadak emosi lagi. Dada pun panas kembali.
"Kau cantik. Kau menarik."
"Jangan jadikan omongan sialan klien kurang ajarmu itu sebagai sugesti buruk."
Rosen mengangguk. Nasihat sang sahabat akan didengar. Walau, kalimat pujian dari Varlon terdengar cukup berlebihan.
Bukan tak bermaksud tidak percaya jika parasnya cukup menawan. Tapi, dibanding dengan Varlon. Sudah jelas sahabatnya yang lebih unggul secara fisik.
Bukan rahasia lagi, banyak lawan jenis suka dengan Varlon. Mengincar sang sahabat.
Sedangkan, dirinya tidak begitu. Bisa mudah diingat dan juga dihitung, pria mana saja yang pernah mendekatinya.
Bahkan, hanya dua dari lima lawan jenis yang menunjukkan keseriusan hubungan dengan dirinya. Itu pun tak bertahan lama.
"Ayolah, Kawanku. Semangat!"
Rosen berupaya meniru senyuman Varlon seraya mengepalkan kedua tangan yang telah diangkat ke atas. Masih mengikuti apa tengah dilakukan oleh sang sahabat.
"Aku akan selalu semangat." Rosen pun menyahut dengan antusias cukup besar.
"Aku pasti bisa punya pasangan dan segera menyusulmu menikah." Rosen optimis.
"Haha. Kau harus menikah secepatnya! Aku akan mengenalkanmu ke beberapa teman suamiku. Bagaimana? Kau mau?"
Rosen yang baru saja meneguk tequilla ke dalam mulut, memberikan balasan berupa gelengan pada Varlon. Setelah ditelan, baru kemudian Rosen berniat menjawab.
"Tidak perlu." Diluncurkan kalimat tolakan dengan nada yang tegas.
"Aku bisa menemukan pria idamanku. Kau tidak perlu repot membantuku. Oke?"
Setelah mendapatkan anggukan paham dari Varlon, Rosen pun mengedarkan pandangan ke sekeliling bar. Ia tengah berupaya untuk mencari pria yang duduk sendiri tanpa ada wanita menemani.
Hanya dibutuhkan waktu singkat bagi Rosen menyadari ada seorang pria tampan, dengan setelan jas hitam tengah duduk sendiri.
"Maafkan aku, Varlon. Aku ingin dekati orang itu. Jadi, kau bisa pulang sekarang." Rosen semakin antusias.
"Haha. Semoga kau berhasil. Dia pria yang tampan. Aku rasa dia juga kaya."
Rosen hanya membalas ucapan sahabatnya dengan anggukan. Lalu, ia bangun dari kursi sembari membawa botol tequilla dan juga gelas yang digunakannya untuk minum.
Rosen berjalan cepat ke meja, tempat si pria incaran berada. Tidak jauh darinya. Sekitar enam meter saja jarak harus dilaluinya.
Dalam hitungan yang tak sampai satu menit, Rosen sudah berdiri di hadapan pria itu.
"Apakah aku boleh bergabung?" tanyanya dengan sopan. Walau, dilanda kegugupan.
"Kalau kau dan aku sama-sama sendiri, kau boleh bergabung di sini bersamaku.
Rosen mengangguk mantap. "Iya begitulah kira-kira," jawabnya sedikit canggung.
"Siapa namamu?"
"Rosen Green. Kau sendiri siapa, Sir?"
"Ryder Davis. Ayo, bergabung denganku."
"Kau akan segera pulang atau singgah ke mana dulu? Aku bersedia mengantarmu."Ryder hanya menggeleng lemah untuk tawaran dari sang sahabat. Tidak akan dikeluarkan satu patah kata sebagai jawaban tambahan. Walau tahu, Erren ingin menciptakan obrolan dengannya.Ryder sedang merasakan lelah secara fisik dan pikiran yang luar biasa, hari ini. Energi begitu terkuras hingga badannya lemas.Berbicara tentang hal tidak penting, ingin dihindari. Lagi pula, suasana hatinya juga tengah tak mendukung. Lebih baik diam, daripada nantinya mengeluarkan jawaban yang sinis pada Erren.Tugas memimpin beberapa bisnis serta juga perusahaan semakin berat baginya, seiring dengan hari demi hari yang sudah dilewati.&nbs
Bugh!Bugh!Bugh!Bugh!Ryder terus memukulkan tinjunya yang kencang ke samsak gantung di hadapannya. Keringat keluar deras. Sudah membasahi badan dan wajahnya.Ryder enggan berhenti, andai saja sang sahabat, Erren Verlen, tidak semakin mendekat.Langsung saja dilayangkan tatapan tajam pada sahabatnya itu. Hendak ditunjukkan kehadiran Erren sedang tidak diinginkan. Sang sahabat pasti akan paham apa yang dirinya inginkan."Aku tidak bermaksud mengganggumu. Tapi, Bibi terus menghubungiku. Meminta menyampaikan pesan padamu agar kau mengangkat teleponnya."
"Aku sudah berpesan padamu bukan? Kau harus ajak sahabat kita ini ke dokter, Kawan.""Dia tidak membutuhkan perawatan medis, dia perlu seseorang mengisi hatinya, Michael." Erren dengan segera menimpatu ucapan sahabatnya."Haha. Kau sepertinya benar, Erren. Dia butuh wanita yang diajaknya kencan satu malam itu.""Tapi, sayang wanita itu tidak menampakkan diri di sini. Sungguh sangat malang." Michael berucap santai dan menyeringai ke arah Ryder."Kita setiap hari hampir ke sini selama tiga bulan. Tidak ada hasil sama sekali," lanjut Michael."Kau benar. Kita berdua bahkan selalu setia menemani sahabat kita kemari agar dia bisa menemukan
Rosen lelah sudah pasti karena permainan panas dengan Ryder semalam. Ia pun perlu istirahat yang cukup karena tubuhnya pegal.Namun, Rosen tak bisa tidur nyenyak sama sekali Walau, sudah berupaya memejamkankedua mata selama berbaring di samping Ryder yang justru terlelap pulas.Dekapan pria itu hangat. Rosen merasakan kenyamanan sekaligus kegugupan. Ia tidak juga mengharapkan apa-apa.Hubungannya dengan Ryder pun hanya satu malam. Tak ada kisah lanjutan yang akan terjadi untuk mereka berdua.Kembali, ke masalah insomnia dialami oleh Rosen. Wanita itu dibuat terjaga hingga pagi datang, tanpa bisa tidur sedikit pun.Tepat pukul enam, Rosen turun dari kasur. Bergegas ke kamar mandi membersihkan diri. Ia menghabiskan satu jam di dalam.Rosen tidak menikmati waktunya dengan berendam air hangat di bath up. Ia duduk di closet memikirkan sejumlah hal. Dan,
Rosen mengira minum empat gelas vodka, akan berdampak pada kesadarannya yang mengalami penurunan. Ternyata, tidak.Rosen masih bisa mengingat dengan betul bagaimana awal meninggalkan bar bersama Ryder Davis. Lalu, masuk ke mobil mahal pria itu dengan kegugupan cukup besar.Rosen kira dirinya akan bisa mengontrol perasaan tersebut, saat sudah tiba di hotel. Namun, ia justru semakin tegang.Bukan karena ragu dengan rencananya akan berkencan semalam bersama Ryder Davis, namun tempat yang dipilih pria itu.Hotel sangat berkelas. Bertarif mahal.Rosen memanglah belum tahu secara jelas harga per malam. Sudah dipastikan tidak akan semurah di motel kelas bawah.Tak berarti, Rosen berniat mengajak Ryder Davis pergi ke penginapan yang seperti itu. Minimal bisa digunakan rumahnya hingga tak perlu mengeluarkan uang banyak.Rosen jelas akan membagi dua s
Ryder menghitung hampir setengah jam dirinya satu meja dengan Rosen Green, tapi mereka tidak mengobrol banyak.Seperti tidak ada pembicaraan panjang yang bisa diambil untuk menambah keakraban. Bukan berarti juga, Ryder ingin lebih dekat dengan Rosen Green secara cepat.Sulit menjelaskan secara benar. Tapi, Ryder berniat mengenal wanita itu dari tampilan yang tidak diperlihatkan padanya."Kau Ryder Davis bukan?"Sebuah kalimat bernada sopan, langsung saja membuat atensinya teralih dari Rosen. Kini, memandang ke sosok seorang wanita dengan gaun malam yang cukup terbuka. Berdiri cukup dekat dari tempat duduknya.Segera dianggukan kepala seraya berupaya mengingat siapa gerangan wanita itu. Terasa tidak asing bagi Ryder.Dan, tak butuh waktu lama baginya untuk mengenali kembali. Senyum pun lebih lebar dipamerkan pada si wanita."Iya, benar." Ryder menjawab ramah."Kau sendiri Maria bukan?""Haha. Iya. Aku Maria Gomez. Aku kir
"Hahh!" Rosen berseru dalam suara teredam karena wajah ditutup dengan kedua tangan."Menyebalkan sekali!" seru Rosen kembali."Aku tahu kau sangat kesal. Aku pun kalau menjadi kau akan sangat emosi.""Aku pasti sudah menampar pria itu dengan keras beberapa kali. Aku tidak peduli kalau dia adalah klien penting perusahan."Rosen mengangguk-angguk. Gerakan kepala yang lemah saja. Lalu, tangan-tangannya disingkirkan dari wajah.Arah pandang langsung tertuju pada sang sahabat, yakni Varlon Lewis. Wanita itu tengah duduk di kursi seberang meja.Varlon itu menampakkan ekspresi galak. Kontras dengan dirinya yang memasang raut cemberut dan kerucutan bibir.Semarag apa pun sedang dirasakan Rosen, ia masih kalah dibanding Varlon dalam cara menunjukkan amarah yang meluap-luap.Kemudian, Rosen menggeleng. Respons atas ucapan sang sahabat tadi. "Aku juga mau begitu. Menampar pria itu. Tapi ....""Tapi, kenapa? Kau takut di
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments