Seperti yang telah diusulkan oleh tim kreatif acara Bincang Senayan, TV-O akan menghadirkan politikus muda Bastian Ervin yang sedang digandrungi oleh para kaum milenial terutama yang berjenis kelamin perempuan. Tak hanya wanita muda, kaum Emak-emak juga mengidolakannya. Tampan, muda, karir cemerlang, dermawan dan terlihat rendah hati membuat sosoknya menjadi pusat perhatian.
Vincent meluangkan waktu untuk datang melihat langsung interview yang akan diadakan di kantor DPR Senayan. Dia ingin memastikan acara ini berjalan dengan semestinya, agar bisa menaikkan rating acara untuk slot malam.
“Ready?” tanya Vincent pada Stela.
“Ya. Sekarang udah bisa jalan cepat, karena pake flat shoes.” Stela mengulurkan kaki memperlihatkan flat shoes berwarna cokelat muda yang dikenakan.
“Good,” sahut Vincent singkat sembari membuka pintu, kemudian berdiri di sana menunggu Stela keluar.
Pagi-pagi
Tubuh Stela menegang di dalam pelukan Vincent, di sela jantung yang terpacu bergemuruh. Pertama kali dalam hidupnya ia dipeluk oleh pria, selain ayah dan kakaknya. Selama tujuh tahun pacaran dengan mantan pacar satu-satunya, gadis itu tidak pernah dipeluk.Walau ingin marah, tapi Stela membiarkan Vincent memeluknya dalam waktu yang cukup lama. Dia tahu saat ini pasiennya tidak sedang baik-baik saja. Ada hal yang disimpan olehnya.“I am sorry, Stela. But let me hold you for seconds,” bisiknya di telinga Stela menambah sebuah rasa yang kini menyelinap di hati gadis itu.Stela mengangguk pelan. Tangannya menepuk lembut bahu Vincent, mencoba menenangkan.“Lo tadi tanya pendapat gue tentang Bastian, ‘kan?” tanya Stela masih dalam pelukan Vincent.Dia merasakan kepala Vincent bergerak di bahunya.“Ya.” Vincent melonggarkan pelukan dan melihat bola mata cokelat terang itu bergantian.
Stela memutar tubuh ke kanan, lalu ke kiri dalam rentang waktu beberapa menit. Hampir satu jam mencoba tidur, mata tak kunjung bisa dipejamkan. Adegan saat Vincent mencium bibirnya dua jam lalu masih terputar jelas di pikiran. Bahkan rasa manis pun masih terasa di indra pengecapnya.Dua jam sebelumnya, tepat setelah Vincent kembali ke kamar. Stela tak henti memaki dirinya sendiri.“Kenapa biarin dia cium lo, Stela? Lo udah nggak waras? Itu yang lo sebut profesional? Lo udah melanggar kode etik sebagai dokter. Sinting!” Itu kata-kata yang keluar dari bibirnya selama satu jam.Stela juga memukul kepala, karena telah kehilangan logika.“Gimana bisa ketemu dia besok? Apa lo masih punya nyali?” Kalimat demi kalimat terus meluncur dari bibir tipisnya.Kini dia mencoba kembali memejamkan mata, tetap tidak bisa. Stela malah membelai bibirnya yang membengkak akibat ciuman tadi. Belaian lembut bibir Vincent masih terasa di bibirnya.
Vincent menarik tangan Stela memasuki kawasan Kota Tua. Sebuah bangunan tua berwarna putih dengan atap khas bangunan Belanda, berdiri megah di kota Jakarta. Di depan bangunan besar berwarna putih itu terdapat area untuk pengunjung bermain sepeda atau hanya sekedar berjalan kaki.Pria itu menggenggam jemari Stela dengan terus melangkah ke tempat penyewaan sepeda. Meski ramai pengunjung, tidak menyurutkan niat Vincent untuk mengajak Stela bermain kendaraan roda dua tersebut.“Kamu suka warna yang mana?”“Apa aja sih,” sahut Stela sambil menggaruk kepala tak gatal.Dia benar-benar bingung dengan perlakuan Vincent hari ini, berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Apalagi pertanyaan yang diajukan Stela tidak dijawab hingga saat ini. Hanya sebuah cengiran yang diperlihatkan pria itu.Vincent memasangkan topi lebar berwarna biru, khas Noni Belanda di kepala Stela. Dia juga memasang topi di kepalanya sendiri.Pria itu naik ke atas
Perlahan Stela meletakkan kepala Vincent di atas bantal. Setelah memastikan pria itu telah tidur, ia kembali ke kamar. Suasana hatinya sangat kacau, benar-benar kalut jika tidak segera diselamatkan.“Gue nggak boleh jatuh cinta sama Vincent. Usaha penyembuhannya nggak akan maksimal jika ada perasaan di hati gue,” gumam Stela sambil mondar mandir di dalam kamar.Berkali-kali ia mengusap wajah, menyeka rambut dan melakukan tindakan lain khas orang-orang yang sedang gusar.“Gue harus cari cara agar perasaan Vincent nggak semakin menjadi-jadi. Gue ini profesional, psikiater profesional. Oke?” Stela kembali bicara pada dirinya sendiri.Stela benar, jika saja memiliki sedikit perasaan pasti akan menghambat pekerjaannya. Apalagi trauma yang dialami Vincent berkaitan dengan calon istrinya. Bagaimana jika ia cemburu saat pria itu mulai ingat, bahkan meraung menangis ketika mengetahui wanita yang dicintai, meninggal di saat yang bersamaan de
Vincent tersenyum menanti jawaban Stela. Gadis itu masih diam tak berkedip selama dua menit.“Gemesin banget sih kamu,” ucap Vincent sambil mengelus pipi chubby Stela.“Nggak ada syarat lain, Vin? Masa mau pinjam laptop dan kamera doang harus terima cinta lo sih? ‘Kan nggak keren,” tawar Stela dengan suara pelan sekali.“Syaratnya gampang kok. Tinggal jawab yes or no.” Vincent mengedipkan mata.“Harus banget nih?”Vincent mengangguk yakin dengan senyum masih mengembang. Belakangan ini dia menjadi banyak tersenyum, seakan ada yang merasukinya.Mampus. Gue harus gimana nih? Nggak dijawab, dia nggak mau kasih dan kalau nggak dikasih gue— batin Stela meronta-ronta.“Jadi?” Vincent memiringkan kepala dengan mata berkedip pelan.“Ya Allah. Lo kok jadi begini sih? Kayak orang kerasukan tahu. Serem gue lihatnya.” Stela pura-pu
Keesokan pagi sekali, Stela mengendap-endap keluar dari kamar kemudian mengetuk pintu kamar Vincent. Setelah menunggu lima menit, pintu terbuka. Pria itu melihatnya dengan kening berkerut sambil sesekali menguap.OMG, bangun tidur aja udah ganteng kayak gini. Stela mendadak cengo melihat Vincent berdiri sambil mengucek mata.“Siapa ya?” tanya Vincent bingung.Stela menggenggam erat laptop dan kamera yang ada di pangkuannya.“Saya Auristela Indira, psikiater pribadi yang merangkap sebagai sekretaris pribadi Bapak.” Stela mengulas senyum di bibirnya.Vincent kembali masuk ke kamar sebentar, lalu kembali lagi dengan membawa selembar foto. Dia mendekatkan foto itu ke wajah Stela memastikan gadis itu tidak berbohong.“Saya benar-benar psikiater Bapak. Kamar saya di sana,” jelas Stela menunjuk ke arah kamarnya.“Saya mau mengembalikan laptop dan kamera yang saya pinjam tadi malam.” St
Sepuluh menit mengamati Bastian, Stela bisa menarik kesimpulan ada sesuatu yang disimpan oleh pria itu. Pertemuan di gedung Nusantara Senayan bukanlah pertemuan pertamanya dengan Vincent. Dia belum mendapatkan clue apa-apa tentang anggota dewan termuda itu. “Terima kasih atas kesediaan Pak Bastian untuk interview dua bulan lalu, karena itu rating acara naik drastis untuk slot malam,” ucap Stela tersenyum kepada Bastian. “Ah, itu karena stasiun televisi milik Pak Vincent sudah terkenal.” “Bapak bisa aja. Ini karena Bapak yang menjadi idola kaum emak-emak dan milenial sehingga banyak yang menonton acaranya,” puji Stela berusaha terlihat wajar. “Kalau begini ada traktiran dong, Mbak Auristela?!” canda Bastian. “Boleh, Pak. Nanti bisa saya tagih kepada bos,” balas Stela sambil mengerling ke arah Vincent. “Silakan pesan, Pak. Saya yang traktir,” imbuh Vincent. Bastian menggosok kedua tangan lalu mengambil
Stela mondar-mandir di kamar, begitu pulang dari kantor. Dia masih memikirkan pertanyaan yang diajukan oleh Vincent, setelah makan siang bersama dengan Bastian. Gadis itu menyangkal semua dan tetap bersikeras mengatakan tidak pernah ada hubungan apa-apa di antara mereka, selain hubungan profesional. Tarikan napas berat terdengar dari hidungnya. Stela butuh teman bicara yang bisa dipercaya saat ini. Uda Garry? Santi? Kepalanya langsung menggeleng memikirkan kemungkinan curhat kepada siapa. Gadis itu mengetuk-ngetukkan ujung jari telunjuk kanan di pelipis, memikirkan harus berbicara dengan siapa? Dua menit kemudian, bola matanya terangkat ke atas bersamaan dengan jari telunjuk. “Candra,” gumamnya. Stela bergegas turun ke lantai bawah menemui Candra. Dia mencari ke taman belakang, ruang kerja Vincent, ruang santai dan depan rumah. Pria itu tidak ditemukan. Stela mendesah ketika gagal menemui Candra. “Kamu cari siapa?” Terdengar s