Malam itu, Bara merasa lelah dan hendak tidur. Dia berbaring di tempat tidurnya dan menutup matanya, berharap bisa tidur nyenyak.Namun, saat dia membuka matanya kembali, dia melihat Nenek Liyana berdiri di samping tempat tidurnya. Nenek Liyana tersenyum dan berkata, "Aku ingin tidur di sampingmu, Bara."Bara merasa terkejut dan tidak nyaman. "Tidak, Nenek. Aku tidak ingin kamu tidur di sampingku," kata Bara dengan nada yang tegas.Tapi Nenek Liyana tidak mendengarkan. Dia malah berbaring di samping Bara dan menutup matanya. Bara merasa tidak nyaman dan tidak tahu apa yang harus dilakukan."Apa yang kamu lakukan, Nenek?" tanya Bara dengan nada yang kesal.Nenek Liyana membuka matanya dan tersenyum. "Aku ingin tidur bersamamu, Bara. Aku ingin membuatmu merasa nyaman dan aman."Bara merasa tidak percaya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Nenek Liyana? Mengapa dia berubah menjadi manja seperti ini?Bara merasa tidak nyaman dengan kehadiran Nenek Liyana di sampingnya. Dia mencoba untuk m
Bayu berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresi apa pun, tapi di dalam hatinya, dia sudah memulai untuk mempersiapkan rencana untuk menghadapi Nenek Liyana. Dia tahu bahwa dia tidak bisa menolak permintaan Nenek Liyana secara langsung, tapi dia juga tidak ingin membantu Nenek Liyana melakukan sesuatu yang tidak benar."Aku... aku akan mencoba membantu kamu, Nyonya," kata Bayu dengan nada yang ragu-ragu. "Tapi, aku tidak tahu apakah aku bisa membuat Bara percaya bahwa kamu adalah istrinya yang sebenarnya," balasnya lagi dengan pelan.Nenek Liyana terlihat puas dengan jawaban Bayu. "Aku percaya kamu bisa melakukannya, Bayu," kata Nenek Liyana dengan senyum yang misterius. "Aku akan memberimu instruksi lebih lanjut tentang apa yang harus kamu lakukan."Bayu berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresi apa pun, tapi di dalam hatinya, dia sudah memulai untuk mempersiapkan rencana untuk menghadapi Nenek Liyana. Dia tahu bahwa dia harus berhati-hati dan tidak bisa membiarkan Nenek Liyana mengend
Gustur Danendra memandang Bara dengan mata yang serius. "Bara, aku ingin berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting," katanya dengan nada yang tegas. Bara terlihat tidak nyaman dan ragu-ragu. Dia memandang Bayu yang berdiri di sampingnya, mencari dukungan."Apa itu, Ayah?" tanya Bara dengan nada yang lembut.Gustur Danendra mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku ingin berbicara denganmu tentang masa depanmu, Bara. Aku ingin tahu apa yang kamu inginkan dan apa yang kamu rencanakan untuk melakukan sesuatu kedepannya."Bara terlihat tidak yakin apa yang harus dikatakan. Dia memandang Bayu lagi, mencari bantuan. Bayu memberikan senyum yang meyakinkan dan mengangguk."Aku... aku tidak tahu, Ayah," jawab Bara dengan nada yang ragu-ragu.Gustur Danendra memandang Bara dengan mata yang tajam. "Kamu harus tahu, Bara. Kamu harus memiliki rencana dan tujuan yang jelas. Aku ingin membantu kamu mencapai tujuanmu, tapi kamu harus memberitahu aku apa yang kamu inginkan.""Apa maksud
Bara merasa jantungnya berdegup kencang ketika mendengar ancaman ayahnya. Dia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Liyana. "Apa yang Ayah rencanakan untuk dilakukan?" tanya Bara dengan nada yang ragu-ragu.Gustur Danendra tersenyum sinis. "Aku akan memastikan bahwa Liyana tidak akan pernah mendekati kamu lagi. Aku akan mengirimnya ke panti jompo, jauh dari kamu," katanya dengan nada yang dingin.Bara merasa seperti dipukul oleh petir. Dia tidak bisa membayangkan hidup tanpa nenek Liyana karena dia alibi supaya bisa menjauhkannya dari sapphire. "Tidak, Ayah! Aku tidak akan membiarkan Ayah melakukan itu!" teriaknya dengan nada yang keras.Gustur Danendra memandang Bara dengan mata yang marah. "Kamu tidak memiliki pilihan, Bara. Aku adalah ayahmu, dan aku akan melakukan apa yang terbaik untukmu," katanya dengan nada yang tidak bisa diganggu gugat.Bara merasa seperti dunianya runtuh. Dia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Liyana jika Ayahnya nekat menikahinya dengan Sapphire. Dia berpiki
Bara semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak biasa tentang nenek Liyana. Dia memutuskan untuk mengawasi nenek Liyana lebih dekat, untuk melihat apakah ada tanda-tanda lain yang tidak biasa tentang dirinya.Saat makan, Bara memperhatikan bahwa nenek Liyana memiliki cara memasak yang sangat mirip dengan Liyana. Dia juga memperhatikan bahwa nenek Liyana memiliki cara berbicara yang sangat mirip dengan Liyana.Bara merasa semakin yakin bahwa nenek Liyana memang Liyana yang telah berubah menjadi lebih tua. Tapi, bagaimana mungkin? Apakah ada kekuatan supernatural yang telah membuat Liyana berubah menjadi nenek Liyana?Bara memutuskan untuk bertanya langsung kepada nenek Liyana. "Nenek, aku ingin bertanya sesuatu kepada kamu," kata Bara dengan nada yang ragu-ragu.Nenek Liyana memandang Bara dengan mata yang lembut. "Apa yang kamu ingin tahu, Bara?" tanya nenek Liyana dengan nada yang lembut.Bara mengambil napas dalam-dalam sebelum bertanya. "Apakah kamu benar-benar nenek Liyana, atau a
Gustur Danendra duduk di kursi kepala meja, dengan Sapphire duduk di sebelahnya. Nenek Liyana duduk di seberang mereka, dengan mata yang masih memandang Bara."Bara, aku ingin berbicara dengan kamu tentang sesuatu yang penting," kata Gustur Danendra dengan nada yang serius.Bara memandang ayahnya dengan mata yang penuh pertanyaan. "Apa itu, Ayah?" tanya Bara dengan nada yang ragu-ragu.Gustur Danendra memandang Bara dengan mata yang keras. "Aku telah memutuskan untuk menikahkan kamu dengan Sapphire," kata Gustur Danendra dengan nada yang dingin.Bara terkejut dan merasa seperti dipukul oleh petir. Dia tidak percaya apa yang ayahnya terus katakan. "Tidak, Ayah! Sudah kubilang Kamu tidak bisa menikahiku dengan dia!" teriak Bara dengan nada yang keras.Bara merasa muak ketika ayahnya terus berbicara tentang pernikahan dengan Sapphire. Dia tidak ingin mendengar lagi tentang hal itu, tapi ayahnya terus memaksakan keinginannya."Ayah, aku tidak ingin mendengar lagi tentang hal itu," kata Ba
Bara memutuskan untuk pergi ke kantor di temani Bayu dan dia juga mengajak Nenek Liyana. Tentu saja Bayu yang baru datang ke tempat makan kaget mendengarnya.Bayu terkejut ketika Bara mengajak Nenek Liyana untuk pergi ke kantor bersama mereka. "Pak Bara, apa yang kamu lakukan? Nenek Liyana tidak bisa pergi ke kantor!" kata Bayu dengan nada yang terkejut.Bara tersenyum dengan santai. "Kenapa tidak? Nenek Liyana bisa pergi ke kantor bersama kita. Selain itu, aku ingin dia melihat bagaimana aku bekerja," kata Bara dengan nada yang santai.Bayu memandang Bara dengan mata yang tidak percaya. "Bara, kamu tidak bisa membawa nenek Liyana ke kantor! Apa yang akan orang lain pikirkan?" tanya Bayu dengan nada yang khawatir.Nenek Liyana tersenyum dengan lembut. "Bayu, jangan khawatir. Aku ingin melihat bagaimana Bara bekerja. Selain itu, aku ingin menghabiskan waktu bersama suamiku," kata Nenek Liyana dengan nada yang lembut.Bayu memandang Nenek Liyana dengan mata yang tidak percaya. "Tapi..
Sapphire berjalan menuju Bara dengan langkah yang cepat dan marah. "Bara, aku tidak bisa percaya bahwa kamu melakukan ini kepada aku!" teriak Sapphire dengan nada yang marah.Bara memandang Sapphire dengan mata yang tenang. "Sapphire, aku sudah bilang bahwa aku tidak ingin menikah dengan kamu. Aku tidak bisa memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan," kata Bara dengan nada yang santai.Sapphire memandang Bara dengan mata yang berapi. "Kamu tidak bisa melakukan ini kepada aku! Aku sudah memberikan segalanya untuk kamu, dan kamu tidak bisa membalasnya dengan cara yang sama?" teriak Sapphire dengan nada yang marah.Bara memandang Sapphire dengan mata yang lembut. "Sapphire, aku tidak bisa memaksakan diri untuk mencintai kamu. Aku hanya bisa mencintai orang yang aku cintai, dan itu bukan kamu," kata Bara dengan nada yang santai.Sapphire memandang Bara dengan mata yang terkejut dan marah. Dia tidak bisa percaya bahwa Bara bisa mengucapkan kata-kata yang begitu pedas
Liyana berdiri membeku di balik dinding batu taman. Nafasnya tercekat saat mendengar gumaman terakhir Sapphire yang menusuk seperti jarum dingin ke tulang belakangnya.> “Aku tahu kamu dengar semuanya, Bayu, UPS salah, Lily.”Sapphire kemudian berbalik dan melangkah anggun menuju rumah, meninggalkan jejak ancaman halus yang masih menggantung di udara.Liyana mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Jantungnya berdentam kencang, tapi bukan karena takut. Ini bukan hanya soal rahasia yang terbongkar—ini soal Bara. Tentang bagaimana wanita lain mencoba memutar balik kepercayaannya.Ia tahu Sapphire bukan sekadar datang sebagai “mantan”. Perempuan itu licin, penuh strategi. Dan barusan, dia meletakkan bom psikologis di hati Bara.Liyana buru-buru masuk ke kamarnya, duduk di tepi ranjang sambil memijit pelipis. Ia harus bertindak. Tapi dengan cara yang tak sembrono.Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan di pintu kamarnya.Tok. Tok. Tok.Suara itu berat. Ia langsung tahu.“Lily,” panggi
Langit mulai berwarna jingga ketika Bara melangkah keluar dari kamarnya. Kepalanya masih dipenuhi tanya, hatinya masih digelayuti rasa ragu. Bayu—atau siapa pun dia sebenarnya—semakin membuat pikirannya tak tenang. Tapi belum sempat ia menarik napas panjang, seseorang menghampirinya dari arah taman samping rumah.“Sapphire?” Bara sedikit terkejut melihat wanita itu muncul tanpa pemberitahuan.Sapphire mengenakan gaun biru muda yang jatuh lembut, kontras dengan rambut hitamnya yang dikuncir rapi. Tatapannya hangat, tapi ada sesuatu di balik senyumannya yang tak bisa Bara baca."Kenapa kamu tak menghampiriku? dan mengabaikan pesan," ungkapnya kini“Aku tahu kamu sedang kacau. Makanya aku datang. Aku... mau jujur,” ucap Sapphire pelan, suaranya mengambang di udara sore itu.Bara mengernyit. “Jujur tentang apa?”Sapphire menarik napas dalam, lalu melangkah lebih dekat. “Aku minta maaf, Bara. Aku... sudah tahu sejak awal siapa Bayu sebenarnya. Tapi aku diam. Aku... aku disuruh Ryven buat m
Di sudut rumah, malam itu sunyi. Bara duduk di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya yang terbingkai di rak kayu. Foto itu kini terasa asing. Dua wanita—satu di rumahnya kini mengaku Liyana, satu lagi adalah Bayu yang ia pikir asisten, tapi ternyata juga Liyana.Bara menutup mata. Pusing. Perasaannya campur aduk.“Kenapa semua orang menipu saya?” bisiknya lirih.Malam semakin larut. Udara dingin menyusup di antara sela-sela jendela kamar, namun hati Bara lebih beku dari cuaca. Ia masih duduk termenung di kursi kerjanya, memandangi surat perceraian yang belum ia tanda tangani.Tangannya menggenggam pena, tapi matanya kosong. Setiap kali ia menatap nama “Liyana” di lembar itu, dadanya seperti diremas. Ia benci. Tapi juga... rindu. Ia kecewa, namun juga merasa hangat saat mengingat semua hari-hari bersama Bayu—atau Liyana, sekarang. Ia bahkan tak bisa menyebutnya dengan pasti."Kenapa kamu harus jadi Bayu?" gumamnya lirih.Tak lama kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu kamar Ba
Pagi itu, matahari enggan menyinari kamar Bara. Tirai masih tertutup rapat, dan udara di dalam kamar terasa pengap, seperti hatinya yang sesak oleh berbagai perasaan yang bertumpuk.Bara masih duduk di meja kerjanya. Matanya menatap satu berkas di hadapannya — berkas pengajuan cerai.Tangannya menggenggam pulpen, namun tak kunjung menorehkan tanda tangan di atas kertas itu. Di luar, terdengar suara burung berkicau, seolah mengejek kebimbangannya.“Kenapa kamu gak pergi aja, Lily?” gumamnya pelan. “Kenapa kamu harus bikin semuanya serumit ini?”Kata-katanya dingin, tapi suaranya bergetar. Ia bukan benar-benar marah... lebih tepatnya, kecewa. Terluka. Tertusuk oleh harapan yang sempat ia pupuk diam-diam sejak Liyana — atau Lily — kembali hadir di hidupnya sebagai Bayu.“Lily...” Bara memejamkan mata, menyebut nama itu dengan berat. “Kamu tahu enggak... saat kamu ngelap keringat saya waktu saya demam... saya ngerasa damai. Saya pikir, Bayu i
Malam itu Bayu (Liyana) berdiri ragu di depan pintu kamar Bara. Ia sudah berkali-kali mengangkat tangan untuk mengetuk, tapi akhirnya kembali ragu. Namun malam ini, ia sudah tak tahan lagi. Ia butuh kejelasan. Butuh berbicara. Butuh menjelaskan. Walau tidak semuanya. Kamu harus kuat, Liyana, bisiknya dalam hati. Dengan satu tarikan napas panjang, akhirnya ia mengetuk pintu. Tok. Tok. Beberapa detik sunyi. Lalu suara langkah pelan terdengar mendekat. Pintu terbuka. Bara berdiri di ambang, hanya menatap sebentar, lalu berbalik badan dan kembali masuk tanpa mempersilakan. Tapi Bayu (Liyana) menganggap itu sebagai isyarat untuk masuk. Ia melangkah perlahan, menutup pintu di belakangnya. Keduanya kini berada dalam satu ruangan yang hening. Suasana tegang merayap seperti kabut. “Ada apa?” tanya Bara tanpa menoleh. Suaranya datar. Bayu (Liyana) mengecap bibirnya yang kering. “Aku... aku mau bicara, Mas.” Bara duduk di kursi dekat meja, menyilangkan tangan. “Kalau ini s
Bayu (Liyana) duduk di atas ranjang sempit dengan mata kosong menatap langit-langit. Hatinya berat. Ia baru saja kehilangan Bara untuk kedua kalinya, dan kali ini lebih menyakitkan karena pria itu sendiri yang berpaling darinya."Dia pikir aku selingkuh..." bisiknya getir. "Dengan Ryven pula..."Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya ingin menjerit, tapi suara itu hanya terkurung di tenggorokan.Sementara itu, Bara duduk diam di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya dengan Liyana yang masih terpajang di rak. Tangannya mengepal."Kenapa kau kembali hanya untuk menghancurkan aku lagi, Liyana?" batinnya. Ia ingin marah, ingin menghapus foto itu, ingin melupakan segalanya—tapi wajah Liyana terus mengganggunya. Kenangan mereka dulu pun berkelebat tak henti.Bara menghempaskan diri ke kursi, frustrasi. Ia tidak tahu harus percaya siapa. Nenek yang mengaku Liyana, atau Bayu yang jelas-jelas berbohong? Tapi wajah Bayu saat bicara dengannya... entah kenapa selalu seperti Liyana.
---Di Vila DanendraSudah tiga hari Bara tidak menyapa Bayu. Bahkan tak menatapnya. Seolah keberadaannya transparan. Padahal biasanya, sekalipun mereka tak banyak bicara, ada tatapan… ada kesadaran bahwa mereka saling hadir.Bayu duduk di pinggir ranjang kecil di kamar tamu yang kini jadi tempat tidurnya. Wig-nya ia simpan rapi di dalam laci, dan rambut aslinya terurai, mulai tumbuh tak rapi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—mata Liyana menatap balik dari balik wajah Bayu."Apa aku harus menyerah...?" bisiknya lirih.Namun bayangan orangtuanya yang masih dalam cengkeraman Gustur membuatnya menggertakkan gigi. "Belum. Aku belum boleh pergi sebelum kebenaran terungkap."Ia keluar menuju dapur, berpura-pura mencari air. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Bara di balkon atas, berdiri sendiri, memandang langit malam.Bayu menatap punggung itu lama. Hatinya sakit. Ingin mendekat, tapi takut ditolak.Sementara itu...Di BalkonBara menghela napas panjang. Wajahnya keras, tapi matany
Malam Hari – Ruang Tengah Rumah DanendraLangkah Bayu—atau Liyana—bergetar pelan saat menuruni tangga. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia sudah bersiap. Sudah menyusun kata-kata di kepala, berkali-kali. Malam ini, ia ingin mengakhiri semua kebohongan dan mengatakan yang sebenarnya pada Bara.Namun, ketika ia sampai di ruang tengah... Bara tak ada di sana. Yang ada hanya keheningan. Bahkan aroma kopi kesukaan Bara pun tak tercium. Aneh. Biasanya pria itu akan duduk membaca atau diam menatap api perapian.“Pak Bara?” panggilnya pelan.Tak ada jawaban.Dengan hati-hati, Bayu melangkah ke arah kamar Bara. Pintu sedikit terbuka. Ia mendorongnya perlahan dan menemukan Bara sedang duduk sendiri di ranjang, memunggunginya.“Pak...”Bara tidak menoleh. Bahunya tegang. Sunyi.Bayu menegakkan tubuh, mencoba tetap tenang. “Saya ingin bicara sesuatu... penting.”Bara masih diam. Hanya suara angin malam dari jendela yang terbuka sedikit mengisi keheningan.Bayu melangkah maju. “Saya... saya tahu se
Kamar Bayu – Malam HariBayu bangkit dari duduknya begitu melihat Bara berdiri di ambang pintu. Namun, tatapan Bara yang dingin dan penuh tekanan membuat langkahnya tertahan. Tidak ada senyum. Tidak ada basa-basi. Hanya tatapan penuh kecurigaan dan luka.Bara masuk tanpa permisi, menutup pintu perlahan di belakangnya.“Kamu kenal Ryven?” suaranya datar, tapi tajam.Bayu terdiam sejenak. “Saya... iya.”“Sejak kapan kamu kenal dia?”“Sudah lama, Pak. Tapi bukan berarti saya ada hubungan khusus dengan dia—”“Jangan bohong.” Bara memotong cepat, matanya memicing. “Aku lihat kamu berbicara dengannya di taman. Aku lihat kamu... membuka wig itu.”Bayu membeku. Tubuhnya terasa dingin.“Aku lihat kamu, Bayu—atau siapa pun kamu sebenarnya. Dan yang paling membuatku muak…” Bara menunduk sebentar, menarik napas panjang seolah menahan letupan amarah. “Kau… adalah Liyana.”Sunyi.Dada Bayu bergemuruh. Matanya berkaca-kaca. Ia ingin sekali menjelaskan segalanya, tapi kata-kata tak keluar.“Selama in