Share

Bab 5

Pagi itu aku membantu menyiapkan sarapan di meja. Walaupun Bi Yuyun berulang kali melarangku, tapi aku hanya ingin melakukan sesuatu di rumah ini daripada hanya sekedar berdiam diri. 

 

“Mbak Za, duduk saja. Biar Bibi yang nyiapin semuanya,” katanya sambil menarik tubuhku agar duduk. 

 

“Nggak, Bi. Aku mau nyiapin sarapan buat suami. Bibi tenang aja, aku nggak akan gangguin kerjaan Bibi. Aku cuman ingin nyiapin sarapan buat Mas Al. oiya, Bibi tau nggak selama di sini dia suka sarapan apa?” aku coba menelisik. Kali aja, Bi Yuyun memperhatikan kebiasaan Albany selama di sini. 

 

“Oh, Mas Al. Bibi kurang tau juga, tapi biasanya dia  cuman minum kopi aja sebelum berangkat. Katanya dia udah kenyang walaupun cuman minum kopi. Ibu Rita sama Pak Hendro suka nyuruh Mas Al buat makan tapi Mas Al-nya yang nggak mau.”

Oh, jadi begitu. Mungkin Albany memang ingin membuat ayah dan ibu sambungnya itu merasa kesal. 

 

“Wah, wah, Za, kamu nyiapin sarapan?” 

 

Aku menoleh, ternyata Tante Rita sudah keluar dari kamarnya dengan penampilannya yang selalu terlihat rapi dan elegan. Kemudian disusul oleh Om Hendro yang juga sudah rapi dengan stelan kerjanya. 

 

“Eh, Tante. Nggak kok, aku cuman bantuin Bi Yuyun aja.”

 

Tante Rita tersenyum sambil mengusap punggungku pelan. Sementara Om Hendro langsung duduk di kursi yang biasanya dia duduk kalau makan. Aku tahu, karena aku pernah beberapa kali diajak  makan saat Rico masih ada.

 

“Suamimu mana, ayo ajak sarapan sini,” pintanya terdengar tulus di telingaku. 

 

“Iya, Tante, sebentar.” Aku beranjak untuk kembali ke kamar. Tiba di sana, ternyata Al sedang menyisir rambutnya. 

 

“Mas, ayo sarapan. Om Hendro sama Tante Rita udah nunggu,” ajakku dari ambang pintu. 

 

“Hmm.” Dia bergumam tanpa melihat padaku. Aku berdiri menunggunya.

 

“Kamu makan duluan aja. Aku nggak biasa sarapan,” katanya. 

 

“Mas mau pergi?” tanyaku, karena melihat penampilannya yang sudah rapi. 

 

“ya, tentu saja. Aku harus bekerja,” jawabnya masih tetap tak melihat padaku. 

 

“Apalagi begitu, Mas sarapan dulu ya. Biar ada tenaga buat beraktifitas. Atau mau aku ambilkan ke sini?” tawarku, berharap dia mau mulai membiasakan untuk sarapan.

 

“Kamu tidak perlu peduli padaku,” katanya sinis sambil lewat dan menabrak pundakku. Tetap sabar wahai hati, ini baru permulaan. 

 

Hanya beberapa langkah, dia kemudian berhenti dan sedikit menoleh ke arahku.

 

“Oh, ya. Setelah sarapan, kamu beresin baju-baju. Kita pindah dari sini,” katanya. 

 

Apa maksudnya? Apa kami akan tinggal di rumah lamanya? Jika iya, aku tidak mampu menolaknya. 

 

Aku mengikuti langkahnya dengan mataku, ternyata dia menuju meja makan. Aku mengembus napas dan tersenyum melihatnya. 

 

Al duduk tepat di depan sang ayah. Aku pun mengikutinya ke sana dan duduk di sebelahnya, tepat berhadapan dengan Tante Rita yang tersenyum melihat anak dari suaminya itu mau duduk di sana. 

 

“Mau makan apa, Mas?” tawarku tulus. Di meja sudah tersaji aneka makanan yang menggugah selera. Sandwich isi daging, telur juga keju, salad sayuran, roti panggang dengan aneka selai dan nasi goreng spesial dengan aneka seafood. 

 

Sejenak dia menatap seisi meja. 

 

“Aku biasa makan nasi dengan telor ceplok. Itu sudah sangat mewah buatku,” jawabnya. Apakah dia sedang menyindir sang ayah yang berada tepat di hadapannya? Ingin mengingatkan jika selama ini dia hidup dalam kekurangan. Om Hendro wajahnya langsung terlihat sendu. 

 

“Al,” panggil Om Hendro. Namun Albany tak menghiraukannya.

 

“Ah, apa Mas mau makan itu sekarang?” tanyaku membuyarkan ketegangan yang terjadi karena ucapan Al. “Aku buatin sekarang ya?” tawarku lagi dan segera ke dapur dan membuat telor ceplok. 

 

“Buat siapa, Mbak?” tanya Bi Yuyun yang sedang membereskan piring-piring ke dalam rak. 

 

“Buat suami saya, Bi,” jawabku dan segera menyelesaikannya. Takut jika Al membuat keributan lagi di sana. Beruntung suasana masih kondusif saat aku kembali ke meja makan. Hanya saja mereka saling diam. Om Hendro dan Tante Rita mungkin sedang berusaha agar tak terpancing dengan perkataan Albany. Dan suamiku itu sedang memutar-mutar cangkirnya yang berisi kopi hitam yang tadi sengaja aku buatkan untuknya, sesuai info dari Bi Yuyun tadi kalau Al suka minum kopi saat sarapan.

 

Aku segera menyinduk nasi ke piring yang berisi telur ceplok dan menyimpannya di depan Al. 

 

“Dimakan, Mas,” ucapku sambil aku pun duduk dan mengambil sepotong roti dengan selai coklat. 

“Al, bagaimana tawaran Papa yang tempo hari itu? Apa kamu mau mulai belajar ngurusin bisnis Papa?” tanya Om Hendro. 

 

Albany diam sejenak, sebelum akhirnya dia berbicara. 

 

“Mungkin Anda bisa menunggu sampai cucu Anda lahir, Pak Hendro. Aku tidak pantas berada di posisi itu. Lagi pula, pendidikan saya hanya tamatan SMA, tidak akan sanggup mengemban tugas seberat itu,” jawab Albany dan kemudian menyesap kopinya. 

 

“Al, kamu bisa kerja sambil kuliah kalau kamu mau. Atau, Papa sendiri yanng akan mengajarimu menjalankan bisnis ini. Kamu hanya perlu mengawasi bagian produksi untuk sementara waktu. Agar kamu mengerti proses dari awal hingga akhir. Selanjutnya, Papa akan mengajarkan kamu mengelola semuanya. Bagaimana?” tawar Om Hendro lagi. Namun, Albany kembali menggeleng.

 

“Tidak perlu, Pak. Saya masih bisa menghidupi keluarga saya hanya dengan menjadi kuli,” jawabnya datar. 

 

“Oh, ya. Saya juga akan pamit dari kalian, karena saya akan segera pergi setelah ini.”

 

“Al,” potong Om Hendro dengan wajah yang kecewa. Sementara Tante Rita menepuk punggung tangan suaminya agar tidak kelepasan emosi. 

 

“Anda tidak perlu takut, aku akan membawa serta istriku, jadi tidak perlu merepotkan kalian,” ucapnya lagi. Om Hendro menggeleng pelan.

 

“Al, kita baru saja bersama, kenapa kamu harus pergi dari sini. Zanna, dia … Papa ingin memberikan yang terbaik untuk dia dan juga bayinya. Tolonglah, Al, Papa mohon agar kamu tetap di sini bersama kami,” pinta Om Hendro dengan wajah memelas. 

 

“Keputusanku sudah bulat. Jika kalian ingin merawat istriku, silahkan tanya padanya, apakah dia ingin tinggal di sini dengan segala kemewahan, atau ikut denganku dengan uang yang pas-pasan,” katanya membuat hatiku sedikit kecewa. Aku berharap kami bisa berada di sini, bukan karena aku ingin hidup mewah, tetapi aku ingin mendekatkan Albany dengan ayah kandungnya. Selama ini dia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah, dan sekaranglah saatnya. 

 

“Bagaimana, Za? Apa kamu mau tetap tinggal di sini atau ikut aku?” tanyanya seraya melirikku dengan wajah yang tetap datar. 

 

“Eemhh … itu … aku ….”

 

“Aku tidak memaksa, jika kamu ingin tinggal di sini, silahkan.”

 

“Tidak, Mas. Aku akan ikut sama kamu,” potongku cepat, tak ingin lagi menambah luka di hatinya. Om Hendro menatapku kecewa. Mungkin dia ingin melihat pertumbuhan janin ini bersamanya. Tapi, aku tidak kuasa menolak keinginan suamiku sendiri. 

 

Aku menangkupkan tangan sebagai isyarat aku meminta maaf padanya. 

 

“Kalau ada waktu, saya akan sering-sering ke sini, Om,” ucapku berusaha menghiburnya walaupun diiringi dengan tatapan tak suka dari Albany. 

 

Ingin aku mengatakan Om Hendro dan Tante Rita , jika aku sedang berusaha mengobati luka hati anaknya. Aku akan berusaha menyatukan mereka dalam ikatan keluarga yang penuh cinta. 

 

“Iya, Za. Kamu telpon Om kalau perlu apa-apa, ya. Ah, begini saja. Ini Om kasih kamu kartu kredit. Kamu bisa gunakan kapanpun kamu butuhkan,” ujar Om Hendro sambil mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya. 

 

Aku hendak menerimanya, namun tangan Albany langsung menepisnya. 

 

“Tidak perlu. Aku akan memenuhi kebutuhan istriku,” ucap Al dengan tatapan tajam pada sang ayah. Kemudian dia melirik padaku. “Kalau kamu mau ikut denganku, kamu harus membiasakan hidup seadanya.” 

 

Aku dan Om Hendro tak bisa lagi membantah. 

 

**

Aku menenteng tas berisi pakaian ke garasi. Di sana, Albany sudah siap di atas motor Tigernya. 

 

“Al, apa tidak sebaiknya Zanna diantar oleh Papa saja? Kasian dia lagi hamil kalau harus naik motor tinggi.”  Om Hendro kembali mengingatkan. Albany tidak menjawab, dia malah melirik ke arahku. 

 

“Ah, tidak apa-apa, Om. Aku pasti baik-baik saja. Mas Al pasti ngejalanin motornya pelan-pelan, iya, kan, Mas?” tanyaku agar bida meyakinkan Om Hendro. Albany hanya bergumam. 

 

“Baiklah, hati-hati ya, Za. Jaga diri baik-baik. Ingat, kamu tidak sendiri, ada janin dalam perut kamu,” ujar Om Hendro. 

 

Tante Rita memeluk dan menciumku sebelum aku benar-benar naik ke atas motor. Lambaian tangannya seakan dia berat untuk melapasku jauh darinya. 

 

Maaf, Tante. Aku pergi untuk sementara. Aku janji akan membawa kembali putra yang kalian inginkan, beserta dengan hatinya yang sudah mencair, janjiku dalam hati. 

 

 

 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Jumariah Demmatandjo
suka dengan sikap Albani
goodnovel comment avatar
Yenika Koesrini
suka banget sama Albani
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status