Share

Bab 4

“Mas. bersikaplah sopan pada orangtua,” pintaku dengan nada tegas. Tante Rita mengelus pundakku dan menggeleng pelan, seolah ingin mengatakan tidak perlu mengkhawatirkannya. Atau mungkin Tante Rita ingin mengatakan kalau aku jangan melawan Al. 

 

Albany tak menjawab ucapanku, dia pergi tanpa berkata-kata lagi. 

 

“Aku tadi mendengar percakapan antara Om Hendro dan suamiku, Tante. Apakah Al memang baru datang di rumah ini?” tanyaku saan Tante Rita mengajakku duduk di sofa. 

 

“Iya. Jadi, Tante harap kamu bisa memaklumi sikap Al yang seperti itu.”

 

“Apa Tante tau soal Al sudah lama?” tanyaku penasaran. 

 

Tante Rita mengembus napas berat sambil menerawang jauh. 

 

“Tante tau saat dulu Om Hendro menolak malam pertama kami. Pernikahan atas dasar perjodohan ini begitu memukul hatinya. Dia tidak bisa menerima Tante selama hampir dua tahun. Kami tinggal serumah, tapi hatinya berada jauh di sana.” Tante Rita mengakhiri kalimatnya dengan wajah yang sendu. 

 

“Bahkan setelah dia mau memulai hubungan kami, separuh hatinya masih ada di sana.”

 

Aku menatap Tante Rita yang sepertinya sama sepertiku, menjalani pernikahan tanpa cinta. Apa aku bisa sekuat dirinya, berjuang untuk  mendapatkan cinta dari orang yang telah halal untukku?

 

“Aku mencintai Hendro, menerima begitu saja saat orang tua kami menjodohkan. Tanpa aku sadar, bahwa cintaku ini telah merenggut kebahagiaan dari sepasang kekasih.” Tante Rita mulai terisak. 

 

“Aku memaksakan diri, walaupun Hendro terus saja menolakku. Sampai akhirnya Ningsih benar-benar menghilang dari hidup suamiku itu. Hendro sedikit berubah. Dia akhirnya mau bertegur sapa denganku, dan … mulai belajar mencintaiku.”

 

“Menghilang?” tanyaku tambah penasaran. 

 

Tante Rita melengos. Dia seperti menyembunyikan sesuatu. 

 

“Sudah malam, Za. Kamu sebaiknya istirahat. Tak baik seorang ibu hamil tidur larut malam. Apa kamu masih ingin tidur di sini? Tadi Tante hanya ingin memastikan jika kamu nyaman di kamar ini.”

 

Aku tak ingin mendebat, karena sepertinya Tante Rita sudah tak ingin melanjutkan obrolannya. Mungkin lain kali aku bisa mengorek lagi kebenaran di keluarga ini. 

 

“Iya, Tante. Tante juga istirahat saja, jangan banyak pikirian.” AKu mengantarkan Tante Rita ke luar. 

 

“Iya, Sayang. Sana kamu masuk lagi. Biar Tante turun sendiri,” katanya. 

 

“Nggak, Tante. Za mau tidur di kamar Al aja.”

 

Tante Rita seperti kaget mendengar ucapanku. Keningnya mengerut dengan tatapan penuh tanya. 

 

“Beneran? Kamu nggak apa-apa kalau nanti Al ….” Ucapannya menggantung. Aku mengerti dengan maksud Tante Rita. Dia takut jika aku akan disakiti oleh anaknya itu. 

 

“Tidak apa-apa, Tante. Justru kalau aku tidur di kamar Rico, mungkin akan menambah kemarahan Al. Aku janji, akan baik-baik saja,” ucapku dan mengajak Tante Rita untuk turun ke lantai bawah. 

 

**

Aku mengetuk pintu pelan, lalu memutar kenopnya. Ternyata tidak dikunci. Apa Albany punya firasat jika aku akan kembali lagi ke kamarnya? 

 

Kamarnya gelap. Mungkin dia sudah tidur. Pikirku. Namun, dalam keremangan aku melihat sebuah siluet yang sepertinya sedang merenung sambil menatap langit malam dari jendela yang dibuka. Semilir angin menerpa gorden dan menjadikannya bergoyang. 

 

Aku menutup pintu sepelan mungkin, agar Albany tidak terganggu. Sofa adalah tujuan utamaku. Seperti keinginannya, aku akan tidur di sana. Untuk mengobati luka hatinya, mungkin aku harus banyak mengalah. Bukan berarti aku ingin terus mempertahankan rumahtanggaku dengannya. Paling tidak, aku bisa membuat keluarga ini menjadi utuh. Om Hendro dan Tante Rita mendapatkan pengganti putra mereka, dan Albany bisa merasakan kasih sayang ayahnya kembali. 

 

Lalu aku? Entahlah. Apa aku akan pergi setelah anak ini lahir? Rasanya tidak mungkin jika harus pergi dan meninggalkan anak ini bersama kakek-neneknya. 

 

Aku belum bisa memutuskan. Namun setidaknya aku akan berusaha menghangatkan keluarga ini. 

 

Klik! 

 

Bunyi itu berbarengan dengan suasana kamar yang terang benderang. 

 

“Kamu di sini?” tanyanya kaget. Aku memalingkan muka, tak ingin melihat manik coklat itu. 

 

“Bukannya kamu mau tidur di kamar Rico?” tanyanya lagi. Sepertinya dia hendak ke luar. 

 

“Apakah tidak boleh seorang istri tidur di kamar suaminya?” aku mencoba mencairkan kebekuan diantara kami. 

 

Dia yang sudah hendak membuka pintu, terhenti seketika dan menoleh. 

 

“Kamu jangan berharap banyak padaku. Aku hanya bisa menyelamatkanmu dari cemoohan orang,” ujarnya dan kembali melanjutkan langkahnya. 

 

“Mas, kamu mau ke mana?” 

 

Dia kembali menghentikan langkah. 

 

“JAngan takut, aku tidak akan kabur. Hanya ingin mengambil air minum ke dapur,” jawabnya. Sebelum dia melanjutkan langkahnya, aku kembali memanggilnya. 

 

“Ehh, Mas, tunggu!” Dia kembali berhenti. “Biar aku saja yang ambilkan. Mas tunggu saja di sini,” lanjutku dan segera beranjak ke dapur. 

 

Albany masih bergeming saat aku melewatinya. Bahkan dengan ujung mataku, aku melihatnya sedang menatapku seolah tak percaya aku akan melakukan ini. 

 

Ya, Al, mungkin hatimu sekeras batu, tapi aku akan mencairkannya seiring waktu. 

 

Dia sedang menyaksikan pertandingan sepak bola saat aku kembali ke kamar dan membawakannya segelas besar air putih dan menyimpannya di meja di depannya. 

 

“Ini, Mas, minumlah.”

 

“Ya,” jawabnya tanpa melihatku. Dia meminumnya dengan rakus. Sepertinya dia memang benar-benar haus. 

 

“Apa ada yang ingin kamu makan, Mas?” tanyaku ragu sambil berdiri memilin jari. Aku salah tingkah. Ingin berbaring karena lelah, tapi sofanya dia tempati untuk menonton TV. Mau tidur di kasur, aku tidak ingin membuatnya marah lagi. 

 

“Tidak. Aku hanya haus saja,” jawabnya singkat. Aku mengangguk dan meninggalkannya untuk mencari alas tidur. Tidak ada pilihan lain. Malam ini aku lebih memilih tidur di lantai walau beralas tikar. 

 

Tapi, aku bisa dapat tikar di mana? Sudah malam begini orang-orang sudah pada tidur. Tadi aku ke dapur pun sudah sangat sepi. 

 

Aku melihat karpet bulu yang terbentang di depan tempat tidur. Hangat pasti. Aku akan tidur di sana saja. 

 

Saat melirik pada Al, dia masih asyik dengan pertandaingan sepak bolanya. Ya, sudahlah. Aku mengambil sebuah bantal dan menaruhnya di ujung karpet, lalu membaringkan badan yang terasa pegal. Lumayan nyaman. 

 

Hanya beberapa menit dari mulut mengucapkan doa, kesadaranku mulai hilang dan beralih ke alam mimpi. Entah berapa lama, lalu tubuhku terasa melayang.  Hingga sayup suara adzan Subuh membangunkanku. Terasa nyaman dan empuk sekali. Aku mengerjapkan mata dan melirik ke kiri dan kanan. Keningku langsung mengerut. 

 

Aku berada di atas kasur. Kaget menyerangku seketika. Aku bangkit duduk dan memindai sekeliling. Bukannya semalam aku tidur di karpet? Apa mungkin aku mengigau dan pindah sendiri ke atas sini?

 

Gawat. Apalagi aku lihat Al tidur di sofa dengan TV masih menyala. 

 

Tidak. Tidak mungkin aku pindah sendiri. Hanya saja, saat aku keluar dari kamar mandi dan mendapati Al sudah bangun. 

 

“Sudah kubilang kamu tidur di sofa. Kenapa malah tidur di kasurku?” katanya tanpa menatap ke arahku. 

 

Keningku langsung mengerut. Masa iya aku beneran pindah sendiri? Malahan aku berharap jika semalam Albany lah yang telah memindahkanku ke atas tempat tidur. 

 

“Maaf,” jawabku pelan. Walaupun sebetulnya aku tidak mengakui kesalahan itu. Tapi kenyataannya aku memang berada di atas kasur itu. 

 

“Mas, apa kamu udah sholat?” tanyaku kemudian. Namun, dia hanya menggeleng. 

 

“Aku tidak sholat,” jawabnya. 

 

“Kenapa?”

 

“Apa perlu aku menjawabnya? Selanjutnya, kita jalani hidup masing-masing. Kamu tidak perlu mengurusi urusanku dan aku pun tidak akan mengganggumu,” ucapnya. 

 

Baiklah. Mungkin masih terlalu dini untukku mencuri hatinya. Tapi aku bersumpah akan membuatnya tersenyum pada dunia. Lukamu mungkin terlalu dalam, dan aku akan mengobatinya perlahan. 

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Maulana Gebril
sudah capek capek nungguin apdet, eh malah gak bisa membuka halaman selanjutnya, aplikasi kurang mendukung
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status