Share

Pov Syarif

"Kamu tahu dari mana, kalau anak ini berjenis kelamin laki-laki, Mas?" tanya Rianti padaku membuat jantungku hampir copot.

"ikkhhhh, kan dari postingannya kemarin. Kamu lupa yah?" jawabku, untung aku tak memperlihatkan ke gugupanku.

"Masa, sih? kok seingatku ibunya gak nyantumin jenis kelaminnya deh."

"eeeaaakkkk...eaaakkkkk..eeaaakk," huft, untung saja bayi itu menangis.

"Cup, cup, cup. Kamu lapar yah sayang, ibu bikinkan susu yah." Rianti sigap ke dapur membuatkan susu untuk Ammar anakku.

Terimakasih nak, sudah mengalihkan perhatian ibumu, aku bergegas menelpon Hilda. Sial, tak di angkat-angkat.

"Ada apa sih, Mas? ganggu orang tidur aja." akhirnya di angkat.

"Postingan. Postingan kemarin cepat hapus yah, takut Rianti curiga, cepat hapus postingan kemarin." Dia malah mematikan telponnya dengan sepihak.

Ku buka sosial media berlogo F, benar ternyata postingannya sudah Hilda hapus. Sungguh, aku lega sekali.

***

Aku dulunya adalah lelaki yang baik-baik, tapi semenjak jabatanku naik, teman-temanku menyarankanku untuk selingkuh, karna mereka bilang selingkuh itu indah.

Mereka bahkan mengenalkan ku pada Hilda, Mahasiswi yang manis, Hilda pun menyambutku dengan baik, mereka benar ternyata selingkuh itu indah, Asal jangan ketahuan.

"Hil, bagaimana kalau kamu punya anak?" pintaku saat itu.

"Anak? malas ah. Ribet, gak mau aku." Tolaknya.

"Aku tambahin deh uang bulanan kamu, selama ini lebih besar uangmu lho, dari pada Rianti." Bujukku,

"Aku mau punya anak, asal aku gak mau merawatnya."

"Kamu tenang aja, kita tetap akan punya anak tanpa harus mengurusnya, Biar Rianti yang urus."

Akhirnya Hilda pun setuju dengan permintaanku, mulai saat itu dia tak menggunakan alat kontrasepsi.

Jujur saja aku memang menginginkan anak untuk pewarisku, jika aku mengatakan tak perlu anak pada Rianti, itu hanya ingin membuatnya tenang agar tak merasa bersalah.

Rianti sering merasa bersalah karna belum memberiku anak, aku lebih bersalah karna telah mengkhianatinya, mengapa aku belum berhenti. yah, karna selingkuh itu indah, aku juga tak tahu cara berhentinya gimana.

***

Rianti gadis yang baik dan lugu, dia adalah kembang desa, jadi kecantikannya alami bukan seperti Hilda cantik, tapi buang-buang duit, tapi aku suka. Kan, aku punya duit.

Saat itu jabatanku tak seperti sekarang, tak terasa pernikahanku sekarang hampir menginjak lima tahun. Ibuku juga menyukainya, bahkan jika Rianti salah aku tetap akan di salahkan ibu, ibu menganggap Rianti anaknya sendiri, sampai aku heran anak ibu aku apa Rianti.

"Happy aniversary pernikahan kita yang ke empat sayang, maaf yah telat baru ngasih kejutan, telatnya lama lagi." aku mengalungkan kalung berlian padanya.

"Wah, bagus banget, Mas. pasti mahal," Rianti seperti nya senang sekali terlihat dari wajahnya.

"Gak apa-apa sekali-sekali nyenengin istri, biar dapat pahala." Rianti langsung memelukku, kemudian aku mencium keningnya.

Padahal, kalung itu sampah di mata Hilda, aku memberikannya pada Rianti karna Hilda tak menginginkannya.

Rianti tak pernah sekalipun menanyakan berapa gajiku, sejak aku menikah dengannya sampai sekarang. berapapun uang yang aku berikan pasti dia terima.

Aku setiap bulan hanya memberinya lima juta, itupun satu juta harus di baginya pada ibu, saat itu gajiku tujuh juta.

Sampai sekarang gajiku dua puluh lima juta, aku tetap memberinya lima juta, toh dia tak pernah tahu kalau aku beberapa kali naik jabatan.

Aku selingkuh bersama Hilda sudah tiga tahun, bahkan kuliahnya aku yang biayai. Dulu, dia hanya seorang pelayan cafe tempat tongkronganku dan teman-teman kantorku, saat itu dia baru lulus SMA.

"Gaji udah sepuluh juta, takut sama bini, haha." Ejek Andre.

"Orang soleh dia bro, padahal dia gak tahu kalau selingkuh itu indah." Ejek Bimo

"Bukan gue tak bisa selingkuh, ceweknya gak ada," jawabku memberi alasan.

"Neng kesini!" Panggil Andre pada hilda.

"Ada apa pak? mau pesan apalagi? atau pesanannya ada yang kurang?" kata Hilda dengan santun.

"Teman saja jomlo, boleh minta nomor mbak nya gak? gaji nya gede loh sepuluh juta." Apa-apaan si Andre menjual namaku.

Hilda melirikku dari atas hingga bawah, dia menulis sesuatu di kertas lalu memberikannya padaku, nomor telponnya?

"Sikat, bro." kata Andre.

"Sikat, gass. Rasain dulu deh, indah," kata Bima

"Indah, sekali" Ejek, mereka.

Memang, zaman sekarang setia itu gak zaman yah, malah jadi bahan olok-olok.

[mlm] aku memulai percakapan

[juga, ini siapa?]

[syarif, yang tadi di cafe]

Komunikasi kami berjalan dengan baik, jujur saja aku nyaman berkomunikasi dengannya, tak butuh waktu lama untuk menjadi kekasihnya, sampai setanpun berhasil menggodaku.

Aku kira Hilda tak akan menyerahkan kesuciannya, ternyata aku salah dia yang menggodaku, bahkan kuakui permainannya lebih bagus dari Rianti.

Dulu, Hilda tak seperti sekarang, dulu dia hitam wajahnya penuh dengan jerawat, sedikit gendut, tapi kuakui dia manis.

Sekarang, karna sokongan dana dariku, Hilda jadi wanita yang sangat cantik, badan dan wajahnya putih glowing, jerawat nya pun seperti di telan bumi, bulu mata yang lentik karna sering di eyelash, alis yang cantik karna di sulam.

Memang benar kata orang, cantik itu perlu modal, walaupun kecantikan Hilda sekarang sama dengan Rianti, tapi Rianti tetap lebih sempurna dari Hilda karna Rianti cantik alami.

"Bang, skincare ku abis, aku juga belum ke salon," keluh Hilda.

"Nanti yah aku transfer,"

"Tapi temen-temen kampusku udah ganti loh hpnya sama keluaran terbaru kameranya ada tiga, seri 12"

"Tapi yang seri 11 juga kan masih baru."

"Kamu kasih aja ke istri kamu yang ini, pokoknya aku mau yang baru titik."

"Yang seri 11 aja belum lunas udah minta yang seri 12."

Akhirnya aku terpaksa menuruti keinginannya, meng kreditkannya hp keluaran terbaru, walaupun mengocek dompet yang penting dia tak marah.

"Aaaahhhhh, makasih sayang, aku makin sayang deh sama kamu," dia mencium pipiku di counter tanpa rasa malu.

Di rumah, aku memberikan iph*ne 11 bekas Hilda pada Rianti, dia girang nya bukan main.

"Ini hp mahal banget, Mas. Kamu dapat uang dari mana?"

"Temenku jual butuh Ri, dia lagi butuh banget duit jadi di jual deh, sama Mas."

"Tapi, walau bekas tetap mahal kan, Mas."

"Kamu tenang aja, ini di cicil kok. Kamu seneng?"

"Seneng banget, Mas. Seperti mimpi aku dapat hp gini, Mas. Makasih banyak yah, Mas."

Itulah yang aku kagum dari Rianti, dia sederhana. Selalu menerima pemberianku, aku tak tahu bagaimana kalau dia tahu barang-barang pemberian dariku adalah bekas selingkuhanku.

Sebenarnya Rianti sosok istri yang sempurna, aku saja yang bodoh telah menduakannya.

***

"Mas, sepertinya aku mau melahirkan. perutku mulas." Keluh Hilda lewat telpon.

"Apa? baik aku kesana sekarang!"

Segera aku membawa Hilda ke klinik persalinan, tak menunggu waktu lama, bayi berjenis kelamin laki-laki tersebut lahir ke dunia ini.

Benar kata orang, kalau hamil di luar nikah lebih gampang melahirkan dari pada hamil dalam pernikahan.

"Tampan sekali, anak kita, Hil."

"Seperti mu, namanya siapa?"

"Syahil, Syahil ammar abidzar. panggil dia Ammar saja,"

"Tapi sesuasi kesepakatan kita, aku gak mau urus anak ini, titik."

"Iya, aku lagi mikir dulu gimana caranya, kamu sabar yah, heran aku padahal Rianti ingin sekali punya anak sedangkan kamu kenapa gak mau sih."

"Bukan gak mau, aku hanya ingin punya anak dengan cara terhormat bukan seperti ini, Bang. Kalau keluargaku tahu aku melahirkan di luar pernikahan, mereka akan jadi bahan omongan satu kampung, dan aku tak mau itu terjadi."

Pagi ini, aku membuka sosmed F, aku melihat postingan seseorang ibu di sebuah grup.

Ibu tersebut punya anak empat, dia mencari orang tua angkat untuk anaknya, syarat nya, muslim dan tentunya dengan syariat agama dan negara.

Aku terinspirasi dengan ide tersebut, aku menyuruh Hilda untuk membuat akun baru,tentunya akun fake, dan kusuruh dia masuk dalam grup tersebut.

[Di cari ibu pengasuh untuk anak saya, tapi silahkan bawa anak saya tinggal bersama anda, gaji akan saya transfer. Saya hamil di luar nikah dan kelarga saya tak tahu kalau saya hamil dan punya anak. Saya adalah Mahasiswi yang kuliah sambil kerja, saya harus tetap melanjutkan pendidikan dan pekerjaan saya, silahkan inbox jika bersedia]

Aku menunjukan status tersebut pada Rianti, karna dia punya empati yang tinggi.

"Kalo kamu mau, boleh kok. Biar kamu di sini gak bosen." tawarku pada Rianti.

"Beneran, boleh?"

"Boleh, itung-itung mancing biar cepat punya momongan."

Rianti gembira sekali, saat aku menyarankan untuk jadi pengasuh bayi Hilda, Ah Rianti bagai mana kalau kamu tahu kalau itu adalah darah dagingku?

Jangan sampai Rianti tahu kalau aku meng khianatinya, jangan sampai dia tahu Hilda, kalau Hilda selingkuhanku, aku tak mau kehilangan Rianti.

Aku juga berat melepaskan Hilda, aku memang serakah dan ingin memiliki keduanya.

"Rianti, kalau memang ibunya tak mau mengurusnya, lebih baik kita adopsi saja bayi itu." ucapku pada Rianti.

"Apa gak berlebihan, Mas?"

"Nggak, sayang. lagipula bayi itu kan tinggal bersama kita, ibunya juga bebas bertemu anak nya kapanpun itu, bebas."

"Kenapa gak musyawarah dulu sama ibumu, Mas?"

"Ibu setuju kok Ri, lagipula itu keputusan kalian, itu hak kalian. Malah, rame kalau ada bayi di rumah kita." kata ibu mendukungku.

"Baiklah, kalau begitu. Kita adopsi saja bayi itu."

"Kalau bayi itu sudah kita adopsi, mau anak itu di terlantarkan oleh ibunya, kita tak akan mengharap gaji dari orangtuanya."

"Aku memang sama sekali tak mengharapkan upah, Mas."

Aku pura-pura pergi dari rumah, padahal aku memantau mereka, karna kalau aku bersama Hilda dan Rianti, aku takut tak bisa bersandiwara.

"Sini, biar aku gendong, Ri." Rianti menyerahkan bayi Ammar padaku.

"Ganteng nya, anak papa. Siapa namanya, Ri?"

"Ammar, nama panjang nya Syahil Ammar Abidzar," jawab Rianti

"Wah, nama yang bagus yah Ri."

"Iya, Mas. cocok sama wajah tampannya," sahut Rianti, tentu saja dia tampan sepertiku karna dia anakku Ri. dan aku juga yang memberi namanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status