Share

Bab 4

Author: Mr. Crawford
last update Last Updated: 2025-02-12 19:17:47

Para perawat di sana segera mengikuti intruksi Widia. Bergegas mempersiapkan segala sesuatu untuk melakukan operasi kecil. 

Namun saat operasi akan dilakukan, bayi itu sudah tidak mengejang lagi. Lebih tepatnya dia sudah tidak bergerak, detak jantungnya hilang dan tidak bernafas. 

"Innalillahi..." Seorang perawat menatap Widia, "Dok?"

Widia menghela nafas, "Mau bagaimana lagi? Kita sudah berusaha untuk menyelamatkannya, tapi takdir berkata lain." Dia lalu mendekat dan mengelus kepala bayi yang sudah tak bernyawa itu, "Kasihan sekali kamu, Nak. Tapi takdirmu hanya sampai di sini saja."

Widia menatap salah satu perawat dan memerintahkan, "Beri tau Ayah bayi ini pelan-pelan! Sepertinya dia sangat berharap pada anak ini. Aku cuma khawatir, kalau dia tidak akan mampu menerima kenyataan."

Perawat mengangguk, "Baik, Dok. Saya akan coba bicara perlahan."

Perawat itu lalu keluar dari ruangan dan langsung berhadapan dengan Tegar. 

"Sus, bagaimana anakku? Dia baik-baik saja kan?" tanya Tegar. 

Belum sempat perawat itu menjawab, tiba-tiba seorang wanita setengah baya datang entah dari mana dan langsung bertanya, "Di mana cucuku, Tegar? Aku ingin melihat cucuku!"

"Ibu, Bapak, maaf... Kami sudah berusaha sebisa kami, tapi..."

"Tapi apa? Jangan bicara yang tidak-tidak tentang anakku! Dia pasti tidak akan kenapa-napa! Anakku tidak akan kenapa-napa! Kamu sebaiknya jangan bicara ngawur!" potong Tegar dengan tegas. 

"Maaf Pak, tapi..."

Kembali Tegar memotong ucapan perawat itu, "Jangan bicara! Aku mau melihat anakku, minggir!"

Tegar mendorong perawat itu ke samping, sebelum dia menerobos masuk ke ruangan yang tadi akan dijadikan tempat operasi kecil. Minah dan Dinda juga mengikutinya masuk ke ruangan tersebut. 

Widia dan perawat yang lain masih ada di sana untuk mengurus proses pasca kematian bayi Anisa. Mereka terdiam saat melihat Tegar dan dua wanita itu tiba-tiba menerobos masuk ke dalam ruangan.

"Anakku..."

"Cucuku..."

Tegar dan Minah berseru bersamaan. Sementara untuk Dinda, dia hanya diam karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. 

Terduduk di sebelah bayi yang sudah tak bernyawa, Minah menjerit, "Sialan, Anisa benar-benar tidak berguna! Bagaimana dia bisa kecelakaan? Dia telah membuat cucuku meninggal. Aku akan berurusan dengannya setelah ini!"

"Ya Ibu, aku sangat berharap dia tidak akan pernah mendapatkan pendonor, agar dia cepat mati!" sahut Tegar. 

Menoleh ke arah putranya, Minah bertanya, "Apa maksudmu, Tegar?"

"Wanita itu masih belum bangun sampai sekarang, karena kehabisan banyak darah. Dan di rumah sakit ini tidak ada darah yang cocok untuknya. Seharusnya dia saja yang mati! Bukan anakku!" jawab Tegar penuh kekesalan. 

"Oh, jadi begitu? Ya, semoga saja wanita tidak tau diuntung itu cepat-cepat mati. Sejujurnya, aku juga sudah muak dengannya. Jika bukan karena dia sedang mengandung cucuku, pasti dia sudah lama kutendang dari rumah!" tegas Minah. 

Kedua orang ini sepertinya lupa, sedang berada di mana mereka sekarang. Sehingga mereka bicara, tanpa menyaring dulu apa yang akan dikeluarkan lewat mulut mereka. 

Widia hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak percaya, saat mendengar yang dikatakan dua orang itu. Bukan hanya Widia saja, namun semua perawat juga sama-sama tidak mempercayai yang baru mereka dengarkan. 

Saat itu, seorang perawat datang ke ruangan tersebut, "Dengan keluarga Ibu Anisa? Pasien sudah siuman sekarang. Meskipun kondisinya masih lemah."

Tegar dan Minah tentu terkejut mendengar kabar itu. Tegar kemudian menatap perawat tersebut dan bertanya, "Sudah siuman katamu? Bukankah dia belum mendapatkan darah yang cocok untuknya? Bagaimana dia bisa sadar secepat ini?"

Perawat barusan tersenyum, "Ohh, maaf lupa memberitahu Anda, Pak. Tadi ada seseorang yang sudah mendonorkan darah untuk Ibu Anisa. Dan Ibu Anisa telah berhasil melewati masa kritisnya."

"Apa? Ada yang mendonorkan darah untuk wanita seperti itu? Sungguh beruntung sekali wanita seperti dia!" Tegar berdiri sambil mengepalkan telapak tangannya, "Ayo Ibu, kita lihat wanita itu!"

"Ya, ayo kita lihat! Kalau perlu, aku akan memberinya pelajaran!" jawab Minah tidak sabar. 

Begitu saja, Tegar dan Minah meninggalkan ruangan tersebut, dan Dinda tentu mengikutinya. 

Seorang perawat yang khawatir bertanya ke Widia, "Bagaimana ini, Dok? Pasien masih dalam kondisi lemah, dan setelah mendengar dari semua yang dikatakan keluarganya barusan, saya khawatir mereka akan berbuat kasar ke pasien."

"Aku juga sepemikiran denganmu. Baiklah, untuk lebih amannya kamu panggil penjaga keamanan saja! Minta penjaga keamanan untuk berjaga di luar ruangan tempat pasien dirawat! Jika terjadi keributan dan orang-orang itu menyakiti pasien, biarkan penjaga keamanan yang melerai," ujar Widia. 

"Baik, Dok," jawab perawat barusan, sebelum pergi untuk memanggil penjaga keamanan. 

Sementara Widia, melanjutkan tugasnya untuk mengurus proses pasca kematian bayi Anisa. 

Setelah selesai, dia berbalik untuk pergi, namun dikejutkan Safak yang masih ada di sana. "Kakak? Kau ada di sini dari tadi? Aku pikir kau sudah pulang."

"Aku telah melihat dan mendengar semuanya dari awal sampai akhir. Seperti yang kau katakan tadi, Tegar memang tidak peduli lagi pada Anisa." Safak lalu mengeluarkan sebuah kartu hitam dari sakunya, "Gunakan saja uang ini untuk mengurus semua biaya rumah sakit Anisa. Melihat dan mendengar yang dikatakan orang-orang itu, aku yakin, tidak mungkin mereka akan mengeluarkan uang untuk membayar biaya rumah sakitnya."

Menghela nafas, Widia berkata, "Ya, baiklah. Sebenarnya aku berniat menggunakan uangku. Tapi karena Kakak sudah mengeluarkan punya Kakak, jadi aku tidak boleh menolaknya." Widia memamerkan giginya, sebelum dengan cepat mengambil kartu hitam dari tangan Safak. 

"Heh, dasar. Bisa saja kau ini... Sudah ya, aku benar-benar pergi sekarang. Kamu, tolong jaga Anisa buatku. Kalau memungkinkan dan dia bisa terima aku lagi, dia akan menjadi Kakak iparmu. Jadi, kau harus perlakukan dia dengan baik!" jelas Safak. 

Widia terkekeh, "He he... Beres Kak..."

***

Di tempat lain. 

Tegar membuka pintu ruangan tempat Anisa dirawat. Dia dan Minah bergegas mendekati Anisa dengan mata melotot. 

Anisa yang masih lemah, terkejut melihat suami dan mertuanya yang datang dengan ekspedisi marah padanya. 

Sehingga saat itu, dia langsung bertanya dengan suara lirih, "Tegar, Ibu... Ada apa? Di mana anakku?"

"Bagus ya, bagus! Kau enak-enakan tidur di sini. Lihat, akibat keteledoranmu membuat cucuku kehilangan nyawa! Kau memang tidak berguna, tidak berguna!" Minah lalu mencekik leher Anisa. 

Anisa sangat terkejut dengan yang dikatakan Ibu mertuanya, sehingga dia tidak dapat merespon saat dia dicekik begitu saja. 

"Kenapa bukan kau saja yang mati? Sekarang, matilah! Matilah kau wanita tak berguna! Aku akan membunuhmu dengan tanganku!" teriak Minah. 

Anisa memegangi kedua tangan Minah, berusaha untuk melepaskan cekikan itu. "Ibu, lepaskan aku! Aku tidak bisa bernafas Ibu. Lepaskan aku, Ibu..."

Saat itu, dua penjaga keamanan bergegas masuk, "Hei, apa yang kau lakukan? Lepaskan! Cepat lepaskan!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 58

    Minah menjawab, "Sudah sebulan yang lalu. Ya, aku lupa mau memberitahu kamu. Kamunya juga sangat sibuk, jadi mana sempat aku bicara ke kamu. Lagian, aku tidak pernah berpikir semuanya akan jadi seperti ini. Aku tidak pernah berpikir kalau wanita itu akan seberani itu menuntut harta gono-gini padamu. Aku juga tidak mengira, kalau wanita itu akan bisa membayar seseorang pengacara besar seperti Pak Erickson. Melihat kondisinya, untuk membayar pengacara biasa saja sepertinya mustahil. Tapi bagaimana bisa dia tiba-tiba punya uang untuk membayar pengacara besar seperti Pak Erickson?"Hana yang dari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara, "Eh Kak Tegar, benarkah yang Kakak katakan? Si jalang itu membayar Pak Erickson sebesar 30 miliar hanya untuk menyelesaikan kasus perceraian ini? Lalu apa Kak Tegar percaya begitu saja?"Tegar menatap Hana, "Apa maksudmu?"Hana menghela nafas dan mulai menjelaskan, "Ya, secara... Seperti yang Ibu bilang barusan. Kita semua di sini tau kon

  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 57

    Anisa dan Safak mengangkat kepalanya bersamaan dan menatap Dilla. "Ya, ada apa?" tanya Anisa."Barusan Nona Widia sudah mengirim pesan, beliau menunggu saya di luar, jadi saya mau pamit pulang dulu sama Jihan," ujar Dilla.Anisa cukup terkejut mendengar yang dikatakan Dilla, "Apa? Widia sudah di luar?" Dia berdiri, "Di mana dia sekarang? Aku mau ketemu dia sebentar."Sementara itu, Safak hanya berpikir, 'Ohh, jadi anak itu sudah di luar? Ha ha... Dasar, tau juga kalau Kakaknya lagi pengen berduaan, jadi dia gak datang buat ganggu!'"Em, Nona Widia bilang, beliau tidak mau mengganggu pekerjaan anda, makanya beliau tidak masuk. Beliau juga meminta pada saya untuk menyampaikan pesan," jelas Dilla."Pesan? Pesan apa itu?" tanya Anisa."Beliau berpesan agar anda tetap melanjutkan pekerjaan Anda saja. Nona Widia tidak mau mengganggu pekerjaan Anda

  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 56

    Dengan perlahan, Anisa menatap Safak, matanya penuh dengan keraguan. Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil sepotong makanan dan mencicipinya. Rasa makanan yang lezat langsung menyapa lidahnya, membuat Anisa tidak bisa mengangkat kedua alisnya, "Ini... Ini... Ini enak sekali! Bagaimana ada makanan seenak ini?"Safak merasa sangat puas dengan reaksi Anisa, dan dia tersenyum. "Lihat kan? Sudah kubilang, makanan ini sangar enak. Aku tidak mungkin ajak kamu makan di tempat yang asal. Aku pasti mencarikan yang terbaik buatmu."Menghembuskan nafasnya, Anisa membalas, "Hemm, mulai... mulai... dengar ya Safak, aku memaafkanmu hanya demi teman-temanku. Karena sebenarnya aku belum benar-benar memaafkan kamu. Jadi, jangan gombal-gombal gitu. Gak bakal ngaruh buat aku."Safak tersenyum kecut, "Iya deh iya. Terserah kamu, mau itu demi teman kamu atau demi siapapun. Yang penting sekarang, kita makan dulu. Kamu harus mengisi k

  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 55

    Anisa terdiam sejenak, matanya menatap Safak dengan penuh pertimbangan. Akhirnya, setelah beberapa saat berpikir, dia tersenyum kecut dan menghela nafas panjang. "Baiklah, aku maafkan kamu, Safak. Kita bisa makan siang bersama."Safak tersenyum lega, "Terimakasih, Nisa. Ayo, mari kita makan bersama-sama."Semua orang bersorak, "Yeay!"Safak lalu memberikan kode lewat kepalanya pada para pelayan, untuk meletakkan satu persatu makanan di tangan mereka ke meja kargembira. Dan para pelayan segera melakukan seperti yang diperintahkan. Dan mereka juga segera pergi begitu makanan sudah diletakkan di meja."Kita akan menikmati makanan yang seumur hidup tidak mungkin bisa kita nikmati!" ucap salah satu staff bernada sangat gembira.Staff lain menyahut, "Kita harus berterimakasih pada Anisa. Bagaimanapun ini berkat dia. Jika dia tidak mengenal Pak Safak dengan baik, huh kita ti

  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 54

    Orang itu menjawab, "Ya, siapa tau kan? Siapa tau...""Cukup! Tidak ada siapa tau siapa tau. Lebih baik kau diam, jika masih ingin bertahan bekerja di sini!" potong rekan kerjanya yang sebelumnya sambil melotot.Sementara itu, Safak dan semua orang yang dibawanya masih dengan sabar menunggu Anisa di luar ruangan tempat Anisa, Dilla, dan Jihan berada. Cukup lama untuk orang-orang itu menunggu, sebelum akhirnya Anisa keluar sendirian dari sana. Dan dia benar-benar terkejut saat melihat deretan pelayan yang membawa makanan di tangan mereka."Apa ini? Mereka... Mereka benar-benar mengantar semua makanannya?" tanya Anisa, sebelum menatap Safak.Safak tersenyum, "Tentu saja, mereka harus mengantarnya. Jika tidak, kita tidak akan bisa menikmati makan siang bersama yang sempat tertunda tadi.""Haaaa? Lupakan itu, aku tidak mau makan siang berdua denganmu lagi. Aku masih

  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 53

    Rianti langsung mengangguk, "Baik Pak, saya paham. Saya akan mencoba yang terbaik untuk menyembunyikan identitas Anda." Setelah mengatakan itu, dia teringat sesuatu dan menambahkan, "Oh iya, lalu bagaimana dengan karyawan yang lain? Semua orang di sini sudah mengenal Anda, dan mengetahui kalau Anda adalah pemilik perusahaan. Bagaimana jika Nona Anisa sampai tau tentang identitas Anda dari mereka?""Nah, itu yang akan menjadi pekerjaanmu," ujar Safak.Rianti yang belum paham berkata, "Menjadi pekerjaan saya? Maksud Anda bagaimana ya? Saya tidak mengerti."Safak menghela nafa san berkata, "Kau ini, sudah menjadi Manager Operasional, tapi tidak paham juga masalah semudah ini. Ya kaulah yang akan memberitahu semua karyawan di sini, tentang mereka semua yang tidak boleh membocorkan identitasku pada Anisa. Aku beri tau kau, Anisa hanya tau, aku adalah orang kepercayaan Presiden. Jadi beri tau semua orang, kalau mulai sek

  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 52

    Meskipun masih tidak yakin, namun Anisa hanya berkata, "Jadi begitu? Ya sudah." Anisa yang teringat sesuatu langsung menambahkan, "Eh sebentar, Bu Rianti sebenarnya baru saja saya ingin menemui Ibu di kantor, karena ada yang ingin saya bicarakan dengan Ibu. Tapi karena kita sudah ketemu di sini, bisakah kita bicara di sini saja?"Melihat ke arah Safak sebentar, Rianti tersenyum dan menjawab, "Bisa, apa yang ingin kamu bicarakan?""Sebenarnya begini, Bu Rianti. Barusan anak saya rewel dan menangis terus, mungkin karena saya telat menyusuinya. Jadi saya mau minta ijin untuk beberapa saat menenangkan anak saya sambil menyusuinya. Bolehkan, Bu?" jelas Anisa.Sebenarnya, hal seperti ini belum pernah dilakukan perusahaan sebelumnya. Namun yang meminta ijin adalah Anisa, yang saat ini telah disadari Rianti kalau wanita ini ternyata punya hubungan dekat dengan pemilik perusahaan, jadi bagaimana mungkin dia tidak memberikan

  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 51

    Mendapatkan perintah dari pemimpinnya, semua pelayan itu langsung bergerak dan bergegas untuk mengantarkan hidangan khas Prancis ke perusahaan Tifana Group. Dengan langkah cepat, mereka segera bergegas menuju kendaraan untuk mengantar makanan tersebut.Sementara itu, Safak dan Anisa sudah sampai di depan perusahaan Tifana Group. Keduanya segera keluar dari mobil, begitu melihat Dilla ada di sana dan sedang mencoba menenangkan Jihan."Nyonya, akhirnya Anda kembali. Jihan rewel terus, sepertinya dia sudah laper," ujar Dilla."Aku mengerti, berikan padaku!" Anisa langsung mengambil Jihan dari tangan Dilla.Setelah Jihan ada di tangannya, Anisa juga langsung bersiap untuk menyusuinya. Hanya saja dihentikan oleh Safak, "Nisa, tunggu! Ayo kita ke atas, kita cari tempat tertutup untuk kalian. Lagian di sini kurang nyaman untuk menyusui bayi."Menghembuskan nafasnya, da

  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 50

    Safak pun terkekeh sebelum mencoba membujuk Anisa, "Hei, ayolah. Bukankah aku sudah minta maaf? Jangan ngambek gini ah. Mending kamu duduk dulu, lalu pesan makanan yang paling kamu suka."Safak kemudian memegang kedua bahu Anisa dari belakang. Dan dengan sedikit paksaan, dia mendudukkannya di kursi. Meskipun masih cuek dan cemberut, namun Anisa juga tidak menolak saat Safak melakukan itu."Ayo, kamu mau makan apa?" tanya Safak sambil menyerahkan menu pada Anisa.Tidak menjawab, Anisa kembali memalingkan wajahnya ke arah lain.Safak yang melihatnya kembali terkekeh sebelum menghela nafas lalu berkata, "Baiklah, jika kamu tidak mau pesan sendiri. Biar aku saja yang pesan buat kamu." Safak menoleh ke arah resepsionis wanita, yang sedari tadi masih berdiri di sana, "Eh kamu, aku mau pesan semua hidangan khas yang ada di restoran ini. Pokoknya sajikan dengan cara yang paling spesia

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status