Helsa memandang jalanan rumahnya dari atas balkon kamar, ditemani segelas coklat hangat gadis itu menikmati dinginnya hujan malam ini.
Satu bulan sudah Akmal pindah ke SMA Diaksa, dan selama itu juga Akmal tidak pernah menjemputnya. Akmal juga hanya membalas sangat singkat chat darinya.
Apa mungkin Akmal sedang sakit?
Helsa mendengus pelan, dia merindukan kekasihnya. Bahkan untuk berbicara via ponsel saja susah. Memang selama satu bulan ini pemuda itu disibukkan dengan latihan futsal karena September nanti akan ada pertandingan antar sekolah Menengah Atas.
Entah bagaimana bisa kekasihnya sudah tergabung dalam team futsal sekolah barunya.
Saat hendak masuk kembali ke kamarnya, suara klakson motor yang sangat dikenali menyeruak ke telinganya. Helsa memandang ke arah gerbang rumah, dan benar saja pemuda itu disana.
Akmal basah-basahan diluar sana. Apa dia tidak memiliki mantel hujan?
Terlihat pemuda itu melambaikan tangan pada Helsa. Dengan cepat Helsa masuk, tidak lupa menutup pintu balkon kamarnya.
Helsa turun kebawah, membuka pintu utama rumahnya. Betapa terkejutnya ketika Akmal sudah berada di hadapannya sekarang.
"Akmal," sebutnya lirih.
"Sayang, mandi hujan yuk!" kata Akmal.
Helsa terkesiap, "kamu kesini cuma mau ngajak aku mandi hujan?"
"Aku kangen, mumpung besok libur."
Helsa tersenyum tipis, kemudian dengan sedikit berjinjit gadis itu mengecup pipi kekasihnya.
"Bawah aku," bisiknya tepat di wajah Akmal. Akmal terkekeh, membalas ciumannya pada kening Helsa.
Sebelum keluar, Helsa memberitahu mbak Ana terlebih dahulu. Dia juga mengganti piyamanya dengan pakaian santai, tidak lupa ponsel dan slingbag waterproofnya.
Akmal tersenyum sumringah melihat Helsa datang padanya, digenggam tangan mungil itu dan berlari keluar rumah. Sebelumnya Helsa sudah mengunci pintu tersebut dan tidak lupa membawa kunci serep.
"Siap basah-basahan diatas motor, tuan putri?"
Helsa mengangguk antusias. Wajahnya yang sudah basah membuatnya terlihat menggemaskan.
Diatas motor dengan guyuran hujan yang sangat besar itu keduanya terlihat bahagia. Apalagi Helsa, gadis itu seperti anak kecil yang diizinkan orang tuanya untuk mandi hujan.
Malam ini Akmal memang ingin menghàbiskan malam minggu bersama Helsa, sudah lama mereka tidak bertemu. Akmal merindukan Helsa, satu bulan rasanya setahun.
"Akmal, kamu lupa besok hari apa?" tanya Helsa sedikit berteriak. Derasnya hujan mengharuskan dia sedikit berteriak, meskipun Akmal tidak mengenakan helm
"Apa? Aku nggak dengar!" Akmal terkekeh pelan, dari spion dia mendapati wajah kekasihnya yang tekuk.
"Sa... Mau makan nggak?" tanya Akmal, motornya perlahan berhenti tepat di gerobak tukang lontong sate ayam.
"Boleh, tapi kita dilayani basah kayak gini?"
Tanpa menjawab pertanyaannya, Akmal mendekat ke gerobak tersebut dan memesan dua porsi lontong. Hujan masih sangat awet bahkan semakin deras, mereka akhirnya berteduh dibawah tenda sembari menunggu sate yang dipesan.
"Seruh nggak mandi hujan malam gini?" tanya Akmal, dia melepaskan jepitan rambut Helsa dan menggeraikan surai panjang basah gadis itu.
"Seruh banget, tapi dingin," jawabnya dengan bibir yang bergetar akibat dingin.
"Hujannya makin deras," ujar Akmal. Dia memeluk Helsa, memberikan sedikit kehangatan walaupun dia sendiri juga dingin.
Setelah menunggu beberapa menit, dua porsi lontong sudah tersedia. Dengan lahap keduanya makan bersama, terkadang Helsa mengambil punya Akmal karena pikirnya sate punya cowok itu lebih nikmat.
Ah, ada-ada saja gadis ini.
"Rakus banget. Belum makan?" tanya Akmal, mengusap saus kacang yang tertinggal pada sudut bibir Helsa.
"Mungkin karena dingin jadi aku lapar lagi," jawab Helsa, "kamu cepat banget makannya."
Akmal terkekeh, "aku bukan kayak kamu yang makannya berabad-abad."
Kebiasaan itu masih melekat dalam diri masing-masing. Akmal yang selalu makan dengan cepat, dan Helsa yang makan sangat pelan dan lama.
Bertolak belakang dari segi apapun kedua pasangan yang sama-sama kehilangan ini. Tentang Akmal, Helsa masih selalu mengingat kebiasaan buruk dan baiknya sampai saat ini. Entah bagaimana dengan pemuda itu, apa dia sudah tidak mengingat Helsa dan semua yang mereka lalui bersama?
Tapi, bagi Helsa, Akmal tidak perlu mengingatnya. Cukup mengingat laki-laki kecil yang saat ini bersamanya, itu sudah lebih dari cukup.
***
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Akmal dan Helsa baru saja tiba di rumah pemuda itu dalam kondisi basah dan Helsa yang sudah sangat pucat karena dingin.
Akmal menghentikan langkahnya saat tahu bahwa Helsa masih tetap diatas motornya.
"Ayo turun, sayang. Ngapain disitu?!"
"Gendong," rengeknya sangat manja, "dingin Akmal."
Astaga, wajah memelas itu sangat menggemaskan. Dengan siap dia menggendong kekasihnya masuk ke rumah.
Suasana rumah ini sama seperti terakhir Helsa kesini. Tidak ada yang berubah.
Akmal menurunkan Helsa tepat di pintu kamar mandi, dan menyuruh gadis itu segera mandi dengan air hangat.
"Akmal," cicitnya sangat pelan.
"Apa sayang?" sahut Akmal, "mau mandi bareng?"
"Dasar mesum!" tanda Helsa. "Aku habis mandi bajunya mana?"
"Pakai punya aku, kan mau-maunya kamu," jawab pemuda itu dengan santai.
"Pakaian dalamnya gimana? Kamu aja pakainya boxer."
Lihat, Helsa menyebut kebiasaan buruk Akmal yang tidak pernah mau memakai celana dalam dan hanya mengutamakan boxer. Kata Akmal, miliknya terasa geli ketika mengenakan itu. Aneh kan?
Setelah berpikir lumayan lama, Akmal punya ide bagus. Kenapa tidak dari saja nama itu terlintas dalam pikirannya.
"Sekarang kamu mandi. Jangan keluar sampai aku datang," finalnya kemudian beranjak dari hadapan Helsa.
Huh, mau kemana buaya darat itu. Dengan terpaksa Helsa ditinggal sendiri. Deru motornya terdengar keluar pekarangan rumah.
***
"Akmallllll!!!!!"
Helsa berteriak kencang saat memasuki kamar pacarnya, Akmal sudah bersantai diatas sofa tanpa mengenakan baju pula. Santai sekali dengan camilan dalam toples dan dgn earphone pada telinga. Entah apa yang sedang ditonton laki-laki itu.
Helsa datang dengan kaos oblong yang kebesaran milik Akmal. Matanya menatap intimidasi pacarnya yang tertawa melihat tingkahnya.
"Akmal, pakaian dalam siapa yang kamu kasih ke aku? Kamu selingkuh? Perempuan siapa, bajingan keparat!"
"Iya, selingkuh sama anak komplek sini."
Helsa mendelik, bisa-bisanya pemuda itu menjawab pertanyaan sesantai itu. Padahal Helsa sudah sekuat tenaga memarahinya.
"Aku serius, Akmal Malik anaknya bapak Andriano yang paling ganteng sekomplek Nacari."
Akmal tertawa gemas mendengar pernyataan Helsa begitu panjang.
"Punya si Ranaya," jawab Akmal.
Lagi, lagi Helsa mendelik. "Kamu-"
"Itu pakaian dalam yang masih baru, dan belum dipakai sama sekali tapi sudah dicuci, sayang. Reaksi kalian berdua sama ya ternyata."
"Pakaian dalam lo, gue pinjam. Yang masih baru, dan belum lo pakai."
"Astaga, Akmal. Lo mesum banget, sialan. Gue aduin lo sama Helsa."
"Aduin sana. Yang penting lo pinjamin dulu."
"Mau lo kasih buat siapa, hah? Nggak usah ngada-ngada, Malik."
"Helsa nginap di rumah gue. Tadi kita mandi hujan, tapi dia lupa bawa pakaian ganti. Makanya nama lo tiba-tiba terlintas di pikiran gue."
"Lo nggak usah aneh-aneh sama Helsa. Lo nggak boleh tidur seranjang sama dia."
"Iya. Bacot banget sih. Cepetan! Bini gue udah kedinginan disana, Ranaya."
Akmal menceritakan perdebatan antaranya dan Ranaya di rumah gadis itu. Ya, memang rumah mereka hanya diselingi enam rumah saja, jadi tidak terlalu jauh.
Helsa tergelak mendengar cerita pacarnya, dia bisa membayangkan ekspresi wajah Ranaya saat Akmal meminta barang ini padanya.
"Kamu tahu nggak didalam paper bag isi apa aja?" tanya Helsa.
"Aku nggak lihat, barang cewek. Haram," jawab Akmal.
"Selaian pakaian dalam, ada deodorant, parfum, dan body lotion."
"Lengkap banget Ranaya ngasihnya."
"Ya pasti dia tahu aku nggak bawah apa-apa kesini," kata Helsa.
Ranaya memang seperti itu. Selalu peduli pada siapa saja. Apalagi Helsa yang berstatus sahabatnya sendiri.
Ah, terima kasih Ranaya Kazila.
Helsa merampas camilan dalam genggaman Akmal, enak saja dia memakannya sendiri.
"Nonton apa sih?"
"Mau nonton?" tawar Akmal.
Helsa mengangguk antusias, dipasangnya sebelah earphone pada telinga dan wajahnya memerah seketika mendengar apa yang menyeruak ke telinganya.
Akmal menonton film blue. Sialan!
Helsa menjambak surai hitamnya dengan kasar, mengumpat pacarnya itu habis-habisan.
Akmal tertawa seraya menjauh dari Helsa, rambutnya acak-acakan dibuat kekasihnya.
"Akmal, hapus nggak!"
"Sa, jangan dong." Akmal memasang wajah semelas mungkin agar Helsa tidak memaksanya.
"Ihh, mesum emang dasar," tanda gadis itu.
"Dari pada aku minta sama kamu," celetuk Akmal melirik sekilas pada Helsa.
"Aku kasih. Tapi nggak sekarang," balas Helsa.
"Aku mintanya sekarang, gimana?"
Helsa mendelik tak suka, lalu segera berlalu meninggalkan Akmal. Ia naik ke atas ranjang dan berbaring disana. Langi-langit kamar ini menjadi objeknya saat ini.
"Kita nggak boleh melebihi batas," jawab Helsa sambil memejamkan matanya.
Hari senin adalah hari malas-malasan bagi kebanyakan orang. Salah satunya adalah Helsa. Hari ini juga ia harus terlambat masuk sekolah dikarenakan pacarnya yang menjemput terlambat. Tidak mengikuti apel bendera, dan sebagai imbasnya tidak mengikuti jam pertama pelajaran. Helsa harus kemana jika seperti ini? Oh jelas saja ia harus ke perpustakaan, untuk apa berkeliaran di halaman sekolah disaat jam pelajaran seperti ini. Apalagi guru piket hari ini adalah pak Darwin. Perpustakaan sangat sepi, hanya ada salah satu stafnya yang sedang berjaga. Gadis itu berjalan menyusuri setiap baris rak buku yang menjulang tinggi, mencari novel yang bagus untuk dibaca. Helsa memang suka membaca novel. Satu novel bergenre fantasi sudah ada ditangannya, Helsa mengambil tempat dekat sudut perpustakaan. Gadis itu tampak sekali larut dalam bacaannya, sampai sebuah tangan menyodorkan coklat diatas lembaran novel. Dia cukup terkejut mendapati siapa pemilik coklat tersebut. Ja
Benci. Satu kata yang menggambarkan perasaannya beberapa tahun ini. Pandangan itu tidak luput dari gadis dihadapannya, seolah ingin menerkam sekarang juga. Senyum itu bukan yang diinginkannya, kebahagian tidak boleh gadis itu rasakan. Selalu berdecih jijik dalam diam setiap kali melihat kemesraan mereka.Suasana kantin SMA Harapan hari ini jauh dari kata ramai, jam istirahat sudah berjalan lima menit. Helsa dan kelima sahabatnya sudah asyik bercanda di kantin sembari menunggu bakmi pesanan mereka."Semalam Akmal ke rumah gue, Sa," ujar Bella."Ngapain?" dahinya mengkerut, Helsa ingin tahu."Dia mau jemput lo, cuma datangnya telat.""Oh gitu. Nggak sekolah dia hari ini," kata Helsa sembari menyeruput orange jus milik Ranaya.
Semenjak hari kemarin saat Helsa kehujanan di jalan, Akmal tidak pernah absen untuk pergi dan pulang bersama pacarnya, meskipun jam pulang dua sekolah itu sedikit berbeda, tidak pernah cowok itu melewati tugasnya.SMA Diaksa masih sepi, beberapa murid baru berdatangan. Parkiran sekolah pun sama sepinya seperti hati author. Saat hendak keluar dari sana, tangan halus mencekal pergelangan tangannya. Akmal tersentak saat mendapati Rania di belakangnya."Gue minta nomor ponsel lo," kata Rania dengan gaya angkuhnya."Mau ngapain?" sikap Akmal sangat dingin, dia tidak suka dengan perempuan agresif seperti Rania. Sejak malam pertemuan pertama mereka, Akmal selalu berjaga-jaga.Rania tersenyum jenaka, "mau pacaran.""Sinting." Akmal m
Perpustakaan SMA Harapan siang itu sangat sepi. Biasanya akan sangat ramai saat jam istirahat seperti ini. Setelah selesai makan, Helsa berpamitan pada sahabat-sahabatnya untuk ke sini. Seperti biasa, novel yang ia baca tempo hari belum selesai. Di setiap lorong yang disekat rak buku itu Helsa tidak menjumpai novel itu, padahal sudah disimpan pada tempatnya. Dengan berat hati, gadis itu membatalkan acar bacanya. Namun seseorang datang dan memberikan novel itu. "Lo suka novel bergenre fantasi?" tanya Dito. Ardito. Kenapa Helsa harus berhadapan lagi dengan dia? Dua hari yang lalu, Dito menitipkan tas Helsa pada Bella. Meskipun satu sekolah, Helsa tidak ingin bertemu dengan sosok yang satu ini. Gadis itu takut kalau sewaktu-waktu Akmal mengetahui keberadaan mantan pacarnya ini, apalagi Helsa tidak pernah menceritaka
Pagi sekali Akmal menjemput Helsa di rumah, seperti biasa mereka selalu berangkat bersama. Dalam perjalanan, hanya ada keheningan. Helsa dengan pikirannya, dan Akmal pun seperti itu, dia masih memikirkan perihal laki-laki yang membuat pacarnya menangis. "Al, kata Arjun, pembukaan piala bergilir Diaksa nanti sekolah kamu dan sekolah aku lawan ya?" tanya Helsa memecahkan keheningan. "Iya, futsal sama basket. Kamu nonton kan?" sahut Akmal. "Kalau aku nonton futsal, aku jadi dilema harus dukung siapa. Team yang satunya sekolah aku, yang satunya lagi ada pacar aku." Akmal terkekeh, "dukung sekolah kamu aja." "Kamu nggak apa-apa kalau nanti aku teriakin namanya Arjun atau yang lainnya?" tanya Helsa.
"HAPPY BIRTHDAY ECHA!!!" Suasana tengah malam ini begitu riuh di dalam kamarnya. Helsa yang memang belum tidur dibuat terkejut dengan kedatangan kelima sahabatnya, dan juga orang tuanya. Kedatangan Yuda dan Renata tidak diketahuinya. Helsa tertawa sembari menangis melihat kejutan yang sama sekali tidak terpikirkan olehnya. Masalahnya dengan Akmal yang sudah tidak bertemu selama lima hari ini membuatnya sampai lupa bahwa hari ini ia berulang tahun. 05 Agustus. Hari kelahirannya, hari ini gadis itu memasuki usia ke tujuh belas tahun. Kedatangan mereka membuat Helsa merasa lebih baik. "Kok nangis anak Papa? Ayo dong kasih permohonan dan tiup lilinnya," ujar Yuda menyemangati peri kecilnya yang sudah beranjak remaja. Mengusa
"Nanti malam aku ke rumah," ujar Akmal. Tangannya mengusap lembut pipi Helsa, "masih sakit, hm?" tanya Akmal. Helsa tersenyum, meraih tangan kekar itu dari pipinya, "udah mendingan kok. Kamu habis dari sini mau kemana?" tayanya. "Ke rumah tante Dilah lagi. Urusan sprei di kamar tadi belum kelar," jawab Akmal. "Kenapa tadi pas mandi nggak sekalian sih, kan harus kamu sendiri." "Tidak masalah, sayang. " "Ya udah, aku langsung masuk," kata Helsa. Sebelum melepas Helsa masuk ke rumah, cowok itu menyempatkan diri mengecup kening gadisnya. Hal itu membuat keduanya mendapat tatapan kagum dari beberapa orang yang lewat di jalanan komplek perumahan. Sangat romantis.
"Hai, Helsa." Gadis bersurai panjang itu tersentak saat mendapati Dito dihadapannya. Ia selalu khawatir saat mantan pacarnya itu menyapa. "Mau ke kantin? Bareng gue kalau gitu," ujar Dito. Koridor lantai dua sedang ramai, karena memang jam istirahat pertama baru saja dimulai. Sebenarnya Helsa tidak sendiri, masih ada Ranaya dan lainnya sudah menunggunya di kantin. Gadis-gadis genit itu memang selalu meninggalkannya sendiri. "Gue udah ditunggu sama teman," balas Helsa. Dito menyerngit, "lo masih marah kejadian di perpustakaan waktu itu? Gue kan udah minta maaf, Sa." Helsa diam, ia terus berjalan menuruni anak tangga.