LOGINTepat pukul sembilan, nama mereka dipanggil. Nadia berdiri merapikan kerudungnya, dan masuk ke ruang sidang diikuti oleh Davin.Hakim duduk dengan wajah serius, diapit dua panitera. Lelaki setengah baya itu membuka berkas. "Sidang perceraian saudara Davin dan saudari Nadia. Minggu lalu sidang ikrar talak tidak dapat dilanjutkan karena suami ingin memperbaiki hubungan. Jadi hari ini kita ulang kembali. Saya berharap, kalian berdua sudah mendiskusikan hal ini dengan baik."Nadia menelan ludah."Saudari Nadia apakah tetap pada keputusan untuk bercerai?""Ya, Yang Mulia." Suaranya tenang dan mantap.Hakim mengangguk, lalu menoleh pada Davin. "Saudara Davin, apakah saudara tetap pada keputusan untuk membatalkan perceraian?"Untuk sesaat, Davin terdiam. Hening menyergap ruangan. Akhirnya Davin mengangguk setelah diam beberapa detik. Dia terhimpit dan tidak memiliki pilihan selain mundur. "Tidak, Yang Mulia. Saya akan melanjutkan perceraian ini."Meski getir, Nadia lega. Namun kalimat Davin
"Ingat juga, tadi pagi kita sudah menyepakati kerjasama yang melibatkan keluarga Selina. Sudah deal tanda tangan kontrak. Dan itu, kamu juga yang merencanakannya dulu. Selesaikan urusanmu dengan Nadia segera." Alman menatapnya nanar. Pria itu bangkit lalu mencium pipi mamanya. "Aku pulang, Ma. Mau jemput Ery di spa.""Salam buat Ery," jawab Bu Septa menyebut nama sang menantu."Iya. Nanti kusampaikan."Alman pergi, Bu Septa masuk ke kamar. Davin memutuskan tidak pulang ke rumahnya malam itu. Dia naik ke lantai dua dan masuk ke kamarnya.Davin duduk diam tak berdaya di tepi pembaringan. Dia bukan dijebak oleh mereka, karena awalnya memang murni rencananya sendiri. Karena saat itu dia sedang terpesona oleh Selina yang dianggapnya sangat pantas untuk dirinya.Dulu ia bangga berjalan bersama Selina di antara para pengusaha dan tamu-tamu penting. Berhadapan dengan relasi. Selina selalu modis, pandai berdandan, sangat percaya diri. Ia pandai bicara di lingkaran orang-orang kelas atas. Berbi
NADIA- 13 Keputusan Sidang Nadia tidak tahu sedang diperhatikan. Dia asyik melamun memandang ke luar jendela. Sedangkan pria paruh baya itu kerap menoleh ke arahnya. "Adam, biasanya rewel nggak kalau kamu tinggal lama?" tanya Haya sambil duduk di depannya. Menghalangi pria di ujung sana untuk bisa memandang Nadia."Dulu rewel, Mbak. Setelah terbiasa dengan Ibu dan Bulek, jadi nggak pernah rewel kalau kutinggal. Di lebih ceria sekarang karena banyak teman. Anak-anak tetangga sepulang sekolah mengajaknya bermain.""Syukurlah. Kalau nanti kamu kerja, Adam sudah aman.""Iya.""Sudah ada pandangan hendak melamar ke perusahaan atau kantor mana?""Saya belum mencari info lowongan pekerjaan. Kata Ibu, tunggu sampai masa iddah selesai baru ngelamar kerja. Sebab saya juga harus merubah data diri juga. KTP, KK.""Ya, kamu benar. Sebab surat cerai keluar setelah masa iddahmu selesai. Sabar, Nadia.""Iya, Mbak. Empat tahun saya bisa tahan, kalau cuman tiga bulan, Insyaallah saya sabar juga."Pe
"Sore ini, aku melihat dengan mataku sendiri bagaimana kamu dan dia, Mas. Selama ini aku hanya mendengar kedekatan kalian sebagai rekan bisnis. Juga pengakuanmu tentang hubungan terlarang kalian. Lalu untuk apa kamu membatalkan ikrar talak?" Nadia menatap tajam pada Davin."Kamu ingin mempermainkanku? Belum cukup kamu siksa aku selama pernikahan ini?"Davin mendekat. "Kita bisa berdamai. Aku menyadari kesalahan ini. Aku nggak bisa kehilanganmu."Nadia tersenyum getir. "Lucu kamu, Mas. Kita hampir selesai. Aku tetap pada keputusanku, nggak akan kembali padamu. Ada hal yang nggak pernah bisa kuterima. Perbuatan fatalmu dengan perempuan itu. Dia butuh tanggung jawabmu, kan?"Mas, ingin bertahan dengan pernikahan ini, tapi aku tahu kalau kamu juga nggak bisa meninggalkan perempuan di luar itu. Kalian sudah terlanjur punya banyak perencanaan."Jangan persulit urusan kita minggu depan. Biar rahasiamu nggak kubongkar, Mas. Oke. Aku pulang!" Nadia hendak melangkah. Namun Davin menahannya. "Ma
"Mbak temani," ucap Haya lagi. "Kita ke sana bisa alasan untuk diskusi atau apa. Dan ternyata kita mergoki mereka."Hening. Sumpah Nadia malas sekali. Sudah tidak mau tahu tentang mereka. Capek sekali sakit hati. "Bagaimana, Nadia?""Baiklah, Mbak.""Ganti baju, Mbak jemput kamu."Telepon ditutup. Nadia keluar kamar untuk bicara dengan ibunya. Kebetulan Bu Isti sedang menyuapi Adam sambil nonton kartun. Dia bicara lirih pada sang ibu. Adam hanya memperhatikan tanpa tahu apa yang mereka bicarakan. "Pergilah!" ucap Bu Isti singkat.Nadia kembali masuk ke kamar. Berganti baju dengan cepat, celana jeans dan tunik warna biru. Sedangkan Bu Isti menggendong Adam dan diajaknya ke rumah sang adik. Biar Adam tidak menangis saat melihat mamanya pergi.Tergesa Nadia meraih tas dan keluar kamar saat mendengar bunyi klakson di luar pagar. Jarak rumahnya dan rumah Haya hanya sekitar 10 menit perjalanan."Makasih, Mbak Haya," ucap Nadia setelah duduk di samping wanita itu."Kita akan berjuang, Nadi
NADIA- 12 Sabar Davin masuk rumah dengan langkah berat. Hari ini sidang di pengadilan seperti memakan seluruh tenaganya. Jas yang sejak pagi ia kenakan dilepas dan dilempar ke sofa.Baru hitungan detik memejam, bel rumah berbunyi. Dengan malas diambilnya ponsel di saku. Dari rekaman CCTV ia melihat Selina berdiri di sana. Saat bersamaan panggilan masuk. Malas, tapi tetap dijawab. "Halo.""Aku di depan, Sayang."Davin masih diam. Dia lelah dan tidak ingin diganggu. "Oh, ternyata pagarnya nggak kamu kunci. Aku masuk, ya." Suara manja itu terhenti dan berganti detak hak sepatu Selina terdengar menjejak lantai teras. Wanita itu masuk dengan senyum cerah, membawa dua paper bag berisi roti, makanan, dan salad kesukaannya sendiri."Sayang, aku bawain makan malam," ucapnya riang. "Kamu pasti capek banget, ya?" Selina duduk tepat di sebelahnya setelah menaruh bawaannya di meja. Dia tersenyum manis seolah mencoba memberikan empati. Meski dadanya dibakar cemburu. Kenapa Davin sampai menggagal







