Share

6. Perjalanan Pulang

Author: W.M.G
last update Last Updated: 2025-09-26 12:59:58

Menjelang waktu Ashar, Sira dan teman-teman yang lain memutuskan pamit pulang. Mobil Arwan melaju perlahan membelah jalanan yang masih basah sisa hujan beberapa saat yang lalu. Setelah mengantar Melati pulang, kini hanya tersisa Sira dan Arwan di dalam mobil. Suasana di antara mereka terasa berat, diselimuti keheningan yang tebal meski di luar terdengar riuh suara kendaraan dan sesekali di selingi suara klaksok mobil lain.

Sira menyandarkan kepala ke kaca jendela, matanya menerawang ke luar. Namun, alih-alih melihat bagaimana pemandangan padatnya kota, yang terbayang justru adegan demi adegan di pesta pernikahan tadi.

Tatapan tajam Gavin saat melihatnya datang bersama Arwan. Senyum cerah Raina yang terasa menusuk saat bertanya tentang hubungannya dengan suaminya. Dan yang paling mengganggu, genggaman tangan Gavin di bawah meja, sebuah sentuhan rahasia yang terasa dingin sekaligus panas di saat yang bersamaan.

Genggaman itu terasa seperti perselingkuhan, sebuah pengkhianatan ganda, pengkhianatan Gavin terhadap Raina, dan pengkhianatan Sira terhadap hatinya sendiri yang seharusnya sudah mati rasa.

"Apa yang terjadi padamu, Vin?" bisik Sira dalam hati, rasa bingung dan penasaran bercampur aduk. Sikap dingin dan mengabaikan yang selama ini Gavin tunjukkan seminggu setelah ijab qabul dengannya tiba-tiba lenyap, berganti dengan sorot mata penuh makna dan sentuhan yang ambigu. Apakah itu penyesalan? Atau hanya kebingungan sesaat karena terjebak oleh takdir?

Sira menarik napas panjang, mencoba mengusir bayangan itu, namun pandangan Gavin yang seolah meminta pertolongan saat di pelaminan terus menghantuinya.

“Raa?” Suara Arwan tiba-tiba memecah keheningan, menyentakkan Sira kembali ke kenyataan.

“Kamu kenapa? Apa masih menyakitkan untuk melepas Gavin menikah?” Arwan menoleh sekilas, raut wajahnya tampak jelas menunjukkan kekhawatiran.

Sira tersenyum kecil, berusaha terlihat baik-baik saja.

“Gakpapa, Kak. Cuma capek aja.”

“Jangan bohong, Ra. Aku tahu kamu gak baik-baik saja.”

Arwan mengurangi kecepatan mobilnya, lalu menatap Sira lagi, kali ini lebih lama. Ada kelembutan dan keseriusan yang tidak bisa Sira abaikan di mata laki-laki itu. Sejak menyatakan perasaannya di depan toilet tadi siang, Arwan seolah mendapatkan izin tak tertulis untuk lebih leluasa menunjukkan perhatiannya.

“Aku tahu, mungkin ini bukan waktu yang tepat buat ngomong gini lagi. Tapi aku janji, Ra. Aku bakal bikin kamu lupa. Kamu gak perlu lagi terbebani sama perasaan yang cuma menyakitimu.”

Arwan kembali fokus pada jalanan, namun tangan kirinya terulur, meraih tangan Sira dan menggenggamnya hangat.

"Astagfirullah!" Spontan Sira menarik tangannya, membuat Arwan tersentak dan menatapnya penuh tanya.

“Maaf, Kak. Aku nggak nyaman dengan perlakuan dan sentuhan yang berlebihan, kita bukan muhram.”

Sira menunduk, merasa bersalah sekaligus terbebani. Ia tahu Arwan tulus, tapi ketulusan itu kini terasa seperti jerat yang semakin mengikat. Bagaimana mungkin ia menerima perasaan orang lain, sementara statusnya masih istri sah, meski siri dari suaminya yang baru saja menikah lagi?

"Ok. Aku lupa, maaf, Raa." Sahut Arwan menyesal.

“Aku hargai perasaan kamu, Kak. Tapi tolong, aku butuh waktu. Dan aku nggak mau memberi harapan palsu ke kamu. Aku…” Sira menggantung kalimatnya, tidak tahu bagaimana melanjutkan. Haruskah ia berterus terang tentang pernikahannya? Tapi bagaimana jika menimbulkan masalah baru dan membuat Gavin marah? Tidak, sepetinya itu terlalu berisiko.

“Aku tahu, Ra,” potong Arwan, senyumnya kini tampak sendu. “Aku gak minta kamu buat jatuh cinta atau menerima cintaku. Aku cuma minta izin untuk tetap ada di sampingmu. Untuk menjagamu, sebagai teman, atau apapun itu yang membuatmu nyaman.”

Sira menghela napas. Jawaban Arwan justru terasa semakin membebani. Seolah ia harus menanggung perasaan tulus itu tanpa bisa membalas, dan mengambil peran antagonis di hidup Arwan.

Mobil Arwan akhirnya berhenti tepat di depan rumah sederhana Sira. Hening kembali menyelimuti mereka.

“Udah sampai, Ra.”

“Iya, terima kasih banyak ya, Kak. Maaf ngerepotin. Dan… maaf soal yang tadi.”

Arwan tersenyum.

“Nggak masalah, Ra. Jangan pikirkan itu. Yang penting sekarang kamu istirahat.”

Saat Sira hendak membuka pintu mobil, Arwan kembali bersuara.

“Kalau kamu butuh teman bicara, butuh bahu untuk bersandar, atau butuh seseorang yang bisa memelukmu saat kamu rapuh, aku selalu ada, Ra. Ingat itu.”

Sira menatap Arwan sejenak. Ada kehangatan dan ketulusan di sana, kontras dengan sikap Gavin yang selalu membingungkan dan membuat luka. Ia hanya mengangguk pelan. Tapi ironisnya di saat seperti ini pun, hanya Gavin yang Sira ingat.

"Assalamualaikum." Sira bergegas keluar dari mobil Arwan, lalu melangkah cepat menuju pintu rumah. Ia ingin segera sendiri, untuk merenungkan semua kekacauan yang terjadi, terutama tentang genggaman tangan Gavin yang tiba-tiba.

Dari balik jendela, Sira melihat mobil Arwan melaju menjauh. Di ruang tamu, pandangannya langsung tertuju pada sofa panjang yang berdiri kokoh di sana. Sofa yang semalam digunakan Gavin untuk berbaring, sofa yang menjadi saksi bisu kebingungan suaminya di malam menjelang pernikahan.

Sira menghampiri sofa itu dan duduk di sana. Tangannya menyentuh lembut tempat itu, seolah bisa merasakan sisa jejak kehadiran Gavin. Lalu beralih melihat telapak tangan yang sempat di genggam dalam sunyi oleh suami rahasianya.

“Apa yang kamu sembunyikan, Vin? Dan kenapa harus aku yang menanggung beban rahasiamu?” Gumam Sira lirih, sebelum akhirnya menyadari bahwa ia kini benar-benar terjebak. Terjebak antara pernikahan rahasia yang menyakitkan, dan perhatian tulus seorang Arwan yang semakin membuatnya tertekan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Istri Pertama, Tapi Hanya Jadi Simpanannya    7. Masalah Baru

    Sinar matahari pagi menyelinap melalui jendela besar, menerangi ruang guru di SMA Cendekia Nusantara. Ruangan yang biasanya riuh dengan sapaan dan tumpukan berkas itu pagi ini terasa sedikit lebih lengang. Meja-meja guru berjejer rapi, dengan papan tulis putih besar mendominasi salah satu sisi dinding, sementara dinding lain dipenuhi struktur organisasi dan jadwal mengajar .Sira melangkah masuk dengan langkah gontai. Kepalanya masih terasa berat menanggung beban peristiwa semalam, pesta pernikahan, tatapan Gavin, genggaman tangannya, dan pengakuan Arwan yang kini terasa semakin nyata. Ia menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kembali fokusnya.Begitu sampai di meja kerjanya yang berada di pojok ruangan, berdekatan dengan meja Arwan, pandangan Sira langsung tertuju pada sebuah kotak bekal berwarna biru muda. Di sampingnya, segelas kopi hangat yang asapnya masih mengepul pelan.Di atas kotak bekal itu, menempel sebuah sticky note berwarna merah muda yang mencolok. Sira mengambilnya

  • Aku Istri Pertama, Tapi Hanya Jadi Simpanannya    6. Perjalanan Pulang

    Menjelang waktu Ashar, Sira dan teman-teman yang lain memutuskan pamit pulang. Mobil Arwan melaju perlahan membelah jalanan yang masih basah sisa hujan beberapa saat yang lalu. Setelah mengantar Melati pulang, kini hanya tersisa Sira dan Arwan di dalam mobil. Suasana di antara mereka terasa berat, diselimuti keheningan yang tebal meski di luar terdengar riuh suara kendaraan dan sesekali di selingi suara klaksok mobil lain.Sira menyandarkan kepala ke kaca jendela, matanya menerawang ke luar. Namun, alih-alih melihat bagaimana pemandangan padatnya kota, yang terbayang justru adegan demi adegan di pesta pernikahan tadi.Tatapan tajam Gavin saat melihatnya datang bersama Arwan. Senyum cerah Raina yang terasa menusuk saat bertanya tentang hubungannya dengan suaminya. Dan yang paling mengganggu, genggaman tangan Gavin di bawah meja, sebuah sentuhan rahasia yang terasa dingin sekaligus panas di saat yang bersamaan.Genggaman itu terasa seperti perselingkuhan, sebuah pengkhianatan ganda, pen

  • Aku Istri Pertama, Tapi Hanya Jadi Simpanannya    5. Rahasia di Tengah Gemerlap

    Sira baru saja turun dari pelaminan, masih dengan jantung yang berdebar dan perasaan yang kacau diikuti oleh Arwan yang terus ada di sampingnya.Belum sempat Sira bernapas lega, suara riang tiba-tiba memanggil namanya dari arah belakang.“Sira? Ya ampun, ini beneran Sira Aghnia Aziza, kan?”Sira menoleh, dan seketika senyum tipis muncul di wajahnya. Beberapa teman kuliah yang dulu sering nongkrong bareng di kampus melambai ke arahnya. “Oh, kalian juga datang…” Sira menghampiri dengan langkah pelan, menyembunyikan gejolak hatinya yang masih bergetar.Sebelum ia benar-benar sampai, Sira menoleh ke Arwan yang masih setia berdiri di sampingnya.“Kak, kamu nyusul ke meja guru-guru lain aja, ya. Aku mau ngobrol sebentar sama teman-teman kuliahku.”Arwan menatapnya sejenak, seolah ragu untuk meninggalkannya sendirian, namun akhirnya ia mengangguk.“Jangan lama-lama, Ra,” katanya pelan, lalu berlalu."Siapa, Ra? Suami kamu? Jangan bilang kamu udah nikah tapi gak ngabarin kita?" Tanya Merry

  • Aku Istri Pertama, Tapi Hanya Jadi Simpanannya    4. Selamat Atas Pernikahanmu Suamiku

    "Terima kasih, Kak Arwan. Sejujurnya kamu baru saja menambah beban di pikiranku. Karena masalahku bukan sekadar perasaan suka terhadap Gavin. Saat ini masalahku adalah statusku, statusku yang kini sebenarnya adalah istrinya." Ucap Sira dalam hati, sambil melangkah lemah mengikuti Arwan yang berjalan lebih dulu.Begitu masuk aula, suasana masih ramai. Beberapa tamu tengah sibuk mengambil makanan prasmanan, rendang, sate ayam, soto betawi, dan aneka kue manis yang tersaji rapi. Anak-anak kecil berlarian sambil memegang balon, sementara orang dewasa sibuk bercakap-cakap tentang betapa serasinya pengantin hari itu.“Eh, dari mana kalian?” Tanya Melati, teman sekaligus rekan kerja di sekolah. Ia menatap penuh curiga begitu melihat Sira dan Arwan masuk bersama setelah menghilang beberapa saat tanpa berpamitan padanya.“Mau tahu urusan orang aja kamu, Mel.” Sahut Arwan santai.“Udah, ayo Ra. Kita salaman dulu sama pengantin.” lanjut Arwan lagi sambil menarik lengan Sira."Aku dari toilet tad

  • Aku Istri Pertama, Tapi Hanya Jadi Simpanannya    3. Kejutan Lain

    Mewah. Satu kata yang terlintas di kepala Sira begitu melangkah masuk ke aula pernikahan Gavin dan Raina.Aula itu dihiasi rangkaian bunga mawar putih dan lily yang ditata indah di setiap sudut ruangan. Lampu kristal bergantungan di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya keemasan yang hangat. Karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga ke pelaminan, seolah mengantar setiap tamu menuju panggung kebahagiaan pengantin. Aroma harum bunga bercampur dengan wangi masakan katering yang terus menguar dari area prasmanan, membuat suasana semakin ramai sekaligus hangat.Dari kejauhan Raina terlihat berdiri dengan anggun, senyumnya cerah menyambut setiap tamu. Sesekali ia bergelayut manja di lengan Gavin yang berusaha tersenyum mengimbangi keceriaannya."Ya Allah, beri aku kekuatan untuk melewati hari ini." Bisik Sira dalam hati. Sakit rasanya mengakui bahwa meraka tampak serasi bersanding di pelaminan.Setelah beberapa saat Gavin akhirnya menangkap kehadiran Sira, dan tanpa sengaja mata me

  • Aku Istri Pertama, Tapi Hanya Jadi Simpanannya    2. Awal Pernikahan Pertama

    Hujan turun lebat. Tepat ketika Sira melipat sajadahnya usai sholat Isya yang tertunda karena kedatangan Gavin. Sementara laki-laki itu seperti sudah pergi beberapa menit yang lalu usai mendapat telepon dari calon istri tercintanya.Sira merebahkan tubuhnya, istirahat. Semesta seperti sedang memburunya untuk melakukan semua hal dalam waktu yang singkat. Rasanya baru kemarin ia bertemu lagi dengan Gavin setelah hari perpisahan di wisuda lima tahun lalu. Dan tiba-tiba di hari pertemuan itu jugalah semesta seakan menjebaknya untuk menikah dengan lelaki itu.Hari itu Gavin baru saja dipindahkan jadi kepala sekolah di tempat Sira mengajar selama dua tahun ini. Mereka masih berbincang-bincang ketika telepon dari Ibu Sira masuk dan mengabarkan tenang ayahnya yang terus saja mengeluhkan nyeri yang luar biasa meski sudah diberi perawatan di rumah sakit.Sira masih ingat kejadian hari itu dengan jelas. Ketika ia bergegas turun dari mobil Gavin di parkiran rumah sakit tanpa sempat mengucapkan te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status