LOGINMenjelang waktu Ashar, Sira dan teman-teman yang lain memutuskan pamit pulang. Mobil Arwan melaju perlahan membelah jalanan yang masih basah sisa hujan beberapa saat yang lalu. Setelah mengantar Melati pulang, kini hanya tersisa Sira dan Arwan di dalam mobil. Suasana di antara mereka terasa berat, diselimuti keheningan yang tebal meski di luar terdengar riuh suara kendaraan dan sesekali di selingi suara klaksok mobil lain.
Sira menyandarkan kepala ke kaca jendela, matanya menerawang ke luar. Namun, alih-alih melihat bagaimana pemandangan padatnya kota, yang terbayang justru adegan demi adegan di pesta pernikahan tadi. Tatapan tajam Gavin saat melihatnya datang bersama Arwan. Senyum cerah Raina yang terasa menusuk saat bertanya tentang hubungannya dengan suaminya. Dan yang paling mengganggu, genggaman tangan Gavin di bawah meja, sebuah sentuhan rahasia yang terasa dingin sekaligus panas di saat yang bersamaan. Genggaman itu terasa seperti perselingkuhan, sebuah pengkhianatan ganda, pengkhianatan Gavin terhadap Raina, dan pengkhianatan Sira terhadap hatinya sendiri yang seharusnya sudah mati rasa. "Apa yang terjadi padamu, Vin?" bisik Sira dalam hati, rasa bingung dan penasaran bercampur aduk. Sikap dingin dan mengabaikan yang selama ini Gavin tunjukkan seminggu setelah ijab qabul dengannya tiba-tiba lenyap, berganti dengan sorot mata penuh makna dan sentuhan yang ambigu. Apakah itu penyesalan? Atau hanya kebingungan sesaat karena terjebak oleh takdir? Sira menarik napas panjang, mencoba mengusir bayangan itu, namun pandangan Gavin yang seolah meminta pertolongan saat di pelaminan terus menghantuinya. “Raa?” Suara Arwan tiba-tiba memecah keheningan, menyentakkan Sira kembali ke kenyataan. “Kamu kenapa? Apa masih menyakitkan untuk melepas Gavin menikah?” Arwan menoleh sekilas, raut wajahnya tampak jelas menunjukkan kekhawatiran. Sira tersenyum kecil, berusaha terlihat baik-baik saja. “Gakpapa, Kak. Cuma capek aja.” “Jangan bohong, Ra. Aku tahu kamu gak baik-baik saja.” Arwan mengurangi kecepatan mobilnya, lalu menatap Sira lagi, kali ini lebih lama. Ada kelembutan dan keseriusan yang tidak bisa Sira abaikan di mata laki-laki itu. Sejak menyatakan perasaannya di depan toilet tadi siang, Arwan seolah mendapatkan izin tak tertulis untuk lebih leluasa menunjukkan perhatiannya. “Aku tahu, mungkin ini bukan waktu yang tepat buat ngomong gini lagi. Tapi aku janji, Ra. Aku bakal bikin kamu lupa. Kamu gak perlu lagi terbebani sama perasaan yang cuma menyakitimu.” Arwan kembali fokus pada jalanan, namun tangan kirinya terulur, meraih tangan Sira dan menggenggamnya hangat. "Astagfirullah!" Spontan Sira menarik tangannya, membuat Arwan tersentak dan menatapnya penuh tanya. “Maaf, Kak. Aku nggak nyaman dengan perlakuan dan sentuhan yang berlebihan, kita bukan muhram.” Sira menunduk, merasa bersalah sekaligus terbebani. Ia tahu Arwan tulus, tapi ketulusan itu kini terasa seperti jerat yang semakin mengikat. Bagaimana mungkin ia menerima perasaan orang lain, sementara statusnya masih istri sah, meski siri dari suaminya yang baru saja menikah lagi? "Ok. Aku lupa, maaf, Raa." Sahut Arwan menyesal. “Aku hargai perasaan kamu, Kak. Tapi tolong, aku butuh waktu. Dan aku nggak mau memberi harapan palsu ke kamu. Aku…” Sira menggantung kalimatnya, tidak tahu bagaimana melanjutkan. Haruskah ia berterus terang tentang pernikahannya? Tapi bagaimana jika menimbulkan masalah baru dan membuat Gavin marah? Tidak, sepetinya itu terlalu berisiko. “Aku tahu, Ra,” potong Arwan, senyumnya kini tampak sendu. “Aku gak minta kamu buat jatuh cinta atau menerima cintaku. Aku cuma minta izin untuk tetap ada di sampingmu. Untuk menjagamu, sebagai teman, atau apapun itu yang membuatmu nyaman.” Sira menghela napas. Jawaban Arwan justru terasa semakin membebani. Seolah ia harus menanggung perasaan tulus itu tanpa bisa membalas, dan mengambil peran antagonis di hidup Arwan. Mobil Arwan akhirnya berhenti tepat di depan rumah sederhana Sira. Hening kembali menyelimuti mereka. “Udah sampai, Ra.” “Iya, terima kasih banyak ya, Kak. Maaf ngerepotin. Dan… maaf soal yang tadi.” Arwan tersenyum. “Nggak masalah, Ra. Jangan pikirkan itu. Yang penting sekarang kamu istirahat.” Saat Sira hendak membuka pintu mobil, Arwan kembali bersuara. “Kalau kamu butuh teman bicara, butuh bahu untuk bersandar, atau butuh seseorang yang bisa memelukmu saat kamu rapuh, aku selalu ada, Ra. Ingat itu.” Sira menatap Arwan sejenak. Ada kehangatan dan ketulusan di sana, kontras dengan sikap Gavin yang selalu membingungkan dan membuat luka. Ia hanya mengangguk pelan. Tapi ironisnya di saat seperti ini pun, hanya Gavin yang Sira ingat. "Assalamualaikum." Sira bergegas keluar dari mobil Arwan, lalu melangkah cepat menuju pintu rumah. Ia ingin segera sendiri, untuk merenungkan semua kekacauan yang terjadi, terutama tentang genggaman tangan Gavin yang tiba-tiba. Dari balik jendela, Sira melihat mobil Arwan melaju menjauh. Di ruang tamu, pandangannya langsung tertuju pada sofa panjang yang berdiri kokoh di sana. Sofa yang semalam digunakan Gavin untuk berbaring, sofa yang menjadi saksi bisu kebingungan suaminya di malam menjelang pernikahan. Sira menghampiri sofa itu dan duduk di sana. Tangannya menyentuh lembut tempat itu, seolah bisa merasakan sisa jejak kehadiran Gavin. Lalu beralih melihat telapak tangan yang sempat di genggam dalam sunyi oleh suami rahasianya. “Apa yang kamu sembunyikan, Vin? Dan kenapa harus aku yang menanggung beban rahasiamu?” Gumam Sira lirih, sebelum akhirnya menyadari bahwa ia kini benar-benar terjebak. Terjebak antara pernikahan rahasia yang menyakitkan, dan perhatian tulus seorang Arwan yang semakin membuatnya tertekan.Sabtu. Hari perjanjian itu tiba.Tepat pukul dua siang, ponsel Sira berdering. Nama Orang Tua Bintang terpampang di layarnya."Halo?" Sira menjawab dengan suara sedikit bergetar, ada keraguan dan ketakutan dalam dirinya untuk menghadapi pesta malam ini."Aku sudah di depan," suara bariton Prabu terdengar tenang. "Sekarang? Tapi aku belum siap! Kenapa tidak memberi tahu dari tadi?" nada suara Sira berubah menjadi bingung dan terkejut dengan kehadiran Prabu yang tiba-tiba sudah ada di depan rumahnya."Tenang, Sira!" Prabu terkekeh mendengar kehebohan suara Sira."Bagaimana aku bisa tenang? Aku bahkan belum tahu harus mengenakan apa dan berdandan seperti apa? Bagaimana kalau aku mempermalukanmu? Bagaimana—""Hei, tenang!" Prabu buru-buru memotong kalimat Sira, sebelum perempuan itu semakin bingung dengan ketakutan di pikirannya sendiri. "Tenang, dan dengarkan aku bicara!"Sira menghela napas, mencoba menenangkan dirinya dan menunggu Prabu melanjutkan bicaranya."Aku di sini untuk memban
Tantangan Sira menggema di seluruh ruang tamu. Kalimat-kalimat yang menyinggung pernikahan tanpa hak dan kewajiban mereka menusuk jantung Gavin, namun tidak seperti yang Sira harapkan, Gavin tidak gentar.Gavin menatap Sira lurus, wajahnya keras dan menahan emosi. "Jangan bercanda, Sira," ujar Gavin, suaranya kembali sedingin es. "Aku tidak bisa menceraikanmu semudah itu.""Kenapa? Bukankah itu yang kamu inginkan sejak awal?" Sira balas menuntut, air matanya masih mengalir deras. "Kamu tidak mencintaiku, dan kamu sendiri yang bilang kita tidak punya hak dan kewajiban! Jadi apa lagi yang menahanmu, Gavin?"Gavin melangkah mundur sedikit, seolah ingin menghindari pertanyaan dan tuntutan Sira yang penuh amarah.Tepat di saat yang sama, ponsel Gavin yang tergeletak di meja berdering nyaring. Nama My Wife dengan emoticon love merah muncul di layar. Suara dering itu bagai alarm yang mengingatkan Gavin akan kenyataan lain. Ia mendadak terlihat lelah, seluruh emosi yang memuncak tadi seketik
Pukul menunjukkan jam tujuh malam lebih ketika Sira akhirnya tiba di rumah. Matahari telah lama tenggelam, meninggalkan langit dalam nuansa hitam dan abu-abu. Sira berjalan gontai, kelelahan fisik dan emosional setelah seharian menghadapi berbagai masalah dan mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya.Lampu ruang tamu menyala. Sira menoleh dan jantungnya langsung mencelos. Gavin telah duduk tegak dengan kemeja kantor yang masih rapi, tapi raut wajahnya sama sekali tidak santai. Ia menatap Sira dengan tatapan mata yang keras, penuh ketegangan, seperti menahan emosi yang siap meledak.Sira menelan ludah. Sebelumnya ia berharap laki-laki itu akan menghawatirkannya dan berempati padanya. Tapi sekarang sepertinya dia hanya akan menambah beban mental dan emosinya."Dari mana?" tanya Gavin dingin, tanpa mengucapkan salam, tanpa sedikit pun keramahan. Suaranya rendah, tetapi menusuk.Sira berjalan mendekat, meletakkan tas dan ponselnya yang sebelumnya ia genggam di atas meja. "Ada urusan,"
Sira kehabisan akal. Otaknya buntu tak menemukan jalan keluar, kecuali ide gila yang akhirnya membawanya untuk bertemu Prabu sore ini.Seharian terjebak di sekolah dengan kisah pelakor yang masih menjadi topik hangat di sekolah benar-benar membuatnya jengah. Apalagi ketika ia dimintai pendapat oleh salah seorang guru yang mengatai pelakor dalam surat ancaman itu."Sira, menurut kamu pelakor itu benar-benar ada apa gak di sekolah kita? Kalau menurut aku nih, ya.... Pasti ada, gak mungkin lah orang itu iseng dengan membuat ancaman kayak gitu. Masalahnya kan ini ancaman buat guru, bukan buat anak-anak yang cuma sakit hati karena cinta monyet." Bisik Bu Tuti memulai perghibahannya siang itu ketika jalan beriringan dengan Sira usai keluar dari kelas yang meraka ajar menuju kantor.Sementara Sira hanya bisa menggigit bibir bawahnya, menahan malu sambil menggeleng pelan, tak ingin menanggapi guru sejarah yang terkenal dengan 'lambe turah' nya karena senang sekali membicarakan orang lain."Ja
Semangkuk mie kuah masih mengepul mengeluarkan panas di atas meja makan. Sira menghela napas sebelum mulai menyendok kuahnya.Sejak pagi tadi, ini adalah makan pertama yang masuk melewati tenggorokannya. Saat ini ia lapar, tapi sama sekali tak memiliki nafsu untuk makan.Gavin masih tak menghubunginya, menambah luka dan duka yang meliputi hatinya. Setelah apa yang ia lakukan selama akhir pekan ini, kini ia kembali menghilang seakan tak pernah terjadi apapun, seperti sebelumnya mengganggap Sira seakan tidak ada.Sira tahu Gavin sibuk mengurusi semua kekacauan karena surat ancaman itu, dan Sira tahu sifatnya yang kadang cuek itu juga tidak bisa dirubah, tapi bagi Sira tetap terasa menyakitkan mengingat bagaimana perhatian Gavin padanya kemarin tapi sama sekali tidak peduli sekarang.Sira sempat berpikir rasa cintanya untuk Gavin telah sepenuhnya hilang, tapi sepertinya ia salah. Sebelumnya ia hanya terbiasa tanpa Gavin, tapi begitu lelaki hadir lagi rasa itu akan dengan mudah kembali.S
Sira menatap sekotak tisu dari mobil Prabu yang disodorkan di hadapnya tanpa memedulikan beberapa orang yang berlalu lalang sambil melihatnya di taman kota siang itu.Prabu menggoyangkan kotak tisunya yang tak kunjung mendapat sambutan.Sira menghela napas, lalu menarik selembar tisu dari kotak dan menghapus sisa-sisa air mata dan menyeka hidungnya yang berair tanpa sungkan pada Prabu yang kini membuang muka setelah meletakkan kotak tisu di bangku taman, tepat di tengah-tengah mereka duduk."Gak mau tanya saya nangis kenapa?" tanya Sira akhirnya membuka suara setelah keheningan panjang di antara mereka.Prabu menggeleng pelan, lalu berbalik menatap Sira."Jari kamu kenapa?" Tanya Prabu yang sepertinya baru menyadari jari telunjuk Sira yang dibungkus plaster luka lucu berwarna biru."Luka, kemarin.""Kenapa?""kena pisau." "Kok bisa?""Ya bisa, kenapa enggak," sahut Sira sekenanya."Dalam ya lukanya?" tanya Prabu lagi seakan terus mencari topik pembicaraan lain yang tak penting."Gak,







