Seraphina masih duduk di tepi ranjangnya, menatap Cypher Winthrop yang kini berdiri tidak bergeming. Ucapannya menggema di kepalanya, memutar seperti kaset rusak. “... kenapa kau tidak putus saja dengannya?”
"Kamu gila," Seraphina akhirnya berucap, suaranya rendah, penuh amarah. "Kamu nggak bisa tiba-tiba nyuruh aku putus sama Cassian, sedangkan kamu nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi!" Cypher memandangnya dengan tenang. "Aku tahu dari data. Dan data menunjukkan dia adalah faktor utama dari kehancuran psikismu. Dialah yang mengirim pesan, dan di tempat itulah, teman-temannya hampir…." "Cukup!" bentak Seraphina. Ia tidak bisa mendengar kata-kata itu diucapkan dengan lantang. Tiba-tiba ingatan di masa depan tentang malam itu kembali lagi. Saat ia dalam keadaan terpuruk dan baru saja lepas dari “bahaya”, pesan yang dikirim Cassian tidak menunjukkan jika dia lah penyebab teman geng nya hampir melakukan hal buruk padanya. Setidaknya, itu yang dia percaya saat ini. "Itu nggak bener! Mereka yang lakuin itu, bukan Cassian!" "Tapi dia yang memanggilmu ke sana," jawab Cypher, nadanya tetap datar. "Dan setelah kejadian itu, bukankah dia yang mengirim pesan putus dan menyebutmu “jijik”?" Seraphina menggelengkan kepala, air matanya mulai menggenang. "Itu beda! Itu karena dia nggak bisa memahami aku! Dia marah karena aku nggak kasih tau kejadiannya dengan benar! Aku tahu Cassian bukan orang seperti itu. Kamu... kamu nggak tahu apa itu cinta! Kamu nggak tahu rasanya punya seseorang yang ada untuk kamu, waktu nggak ada orang lain yang peduli!" "Aku juga ada di sini," balas Cypher. Matanya yang abu-abu menatap lurus ke dalam mata Seraphina. "Tugasku adalah membantumu. Tugas itu tidak bisa berhasil jika kau terus berpegang pada kenangan yang sudah terdistorsi." "Itu bukan terdistorsi! Itu nyata! Cassian adalah orang yang membuat aku merasa aman! Dia yang paling peduli denganku!” Seraphina berteriak putus asa. "Perasaan aman itu hanyalah data yang salah. Ingatanmu menunjukkan hal sebaliknya. Kejadian tadi sore adalah bukti nyata tubuhmu menunjukkan dia adalah sumber dari trauma terbesarmu." Seraphina tidak sanggup lagi berada di ruangan itu. Ia harus keluar, mencari udara, atau seseorang. Ia segera berbalik dan keluar dari kamar, meninggalkan Cypher yang masih berdiri di sana, tak bergerak. ‘Adrian pasti ngerti aku. Dia sering ketemu sama Cassian. Dia pasti sepemikiran sama aku.’ gumamnya dalam hati. Ia berlari menuruni tangga, menuju ruang kerja Adrian yang lampunya masih menyala. Harapan kecil menyala di hatinya. Adrian adalah keluarganya. Mungkin dia bisa memberinya pelukan atau kata-kata yang menenangkan dan membenarkan perasaannya. Seseorang yang nyata, bukan data. Saat tiba di ruang kerja, Adrian sudah tidak ada. Ia kemudian berlari ke teras rumah, berharap Adrian masih di halaman rumah, sedang memasukkan kopernya ke bagasi, bersiap untuk pergi. Tapi lagi-lagi ia kecewa, sosok kakaknya sudah tidak ada di sana. Justru ia bertemu dengan Jason yang sedang membersihkan mobilnya. “Dia sudah pergi…” gumam Seraphina lirih. Jason yang melihat majikannya sedang terpaku di teras, segera berjalan menghampirinya. “Miss Sera mau pergi? Mobil bisa siap lima menit lagi.” kata Jason. Seraphina menarik napas panjang, ia menggeleng pelan. “Adrian… sudah berangkat?” tanyanya dengan lesu. Walaupun ia tau jawabannya sudah jelas. “Mr. Blackwood? Sudah setengah jam yang lalu. Bukannya Miss Sera tadi sempat ketemu?” Jason terlihat bingung. “Dia nggak pamitan?” Seraphina tak menjawab. Ia mendengus lagi, lalu memutar tubuhnya, hendak kembali masuk rumah. “Reynald bilang, pesawatnya take off sekitar jam 7.45 malam. Mungkin ponsel Mr. Blackwood masih aktif. “ ucap Jason. Seraphina menghentikan langkahnya. Ia segera merogoh ponsel di saku roknya. “Adrian, Adrian, Adrian…” Ia terus bergumam sembari mengetik nama kakaknya di kontak ponselnya. Tak lama, ia menekan tombol Call dengan terburu-buru. "Adrian!" panggil Seraphina, suaranya sedikit serak. Ada rasa lega ketika deringnya berakhir, diganti dengan suara dingin khas Adrian dari seberang. ‘Sera. Aku harus segera masuk pesawat. Aku akan kembali akhir minggu ini.’ "Tunggu, Adrian. Aku butuh bicara." Seraphina meremas ponselnya, matanya memohon. "Aku… sedang nggak baik-baik saja. Aku takut." Adrian menghela napas, dengusannya menunjukkan ketidaksabaran. ‘Sera, aku sangat sibuk. Rapat ini sangat penting. Aku harus membuat keputusan yang akan memengaruhi bisnis kita.’ "Lebih penting dari adikmu?" tanya Seraphina, air matanya tak bisa lagi dibendung. ‘Tentu saja. Perusahaan nggak akan bangkrut dengan rengekanmu. Tapi bisa bangkrut tanpa keputusanku,’ Adrian mengucapkan kalimat itu tanpa jeda, seolah itu sudah menjadi kebiasaannya. ‘Sudah, jangan drama. Aku akan transfer uang ke rekeningmu. Beli apa aja yang kamu mau, yang membuat kamu nyaman dan jangan ganggu aku. Oke?’ Telepon ditutup. Seraphina hanya bisa berdiri terpaku di sana, membiarkan suara tuut, tuut terngiang di telinganya. Tidak ada kata-kata lembut. Tidak ada ungkapan kepedulian. Hanya uang dan penolakan. Ia merasa seolah dunia benar-benar meninggalkannya. Seraphina kembali ke kamarnya, kakinya terasa berat. Ia menemukan Cypher masih berdiri di tempat yang sama. Ekspresinya tenang, seperti patung. Ting! Sebuah notifikasi muncul. Seraphina menatap layar ponselnya dengan senyum masam. itu Adrian. Dia telah mengirim sejumlah uang, tiga kali lebih besar dari jatah bulanannya. "Dia pikir aku akan loncat-loncat kegirangan dapat transferan sebanyak ini? Dia benar-benar kakak yang buruk," gumam Seraphina, duduk di lantai. Air matanya mulai menetes. Cypher tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengambil kursi belajarnya dan duduk di samping Seraphina, menjaga jarak yang wajar. "Dataku menunjukkan, bahwa rasa kesepian adalah motivasi terkuat untuk mencari koneksi, bahkan jika koneksi itu toxic. Hal ini bisa menimbulkan rasa nyaman palsu." Seraphina terisak. Ia mendongak, menatap Cypher. "Apa kamu senang sama semua datamu itu? Apa kamu bahagia lihat aku hancur?" "Kebahagiaan adalah emosi. Aku tidak memiliki emosi. Tapi, aku bisa mengatakan bahwa tujuan misiku adalah untuk menghentikan kehancuran yang kau rasakan." "Kamu nggak ngerti," isak Seraphina. "Aku merasa Cassian adalah satu-satunya orang yang peduli denganku. Dia membuatku merasa normal." "Itu adalah ilusi," Cypher melanjutkan, suaranya tetap datar. "Aku percaya kau tahu fakta itu. Tapi perasaanmu menolak fakta itu. Tugasmu adalah belajar untuk merasa normal tanpanya. Dan aku, akan membantumu. Namun, aku tidak bisa melakukannya jika kau tidak kooperatif." Seraphina menatap Cypher, kebingungan. "Aku takut. Aku takut kalau semua yang kamu bilang itu benar. Aku takut kalau ternyata Cassian… Aku nggak tahu gimana aku harus bertahan." Cypher diam. "Aku tidak bisa memaksamu, Seraphina. Keputusan ada di tanganmu. Namun, ingatlah, ingatanmu tidak terdistorsi. Pikiranmu yang terdistorsi. Kau adalah satu-satunya penjelajah waktu yang aku temukan. Dan, dataku menunjukkan, bahwa kau akan berhasil. Aku percaya padamu." Seraphina menatap Cypher. Ia terkejut. "Kamu bilang... kamu percaya aku?" "Ya. Itu adalah bagian dari dataku. Percaya padamu." Ada kehangatan aneh dalam kata-kata Cypher, meski diucapkan tanpa emosi. Itu adalah kalimat yang ia butuhkan saat ini. Di saat Adrian meninggalkannya sendirian. Di saat ia merasa bahwa dunianya hancur berkeping-keping. Drrt… drrtt… Ponsel Seraphina bergetar. Dengan gemetar, Seraphina mengambil ponselnya. Ia membuka aplikasi W******p. Nama "Cassian" terpampang di sana. [‘Sera, kamu sudah di rumah?’] Seolah hatinya tersengat, rasa sakit itu muncul lagi. Tapi entah kenapa terasa seperti candu. Ia tahu ini adalah kesalahan. Ia tahu Cypher Winthrop, dengan semua datanya, benar. Tapi ia tidak bisa menolak dorongan di hatinya yang begitu kuat. Rasa sepi itu terlalu menyakitkan. Jemarinya mengetik cepat. [“Aku kangen. Kita bisa ketemu, kan?”] Seraphina tidak menoleh ke arah Cypher. Ia tidak ingin melihat reaksi data-nya. Ia tahu Cypher akan menyayangkan keputusannya. Tapi ia tidak peduli. Ia harus kembali ke Cassian. Ia harus membuktikan pada dirinya sendiri, bahwa ia salah. Bahwa Cypher Winthrop dengan semua data-nya, salah. Hanya dia yang bisa menolongnya.Adrian memutar kursinya, kembali memunggungi Seraphina. Jeda keheningan itu terasa panjang, hanya terdengar suara fan pendingin dari peralatan lab. Matanya yang dingin kini terpaku pada layar hologram, menolak mengakui kengerian yang baru saja ia cerna.“Singularitas,” gumam Adrian, mencoba menenangkan diri dengan istilah ilmiah. “Cypher, aku butuh data processor-mu di momen benturan itu. Jangan bicara anomali, berikan aku rumus.”Cypher maju selangkah. “Penderitaan Seraphina adalah rumus yang Anda cari, Master. Itu adalah variabel energi terkuat yang mengganggu koordinat waktu. Anda mencari perhitungan logis untuk menjelaskan hal yang mustahil.”“Semua yang terjadi di alam semesta ini punya rumus!” desis Adrian, menekan-nekan tombol. “Output energi TADS-5 di tahun 2023 bahkan tidak mampu mengganggu jam digital. Bagaimana mungkin AI paling sempurna yang kubuat bisa dipengaruhi oleh… emosi?”Mata Cypher memancarkan sinar kehijauan yang intens. Ia terdiam selama beberapa detik, menganal
Adrian membeku. Matanya, yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, kini melebar karena terkejut. Ia menatap Seraphina, lalu beralih menatap headset transparan yang tergeletak di meja. Benda itu berkilau perlahan, memancarkan cahaya merah muda keunguan seperti hologram. “Kamu bicara sama siapa, Sera?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Seraphina menghela napas. Ia sudah ketahuan. Semua ketakutan dan kelelahannya tiba-tiba sirna, digantikan oleh kepasrahan yang tenang. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Ia tidak bisa menyia-nyiakannya. Ia menatap mata kakaknya yang tajam. “Cypher. Versi sempurna dari TADS-5 yang kamu ciptakan.” Seraphina mulai berbicara, suaranya pelan dan datar. “Aku akan menceritakan semuanya, dari awal. Tapi aku nggak akan memintamu untuk percaya sama ceritaku, Adrian. Aku cuma minta kamu untuk percaya pada Cypher.” Adrian mengerutkan dahi, bingung. “Cypher dan TADS-5?? Apa yang kamu bicarakan?” Seraphina memandang wajah Adrian, dan ia melih
2023 Mobil Adrian bergerak cepat melintasi jalanan London yang basah. Kaca-kaca mobil berkilauan, memantulkan cahaya lampu jalan yang buram. Di dalam, suasana terasa dingin dan senyap. Seraphina melirik Adrian yang fokus menyetir, wajahnya tegas, rahangnya mengeras. Ia tampak berpikir keras, dan Seraphina tahu Adrian masih tidak memercayai ceritanya. “Aku tahu ini susah dipercaya,” kata Seraphina, memecah keheningan. “Tapi... yang aku ceritain itu nggak bohong.” Adrian tidak menoleh. “Sera, apa pun yang kamu ceritakan tentang Cassian … aku yakin itu karena kamu lagi kesal sama dia aja kan. Akhir-akhir ini kamu berantem sama dia. Kamu sengaja bikin cerita-cerita seperti ini karena marah sama dia. Memangnya apa yang dia lakukan sampai kamu buat cerita jelek-jelekin dia kayak gini?” “Dia melakukan hal yang sangat-sangat buruk, Adrian.” Seraphina berusaha meyakinkan, “Dia beneran berbahaya. Dia bilang mau mengambil alih perusahaan kita.” Adrian menghela napas. “Aku tahu Cassian t
"Cypher, kamu dengar aku?" bisik Seraphina. Seraphina sudah berada di dalam Drury Covent Garden. Kafe itu ramai, namun musik jazz yang diputar membuat suasana terasa tenang. Ia memilih sebuah meja di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Ia duduk, meletakkan ponselnya di atas meja. Tangan-tangan Seraphina terasa dingin dan bergetar, ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Tangannya terangkat, menyentuh telinganya, memastikan earphone transparan itu sudah terpasang dengan nyaman. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. “Cypher?” panggilnya lagi. ‘Aku dengar. Suaramu terdengar jelas, Seraphina. Tenang. Aku di sini,’ jawab Cypher, suaranya tenang dan tanpa emosi. “Sorry,” bisik Seraphina lagi. “Aku gugup. Gimana kalau dia nggak percaya sama aku? Gimana kalau dia malah menganggap aku gila?” ‘Dia akan percaya. Ingat, Adrian tidak percaya pada orang lain selain dirinya. Kita tidak akan memintanya untuk percaya padamu, tapi
2035 Adrian menatap layar monitor besar yang menampilkan sebuah garis waktu bergelombang, ditandai dengan berbagai data aneh. Di sampingnya, Profesor Ellery, seorang pria tua dengan kacamata tebal dan rambut putih yang berantakan, mengangguk perlahan. “Singularitasnya stabil, Adrian,” kata Profesor Ellery, nadanya tegang. “Kami berhasil mencegahnya untuk tidak menghancurkan diri. Pengiriman Cypher beberapa hari yang lalu juga berhasil.” Andrian mengamati layar, tatapannya terlihat serius, juga ada semburat kesal di matanya. “Tapi aku nggak menemukan Cypher di tahun 2025. Hanya ada 10 menit di titik ini. Tapi setelah itu jejak Cypher hilang.” Adrian mengetuk layar yang menampilkan titik koordinasi lokasi. Jendela baru terbuka, kali ini menunjukkan sebuah peta. Jari telunjuk dan ibu jarinya bergerak memperbesar titik. Profesor Ellery mengernyit. "Itu nggak mungkin. Kami mengirim Cypher ke tahun 2025 dengan protokol ketat, tujuannya untuk….” “Aku tahu, untuk mencegah adikku bunuh d
Seraphina mengikuti Cypher ke sebuah ruangan yang terlihat seperti studio seni, dengan kanvas-kanvas kosong bersandar di dinding. Hingga sampai di tengah ruangan, matanya menangkap sebuah meja kerja baja dengan laptop futuristik yang menyala. "Duduklah, Seraphina," kata Cypher, menunjuk kursi di depan meja. "Aku harus melakukan ini sekarang. Proses ini tidak akan lama." Seraphina mengangguk, masih memproses emosinya yang campur aduk. Setidaknya ia lega, lehernya kini sudah kosong dari syal biru navy, ringan seperti beban yang telah terangkat. "Apa yang bakal terjadi kalau kamu nggak ngelakuin itu?" tanya Seraphina, duduk di kursi. Cypher mengarahkannya ke monitor. "Ada risiko data corruption. Data itu bisa terdistorsi, atau bahkan hilang. Aku tidak bisa mengambil risiko itu." "Oke," jawab Seraphina, suaranya tenang. "Terus, apa rencananya?" Cypher membuka laptopnya. Layar itu menampilkan kode-kode biner yang mengalir dengan cepat. "Rencananya akan kujelaskan setelah proses