Seraphina duduk kaku di kursi belakang mobil, bersama dengan Cypher Winthrop di sampingnya. Jason sedang fokus menyetir. Suasana hening, hanya ada suara deru mesin mobil yang membelah jalanan London yang ramai. Pikirannya melayang, kembali ke malam yang mengerikan di tahun 2025 itu. Tetesan hujan yang membasahi wajahnya di balkon rumahnya, tekanan udara yang seakan mengambil napasnya saat ia meluncur, hingga sepasang tangan yang menangkap tubuhnya, tepat sebelum tubuhnya menghantam tanah.
Seorang pria berambut perak, dengan mata abu-abu yang menembus kegelapan. Jantung Seraphina berdegup kencang saat ia melirik Cypher Winthrop. Rambut perak yang sama, mata abu-abu yang persis seperti yang ia ingat. Cypher duduk tenang, pandangannya lurus ke depan, seolah yang baru dikatakannya beberapa menit yang lalu itu bukan sesuatu yang besar. “K-kamu,” Seraphina memulai, suaranya bergetar. Cypher menoleh, tatapan matanya bertemu. "Kamu yang ada di sana, ‘kan? Malam itu, waktu aku…” Cypher tidak menjawab. Bibirnya membentuk senyum tipis, misterius. Senyum yang tidak memberikan jawaban, tapi seolah mengonfirmasi semuanya. Ia tidak terlihat bangga atau kasihan, hanya ada kesan seolah mengetahui. Seraphina menelan salivanya. "Kenapa kamu nggak jawab?" tanyanya lagi, kali ini lebih tegas. “Ada beberapa jawaban yang tidak memerlukan konfirmasi verbal,” jawab Cypher dengan suara rendah, akhirnya. “Fakta tidak berubah hanya karena diucapkan. Dan, bukankah kau sudah tahu jawabannya?” Jawaban itu memuaskan dan mengganggu di saat yang sama. Seraphina terdiam. Ia tahu Cypher benar. Ia tidak butuh kata-kata. Ingatannya yang tersisa adalah bukti paling kuat. Tak lama, mobil memasuki kawasan perumahan elit di Hampstead. Jason memarkir mobil di depan sebuah rumah megah yang familiar, yang lebih dapat disebut mansion. Jason segera membukakan pintu. “Jason, Adrian ada di rumah?” Seraphina turun dengan kaki yang masih terasa lemas. Matanya menangkap mobil Bentley Continental GT milik Adrian terparkir di samping mobilnya. Jason mengangguk, “Saya dapat pesan dari Reynald, Mr. Blackwood ada di rumah, untuk persiapan perjalanan ke Prancis malam ini.” Seraphina mengernyitkan dahi. “Ke Prancis lagi?” Jason menjawab dengan anggukan kepala. Bahunya sedikit mengendik, mengisyaratkan ia pun tak tau alasan kepergiannya hari ini. Seraphina mendengus, ia sedikit menghentakkan kaki saat memasuki pintu rumahnya. Sedangkan Cypher mengikutinya di belakang, memegang tas berisi buku-buku tebal yang mereka pinjam. Saat memasuki lobi rumah, Seraphina melihat Adrian di ruang kerjanya. Lampu ruang kerja itu terang benderang, seperti malam yang mengerikan di tahun 2025 itu. Sebuah ide terlintas di benak Seraphina, begitu cepat dan jelas. Adrian bisa jadi saksinya. Ia bisa membuktikan bahwa Cypher adalah pria yang ada di memorinya. Seraphina bergerak cepat, menghampiri Adrian yang sedang memegang ponselnya. “Adrian, tunggu sebentar,” panggilnya. Adrian menoleh, ekspresinya kesal. “Aku sedang menelepon, Sera. Dan aku harus segera ke bandara. Ada rapat penting di Paris.” Adrian melihat Cypher di belakang Seraphina. “Siapa dia?” tanyanya, nada suaranya penuh dengan arogansi. “Dia Cypher Winthrop, mahasiswa baru di kelasku,” jawab Seraphina, mencoba menjelaskan dengan cepat. “Apa kamu pernah lihat dia sebelumnya?” “Aku tidak punya waktu, Sera. Dan jangan bawa orang asing masuk ke rumah ini sembarangan,” potong Adrian, tanpa menunggu Seraphina selesai bicara. Ia lalu menutup teleponnya dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Cypher dan Adrian berpapasan di dekat pintu. Mata mereka bertemu. Hanya sedetik, tapi terasa seperti selamanya. Cypher tidak berekspresi, namun pandangannya tajam. Adrian hanya mendengus, lalu melenggang pergi tanpa menoleh lagi. Seraphina melihat ke arah Cypher, yang kini sedang mengalihkan pandangannya. Namun, Seraphina yakin ia mendengar sebuah bisikan, hampir tak terdengar. “Dia tidak berbohong soal arogansinya yang berlebihan di saat masih muda.” Bisikan itu tidak ditujukan pada Seraphina, melainkan untuk dirinya sendiri. Seraphina merasakan bulu kuduknya merinding. Kata-kata Cypher memunculkan banyak pertanyaan di benaknya. Tapi ia memilih untuk tidak bertanya. Ia tahu, jawaban dari Cypher tidak akan pernah sesederhana yang ia inginkan. “Kita ke kamarku.” ucap Seraphina. Mereka naik ke lantai atas dan masuk ke kamar Seraphina. Seraphina meletakkan tas buku di atas meja, sementara Cypher menelusuri rak buku di kamarnya dengan matanya. “Jadi… buku Kai, apa isinya?” tanya Seraphina, duduk di tepi kasur. Cypher mengambil tempat duduk di kursi belajar Seraphina, tangannya dilipat di depan dada. "Buku itu, 'Temporal Residue: Tracing Anomalies in Post-Event Memories', adalah publikasi ilmiah yang sudah tidak beredar. Isinya menjabarkan hipotesis Kai tentang bagaimana ingatan dari masa depan yang terus muncul dapat mengganggu pikiran manusia, menciptakan anomali yang, dalam istilah awam, disebut kegilaan.” Seraphina menarik napas panjang,“Untuk apa Kai ngelakuin penelitian seperti itu?” “Karena dia tertarik dengan Perjalanan Waktu.” Kata-kata Cypher Winthrop membuat Seraphina mengernyit. Otaknya perlu memahami segala kosa kata Cypher yang ia dengar hari ini. “Jadi maksudmu —” “Kai mencurigaimu sebagai penjelajah waktu. Dan dia ingin mengetahui lebih lanjut tentang efek yang kau rasakan setelah melakukan perjalanan waktu," jelas Cypher Winthrop. Suaranya tenang, tanpa emosi, seolah ia sedang membacakan laporan cuaca. Seraphina menatap kedua mata abu-abu miliknya. Kini ada pertanyaan baru di benaknya. “Kamu… tahu aku dari masa depan?” tanya Seraphina hati-hati. Cypher tersenyum, lalu mengangguk. "Yang terpenting sekarang, jangan terlalu dekat dengan Kai Rothman. Berbahaya untukmu." kata Cypher. Ia memeluk sandaran kursi, matanya lurus menatap ke arah Seraphina. Sejenak suasana hening. Banyak pertanyaan berkecamuk di benak Seraphina, tapi ia pun rasanya masih ragu dengan pertanyaannya sendiri. “Ternyata lebih cantik…” gumam Cypher memecah keheningan sesaat itu. Seraphina refleks menghindari tatapannya. “Jangan liatin aku kayak orang mesum gitu!” kata Seraphina ketus. Ia sedikit jengah dengan tatapan Cypher Winthrop. “Apa aku terlihat seperti itu?” tanyanya dengan senyum jahil. Seraphina tak sempat menjawab, ketika tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. “Miss Sera, saya siapkan makanan ringan.” Seorang wanita dengan seragam pelayan berwarna hitam, masuk. Membawa senampan buah-buahan, croissant dan seteko jus. Lalu meletakkannya di atas meja. “Terimakasih, Sylvia.” ucap Seraphina. Sylvia mengangguk, lalu dengan sopan keluar dari kamar. Seraphina bangkit dari ranjangnya, menghampiri meja. Ia memetik sebuah anggur hijau yang segar dan memakannya. Tiba-tiba sebuah ide terbesit di benaknya. Seraphina mengambil sepiring kecil anggur, menyodorkannya di depan Cypher Winthrop. “Silahkan dinikmati.” Seraphina tersenyum penuh arti. ‘Kalau dia benar robot, dia pasti tidak akan menolak makan ini kan?’ pikirnya. Tapi Cypher seakan membaca pikirannya, ia bangkit dari kursi, lalu mengambil dua butir anggur. Dengan gerakan dramatis, seolah sedang menunjukkannya pada Seraphina, ia memasukkan sebutir anggur, lalu memasukkan lagi butir kedua, ia mengunyahnya. “Hmm… kau benar, anggurnya segar. Rasanya lebih manis. Forty Hall Vineyard?” Seraphina menegakkan punggungnya. Ia menatap Cypher dengan takjub. “Gimana kamu tau ini dari Forty Hall Vineyard?” “Rasanya, ukuran buahnya… semua ada di dataku.” Cypher memetik sebutir lagi, lalu melahapnya dengan ekspresi penuh kenikmatan. ‘Data? Dia bicara seakan seperti robot, tapi kenapa dia bisa makan?’ Seraphina menatap Cypher penuh selidik. Cypher meliriknya, sambil mencoba beberapa makanan lainnya. Seakan tak peduli dengan tatapan Seraphina. “Oh, Seraphina.” Cypher mengambil ponsel Seraphina yang tergeletak di meja. "Ada satu hal lagi." "Apa?" “Cassian,” jawab Cypher, tanpa basa-basi. "Dia adalah sumber utama kekacauan ini. Keberadaannya di dekatmu menciptakan lebih banyak anomali." "Tapi… dia pacarku," Seraphina membela. Cypher mengangkat alisnya sedikit, sebuah gestur langka yang menunjukkan sedikit ketidakpuasan. "Menurut data yang aku kumpulkan dari interaksi kalian, solusi terbaik untuk kau jauh darinya adalah..." Ia menatap Seraphina tepat di matanya. "...kenapa kau tidak putus saja dengannya?"Adrian memutar kursinya, kembali memunggungi Seraphina. Jeda keheningan itu terasa panjang, hanya terdengar suara fan pendingin dari peralatan lab. Matanya yang dingin kini terpaku pada layar hologram, menolak mengakui kengerian yang baru saja ia cerna.“Singularitas,” gumam Adrian, mencoba menenangkan diri dengan istilah ilmiah. “Cypher, aku butuh data processor-mu di momen benturan itu. Jangan bicara anomali, berikan aku rumus.”Cypher maju selangkah. “Penderitaan Seraphina adalah rumus yang Anda cari, Master. Itu adalah variabel energi terkuat yang mengganggu koordinat waktu. Anda mencari perhitungan logis untuk menjelaskan hal yang mustahil.”“Semua yang terjadi di alam semesta ini punya rumus!” desis Adrian, menekan-nekan tombol. “Output energi TADS-5 di tahun 2023 bahkan tidak mampu mengganggu jam digital. Bagaimana mungkin AI paling sempurna yang kubuat bisa dipengaruhi oleh… emosi?”Mata Cypher memancarkan sinar kehijauan yang intens. Ia terdiam selama beberapa detik, menganal
Adrian membeku. Matanya, yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, kini melebar karena terkejut. Ia menatap Seraphina, lalu beralih menatap headset transparan yang tergeletak di meja. Benda itu berkilau perlahan, memancarkan cahaya merah muda keunguan seperti hologram. “Kamu bicara sama siapa, Sera?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Seraphina menghela napas. Ia sudah ketahuan. Semua ketakutan dan kelelahannya tiba-tiba sirna, digantikan oleh kepasrahan yang tenang. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Ia tidak bisa menyia-nyiakannya. Ia menatap mata kakaknya yang tajam. “Cypher. Versi sempurna dari TADS-5 yang kamu ciptakan.” Seraphina mulai berbicara, suaranya pelan dan datar. “Aku akan menceritakan semuanya, dari awal. Tapi aku nggak akan memintamu untuk percaya sama ceritaku, Adrian. Aku cuma minta kamu untuk percaya pada Cypher.” Adrian mengerutkan dahi, bingung. “Cypher dan TADS-5?? Apa yang kamu bicarakan?” Seraphina memandang wajah Adrian, dan ia melih
2023 Mobil Adrian bergerak cepat melintasi jalanan London yang basah. Kaca-kaca mobil berkilauan, memantulkan cahaya lampu jalan yang buram. Di dalam, suasana terasa dingin dan senyap. Seraphina melirik Adrian yang fokus menyetir, wajahnya tegas, rahangnya mengeras. Ia tampak berpikir keras, dan Seraphina tahu Adrian masih tidak memercayai ceritanya. “Aku tahu ini susah dipercaya,” kata Seraphina, memecah keheningan. “Tapi... yang aku ceritain itu nggak bohong.” Adrian tidak menoleh. “Sera, apa pun yang kamu ceritakan tentang Cassian … aku yakin itu karena kamu lagi kesal sama dia aja kan. Akhir-akhir ini kamu berantem sama dia. Kamu sengaja bikin cerita-cerita seperti ini karena marah sama dia. Memangnya apa yang dia lakukan sampai kamu buat cerita jelek-jelekin dia kayak gini?” “Dia melakukan hal yang sangat-sangat buruk, Adrian.” Seraphina berusaha meyakinkan, “Dia beneran berbahaya. Dia bilang mau mengambil alih perusahaan kita.” Adrian menghela napas. “Aku tahu Cassian t
"Cypher, kamu dengar aku?" bisik Seraphina. Seraphina sudah berada di dalam Drury Covent Garden. Kafe itu ramai, namun musik jazz yang diputar membuat suasana terasa tenang. Ia memilih sebuah meja di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Ia duduk, meletakkan ponselnya di atas meja. Tangan-tangan Seraphina terasa dingin dan bergetar, ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Tangannya terangkat, menyentuh telinganya, memastikan earphone transparan itu sudah terpasang dengan nyaman. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. “Cypher?” panggilnya lagi. ‘Aku dengar. Suaramu terdengar jelas, Seraphina. Tenang. Aku di sini,’ jawab Cypher, suaranya tenang dan tanpa emosi. “Sorry,” bisik Seraphina lagi. “Aku gugup. Gimana kalau dia nggak percaya sama aku? Gimana kalau dia malah menganggap aku gila?” ‘Dia akan percaya. Ingat, Adrian tidak percaya pada orang lain selain dirinya. Kita tidak akan memintanya untuk percaya padamu, tapi
2035 Adrian menatap layar monitor besar yang menampilkan sebuah garis waktu bergelombang, ditandai dengan berbagai data aneh. Di sampingnya, Profesor Ellery, seorang pria tua dengan kacamata tebal dan rambut putih yang berantakan, mengangguk perlahan. “Singularitasnya stabil, Adrian,” kata Profesor Ellery, nadanya tegang. “Kami berhasil mencegahnya untuk tidak menghancurkan diri. Pengiriman Cypher beberapa hari yang lalu juga berhasil.” Andrian mengamati layar, tatapannya terlihat serius, juga ada semburat kesal di matanya. “Tapi aku nggak menemukan Cypher di tahun 2025. Hanya ada 10 menit di titik ini. Tapi setelah itu jejak Cypher hilang.” Adrian mengetuk layar yang menampilkan titik koordinasi lokasi. Jendela baru terbuka, kali ini menunjukkan sebuah peta. Jari telunjuk dan ibu jarinya bergerak memperbesar titik. Profesor Ellery mengernyit. "Itu nggak mungkin. Kami mengirim Cypher ke tahun 2025 dengan protokol ketat, tujuannya untuk….” “Aku tahu, untuk mencegah adikku bunuh d
Seraphina mengikuti Cypher ke sebuah ruangan yang terlihat seperti studio seni, dengan kanvas-kanvas kosong bersandar di dinding. Hingga sampai di tengah ruangan, matanya menangkap sebuah meja kerja baja dengan laptop futuristik yang menyala. "Duduklah, Seraphina," kata Cypher, menunjuk kursi di depan meja. "Aku harus melakukan ini sekarang. Proses ini tidak akan lama." Seraphina mengangguk, masih memproses emosinya yang campur aduk. Setidaknya ia lega, lehernya kini sudah kosong dari syal biru navy, ringan seperti beban yang telah terangkat. "Apa yang bakal terjadi kalau kamu nggak ngelakuin itu?" tanya Seraphina, duduk di kursi. Cypher mengarahkannya ke monitor. "Ada risiko data corruption. Data itu bisa terdistorsi, atau bahkan hilang. Aku tidak bisa mengambil risiko itu." "Oke," jawab Seraphina, suaranya tenang. "Terus, apa rencananya?" Cypher membuka laptopnya. Layar itu menampilkan kode-kode biner yang mengalir dengan cepat. "Rencananya akan kujelaskan setelah proses