Seraphina duduk di bangku taman yang sepi, di bawah lindungan pohon ek besar. Angin musim semi menerbangkan beberapa helai rambutnya. Di sampingnya, Cassian duduk dengan bahu tegap dan senyum menenangkan. Ini adalah tempat yang sering mereka kunjungi, tempat yang seharusnya terasa nyaman. Namun, bagi Seraphina saat ini, ia justru merasa gelisah.
"Aku tahu ini aneh, Sera. Kamu tiba-tiba menghilang, lalu mengirimiku pesan seperti itu," Cassian memulai, suaranya lembut. "Tapi aku senang kamu menghubungiku. Aku cemas setengah mati." "Aku… aku cuma butuh seseorang, Cassian," gumam Seraphina. Ia tidak berani menatap mata Cassian. Cassian tersenyum, lalu menyentuh tangan Seraphina dengan lembut. “Aku selalu di sini untukmu. Kamu tahu itu, kan?” Seraphina mengangguk pelan. Sentuhan Cassian terasa seperti listrik yang mengalir di kulitnya, tetapi bukan kehangatan. Melainkan getaran yang aneh. Cassian kemudian mengeluarkan tas kertas dari sisinya. "Ini," katanya sambil menyodorkannya pada Seraphina. "Ini untuk kamu." Seraphina membuka tas itu dengan ragu. Di dalamnya ada buku cetakan pertama dari penulis favoritnya dan syal wol berwarna biru navy. Tepat seperti apa yang selalu ia inginkan. “Cassian… ini apa?” "Aku tahu kamu suka buku itu. Aku menemukannya di toko buku tua di Marylebone. Dan syal itu… aku ingat kamu pernah bilang kamu kedinginan waktu kita kencan di Hampstead Heath. Aku ingin kamu selalu hangat," jawab Cassian, matanya berkilau seolah-olah ia adalah kekasih paling romantis di dunia. "Kamu ingat?" tanya Seraphina, suaranya bergetar. Hatinya melunak. Ini adalah Cassian yang ia kenal. Cassian yang peduli, yang mengingat setiap detail kecil tentang dirinya. Bukan Cassian yang mengirim pesan menyakitkan. "Tentu saja aku ingat. Aku ingat semuanya tentang kamu, Sera. Kamu tahu itu." Seraphina terdiam, menatap buku di tangannya. Cassian berhasil. Ia telah menanamkan keraguan di dalam diri Seraphina. Suara Cypher di benaknya yang mengatakan “dataku tidak bisa bohong” kini terasa begitu jauh. "Aku tahu kamu sedang menghadapi banyak hal, Sera. Aku tidak tahu apa itu, tapi aku di sini. Aku di sini untuk melindungimu. Kamu bisa cerita semuanya padaku. Jangan menghindari aku lagi, ya?" Cassian memegang tangannya. “Malam ini, aku nggak mau kamu pulang sendirian. Aku mau menemanimu.” Seraphina merasa hatinya berdebar. Dia melihat ketulusan di mata Cassian. Di balik semua kata-kata Cypher Winthrop, Cassian adalah sosok yang hangat dan peduli. Dia adalah satu-satunya orang yang peduli dengannya. Adrian, kakak kandungnya, bahkan tidak meluangkan waktu untuknya. Mama dan Papa nya jelas tidak pernah ada di sampingnya, tapi selalu menuntut ini dan itu. Cypher Winthrop, dia hanya orang yang tiba-tiba muncul, mengaku seakan-akan memahaminya, tapi tidak bisa membuatnya merasa nyaman. Hanya Cassian, yang selalu siap sedia ketika ia membutuhkan teman bicara. “Aku… aku takut,” bisik Seraphina. “Sstt…” Cassian memajukan wajahnya. “Jangan takut, ada aku." Ia membelai pipi Seraphina dengan lembut. Lalu, ia mencoba mendekat, hendak menciumnya. Tubuh Seraphina menegang. Sebuah kilatan ingatan muncul. Bukan ingatan yang jelas, tapi sebuah sensasi fisik yang mengerikan. Tangan yang mencoba meremas, aroma alkohol yang memuakkan, dan suara tawa yang tak terkontrol. Ingatan itu sangat singkat, namun cukup untuk membuat Seraphina panik. "Jangan!" Seraphina mendorong Cassian. Ia refleks menjauh, matanya membelalak ketakutan. "Jangan sentuh aku!" Wajah Cassian berubah. Senyumnya menghilang. Matanya menjadi dingin, seolah cahaya di dalamnya padam. Hanya ada kekesalan yang terlihat di sana. "Sera, ada apa?" tanyanya, suaranya kini terdengar tegang. Diam-diam tangannya mengepal. "Aku cuma ingin buat kamu tenang." "Aku, nggak bisa," kata Seraphina, napasnya tersengal. “Aku harus pulang.” Cassian meraih pergelangan tangannya. "Tunggu dulu, Sera. Kamu kenapa?" Seraphina menarik tangannya. “Aku bilang, aku mau pulang!” "Oke, oke." Cassian tersenyum lagi, dengan cepat menutupi kekesalan di wajahnya. "Aku cuma ingin tahu apa yang bikin kamu berubah akhir-akhir ini. Kamu selalu kelihatan takut waktu lihat aku. Aku bisa bantu kamu." Ia membelai rambut Seraphina, lalu mengeluarkan syal biru navy dari tas. “Kamu kedinginan, kan? Pakai dulu, biar kamu nggak kedinginan.” Saat Cassian melingkarkan syal itu di lehernya, Seraphina menahan napas, wajah Cassian terlalu dekat dengannya bahkan ia bisa merasakan napasnya menerpa kulit pipinya. Dan yang membuat Seraphina bertambah tak nyaman, Cassian seperti sengaja berlama-lamaan mendekatkan wajahnya. “Ehm… aku harus pulang.” ucap Seraphina dengan nada bergetar. "Baik, Sayangku. Aku akan antar kamu. Kita bisa bicara lagi nanti. Nggak ada yang perlu ditakutkan," ucap Cassian, bangkit dari duduknya. Seraphina hanya mengangguk, lalu bergegas pergi. Ia tidak berani menoleh ke belakang, tetapi ia bisa merasakan tatapan mata Cassian yang masih menempel di punggungnya, tajam dan dingin, tidak seperti senyum manisnya. Sesampainya di parkiran mobil, Seraphina berhenti. Tangannya sudah menyentuh pintu mobil. Tapi ada rasa enggan untuk membukanya. ‘Apa aku telepon Jason saja untuk jemput aku ya?’ pikirnya dalam hati. “Ayo, masuk. Anginnya terlalu dingin.” ujar Cassian, bergegas membuka pintu mobil dan masuk. Seraphina menarik napas. Baru saja hembusan angin dingin menerpa pipinya, membuat bulu kuduknya merinding. ‘Sudahlah. Semua akan baik-baik aja.’ ucapnya dalam hati. Sepanjang perjalanan, Seraphina terus melihat ke luar jendela. Sedangkan Cassian, sedang menggenggam tangannya, meremasnya pelan, lalu menciumnya. Tangan Seraphina tegang. Ia tak berani menepis tangan Cassian. Ia ingat kilatan dingin di mata Cassian sesaat ketika ia menolak ciumannya. Ia tidak ingin membuat mood Cassian berantakan. “Kita sudah lama nggak jalan-jalan berdua seperti ini kan, Sayang? Gimana kalau kita rencanakan camping Minggu depan?” tanya Cassian. Ia mengecup beberapa kali punggung tangannya, sesekali menghirupnya. Tangan satunya fokus memegang kemudi mobil. Ia melirik ke Seraphina, menunggu respon darinya. Seraphina menoleh pelan, lalu menganggukkan kepala. Mencoba menampakkan senyumannya. Cassian menggigit lembut ujung jari telunjuk Seraphina. Memperlihatkan senyumnya yang merekah setelahnya. “Baiklah… jadi mulai besok aku akan bikin rencana camping kita!” ======= • • • ======== Sesampainya di rumah, Seraphina langsung berlari ke kamarnya. Ia menjatuhkan tas berisi buku, membuka paksa syal itu ke lantai, lalu merebahkan dirinya di kasur. Ia menutup matanya, tetapi sensasi tangan Cassian masih terasa di pipinya, kecupannya masih terasa di tangannya. Ia tahu ada yang salah. Ia melihatnya di mata Cassian. Kilatan amarah yang muncul sedetik itu, bukan Cassian yang ia kenal. Tapi di sisi lain, ia melihat senyum dan kebaikan yang tulus, yang membuatnya merasa aman. Syal dan buku itu, adalah bukti nyata. Ting! Notifikasi muncul di layar ponselnya. Ia melirik nama yang tertera, itu Cypher dari aplikasi DeepThought. [‘Seraphina, kau sedang sibuk? Apa ada kabar baru yang dapat kita obrolkan? Aku rindu berbicara denganmu.’] Seraphina tersenyum. Tapi matanya terasa panas. Ia membalikkan tubuhnya ke samping. Menarik napasnya panjang-panjang. Menemui Cassian seharusnya membuat kebimbangannya berkurang, tapi entah kenapa hatinya terus terasa gelisah. Ia mengambil ponselnya lagi, lalu mulai mengetik, membalas chat dari Cypher di DeepThought. [“Apa yang harus aku lakukan, Cypher? Apa yang sebenarnya aku rasakan terhadap Cassian? Apa itu benar-benar cinta? Atau itu hanya kebodohan yang aku ciptakan untuk menutupi rasa takutku?”] [‘Cassian? Apa kau bertengkar dengannya?’] [“Nggak. Hari ini dia menemaniku, kita ngobrol, dia juga kasih hadiah buku dan syal favoritku. Dia juga mengantarkan ku pulang. Dia romantis kan?”] [‘Apa dia meminta sesuatu darimu sebagai imbalan?’] Seraphina tertegun. Ingatannya kembali ke saat Cassian mendekatkan wajahnya dan mencoba menciumnya. Lalu, saat di mobil pun, tingkahnya terlihat sedang menggodanya. Tapi, bukankah itu wajar? Ia adalah kekasihnya. Semua kekasih melakukan itu. [‘Seraphina. Aku tak tau kau menyadarinya atau tidak. Tapi, Cassian… selalu meminta imbalan ketika memberimu sesuatu atau berbuat baik padamu.’]Adrian duduk di ruang kontrol lab, tangannya memegang earphone yang terhubung dengan Cypher. Di depannya, layar hologram besar menampilkan peta kota. Titik merah (Seraphina) dan titik biru (Cypher) berhenti di sebuah kafe dekat kampus. Cypher sudah mengenakan pakaian kasual yang dipilih oleh Seraphina—sebuah ketidaklaziman yang membuat Adrian kesal.‘Cypher, scan sekeliling,’ perintah Adrian, suaranya tegang.“Data menunjukkan probabilitas kehadiran Cassian di kafe ini mencapai 78% pada jam ini, Master. Subjek Cassian baru saja mengunggah foto kopi di media sosial, tag lokasi 50 meter dari posisi kami,” jawab Cypher melalui earphone.‘Bagus. Sekarang, Sera, berikan dia performa terbaikmu. Ingat, ini bukan kencan. Ini adalah pengumpulan data.’Di kafe, Seraphina tersenyum. Ia menatap Cypher, yang duduk di seberangnya dengan postur tubuh yang terlalu sempurna.“Baik, Master,” balas Seraphina, berpura-pura memasang ekspresi serius. Tapi beberapa kali Cypher memergoki sudut bibirnya berge
Adrian memutar kursinya, kembali memunggungi Seraphina. Jeda keheningan itu terasa panjang, hanya terdengar suara fan pendingin dari peralatan lab. Matanya yang dingin kini terpaku pada layar hologram, menolak mengakui kengerian yang baru saja ia cerna.“Singularitas,” gumam Adrian, mencoba menenangkan diri dengan istilah ilmiah. “Cypher, aku butuh data processor-mu di momen benturan itu. Jangan bicara anomali, berikan aku rumus.”Cypher maju selangkah. “Penderitaan Seraphina adalah rumus yang Anda cari, Master. Itu adalah variabel energi terkuat yang mengganggu koordinat waktu. Anda mencari perhitungan logis untuk menjelaskan hal yang mustahil.”“Semua yang terjadi di alam semesta ini punya rumus!” desis Adrian, menekan-nekan tombol. “Output energi TADS-5 di tahun 2023 bahkan tidak mampu mengganggu jam digital. Bagaimana mungkin AI paling sempurna yang kubuat bisa dipengaruhi oleh… emosi?”Mata Cypher memancarkan sinar kehijauan yang intens. Ia terdiam selama beberapa detik, menganal
Adrian membeku. Matanya, yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, kini melebar karena terkejut. Ia menatap Seraphina, lalu beralih menatap headset transparan yang tergeletak di meja. Benda itu berkilau perlahan, memancarkan cahaya merah muda keunguan seperti hologram. “Kamu bicara sama siapa, Sera?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Seraphina menghela napas. Ia sudah ketahuan. Semua ketakutan dan kelelahannya tiba-tiba sirna, digantikan oleh kepasrahan yang tenang. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Ia tidak bisa menyia-nyiakannya. Ia menatap mata kakaknya yang tajam. “Cypher. Versi sempurna dari TADS-5 yang kamu ciptakan.” Seraphina mulai berbicara, suaranya pelan dan datar. “Aku akan menceritakan semuanya, dari awal. Tapi aku nggak akan memintamu untuk percaya sama ceritaku, Adrian. Aku cuma minta kamu untuk percaya pada Cypher.” Adrian mengerutkan dahi, bingung. “Cypher dan TADS-5?? Apa yang kamu bicarakan?” Seraphina memandang wajah Adrian, dan ia melih
2023 Mobil Adrian bergerak cepat melintasi jalanan London yang basah. Kaca-kaca mobil berkilauan, memantulkan cahaya lampu jalan yang buram. Di dalam, suasana terasa dingin dan senyap. Seraphina melirik Adrian yang fokus menyetir, wajahnya tegas, rahangnya mengeras. Ia tampak berpikir keras, dan Seraphina tahu Adrian masih tidak memercayai ceritanya. “Aku tahu ini susah dipercaya,” kata Seraphina, memecah keheningan. “Tapi... yang aku ceritain itu nggak bohong.” Adrian tidak menoleh. “Sera, apa pun yang kamu ceritakan tentang Cassian … aku yakin itu karena kamu lagi kesal sama dia aja kan. Akhir-akhir ini kamu berantem sama dia. Kamu sengaja bikin cerita-cerita seperti ini karena marah sama dia. Memangnya apa yang dia lakukan sampai kamu buat cerita jelek-jelekin dia kayak gini?” “Dia melakukan hal yang sangat-sangat buruk, Adrian.” Seraphina berusaha meyakinkan, “Dia beneran berbahaya. Dia bilang mau mengambil alih perusahaan kita.” Adrian menghela napas. “Aku tahu Cassian t
"Cypher, kamu dengar aku?" bisik Seraphina. Seraphina sudah berada di dalam Drury Covent Garden. Kafe itu ramai, namun musik jazz yang diputar membuat suasana terasa tenang. Ia memilih sebuah meja di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Ia duduk, meletakkan ponselnya di atas meja. Tangan-tangan Seraphina terasa dingin dan bergetar, ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Tangannya terangkat, menyentuh telinganya, memastikan earphone transparan itu sudah terpasang dengan nyaman. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. “Cypher?” panggilnya lagi. ‘Aku dengar. Suaramu terdengar jelas, Seraphina. Tenang. Aku di sini,’ jawab Cypher, suaranya tenang dan tanpa emosi. “Sorry,” bisik Seraphina lagi. “Aku gugup. Gimana kalau dia nggak percaya sama aku? Gimana kalau dia malah menganggap aku gila?” ‘Dia akan percaya. Ingat, Adrian tidak percaya pada orang lain selain dirinya. Kita tidak akan memintanya untuk percaya padamu, tapi
2035 Adrian menatap layar monitor besar yang menampilkan sebuah garis waktu bergelombang, ditandai dengan berbagai data aneh. Di sampingnya, Profesor Ellery, seorang pria tua dengan kacamata tebal dan rambut putih yang berantakan, mengangguk perlahan. “Singularitasnya stabil, Adrian,” kata Profesor Ellery, nadanya tegang. “Kami berhasil mencegahnya untuk tidak menghancurkan diri. Pengiriman Cypher beberapa hari yang lalu juga berhasil.” Andrian mengamati layar, tatapannya terlihat serius, juga ada semburat kesal di matanya. “Tapi aku nggak menemukan Cypher di tahun 2025. Hanya ada 10 menit di titik ini. Tapi setelah itu jejak Cypher hilang.” Adrian mengetuk layar yang menampilkan titik koordinasi lokasi. Jendela baru terbuka, kali ini menunjukkan sebuah peta. Jari telunjuk dan ibu jarinya bergerak memperbesar titik. Profesor Ellery mengernyit. "Itu nggak mungkin. Kami mengirim Cypher ke tahun 2025 dengan protokol ketat, tujuannya untuk….” “Aku tahu, untuk mencegah adikku bunuh d