LOGINSeraphine berdiri di depan kelas, tangannya gemetar memegang pointer laser, mulutnya bergerak menjelaskan slide tentang teori psikologi dasar, tapi pikirannya melayang jauh, ia belum menyadari ada yang salah. Hanya saja ia merasakan ata-kata yang keluar dari mulutnya terasa otomatis, seperti naskah yang sudah dihafal. Namun, saat ia melirik ke arah Mr. Hudson, yang duduk di sudut kelas dengan ekspresi serius, sebuah kesadaran menghantamnya seperti petir.
Saat ini dia seharusnya berada di semester enam—semester akhir dan sedang menyelesaikan skripsinya. Menurut ingatannya, enam bulan yang lalu—di semester lima, Mr. Hudson memang mengajar Teori Kepribadian Lanjut, mata kuliah yang penuh dengan analisis kasus dan diskusi berat. Tapi slide di layar, wajah-wajah teman kelompoknya, dan topik sederhana yang mereka bahas, ini adalah Teori Psikologi Dasar, mata kuliah di semester satu. Dua tahun lalu. Seraphina nyaris menjatuhkan pointer-nya, tapi ia berhasil menyelesaikan presentasi dengan wajah pucat. Mr. Hudson hanya mengangguk singkat, menyuruh kelompok berikutnya maju. Tanpa sepatah kata, Seraphina buru-buru meninggalkan kelas, mengabaikan panggilan Genevieve, teman dekat sekaligus teman sekelompoknya, dan berlari ke toilet. Di dalam bilik toilet, ia mengunci pintu. Nafasnya tersengal. Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan ponselnya dan memeriksa tanggal: 8 November 2023. Bukan 2025. Ia membuka chat dengan Cassian, menggulir dengan panik. Benar saja, semua pesan berhenti di tahun 2023, tak ada pesan putus, tak ada hinaan kejam, hanya obrolan ringan tentang kencan dan candaan mereka di masa itu. Seraphina menutup mulutnya, menahan isak yang hampir pecah. Ia mundur dua tahun ke masa lalu. Bukan hanya beberapa bulan, tapi dua tahun penuh. Kenapa? Bagaimana caranya ia kembali? ====== • • • ======= Di kantin kampus, Seraphina duduk sendirian di sudut, secangkir teh chamomile di depannya sudah dingin. Ia merasa lemas, kepalanya pening oleh kebingungan dan ketakutan. Pikirannya terus kembali ke malam itu, lompatan dari balkon, pria berambut perak yang menangkapnya, dan teror di toko gelap bersama geng Cassian. Apakah itu semua pemicu lompatan waktu ini? Atau ada kekuatan lain yang ia tak pahami? Ia begitu tenggelam dalam pikiran hingga tak menyadari seseorang menepuk bahunya. “Sera! Kamu ngapain ngelamun seperti orang kesurupan?” Genevieve, atau Genn, seperti panggilan akrabnya, gadis itu sudah berdiri di belakangnya, rambut pirang pendeknya yang berantakan terlihat seperti biasa. Genn menjatuhkan diri ke kursi di depan Seraphina, matanya penuh rasa ingin tahu, “Tadi abis kelas Mr. Hudson, kamu ke mana? Aku cari-cari, nggak ketemu. Terus, tadi pagi aku lihat kamu dateng pakai Bentley-nya Adrian. Apa kakakmu yang nganterin? Tumben banget nggak bareng Cassian.” Seraphina bergidik mendengar nama Cassian. Jantungnya langsung melonjak, kenangan pesan kejam dan malam mengerikan itu masih segar. , “Aku… sakit perut tadi, makanya buru-buru ke toilet,” jawabnya cepat, berusaha menyembunyikan kegugupan, “Dan iya, tadi pagi Adrian yang antar. Kebetulan dia mau berangkat kerja.” Genn mengangguk-angguk, tapi matanya masih penuh curiga, “Hmm, oke. Tapi Bentley Continental GT itu bikin heboh, tahu nggak? Anak-anak pada bisik-bisik tadi. Kakakmu emang nggak main-main kalau soal mobil.” Seraphina memaksakan senyum, tapi sebelum ia bisa menjawab lebih lanjut, suara yang ia takuti terdengar, riang dan penuh kepemilikan, “Seraphina sayang…” Semua kepala di kantin berpaling. Wajah Seraphina memerah, panik melandanya seperti gelombang. Ia bangkit, berniat kabur, tapi Cassian sudah ada di sampingnya, tangannya dengan cepat menangkap pergelangan tangannya. Dengan senyum lebar yang dulu pernah membuatnya tersipu, ia menarik kursi dan duduk di samping Seraphina, “Kenapa tadi berangkat duluan, hm? Aku nungguin di tempat biasa, eh, kamu udah kabur,” katanya, nada candanya terdengar ringan, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Seraphina gelisah. “Aku… kebetulan Adrian mau berangkat kerja pagi ini, jadi aku ikut,” jawab Seraphina cepat, suaranya gugup. Ia menarik tangannya pelan, tapi Cassian masih memegangnya, jari-jarinya meremas sedikit terlalu keras hingga Seraphina mengernyit kesakitan, “Kamu sengaja menghindari aku, ya?” tanya Cassian lagi, suaranya tetap lembut, tapi ada nada mengancam yang terselip, seperti pisau tersembunyi di balik kain sutra. Seraphina ingat betul sisi Cassian yang ini. Di 2023, ia sering melihatnya sebagai kekasih yang perhatian, penuh pesona, tapi ada saat-saat ketika pertanyaannya terasa seperti interogasi, tatapannya seperti peringatan. Dulu, ia mengabaikan firasat itu, terlalu terpesona oleh senyumnya. Tapi sekarang, setelah apa yang terjadi di 2025, pesan putus, hinaan, dan teror gengnya, setiap gerakannya membuat Seraphina ingin lari, “Nggak, tentu nggak,” katanya, memaksakan senyum, “Aku cuma… maksa Adrian biar aku ikut. Soalnya aku mau ngomongin kado buat Mama. Dia kan sebentar lagi pulang ke London, sekalian kado untuk ulang tahunnya.” Seraphina merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak kunjung usai. Di kantin yang ramai, suara Cassian masih bergema di telinganya, nadanya yang manis namun mengancam membuat jantungnya berdegup tak karuan. Genn, yang duduk di depannya, terus mengunyah sandwich-nya, tak menyadari ketegangan yang menyelimuti Seraphina, “Jadi, beneran Adrian nganterin kamu tadi pagi pake Bentley-nya? Wow, kakakmu yang kaku itu pasti lagi baik mood-nya,” canda Genn, tapi Seraphina hanya bisa mengangguk lemas, pikirannya terpecah antara kebohongan yang ia ciptakan dan kenyataan aneh yang ia jalani. Cassian, yang masih memegang tangannya, mencondongkan tubuh lebih dekat, “Kamu nggak bohong, kan, Sera?” tanyanya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk Seraphina berdiri, “Aku nggak suka kalau kamu main rahasia-rahasia sama aku.” Senyumnya tetap terpasang, tapi remasan tangannya semakin kuat, membuat Seraphina menahan sakit. Ia ingin menarik tangannya, ingin berlari, tapi tatapan Cassian seperti menahannya di tempat. “Nggak, Cass, aku nggak bohong,” jawab Seraphina cepat, suaranya nyaris tersedak. Ia memaksakan senyum, berusaha menutupi ketakutan yang menggerogoti, “Aku cuma… ingin quality time sama Kak Adrian. Mama kan ulang tahun, aku pikir mumpung dia di rumah, aku tanya soal kado.” Genn mendengus, meletakkan sandwich-nya. “Quality time sama Adrian? Sera, please. Setahu aku, kakakmu itu lebih suka ngobrol sama laptopnya ketimbang sama orang. Dia tipe yang kasih kamu kartu kredit dan bilang ‘beli apa aja, tapi jangan ganggu aku’.” Genn terkekeh, tapi ucapannya seperti tamparan bagi Seraphina. Kebohongannya terlalu rapuh, dan ia tahu Cassian bukan tipe yang mudah dibodohi. Cassian akhirnya melepaskan tangan Sera, tapi tatapannya tak pernah lepas darinya. “Hmm, oke, kalau gitu,” katanya, nadanya kini lebih ringan, tapi Seraphina tahu itu hanya topeng, “Tapi lain kali bilang, ya, kalau mau pergi sendiri. Aku khawatir, tahu.” Ia mengelus rambut Seraphina dengan gerakan yang seharusnya lembut, tapi terasa seperti peringatan. Seraphina hanya mengangguk, tak berani menatap matanya. ======= • • • ======= Seraphina menyeret langkahnya keluar dari kelas terakhir hari itu, tubuhnya terasa berat meski pikirannya berputar cepat. Kuliah-kuliah tadi berjalan dengan baik, terlalu baik, malah. Baginya, semua materi terasa seperti pengulangan, seperti membaca buku yang sudah ia hafal setiap halamannya. Namun, di balik ketenangan permukaan itu, pertanyaan-pertanyaan terus menggerogoti: Kenapa aku di 2023? Bagaimana aku kembali ke 2025? Dan siapa pria berambut perak itu? Setiap kali ia mencoba fokus, bayangan Cassian, gengnya, dan malam mengerikan di toko gelap itu muncul, membuat dadanya sesak. Sore mulai merangkak, matahari jingga menyelinap di antara gedung-gedung fakultas. Seraphina berjalan gontai melintasi halaman, tasnya tergantung lemas di bahunya. Cassian tak bisa mengantarnya pulang hari ini, ia bilang ada urusan dengan “teman-temannya”. Kata-kata itu saja sudah cukup membuat Sera bergidik. Wajah Rico, salah satu anggota geng Cassian, muncul di benaknya, senyum liciknya, tatapan yang membuatnya merasa seperti mangsa. Ingatan malam di 2025, saat ia diseret ke toko gelap dan nyaris kehilangan segalanya, terasa begitu nyata, meski kini ia tahu itu belum terjadi. Belum. Tapi firasat buruk itu tak mau pergi. Sebuah getar dari ponselnya membuyarkan lamunan. Seraphina berhenti di tengah halaman, mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Notifikasi dari aplikasi DeepThought menyala di layar. Ia mengerutkan kening. DeepThought, ia ingat, aplikasi AI yang ia gunakan untuk curhat selama masa-masa sulit sebelum patah hatinya dengan Cassian di 2025. Dulu, ia sering menumpahkan keluh kesahnya di sana, merasa lebih mudah bicara pada algoritma daripada manusia. Ia hampir lupa aplikasi itu masih terpasang di ponselnya. Dengan jari ragu-ragu, ia membuka notifikasi. Sebuah nama muncul di layar: CYPHER. Di bawahnya, ada pesan singkat: ‘Kau kelihatan bingung, Sera. Mau cerita?’“Kau suka bermain di sini?”Cypher menatap wajah Seraphina yang berseri-seri. Tak lama, Seraphina mengangguk.“Aku sudah lama sekali ingin ke taman bermain seperti ini. Tapi nggak pernah sempat. Orangtuaku selalu berpergian. Sedangkan Adrian—”“Adrian sibuk dengan dirinya sendiri. Tak heran jika dia belum mempunyai pacar” ucap Cypher. Seraphina tertawa terbahak-bahak. Kontras dengan suara yang terdengar di telinga mereka berdua.‘Kalian mulai kurang ajar, ya. Membicarakan orang secara terang-terangan.’ kata Adrian dari seberang earphone yang masih digunakan Seraphina, suaranya kesal.“Kalau kamu nggak mau dengar itu, kamu bisa kok menonaktifkan ‘CCTV’ mu itu dan membiarkan kami untuk menikmati kencan.” Seraphina membalasnya, suaranya seakan menantang Adrian.“Aku nggak pernah bilang menyutujui hubungan kalian. Ingat, kalian hanya berpura-pura saja. Hubungan kalian nggak akan berhasil. Jangan coba-coba!” ancam Adrian. Adrian menatap monitor dengan kemarahan yang membeku. Di hadapanny
Adrian duduk di ruang kontrol lab, tangannya memegang earphone yang terhubung dengan Cypher. Di depannya, layar hologram besar menampilkan peta kota. Titik merah (Seraphina) dan titik biru (Cypher) berhenti di sebuah kafe dekat kampus. Cypher sudah mengenakan pakaian kasual yang dipilih oleh Seraphina—sebuah ketidaklaziman yang membuat Adrian kesal.‘Cypher, scan sekeliling,’ perintah Adrian, suaranya tegang.“Data menunjukkan probabilitas kehadiran Cassian di kafe ini mencapai 78% pada jam ini, Master. Subjek Cassian baru saja mengunggah foto kopi di media sosial, tag lokasi 50 meter dari posisi kami,” jawab Cypher melalui earphone.‘Bagus. Sekarang, Sera, berikan dia performa terbaikmu. Ingat, ini bukan kencan. Ini adalah pengumpulan data.’Di kafe, Seraphina tersenyum. Ia menatap Cypher, yang duduk di seberangnya dengan postur tubuh yang terlalu sempurna.“Baik, Master,” balas Seraphina, berpura-pura memasang ekspresi serius. Tapi beberapa kali Cypher memergoki sudut bibirnya berge
Adrian memutar kursinya, kembali memunggungi Seraphina. Jeda keheningan itu terasa panjang, hanya terdengar suara fan pendingin dari peralatan lab. Matanya yang dingin kini terpaku pada layar hologram, menolak mengakui kengerian yang baru saja ia cerna. “Singularitas,” gumam Adrian, mencoba menenangkan diri dengan istilah ilmiah. “Cypher, aku butuh data processor-mu di momen benturan itu. Jangan bicara anomali, berikan aku rumus.” Cypher maju selangkah. “Penderitaan Seraphina adalah rumus yang Anda cari, Master. Itu adalah variabel energi terkuat yang mengganggu koordinat waktu. Anda mencari perhitungan logis untuk menjelaskan hal yang mustahil.” “Semua yang terjadi di alam semesta ini punya rumus!” desis Adrian, menekan-nekan tombol. “Output energi TADS-5 di tahun 2023 bahkan tidak mampu mengganggu jam digital. Bagaimana mungkin AI paling sempurna yang kubuat bisa dipengaruhi oleh… emosi?” Mata Cypher memancarkan sinar kehijauan yang intens. Ia terdiam selama beberapa detik, m
Adrian membeku. Matanya, yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, kini melebar karena terkejut. Ia menatap Seraphina, lalu beralih menatap headset transparan yang tergeletak di meja. Benda itu berkilau perlahan, memancarkan cahaya merah muda keunguan seperti hologram. “Kamu bicara sama siapa, Sera?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Seraphina menghela napas. Ia sudah ketahuan. Semua ketakutan dan kelelahannya tiba-tiba sirna, digantikan oleh kepasrahan yang tenang. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Ia tidak bisa menyia-nyiakannya. Ia menatap mata kakaknya yang tajam. “Cypher. Versi sempurna dari TADS-5 yang kamu ciptakan.” Seraphina mulai berbicara, suaranya pelan dan datar. “Aku akan menceritakan semuanya, dari awal. Tapi aku nggak akan memintamu untuk percaya sama ceritaku, Adrian. Aku cuma minta kamu untuk percaya pada Cypher.” Adrian mengerutkan dahi, bingung. “Cypher dan TADS-5?? Apa yang kamu bicarakan?” Seraphina memandang wajah Adrian, dan ia melih
2023 Mobil Adrian bergerak cepat melintasi jalanan London yang basah. Kaca-kaca mobil berkilauan, memantulkan cahaya lampu jalan yang buram. Di dalam, suasana terasa dingin dan senyap. Seraphina melirik Adrian yang fokus menyetir, wajahnya tegas, rahangnya mengeras. Ia tampak berpikir keras, dan Seraphina tahu Adrian masih tidak memercayai ceritanya. “Aku tahu ini susah dipercaya,” kata Seraphina, memecah keheningan. “Tapi... yang aku ceritain itu nggak bohong.” Adrian tidak menoleh. “Sera, apa pun yang kamu ceritakan tentang Cassian … aku yakin itu karena kamu lagi kesal sama dia aja kan. Akhir-akhir ini kamu berantem sama dia. Kamu sengaja bikin cerita-cerita seperti ini karena marah sama dia. Memangnya apa yang dia lakukan sampai kamu buat cerita jelek-jelekin dia kayak gini?” “Dia melakukan hal yang sangat-sangat buruk, Adrian.” Seraphina berusaha meyakinkan, “Dia beneran berbahaya. Dia bilang mau mengambil alih perusahaan kita.” Adrian menghela napas. “Aku tahu Cassian t
"Cypher, kamu dengar aku?" bisik Seraphina. Seraphina sudah berada di dalam Drury Covent Garden. Kafe itu ramai, namun musik jazz yang diputar membuat suasana terasa tenang. Ia memilih sebuah meja di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Ia duduk, meletakkan ponselnya di atas meja. Tangan-tangan Seraphina terasa dingin dan bergetar, ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Tangannya terangkat, menyentuh telinganya, memastikan earphone transparan itu sudah terpasang dengan nyaman. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. “Cypher?” panggilnya lagi. ‘Aku dengar. Suaramu terdengar jelas, Seraphina. Tenang. Aku di sini,’ jawab Cypher, suaranya tenang dan tanpa emosi. “Sorry,” bisik Seraphina lagi. “Aku gugup. Gimana kalau dia nggak percaya sama aku? Gimana kalau dia malah menganggap aku gila?” ‘Dia akan percaya. Ingat, Adrian tidak percaya pada orang lain selain dirinya. Kita tidak akan memintanya untuk percaya padamu, tapi







