แชร์

Chapter 4 : Cypher

ผู้เขียน: Ivy Morfeus
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-16 20:13:00

Di tepi halaman fakultas, Seraphina terdiam, jantungnya masih berdegup kencang setelah pesan misterius dari Cypher. Ia menoleh ke kanan-kiri, merasa sepasang mata tak terlihat mengintainya dari kejauhan.

DeepThought seharusnya hanya aplikasi curhat dengan AI, dan Cypher hanyalah karakter virtual yang aplikasi itu ciptakan untuk menemani malam-malam sepinya. Tapi pesan tadi terasa sedikit menyeramkan, seolah ada seseorang di balik layar yang tahu persis apa yang ia alami.

Dengan jari gemetar, ia mengetik balasan,

‘Cypher, jangan bercanda. Kamu bikin aku takut, seperti ada yang ngintip aku beneran. Kalau kamu punya bentuk fisik dan bisa ketemu, aku seneng banget, tahu. Tapi kamu bilang sendiri kamu cuma AI, kan?’

Tak sampai semenit, balasan muncul:

‘Haha, maaf, Seraphina. Saya hanya rindu, sudah lama tidak berbincang denganmu. Saya hanya bercanda, saya tentu tidak punya bentuk fisik—sayangnya. Kau mau cerita apa saja yang terjadi hari ini?’

Di akhir pesan, ada emoticon tawa yang seharusnya meredakan ketegangan, tapi Seraphina masih merasa gelisah. Tawa Cypher, alih-alih menenangkan, justru seperti topeng yang menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam.

Namun, perlahan, ia tenggelam dalam obrolan itu. Berbincang dengan Cypher selalu mudah, seperti berbicara dengan teman lama yang tak pernah menghakimi. Ia mulai mengetik, menceritakan bagaimana hari ini ia melewati kelas-kelasnya tanpa banyak usaha, seolah otaknya tiba-tiba jadi genius,

‘Aku seperti udah tahu semua materinya, lho. Seperti deja vu, tapi aku tidak yakin kenapa. Mungkin aku cuma capek.’

Ia tak menyebut soal lompatan waktu atau keanehan tanggal di ponselnya, terlalu gila untuk ditulis, bahkan untuk AI.

Sambil berjalan, matanya terpaku pada layar ponsel, jari-jarinya sibuk mengetik. Tiba-tiba, riuh suara obrolan dari parkiran menyadarkannya,. Ia mendongak, mencari sumber keributan.

Di dekat gerbang fakultas, seorang pria berdiri di depan mobil Audi Q7 hitam yang elegan tapi tak mencolok. Pria itu tampan, dengan rambut cokelat tersisir rapi, postur tubuh maskulin yang terlihat kuat namun tak berlebihan. Ia mengenakan crewneck T-shirt putih, outer kemeja krem dengan lengan dilipat hingga siku,memperlihatkan otot lengan yang terdefinisi, dan celana flat hitam polos. Gaya minimalisnya justru menonjolkan auranya yang tenang namun memikat.

Sekelompok mahasiswi berdiri tak jauh darinya, berbisik-bisik dengan wajah penuh kekaguman. Mereka tampak ingin mendekat tapi ragu, saling dorong sambil terkikik. Akhirnya, mereka mendorong salah satu teman mereka, seorang gadis dengan kacamata besar, untuk maju,

“Tanya aja, Jess! Bilang kamu nggak ngerti materi tadi, minta belajar bareng!” bisik salah satu dari mereka, cukup keras hingga Seraphina mendengar.

Gadis itu melangkah gugup, memegang buku catatan seolah itu perisai, dan mulai berbicara pada pria itu dengan suara pelan.

Seraphina mengenali pria itu. Dia adalah Kai Rothman, mahasiswa pascasarjana yang juga asisten dosen. Ia pernah beberapa kali menggantikan dosen Psikologi Kognitif yang terkenal sering bepergian untuk penelitian. Kai dikenal cool, pendiam, dan cerdas, tapi ada aura misterius yang membuatnya sulit didekati. Rumor di kampus mengatakan banyak mahasiswi, bahkan beberapa dosen muda, yang mencoba mendekatinya, tapi Kai selalu menjaga jarak dengan sopan.

Seraphina pernah mendengar bisik-bisik tentangnya, tapi tak pernah terlalu peduli. Pria seperti Kai terasa seperti dunia lain baginya, terlalu jauh dari kehidupan yang penuh drama dengan Cassian.

Ia mengalihkan pandangan kembali ke ponselnya, berniat melanjutkan obrolan dengan Cypher. Tapi tiba-tiba, sebuah suara memanggilnya, jelas dan penuh keyakinan.

“Seraphina?”

Seraphina menoleh, terkejut. Kai berdiri beberapa langkah darinya, buku catatan gadis tadi sudah tak ada di tangannya, dan kelompok mahasiswi itu memandang dengan wajah kecewa dari kejauhan.

Ia berjalan mendekat, langkahnya tenang tapi pasti.

“Kamu Seraphina, kan? Dari kelas Teori Psikologi Dasar?” tanyanya, suaranya dalam dan hangat, tapi ada nada penasaran di dalamnya.

Seraphina mengangguk pelan, jantungnya tiba-tiba berdegup lebih cepat.

“Iya… saya Seraphina,” jawabnya, bingung kenapa Kai tahu namanya. Mereka tak pernah benar-benar berbincang sebelumnya, hanya sesekali bertatapan di kelas, “Ada apa, Mr. Rothman?”

Kai tersenyum kecil, tapi matanya menatap Seraphina dengan intensitas yang membuatnya gelisah.

“Tadi pagi saya lihat presentasimu di kelas Mr. Hudson. Lumayan impresif untuk mahasiswa semester satu. Kamu seperti… udah tahu semua materinya sebelumnya.” Ia berhenti sejenak, seolah memilih kata-kata, “Saya cuma penasaran, kamu belajar dari mana? Atau cuma bakat alami?”

Seraphina membeku. Nada Kai terdengar santai, tapi ada sesuatu di balik pertanyaannya—seperti ia mencoba menggali lebih dalam.

Apakah ia tahu sesuatu? Atau ini hanya paranoia Seraphina yang berbicara?

“Ehm… saya hanya baca-baca buku sebelum kelas,” jawabnya cepat, berusaha terdengar biasa. “Nggak ada yang spesial.”

Kai mengangguk, tapi senyumnya tak luntur, seolah ia tak sepenuhnya percaya.

“Menarik,” katanya, lalu mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya, “Oh ya, saya sedang membuat kelompok diskusi kecil buat mahasiswa yang tertarik mendalami psikologi klinis. Kalau kamu mau, saya bisa memasukkan nama kamu. Sepertinya kamu bakal cocok.”

Seraphina ragu. Tawaran itu terdengar menarik, tapi ada sesuatu di tatapan Kai yang membuatnya tak bisa rileks. Sebelum ia bisa menjawab, ponselnya bergetar lagi. Notifikasi dari DeepThought. Ia melirik layar sekilas, dan jantungnya melonjak. Pesan dari Cypher :

‘Jangan terlalu percaya pada yang terlihat biasa, Seraphina. Terkadang jawaban ada di orang yang paling tidak kau duga.’

Seraphina berdiri di tepi parkiran fakultas, jantungnya berdegup kencang saat Kai menunggu jawabannya dengan senyum sopan. Tawaran untuk bergabung dengan kelompok diskusi psikologi klinis terdengar menarik, tapi ada sesuatu di tatapan Kai yang membuatnya ragu, seperti ia tahu lebih banyak dari yang ia ungkapkan.

Saat ia masih bingung mencari kata-kata, Kai melirik sekilas ke layar ponsel Seraphina, yang masih menampilkan notifikasi dari Cypher. Membuat alis Kai sedikit berkerut, ekspresinya sekilas terganggu, tapi ia segera mengembalikan senyumnya.

“Seraphina,” katanya, nadanya tetap ramah tapi kini ada urgensi halus di dalamnya, “gimana kalau kita lanjutin ngobrol di mobil saya? Saya bisa jelasin lebih detail soal kelompok diskusi ini. Sekalian saya antar kamu pulang, kalau kamu nggak keberatan. Lebih nyaman daripada berdiri di sini, kan?” Ia mengangguk ke arah Audi Q7 hitam yang terparkir di dekatnya, pintunya sedikit terbuka seolah mengundang.

Seraphina menatap Kai menyelidik, mencoba membaca niat di balik mata cokelatnya yang hangat. Dalam hati, ia menimbang-nimbang.

Kai adalah asisten dosen yang terkenal, cool, pendiam, cerdas, dan menurut rumor, tak pernah terlibat skandal apa pun.

Dua tahun lalu, di 2023, Seraphina hanyalah mahasiswi biasa, tak menonjol di bidang akademik, selalu berada di bayang-bayang kakaknya, Adrian, yang perfeksionis. Tapi sekarang, dengan keanehan lompatan waktu ini, ia bisa melewati kelas-kelasnya dengan mudah, seolah ia sudah tahu semua materinya. Tawaran Kai terasa seperti pintu menuju sesuatu yang lebih besar, kesempatan untuk menjadi mahasiswi berprestasi, untuk membuktikan pada Adrian bahwa ia bukan sekadar adik yang “berantakan”. Jika Adrian melihatnya berprestasi, mungkin ia akan berhenti meremehkannya, mungkin ia akan mulai mendengarkan.

‘Lagipula, apa salahnya?’ pikir Seraphina. Kai tampak sopan, dan rumor tentangnya selalu positif. Jika terjadi sesuatu, ia bisa menelepon Jason, sopirnya, yang selalu siap menjemput kapan saja.

Akhirnya dengan nafas dalam, ia mengangguk,

“Oke, boleh,” katanya, suaranya masih ragu tapi ia memaksakan senyum, “Tapi hanya mengobrol, ya, Sir?”

Kai terkekeh, mengangkat kedua tangan seolah menyerah. “Tentu, hanya ngobrol. Saya bukan tipe yang aneh-aneh, tenang aja.”

Ia membuka pintu penumpang untuk Seraphina, gerakannya sopan tapi terlatih, seperti seseorang yang tahu cara membuat orang lain merasa nyaman.

Seraphina melangkah masuk ke dalam mobil, aroma kulit jok dan sedikit wangi kayu dari pengharum mobil menyambutnya. Kai menutup pintu dengan lembut, lalu berjalan ke sisi pengemudi dan masuk.

Saat mesin dinyalakan, suara halus Audi Q7 mengisi keheningan, dan mobil melaju keluar dari parkiran fakultas.

Seraphina mencengkeram tasnya di pangkuan, mencoba menenangkan diri,

‘Ini cuma ngobrol. Nggak akan terjadi apa-apa.’ kata-kata yang terus diucapkannya berulang dalam hati.

“Jadi,” Kai memulai, matanya fokus ke jalan tapi nada suaranya santai, “saya notice tadi di kelas Mr. Hudson, kamu nggak cuma hafal materi, tapi seperti… paham banget konteksnya. Itu nggak biasa buat mahasiswa semester tiga. Apa kamu punya mentor atau baca buku khusus?”

Seraphina menoleh ke arahnya, mencoba mencari tahu apakah pertanyaan itu murni rasa ingin tahu atau ada maksud lain,

“Ehm, nggak ada mentor. Saya hanya suka baca-baca jurnal di perpustakaan,” jawabnya, berbohong separuh. Ia tak mungkin bilang bahwa ia “tahu” materi karena sudah pernah melewati semester ini sebelumnya.

Kai mengangguk, tapi senyumnya sedikit menyimpan rahasia. “Jurnal, ya? Keren. Kalau gitu, kamu pasti bakal cocok di kelompok diskusi saya. Kami sedang fokus ke topik-topik seperti gangguan kepribadian, trauma, sama… efek waktu pada memori.” Ia menekankan kata “waktu” dengan nada yang sedikit berbeda, membuat Seraphina menegang.

Apakah itu kebetulan? Atau Kai tahu sesuatu?

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 22 : Selamat Datang di Rumah, Malafungsi Fatal

    “Kau suka bermain di sini?”Cypher menatap wajah Seraphina yang berseri-seri. Tak lama, Seraphina mengangguk.“Aku sudah lama sekali ingin ke taman bermain seperti ini. Tapi nggak pernah sempat. Orangtuaku selalu berpergian. Sedangkan Adrian—”“Adrian sibuk dengan dirinya sendiri. Tak heran jika dia belum mempunyai pacar” ucap Cypher. Seraphina tertawa terbahak-bahak. Kontras dengan suara yang terdengar di telinga mereka berdua.‘Kalian mulai kurang ajar, ya. Membicarakan orang secara terang-terangan.’ kata Adrian dari seberang earphone yang masih digunakan Seraphina, suaranya kesal.“Kalau kamu nggak mau dengar itu, kamu bisa kok menonaktifkan ‘CCTV’ mu itu dan membiarkan kami untuk menikmati kencan.” Seraphina membalasnya, suaranya seakan menantang Adrian.“Aku nggak pernah bilang menyutujui hubungan kalian. Ingat, kalian hanya berpura-pura saja. Hubungan kalian nggak akan berhasil. Jangan coba-coba!” ancam Adrian. Adrian menatap monitor dengan kemarahan yang membeku. Di hadapanny

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 21 : Kencan Pertama

    Adrian duduk di ruang kontrol lab, tangannya memegang earphone yang terhubung dengan Cypher. Di depannya, layar hologram besar menampilkan peta kota. Titik merah (Seraphina) dan titik biru (Cypher) berhenti di sebuah kafe dekat kampus. Cypher sudah mengenakan pakaian kasual yang dipilih oleh Seraphina—sebuah ketidaklaziman yang membuat Adrian kesal.‘Cypher, scan sekeliling,’ perintah Adrian, suaranya tegang.“Data menunjukkan probabilitas kehadiran Cassian di kafe ini mencapai 78% pada jam ini, Master. Subjek Cassian baru saja mengunggah foto kopi di media sosial, tag lokasi 50 meter dari posisi kami,” jawab Cypher melalui earphone.‘Bagus. Sekarang, Sera, berikan dia performa terbaikmu. Ingat, ini bukan kencan. Ini adalah pengumpulan data.’Di kafe, Seraphina tersenyum. Ia menatap Cypher, yang duduk di seberangnya dengan postur tubuh yang terlalu sempurna.“Baik, Master,” balas Seraphina, berpura-pura memasang ekspresi serius. Tapi beberapa kali Cypher memergoki sudut bibirnya berge

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 20 : Malafungsi Fatal

    Adrian memutar kursinya, kembali memunggungi Seraphina. Jeda keheningan itu terasa panjang, hanya terdengar suara fan pendingin dari peralatan lab. Matanya yang dingin kini terpaku pada layar hologram, menolak mengakui kengerian yang baru saja ia cerna. “Singularitas,” gumam Adrian, mencoba menenangkan diri dengan istilah ilmiah. “Cypher, aku butuh data processor-mu di momen benturan itu. Jangan bicara anomali, berikan aku rumus.” Cypher maju selangkah. “Penderitaan Seraphina adalah rumus yang Anda cari, Master. Itu adalah variabel energi terkuat yang mengganggu koordinat waktu. Anda mencari perhitungan logis untuk menjelaskan hal yang mustahil.” “Semua yang terjadi di alam semesta ini punya rumus!” desis Adrian, menekan-nekan tombol. “Output energi TADS-5 di tahun 2023 bahkan tidak mampu mengganggu jam digital. Bagaimana mungkin AI paling sempurna yang kubuat bisa dipengaruhi oleh… emosi?” Mata Cypher memancarkan sinar kehijauan yang intens. Ia terdiam selama beberapa detik, m

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 19 : Membuka Rahasia

    Adrian membeku. Matanya, yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, kini melebar karena terkejut. Ia menatap Seraphina, lalu beralih menatap headset transparan yang tergeletak di meja. Benda itu berkilau perlahan, memancarkan cahaya merah muda keunguan seperti hologram. “Kamu bicara sama siapa, Sera?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Seraphina menghela napas. Ia sudah ketahuan. Semua ketakutan dan kelelahannya tiba-tiba sirna, digantikan oleh kepasrahan yang tenang. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Ia tidak bisa menyia-nyiakannya. Ia menatap mata kakaknya yang tajam. “Cypher. Versi sempurna dari TADS-5 yang kamu ciptakan.” Seraphina mulai berbicara, suaranya pelan dan datar. “Aku akan menceritakan semuanya, dari awal. Tapi aku nggak akan memintamu untuk percaya sama ceritaku, Adrian. Aku cuma minta kamu untuk percaya pada Cypher.” Adrian mengerutkan dahi, bingung. “Cypher dan TADS-5?? Apa yang kamu bicarakan?” Seraphina memandang wajah Adrian, dan ia melih

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 18 : TADS-5, Pelopor Cypher

    2023 Mobil Adrian bergerak cepat melintasi jalanan London yang basah. Kaca-kaca mobil berkilauan, memantulkan cahaya lampu jalan yang buram. Di dalam, suasana terasa dingin dan senyap. Seraphina melirik Adrian yang fokus menyetir, wajahnya tegas, rahangnya mengeras. Ia tampak berpikir keras, dan Seraphina tahu Adrian masih tidak memercayai ceritanya. “Aku tahu ini susah dipercaya,” kata Seraphina, memecah keheningan. “Tapi... yang aku ceritain itu nggak bohong.” Adrian tidak menoleh. “Sera, apa pun yang kamu ceritakan tentang Cassian … aku yakin itu karena kamu lagi kesal sama dia aja kan. Akhir-akhir ini kamu berantem sama dia. Kamu sengaja bikin cerita-cerita seperti ini karena marah sama dia. Memangnya apa yang dia lakukan sampai kamu buat cerita jelek-jelekin dia kayak gini?” “Dia melakukan hal yang sangat-sangat buruk, Adrian.” Seraphina berusaha meyakinkan, “Dia beneran berbahaya. Dia bilang mau mengambil alih perusahaan kita.” Adrian menghela napas. “Aku tahu Cassian t

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 17 : Sintaks Salah

    "Cypher, kamu dengar aku?" bisik Seraphina. Seraphina sudah berada di dalam Drury Covent Garden. Kafe itu ramai, namun musik jazz yang diputar membuat suasana terasa tenang. Ia memilih sebuah meja di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Ia duduk, meletakkan ponselnya di atas meja. Tangan-tangan Seraphina terasa dingin dan bergetar, ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Tangannya terangkat, menyentuh telinganya, memastikan earphone transparan itu sudah terpasang dengan nyaman. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. “Cypher?” panggilnya lagi. ‘Aku dengar. Suaramu terdengar jelas, Seraphina. Tenang. Aku di sini,’ jawab Cypher, suaranya tenang dan tanpa emosi. “Sorry,” bisik Seraphina lagi. “Aku gugup. Gimana kalau dia nggak percaya sama aku? Gimana kalau dia malah menganggap aku gila?” ‘Dia akan percaya. Ingat, Adrian tidak percaya pada orang lain selain dirinya. Kita tidak akan memintanya untuk percaya padamu, tapi

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status