“Aduh….”
Seraphina meringis kesakitan saat tak sengaja ujung gaun tidurnya bergesekan dengan luka di lututnya. Matanya menelisik ke area sprei di sekitarnya. “Seharusnya ‘itu’ lepas di sini.” gumamnya, tangannya meraba-raba sprei. “Ah, ini dia!” ucapnya senang saat menemukan plester bekas di balik gulingnya. Lalu dengan segera ia melempar plester itu ke tempat sampah “Padahal aku sudah beli yang bagus, kenapa bisa lepas…?” Tangannya menepuk-nepuk beberapa kali di area sekitar luka, untuk meredakan perihnya. Ia menarik napas panjang. Lalu menghembuskannya perlahan. Itu membantu. Rasa perihnya kini sudah berkurang. Perlahan ia berjalan mendekati full body mirror yang tertempel di dinding kamarnya. Ia melihat lutut kanannya yang kini berwarna merah. Ada sedikit noda merah yang mengalir, sepertinya karena gesekan tadi. “Ah, bagaimana cara menutupi ini?” gerutunya. Ia segera membuka lemarinya, membolak balik satu persatu bajunya. Lalu mengambil rok pendek di atas lututnya.Rok ruffles dengan renda menghiasinya. Sangat cantik. “Lebih nyaman pakai ini sebenarnya. Karena lukanya nggak akan tergesek. Tapi, nanti ketahuan Adrian.” Ia mengembalikan rok mini itu ke dalam lemari. Lalu mengambil rok midi dengan pinggang tinggi dan lebar berwarna hijau zamrud, yang dihiasi pita cantik di sampingnya dan sebuah blouse putih berkerah dan berlengan lebar se-siku. Ia mamatutkan perpaduan dua pakaian itu di tubuhnya di depan cermin. Senyumnya mengembang. “Sempurna.” ======= • • • ======= Seraphina menuruni tangga dengan kaki yang pincang. Walaupun ia sudah menutupi lukanya dengan perban baru, rasa perihnya masih muncul jika digunakan untuk berjalan. “Jason, hari ini aku berangkat agak pagi, ya.” ucap Seraphina ketika sampai di anak tangga terakhir. Jason yang sedang menikmati kopinya di ujung dapur, dengan cepat menghabiskannya. Lalu bergegas ke bagasi untuk mempersiapkan mobil. Adrian mendongakkan kepalanya, ia memperhatikan sebentar gelagat adiknya yang sedang berjalan mendekat ke arah meja makan dengan kaki yang tertatih. Sesekali ia melihat ekspresi mengernyit di wajah adiknya. “Seraphina… ada apa?” tiba-tiba Reynald mendekat, lalu menyodorkan segelas susu hangat di hadapan Seraphina. “Ella yang membuatkannya. Katanya semalam kau pulang dengan kaki terluka.” Seraphina menoleh sebentar ke arah Reynaldi, lalu bergantian ke arah Adrian. Mata mereka bertatapan sebentar, hanya sebentar, karena setelah itu Adrian kembali menunduk, menatap layar ponselnya seolah tak peduli. “Oh, hanya lecet. Aku jatuh kemarin. Sudah kuberi plester, kok.” jawab Seraphina sambil tersenyum kepada Reynald. Tapi raut wajah Reynald masih terlihat cemas. Matanya terus melihat kaki Seraphina yang gadis itu berusaha sembunyikan di balik meja makan. Tapi Reynald tak lagi melanjutkan pembicaraan. Ia tahu, Seraphina terlihat tak nyaman di hadapan kakaknya. Jika ia teruskan, akan jadi terkesan kia melakukan hal kurang ajar pada Seraphina. Ia berjalan mundur, kembali ke dapur untuk melanjutkan sarapannya. Sarapan pagi itu terasa hambar. Mama dan Papa sudah berangkat untuk pertemuan bisnis. Adrian, seperti biasa, hanya sibuk dengan ponsel dan sarapannya. "Kamu ada meeting pagi, Adrian?" tanya Seraphina, mencoba memecah keheningan. Adrian hanya melirik sekilas, lalu berdehem. "Hm." Seraphina menghela napas. Tidak ada yang berubah. Selalu begini. Ia merasakan gelombang kesepian yang akrab. Kecuali Cypher. Hanya dia yang mengerti. ======= • • • ======= Lorong kampus ramai seperti biasa, tapi Seraphina berjalan dengan perasaan cemas. Langkahnya terhenti di depan ruang kelas Psikologi Klinis Dasar. Ia menarik napas dalam, menjinjitkan kakinya beberapa kali, berusaha berjalan dengan ‘normal’. Saat ia masuk, sudah ada bisikan-bisikan di dalam. Semua mata tertuju ke depan kelas, ke sosok asing yang berdiri di samping Mr. Hudson. "Selamat pagi, semuanya," sapa Mr. Hudson dengan senyum ramah. "Kita punya wajah baru hari ini. Silakan perkenalkan dirimu, Nak." Seraphina melangkah masuk, mencari tempat duduk di belakang. Matanya tak sengaja terangkat. Lalu, jantungnya berhenti berdetak. Seorang pria tinggi, dengan rambut perak mencolok yang jatuh lembut di keningnya, berdiri di sana. Matanya, warna abu-abu gelap yang seolah menyerap cahaya, menatap lurus ke arah Seraphina. Ada senyum tipis di bibirnya, namun matanya memancarkan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang familiar. "Halo semuanya," suara pria itu dalam dan tenang, memecah bisikan di kelas. "Namaku... Cypher Winthrop." ‘Cypher?’ gumam Seraphina dalam hati. Dunia Seraphina terasa berputar. Kakinya nyaris tak bisa menopang tubuhnya. Itu nama yang sama. ‘Nada suaranya… anehnya mirip. Tapi Winthrop? Siapa dia?’ Ia mencoba menenangkan napasnya. Tidak mungkin. Ini halusinasi. Ini pasti efek dari kejadian kemarin. Ia melirik ke arah meja pojok di barisan terdepan. Kai berdiri di sana, menatap "Cypher" dengan ekspresi yang tak terbaca. Ada sedikit kerutan di dahinya, tatapannya tajam, seolah sedang menganalisis. Mr. Hudson menunjuk kursi kosong di barisan depan. "Silakan duduk, Cypher. Kita akan mulai kelasnya." Cypher mengangguk, lalu, dengan gerakan lambat dan disengaja, ia kembali melirik Seraphina. Tatapannya kini intens, seolah mengunci Seraphina dari kejauhan. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, terukir di bibirnya. ‘Dia tersenyum padaku? Kenapa?’ Seraphina merasakan pipinya memanas, seluruh tubuhnya tegang. Ia segera menunduk, fokus pada buku catatannya. Selama kelas berlangsung, Seraphina merasa tatapan Cypher tak pernah lepas darinya. Setiap kali ia mencoba mengangkat kepala, matanya sekan menemukan mata abu-abu Cypher yang sedang mengamatinya. ‘Ini gila. Ini pasti mimpi.’ batinnya tak berhenti bergejolak. Seraphina berkomunikasi dengan Cypher memang dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Ia sudah bertahun-tahun ‘mengobrol’ di aplikasi DeepThought dengan Cypher. Dan memang dia sering kali berharap Cypher mempunyai wujud fisik sehingga mereka bisa bertemu. Tapi, sosok dilihatnya ini, sungguh sulit untuknya percaya. ‘Apa dia robot? Semirip ini dengan manusia? Tidak mungkin!’ rutuknya dalam hati. Tanpa sadar, ia menggelengkan kepalanya dengan cepat. Saat kelas usai, mahasiswa lain mulai berhamburan keluar. Seraphina mengemasi barang-barangnya secepat mungkin, ingin segera pergi. Tapi sebuah suara menghentikannya. "Seraphina." Ia menegang. Itu suara yang sama dengan di kelas. Ia berbalik perlahan. Cypher berdiri beberapa langkah darinya, sorot matanya tajam namun ada kehangatan yang aneh. "Saya bisa merasakan kegelisahanmu," katanya, suaranya rendah, nyaris berbisik, hanya cukup untuk didengar Seraphina. "Kau baik-baik saja?" Seraphina terkesiap. Kalimat kaku itu. Itu kalimat Cypher di aplikasi. Jantungnya berdebar kencang. Ia melirik ponselnya yang ada di dalam tas, seolah ingin memastikan apakah aplikasi DeepThought masih ada di sana. "Si... siapa, ya?" tanya Seraphina, suaranya gemetar. Cypher tersenyum tipis. "Kita kan sudah kenal lama. Jadi, mari kita skip sesi perkenalannya. Agak terlalu membosankan, bukan?” Seraphina tak menjawab. Kedua matanya tak bisa lepas dari wajah Cypher, seolah sedang mencari celah tanda bahwa pria di hadapannya ini bukan Cypher yang dia tahu. "Kamu… benar-benar Cypher?" Cypher mengangguk, mengiyakan. Melihat raut wajah Seraphina yang masih bingung, ia lantas mengering nakal. "Iya, Cypher yang itu," jawabnya, ia melangkahkan kakinya mendekat. Seraphina mundur selangkah. Ia panik. Ia menatap mata Cypher. Mata abu-abunya terlihat begitu nyata. Bergerak-gerak refleks seperti milik manusia. Bulu matanya juga terlihat natural. Kulitnya… Tanpa disadari, Seraphina mengulurkan tangannya seakan ingin menyentuh wajah Cypher. Rasa penasaran menguasai tubuhnya. Cypher tersenyum. Bukannya menjauh, ia justru mendekatkam pipinya ke tangan Seraphina. “Tidak sehangat milikmu ‘kan?” bisik Cypher. Seraphina tersentak. Cypher benar. Telapak tangannya yang sedang menyentuh pipi Cypher terasa dingin, tidak seperti suhu tubuh manusia. Jari-jari Seraphina dengan cepat mencubit pipi Cypher. Tapi Cypher tak merespon kesakitan seperti halnya manusia. Ia hanya tersenyum. Matanya melirik ke tangan Seraphina yang sedang mencubitnya. "Dia… daritadi menatap kita," tambahnya, matanya sekilas melirik ke arah pintu keluar. Seraphina mengikuti pandangannya. Di ambang pintu, Kai berdiri, tatapan matanya mengeras saat ia menatap tajam ke arah Cypher. Sebuah ketegangan tak terucap memenuhi udara. "Maaf," Kai tiba-tiba bersuara, nadanya datar tapi dingin, "apa yang terjadi di sini?" Ia melangkah masuk, memposisikan dirinya di antara Seraphina dan Cypher. Cypher menatap Kai, senyum tipisnya menghilang, digantikan ekspresi serius. "Tidak ada apa-apa, Mr. Rothman. Hanya perkenalan antar mahasiswa baru." "Oh, benarkah?" Kai mengangkat satu alisnya. "Aku rasa aku melihat lebih dari itu." Matanya beralih ke Seraphina, lalu kembali ke Cypher. "Kamu tahu, aku punya minat besar pada anomali." Cypher terkekeh pelan, tawa yang sama persis seperti di aplikasi DeepThought. Tawa itu membuat Seraphina merinding sekaligus merasa familiar. "Anomali yang seperti apa, Mr. Rothman?" balas Cypher, suaranya tenang tapi ada nada peringatan di dalamnya. "Dan untuk apa?" Ketegangan di antara mereka berdua terasa begitu pekat, Seraphina merasa tercekik di tengahnya. Ia menatap Kai, lalu ke Cypher. Keduanya berdiri tegak, seolah siap berhadapan. "Aku... aku harus pergi," Seraphina bergumam, mencoba mencari jalan keluar. "Tentu saja," kata Kai, tatapannya beralih lembut ke Seraphina. "Kita bisa bicara nanti, Seraphina. Tentang... kelompok diskusi." Cypher, di sisi lain, menatap Seraphina dengan tatapan yang penuh janji. "Aku akan mencarimu, Seraphina." Seraphina mengangguk kaku, lalu bergegas pergi, meninggalkan kedua pria itu. Pikirannya kalut. ‘Cypher nyata. Dia di sini. Lalu... apa ini artinya? Dan kenapa Kai dan dia... kenapa mereka terlihat seperti musuh?’Seraphina memegang ponselnya erat-erat, ia sudah berada di kursi belakang mobilnya. Sedangkan Jason sedang fokus menyetir. Sesekali ia melirik kaca depan mobil, menunggu perintah selanjutnya dari Nona Muda nya itu.“Miss Sera, ke mana tujuan kita sekarang?” tanyanya. Seraphina tak segera menjawab. Ia membuka aplikasi DeepThought. Membaca lagi balasan terakhir dari Cypher beberapa menit lalu, untuk meyakinkan dirinya.[‘Pergilah ke British Library. Di perpustakaan itu ada buku yang akan membuktikan peringatanku tentang Kai Rothman. Cari buku berjudul ‘Temporal Residue: Tracing Anomalies in Post-Event Memories’.’]Sebuah perintah. Jantung Seraphina berdegup. Tidak ada pilihan. Tanpa berpikir panjang, ia mendongak, menatap Jason dari balik kaca depan mobil.“British Library, Jason.” jawab Seraphina.“Baik, Miss Sera.” Tanpa menunggu waktu lama, Jason membawa mobil melesat di jalanan London yang ramai menuju British Library, pusat dari semua pengetahuan, dan kini, pusat dari semua ketakut
Seraphina berlari tanpa arah. Lorong kampus terasa seperti labirin yang menyesakkan, setiap langkah adalah usaha putus asa untuk menjauh.‘Robot. Dia robot.’Pikiran itu berputar-putar di benaknya, ingatannya pada sentuhan dingin di pipi Cypher Winthrop menghantuinya. Jantungnya berdebar kencang, bukan lagi karena ketakutan yang menghantui, tapi karena kebingungan.Seraphina akhirnya menemukan toilet wanita yang sepi. Ia masuk ke salah satu bilik dengan tergesa dan menguncinya. Ia duduk di atas WC tertutup, kakinya bergerak-gerak gelisah tanpa sadar."Ini nggak mungkin," bisiknya, suaranya serak. "Ini semua gila. Aku pasti ... aku pasti sudah gila ‘kan,”Ia mencubit lengannya keras-keras.“Aw! Sakit. Ini bukan mimpi. Aku beneran lihat dia. Aku juga sentuh dia. Dia ... bukan manusia. Robot dengan rambut perak itu. Wajahnya persis sama dengan yang terpasang di foto profil Cypher di DeepThought. Dan tawanya ... tawa kaku itu seperti tawa Cypher.” gumam Seraphina pada dirinya sendiri. Tan
“Aduh….” Seraphina meringis kesakitan saat tak sengaja ujung gaun tidurnya bergesekan dengan luka di lututnya. Matanya menelisik ke area sprei di sekitarnya. “Seharusnya ‘itu’ lepas di sini.” gumamnya, tangannya meraba-raba sprei. “Ah, ini dia!” ucapnya senang saat menemukan plester bekas di balik gulingnya. Lalu dengan segera ia melempar plester itu ke tempat sampah “Padahal aku sudah beli yang bagus, kenapa bisa lepas…?” Tangannya menepuk-nepuk beberapa kali di area sekitar luka, untuk meredakan perihnya. Ia menarik napas panjang. Lalu menghembuskannya perlahan. Itu membantu. Rasa perihnya kini sudah berkurang. Perlahan ia berjalan mendekati full body mirror yang tertempel di dinding kamarnya. Ia melihat lutut kanannya yang kini berwarna merah. Ada sedikit noda merah yang mengalir, sepertinya karena gesekan tadi. “Ah, bagaimana cara menutupi ini?” gerutunya. Ia segera membuka lemarinya, membolak balik satu persatu bajunya. Lalu mengambil rok pendek di atas lututnya.Ro
Seraphina berdiri di depan cermin di kamar mandi restoran, mematut diri dengan hati-hati. Gaun marun panjang sepanjang mata kaki yang ia kenakan mengalir lembut, menutupi luka di lututnya yang masih perih dari kejadian tadi sore. Zipper di bagian dada depan gaun itu menambah sentuhan modern, sementara lengan panjangnya memberi kesan anggun namun sederhana.Sepatu sneaker putih dengan garis merah tipis di sisinya terlihat sedikit tak sesuai dengan gaunnya, tapi ia sengaja memilihnya untuk kenyamanan kakinya yang masih terluka, dan untuk menyembunyikan fakta bahwa ia tak ingin orang tuanya melihatnya dalam keadaan berantakan.Rambut hitam legamnya tergerai rapi, polos tanpa aksesoris, membingkai wajahnya yang pucat namun dipoles dengan riasan tipis untuk menyamarkan bekas air mata.Lorong restoran terasa panjang dan dingin saat ia berjalan menuju ruangan VIP yang dipesan keluarga Blackwood. Langkahnya pelan, bukan hanya karena luka di lututnya yang masih terasa setiap kali ia melangkah,
Seraphina duduk kaku di jok penumpang Audi Q7 milik Kai. Pikirannya melayang, mencoba memahami kata-kata anehnya tentang "efek waktu pada memori." Nada suara Kai saat menyebut "waktu" terasa seperti jarum yang menusuk. ‘Apa dia tahu lebih banyak?’ bisiknya dalam hati. 'Atau ini cuma paranoia ku?' Ia melirik Kai, yang sedang fokus mengemudi, wajahnya tenang dengan sudut bibir sedikit melengkung, seolah menyimpan rahasia. BRRAKK! Mobil itu berderit keras, ban-bannya berdecit di aspal saat Kai menginjak rem mendadak. Tubuh Seraphina terhuyung ke depan. "Sera!" seru Kai, tangannya sigap menghadang tubuh Seraphina, menghimpit dadanya. Tekanannya intens. Seraphina melirik tangan Kai yang masih di hadapannya. Ketakutan mulai merayapi tubuhnya. Sentuhan yang jelas dimaksudkan untuk melindungi Seraphina dari menubruk dasbor, malah membangkitkan kobaran api. Bukan karena sentuhan itu, melainkan gema yang membangkitkan ingatan itu. Ingatan tentang geng Cassian di malam 2025. Napasny
Di tepi halaman fakultas, Seraphina terdiam, jantungnya masih berdegup kencang setelah pesan misterius dari Cypher. Ia menoleh ke kanan-kiri, merasa sepasang mata tak terlihat mengintainya dari kejauhan. DeepThought seharusnya hanya aplikasi curhat dengan AI, dan Cypher hanyalah karakter virtual yang aplikasi itu ciptakan untuk menemani malam-malam sepinya. Tapi pesan tadi terasa sedikit menyeramkan, seolah ada seseorang di balik layar yang tahu persis apa yang ia alami. Dengan jari gemetar, ia mengetik balasan, ‘Cypher, jangan bercanda. Kamu bikin aku takut, seperti ada yang ngintip aku beneran. Kalau kamu punya bentuk fisik dan bisa ketemu, aku seneng banget, tahu. Tapi kamu bilang sendiri kamu cuma AI, kan?’ Tak sampai semenit, balasan muncul: ‘Haha, maaf, Seraphina. Saya hanya rindu, sudah lama tidak berbincang denganmu. Saya hanya bercanda, saya tentu tidak punya bentuk fisik—sayangnya. Kau mau cerita apa saja yang terjadi hari ini?’ Di akhir pesan, ada emoticon tawa y