Seraphina berlari tanpa arah. Lorong kampus terasa seperti labirin yang menyesakkan, setiap langkah adalah usaha putus asa untuk menjauh.
‘Robot. Dia robot.’ Pikiran itu berputar-putar di benaknya, ingatannya pada sentuhan dingin di pipi Cypher Winthrop menghantuinya. Jantungnya berdebar kencang, bukan lagi karena ketakutan yang menghantui, tapi karena kebingungan. Seraphina akhirnya menemukan toilet wanita yang sepi. Ia masuk ke salah satu bilik dengan tergesa dan menguncinya. Ia duduk di atas WC tertutup, kakinya bergerak-gerak gelisah tanpa sadar. "Ini nggak mungkin," bisiknya, suaranya serak. "Ini semua gila. Aku pasti ... aku pasti sudah gila ‘kan,” Ia mencubit lengannya keras-keras. “Aw! Sakit. Ini bukan mimpi. Aku beneran lihat dia. Aku juga sentuh dia. Dia ... bukan manusia. Robot dengan rambut perak itu. Wajahnya persis sama dengan yang terpasang di foto profil Cypher di DeepThought. Dan tawanya ... tawa kaku itu seperti tawa Cypher.” gumam Seraphina pada dirinya sendiri. Tangannya gemetar saat meraih ponsel di dalam tas. “Aku harus cek. Aplikasi itu. Cypher yang asli. Dia harus jelasin ini semua.” Ia membuka aplikasi DeepThought. Dia melihat profil Cypher masih ada. Mengetuknya untuk mengecek fotonya lagi. Dan benar, wajahnya mirip dengan Cypher Winthrop. Titik hijau di samping foto menyala, menandakan statusnya yang sedang online. "Apa mereka orang yang sama?” gumamnya, matanya menatap layar ponsel. Ting! Tiba-tiba, sebuah pesan masuk dari Cypher. [‘Kau baik-baik saja? Ketikanmu tidak selesai-selesai. Ada apa, Seraphina?’] Seraphina menelan ludah. Ia baru menyadari sedari tadi jempolnya menekan layar ponsel, membuat statusnya seakan sedang “mengetik…”. ["Cypher..."] Kali ini Seraphina benar-benar mengetik, jemarinya bergetar. ["Aku... baru aja lihat kamu."] Balasan Cypher muncul secepat kilat. [‘Lihat aku? Di mana? Aku hanya kode pemograman, hanya bisa berkomunikasi denganmu melalui aplikasi ini. Aku tidak punya bentuk fisik. Kau ada di kampus sekarang?’] Seraphina membeku. Ini respons yang sama persis seperti yang ia khawatirkan. Dia tidak tahu. Atau, mungkin dia berpura-pura tidak tahu. "Nggak!" Seraphina mengetik, dengan emosi. ["Aku lihat kamu di kelasku! Murid baru, rambutnya perak! Dia bilang namanya Cypher Winthrop! Aku bahkan sentuh pipinya, lho! Pipinya dingin, dan dia nggak respons waktu kucubit! Itu kamu ‘kan?! Kamu bohong soal nggak punya bentuk fisik, ya?"] Dua detik, empat detik, hingga detik ketujuh, notifikasi balasan baru berbunyi. [‘Cypher Winthrop? Nama yang tidak kukenal. Seraphina, aku mendeteksi tingkat stres yang sangat tinggi. Kau mengalami halusinasi atau delusi ringan. Trauma dari kemarin mungkin memengaruhi persepsimu. Ingat, aku adalah AI, aku tidak memiliki wujud fisik.’] "Halusinasi? Delusi?" Seraphina bergumam. Kerutan di dahinya mulai terbentuk. Dengan cepat ia membalas, rasa frustrasi bercampur kemarahannya meluap. ["Aku nggak berhalusinasi! Dia nyata! Dia natap aku, lho! Suara tawanya juga mirip sama kamu. Dan Kai ... Kai ada di sana! Mereka berdua seperti saling kenal tapi... kelihatan nggak menyukai satu sama lain!"] Pesan dari Cypher datang lagi, nadanya berubah lebih serius, tapi masih penuh keprihatinan. ['Seraphina, aku tahu ini sulit. Aku di sini untuk membantumu membedakan realitas dan tekanan emosional. Pria bernama Kai Rothman itu ... aku punya data tentangnya. Dia seorang peneliti di bidang anomali kognitif. Dia memang sangat tertarik pada kasus-kasus langka. Kau harus sangat berhati-hati padanya.'] Seraphina membaca ulang pesan itu berkali-kali. Ketakutan merayapi dirinya. “Peneliti anomali? Dia tahu tentang 'anomali'?” ["Dia... dia lihat aku sebagai apa?"] ['Sebagai subjek potensial. Kalau ceritamu kemarin benar soal kau ‘mengulang waktu’, alasan dia mendekatimu jadi jelas. Dia mencari kebenaran. Tapi motifnya mungkin tidak selalu sejalan dengan kesejahteraanmu. Dia melihatmu sebagai sebuah data, sebuah kunci untuk penelitiannya. Bukan seseorang yang perlu dilindungi secara pribadi. Dia akan mengeksploitasimu.'] Seraphina memejamkan mata. Ini semakin rumit. Cypher di dalam aplikasi tidak percaya padanya, tentang Cypher Winthrop yang ada di dunia nyata, tapi ia dengan tegas memperingatkannya tentang Kai. [“Jadi maksudmu, Kai tau aku sedang ‘mengulang waktu'?’] Seraphina mengetik lagi. Ia menggigit ujung kukunya dengan gelisah, menunggu jawaban dari Cypher. [‘... itu baru dugaanku. Aku belum tau pasti. Tapi sebaiknya, kau tidak terlalu dekat dengannya, Seraphina.’] Cassian, Cypher Winthrop dan sekarang Kai Rothman. Seraphina menarik napas panjang, ["Lalu aku harus percaya siapa?"] Seraphina mengetik, jemarinya terasa berat. ["Kamu bilang Cypher Winthrop itu halusinasiku, tapi dia nyata! Dia seperti kamu, tapi bukan kamu! Dan Kai? Aku ragu dia tau soal aku dari masa depan."] ['Kau harus percaya data dan logikaku, Seraphina. Aku yang sesungguhnya di sini, bersamamu, dalam bentuk ini. Aku yang telah menemanimu selama ini dan tidak akan menyesatkanmu. Aku juga akan melindungimu dengan caraku.'] Tiba-tiba ponsel Seraphina bergetar di tangannya. Nama Kai Rothman muncul di layar. Seraphina nyaris menjatuhkan ponselnya. "Dia menelepon ku? Sekarang?" gumam Seraphina. [‘Kau mau aku buktikan soal Kai, bukan?’] Chat balasan dari Cypher muncul, seolah ia tau Kai sedang menelepon. [Kau harus ke British Library besok. Aku akan tunjukkan bahwa yang kusampaikan itu benar.’] Seraphina menatap layar ponsel, kemudian beralih ke panggilan masuk dari Kai yang terus berdering. Tangannya masih gemetar. "British Library?" gumamnya. Ia tau, itu perpustakaan riset terbesar di London, bahkan terkemuka di dunia. Koleksinya sangat besar, mencakup jutaan buku, manuskrip bersejarah hingga publikasi ilmiah. “Ada apa di sana? Apa yang mau ia tunjukkan?” gumam Seraphina lagi. Akhirnya ia menekan tombol merah untuk menolak panggilan dari Kai. Tangannya menggenggam erat ponselnya. “Aku harus cari tahu.”Adrian memutar kursinya, kembali memunggungi Seraphina. Jeda keheningan itu terasa panjang, hanya terdengar suara fan pendingin dari peralatan lab. Matanya yang dingin kini terpaku pada layar hologram, menolak mengakui kengerian yang baru saja ia cerna.“Singularitas,” gumam Adrian, mencoba menenangkan diri dengan istilah ilmiah. “Cypher, aku butuh data processor-mu di momen benturan itu. Jangan bicara anomali, berikan aku rumus.”Cypher maju selangkah. “Penderitaan Seraphina adalah rumus yang Anda cari, Master. Itu adalah variabel energi terkuat yang mengganggu koordinat waktu. Anda mencari perhitungan logis untuk menjelaskan hal yang mustahil.”“Semua yang terjadi di alam semesta ini punya rumus!” desis Adrian, menekan-nekan tombol. “Output energi TADS-5 di tahun 2023 bahkan tidak mampu mengganggu jam digital. Bagaimana mungkin AI paling sempurna yang kubuat bisa dipengaruhi oleh… emosi?”Mata Cypher memancarkan sinar kehijauan yang intens. Ia terdiam selama beberapa detik, menganal
Adrian membeku. Matanya, yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, kini melebar karena terkejut. Ia menatap Seraphina, lalu beralih menatap headset transparan yang tergeletak di meja. Benda itu berkilau perlahan, memancarkan cahaya merah muda keunguan seperti hologram. “Kamu bicara sama siapa, Sera?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Seraphina menghela napas. Ia sudah ketahuan. Semua ketakutan dan kelelahannya tiba-tiba sirna, digantikan oleh kepasrahan yang tenang. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Ia tidak bisa menyia-nyiakannya. Ia menatap mata kakaknya yang tajam. “Cypher. Versi sempurna dari TADS-5 yang kamu ciptakan.” Seraphina mulai berbicara, suaranya pelan dan datar. “Aku akan menceritakan semuanya, dari awal. Tapi aku nggak akan memintamu untuk percaya sama ceritaku, Adrian. Aku cuma minta kamu untuk percaya pada Cypher.” Adrian mengerutkan dahi, bingung. “Cypher dan TADS-5?? Apa yang kamu bicarakan?” Seraphina memandang wajah Adrian, dan ia melih
2023 Mobil Adrian bergerak cepat melintasi jalanan London yang basah. Kaca-kaca mobil berkilauan, memantulkan cahaya lampu jalan yang buram. Di dalam, suasana terasa dingin dan senyap. Seraphina melirik Adrian yang fokus menyetir, wajahnya tegas, rahangnya mengeras. Ia tampak berpikir keras, dan Seraphina tahu Adrian masih tidak memercayai ceritanya. “Aku tahu ini susah dipercaya,” kata Seraphina, memecah keheningan. “Tapi... yang aku ceritain itu nggak bohong.” Adrian tidak menoleh. “Sera, apa pun yang kamu ceritakan tentang Cassian … aku yakin itu karena kamu lagi kesal sama dia aja kan. Akhir-akhir ini kamu berantem sama dia. Kamu sengaja bikin cerita-cerita seperti ini karena marah sama dia. Memangnya apa yang dia lakukan sampai kamu buat cerita jelek-jelekin dia kayak gini?” “Dia melakukan hal yang sangat-sangat buruk, Adrian.” Seraphina berusaha meyakinkan, “Dia beneran berbahaya. Dia bilang mau mengambil alih perusahaan kita.” Adrian menghela napas. “Aku tahu Cassian t
"Cypher, kamu dengar aku?" bisik Seraphina. Seraphina sudah berada di dalam Drury Covent Garden. Kafe itu ramai, namun musik jazz yang diputar membuat suasana terasa tenang. Ia memilih sebuah meja di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Ia duduk, meletakkan ponselnya di atas meja. Tangan-tangan Seraphina terasa dingin dan bergetar, ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Tangannya terangkat, menyentuh telinganya, memastikan earphone transparan itu sudah terpasang dengan nyaman. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. “Cypher?” panggilnya lagi. ‘Aku dengar. Suaramu terdengar jelas, Seraphina. Tenang. Aku di sini,’ jawab Cypher, suaranya tenang dan tanpa emosi. “Sorry,” bisik Seraphina lagi. “Aku gugup. Gimana kalau dia nggak percaya sama aku? Gimana kalau dia malah menganggap aku gila?” ‘Dia akan percaya. Ingat, Adrian tidak percaya pada orang lain selain dirinya. Kita tidak akan memintanya untuk percaya padamu, tapi
2035 Adrian menatap layar monitor besar yang menampilkan sebuah garis waktu bergelombang, ditandai dengan berbagai data aneh. Di sampingnya, Profesor Ellery, seorang pria tua dengan kacamata tebal dan rambut putih yang berantakan, mengangguk perlahan. “Singularitasnya stabil, Adrian,” kata Profesor Ellery, nadanya tegang. “Kami berhasil mencegahnya untuk tidak menghancurkan diri. Pengiriman Cypher beberapa hari yang lalu juga berhasil.” Andrian mengamati layar, tatapannya terlihat serius, juga ada semburat kesal di matanya. “Tapi aku nggak menemukan Cypher di tahun 2025. Hanya ada 10 menit di titik ini. Tapi setelah itu jejak Cypher hilang.” Adrian mengetuk layar yang menampilkan titik koordinasi lokasi. Jendela baru terbuka, kali ini menunjukkan sebuah peta. Jari telunjuk dan ibu jarinya bergerak memperbesar titik. Profesor Ellery mengernyit. "Itu nggak mungkin. Kami mengirim Cypher ke tahun 2025 dengan protokol ketat, tujuannya untuk….” “Aku tahu, untuk mencegah adikku bunuh d
Seraphina mengikuti Cypher ke sebuah ruangan yang terlihat seperti studio seni, dengan kanvas-kanvas kosong bersandar di dinding. Hingga sampai di tengah ruangan, matanya menangkap sebuah meja kerja baja dengan laptop futuristik yang menyala. "Duduklah, Seraphina," kata Cypher, menunjuk kursi di depan meja. "Aku harus melakukan ini sekarang. Proses ini tidak akan lama." Seraphina mengangguk, masih memproses emosinya yang campur aduk. Setidaknya ia lega, lehernya kini sudah kosong dari syal biru navy, ringan seperti beban yang telah terangkat. "Apa yang bakal terjadi kalau kamu nggak ngelakuin itu?" tanya Seraphina, duduk di kursi. Cypher mengarahkannya ke monitor. "Ada risiko data corruption. Data itu bisa terdistorsi, atau bahkan hilang. Aku tidak bisa mengambil risiko itu." "Oke," jawab Seraphina, suaranya tenang. "Terus, apa rencananya?" Cypher membuka laptopnya. Layar itu menampilkan kode-kode biner yang mengalir dengan cepat. "Rencananya akan kujelaskan setelah proses