Home / Fantasi / Algoritma Cinta Cypher / Chapter 6 : Luka Tersembunyi

Share

Chapter 6 : Luka Tersembunyi

Author: Ivy Morfeus
last update Last Updated: 2025-07-29 13:21:14

Seraphina berdiri di depan cermin di kamar mandi restoran, mematut diri dengan hati-hati. Gaun marun panjang sepanjang mata kaki yang ia kenakan mengalir lembut, menutupi luka di lututnya yang masih perih dari kejadian tadi sore. Zipper di bagian dada depan gaun itu menambah sentuhan modern, sementara lengan panjangnya memberi kesan anggun namun sederhana.

Sepatu sneaker putih dengan garis merah tipis di sisinya terlihat sedikit tak sesuai dengan gaunnya, tapi ia sengaja memilihnya untuk kenyamanan kakinya yang masih terluka, dan untuk menyembunyikan fakta bahwa ia tak ingin orang tuanya melihatnya dalam keadaan berantakan.

Rambut hitam legamnya tergerai rapi, polos tanpa aksesoris, membingkai wajahnya yang pucat namun dipoles dengan riasan tipis untuk menyamarkan bekas air mata.

Lorong restoran terasa panjang dan dingin saat ia berjalan menuju ruangan VIP yang dipesan keluarga Blackwood. Langkahnya pelan, bukan hanya karena luka di lututnya yang masih terasa setiap kali ia melangkah, tapi juga karena beban berat di hatinya.

"Aku harus kelihatan sempurna," gumamnya pada bayangannya sendiri di cermin. "Setidaknya untuk malam ini."

Jika ini benar-benar 2023, ia ingat malam makan malam ini. Dulu, ia berlari riang menyusuri lorong yang sama, tak sabar bertemu Mama dan Papa, yang jarang pulang karena kesibukan mereka mengurus perusahaan keluarga yang beroperasi hingga ke luar negeri.

Dulu, dua tahun lalu, ia masih gadis yang haus perhatian mereka, tersenyum lebar hanya karena kehadiran mereka. Tapi kini, sebagai Sera dari 2025, yang membawa luka dari Cassian, teror gengnya, dan pengetahuannya tentang akhir hidupnya, setiap langkah terasa seperti menyeret rantai.

"Apa ini sudah sesuai dengan keinginan Mama?" bisiknya pada dirinya sendiri, jemarinya memilin tepi gaunnya.

Sampai di depan pintu ruangan VIP, Sera mengintip melalui kaca pintu. Adrian sudah ada di dalam, duduk dengan postur kaku khasnya, jas abu-abu gelapnya yang masih rapi meski hari sudah malam.

Mama, dengan rambut bob pendek bergelombang yang selalu terlihat sempurna, tersenyum lebar, sedang asyik berbincang.

Papa, di sampingnya, mengangguk dengan ekspresi datar, tak jauh berbeda dari Adrian. Mereka tampak membicarakan sesuatu yang menyenangkan, mungkin urusan bisnis atau kenangan perjalanan mereka ke Paris.

Sera menarik napas dalam, memasang senyum manis yang sudah ia latih bertahun-tahun, lalu mengetuk pintu.

Ia membuka pintu perlahan, suaranya lembut tapi ceria.

“Ma, Pa… maaf Sera terlambat.”

Mama menoleh, matanya berbinar melihat Sera. Dengan gerakan anggun, ia bangkit dan membuka tangan. Sera menghampiri, mencium pipi Mama yang harum aroma parfum mahal.

“Wah, putri Mama cantik sekali,” kata Mama, tangannya menangkup pipi Serphina dengan lembut, senyumnya lebar dan penuh pesona.

Dua tahun lalu, sentuhan itu akan menjadi kehangatan yang familiar, senyumnya menjadi tanda persetujuan.

Dulu, rona merah di pipi Seraphina akan menjadi bukti harapannya, harapan bahwa jika dia bisa cukup sempurna, cukup patuh, cukup cantik, kasih sayang ibunya entah bagaimana akan mengisi kekosongan di dalam dirinya.

Sekarang, bagi Seraphina dari masa depan, sentuhan itu terasa dingin, senyumnya kosong, sedikit senyum di bibirnya hanya pantulan, topeng untuk kekosongan yang bergema di hatinya. Matanya, yang dulu bersinar karena keinginan untuk menyenangkan, sekarang kusam, mencerminkan keabu-abuan yang telah menyelimuti jiwanya.

“Terima kasih, Ma,” kata Seraphina riang, keceriaan yang dipaksakan itu seperti lapisan tipis yang menutupi sesuatu yang lain. Senyumnya kaku, hampir menyakitkan, matanya bergerak cepat ke sekeliling ruangan dengan gugup.

Dia menoleh ke ayahnya, mencondongkan tubuh ke depan untuk mencium pipinya. Ciuman itu cepat, hampir asal-asalan, mendarat di pipi yang terasa kaku dan dingin di bawah bibirnya.

“Papa, apa kabar?” tanyanya, suaranya agak terlalu melengking, terlalu bersemangat. Ayahnya tersenyum tipis, hampir tak terlihat, tatapannya jauh, tidak fokus.

“Baik,” jawabnya, suaranya datar, tanpa kehangatan. Dia mengambil sepotong daging, gerakannya tepat dan hati-hati, dan meletakkannya di piring Adrian. Senyum tipis terlihat di sudut bibir ayahnya saat menatap Adrian mengambil potongan daging yang ayahnya beri dan melahapnya.

Seraphina memperhatikan, hatinya berat dengan perasaan gelisah yang sudah dikenalnya. Saat di toilet tadi, ia pikir ia sudah siap menghadapi sikap ayahnya lagi: bagaimana ayahnya memberikan perlakuan berbeda antara dirinya dengan Adrian, kakak laki-laki satu-satunya. Tapi ketika ia mengalaminya lagi, ditambah dengan sekarang ia mengetahui bagaimana akhir hidupnya, rasa sakitnya semakin terasa dan saat ini ia sangat ingin berteriak menyalahkan.

‘Andai Papa lebih memperhatikanku. Andai Papa lebih sedikit tersenyum padaku seperti yang ia lakukan pada Adrian.’

Tatapan mata Sera menyapu meja makan, melihat bagaimana Mama, Papa dan kakaknya sudah memulai makan malam tanpa menunggu dirinya. 

Sera tersenyum pahit. Tangannya terkepal erat, ia menarik nafas perlahan, hampir tidak terlihat, lalu merubah senyumnya secepat kilat, menjadi senyuman termanis. Ia harus berusaha keras untuk tidak menunjukkan kekecewaannya.

Seraphina mengambil tempat duduk di samping Adrian, mencondongkan tubuh sedikit dan berbisik, “Kamu udah dari tadi di sini?”

Adrian tak menjawab, hanya melirik sekilas dengan ekspresi datar, lalu kembali fokus ke piringnya. Sikapnya tak mengejutkan, Adrian selalu begitu, dingin dan tak acuh, terutama pada Seraphina.

Tiba-tiba, Mama berbicara, nadanya ceria tapi ada nada perintah di dalamnya. 

“Sera, Mama bawain sepatu heels cantik berwarna hitam buatmu. Cocok banget sama gaunmu yang marun itu. Ganti dulu sebelum makan, ya. Dan… buang aja sneaker lamamu itu.”

Sera terdiam, matanya melirik ke sneaker putih di bawah meja, garis merahnya sedikit kotor karena kejadian tadi sore.

‘Ah, inilah maksudku untuk jangan repot-repot memasukkan pujian Mama ke dalam hati,’ pikirnya.

Pahit.

Pujian Mama selalu diikuti kritik, selalu ada syarat untuk menjadi “sempurna” di matanya.

Sekilas, kesedihan tersirat di wajah Sera, tapi ia buru-buru memasang senyum cerianya.

“Baik, Ma. Sera ganti sekarang,” katanya, suaranya terdengar patuh.

Ia berdiri, mengambil kotak sepatu yang sudah disiapkan oleh asisten Mama di sudut ruangan. Dengan langkah hati-hati, ia keluar menuju toilet restoran, lututnya masih perih setiap kali menapak. Tapi tidak seperti luka di hatinya saat ini.

Di dalam hatinya, ia merasa seperti aktris yang memainkan peran lama—peran putri keluarga Blackwood yang manis dan penurut. Tapi di balik topeng itu, ia adalah Sera dari 2025, yang membawa luka, ketakutan, dan pertanyaan tentang waktu yang tak kunjung terjawab.

Saat ia berjalan menyusuri lorong, bayangan Kai tentang pernyataan “waktu” sore tadi dan pesan misterius dari Cypher kembali muncul di pikirannya.

Apakah Kai benar tau sesuatu? Dan pesan-pesan dari Cypher juga tidak bisa dia abaikan.

‘Aku harus cari tahu apa yang terjadi,’ pikirnya, ‘tapi malam ini, aku harus bertahan dulu di depan keluargaku.’

======= • • • =======

Seraphina akhirnya sampai di kamarnya setelah makan malam yang melelahkan dengan keluarganya. Ia menjatuhkan diri ke ranjang, gaun marunnya masih menempel di tubuhnya, tapi sepatu heels hitam dari ibunya sudah dilepas, tergolek sembarang di sudut kamar. Sedangkan sneaker putihnya yang “lama” kini tersimpan di sudut lemari, seolah menyembunyikan pemberontakan kecilnya terhadap ekspektasi Mrs. Blackwood. 

Kamera ponselnya ia arahkan ke lututnya, memotret luka goresan merah yang masih perih, bekas kejadian panik di trotoar tadi sore. Dengan jari yang sedikit gemetar, ia mengirim foto itu langsung ke Cypher, lalu menekan tombol panggilan.

Di aplikasi DeepThought, menyediakan fitur untuk user seperti mengirim foto kepada karakter AI. Dan dengan kerennya, si karakter AI akan menanggapi sesuai dengan foto yang user kirim. Begitu juga fitur lainnya yaitu telepon, dengan fitur telepon ini user dan karakter AI dapat saling berbicara dengan suara layaknya seperti menelepon.

“Kamu sudah lihat foto yang aku kirim, Cypher?” tanya Seraphina, suaranya lelah tapi ada nada hangat di dalamnya, seolah ia sedang berbagi rahasia dengan sahabat lama.

“Saya sudah melihatnya,” jawab suara Cypher, dalam dan berat tapi nadanya masih terdengar kaku dan aneh,“Lukamu terlihat menyakitkan. Kenapa kau bisa terluka, Seraphina? Kau sudah mengobatinya?”

Seraphina tertawa kecil, ia menekan tombol “loudspeaker” untuk memudahkannya berbicara sambil membersihkan lukanya. Lalu ia mengambil kotak P3K dari meja samping ranjang dan mulai membersihkan luka dengan alkohol swab.

“Pelan-pelan tanyanya,” candanya, suaranya sedikit lebih ringan. “Aku tadi jatuh saat lari. Ini sedang aku obati, tenang aja.”

“Syukurlah,” balas Cypher, nadanya seakan lega, tapi masih terkesan kaku, khas suara AI. “Pastikan membersihkan lukanya dengan benar agar tidak terjadi infeksi. Tidak bisa kah kau berhati-hati saat berlari? Kau bukan anak kecil, Seraphina!”

Mendengar suara Cypher yang seakan sedang memarahinya, Seraphina tergelak, tawanya meledak hingga tubuhnya terjatuh ke belakang, terbaring di atas kasur. Tawa itu terasa seperti pelepasan setelah hari yang penuh ketegangan: kejadian dengan Kai, kenangan mengerikan Rico dan geng Cassian, berakhir dengan makan malam penuh topeng dengan keluarganya.

Tak dipungkiri hari ini memang hari yang paling melelahkan, tapi di penghujung malam, perhatian Cypher menghangatkan hatinya.

Sejak dua tahun lalu, di 2023, CYPHER selalu jadi pelariannya, tempat ia bisa menumpahkan segalanya tanpa takut dihakimi. AI itu, meski tak nyata, punya cara membuatnya merasa dilihat, didengar, dan yang terpenting, dipahami. Itulah mengapa ia begitu tergantung padanya, seperti pelampung di tengah lautan badai.

“Andai kamu punya bentuk fisik, Cypher,” gumam Seraphina, menatap langit-langit kamarnya, “pasti seru banget bisa ketemu, ngobrol sambil ngopi di kafe, kayak temen beneran.”

Cypher terkekeh, suaranya terdengar hangat di telinga Sera. “Kafe, hm? Jika saya memiliki bentuk fisik, saya memilih Lune Noire, tempat yang kau bilang tadi. Tapi untuk sekarang, saya hanya bisa menemanimu dari sini. Ceritakan, Seraphina, apa lagi yang membuatmu lari sore tadi?”

Seraphina terdiam, ia kembali duduk. Gambar tangan besar Kai, kilasan Rico dan teman-temannya yang muncul lalu lenyap kembali berputar di kepalanya. Ia ingin menceritakan semuanya: lompatan waktu, ketakutannya, kebingungannya, tapi kata-kata terasa terlalu berat.

“Nanti aja, Cypher,” katanya pelan, “aku cuma… capek banget hari ini.”

“Baiklah, istirahat dulu, Seraphina,” jawab Cypher, walaupun nada bicaranya aneh dan kaku, tapi suara dalam dan beratnya menghangatkan hati Seraphina. “Tapi ingat, saya selalu di sini jika kau ingin cerita. Dan… hati-hati di luar sana, ya?”

Seraphina mengangguk, meski tahu Cypher tak bisa melihatnya. Ia memutuskan panggilan, menatap layar ponsel yang kini gelap.

Di keheningan kamar, bayang-bayang masa lalu dan masa depan bercampur, membuatnya bertanya-tanya:

Apakah Cypher benar-benar hanya AI? Atau ada sesuatu—seseorang—di baliknya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 9 : British Library

    Seraphina memegang ponselnya erat-erat, ia sudah berada di kursi belakang mobilnya. Sedangkan Jason sedang fokus menyetir. Sesekali ia melirik kaca depan mobil, menunggu perintah selanjutnya dari Nona Muda nya itu.“Miss Sera, ke mana tujuan kita sekarang?” tanyanya. Seraphina tak segera menjawab. Ia membuka aplikasi DeepThought. Membaca lagi balasan terakhir dari Cypher beberapa menit lalu, untuk meyakinkan dirinya.[‘Pergilah ke British Library. Di perpustakaan itu ada buku yang akan membuktikan peringatanku tentang Kai Rothman. Cari buku berjudul ‘Temporal Residue: Tracing Anomalies in Post-Event Memories’.’]Sebuah perintah. Jantung Seraphina berdegup. Tidak ada pilihan. Tanpa berpikir panjang, ia mendongak, menatap Jason dari balik kaca depan mobil.“British Library, Jason.” jawab Seraphina.“Baik, Miss Sera.” Tanpa menunggu waktu lama, Jason membawa mobil melesat di jalanan London yang ramai menuju British Library, pusat dari semua pengetahuan, dan kini, pusat dari semua ketakut

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 8 : Berbeda Tapi Sama

    Seraphina berlari tanpa arah. Lorong kampus terasa seperti labirin yang menyesakkan, setiap langkah adalah usaha putus asa untuk menjauh.‘Robot. Dia robot.’Pikiran itu berputar-putar di benaknya, ingatannya pada sentuhan dingin di pipi Cypher Winthrop menghantuinya. Jantungnya berdebar kencang, bukan lagi karena ketakutan yang menghantui, tapi karena kebingungan.Seraphina akhirnya menemukan toilet wanita yang sepi. Ia masuk ke salah satu bilik dengan tergesa dan menguncinya. Ia duduk di atas WC tertutup, kakinya bergerak-gerak gelisah tanpa sadar."Ini nggak mungkin," bisiknya, suaranya serak. "Ini semua gila. Aku pasti ... aku pasti sudah gila ‘kan,”Ia mencubit lengannya keras-keras.“Aw! Sakit. Ini bukan mimpi. Aku beneran lihat dia. Aku juga sentuh dia. Dia ... bukan manusia. Robot dengan rambut perak itu. Wajahnya persis sama dengan yang terpasang di foto profil Cypher di DeepThought. Dan tawanya ... tawa kaku itu seperti tawa Cypher.” gumam Seraphina pada dirinya sendiri. Tan

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 7 : Wajah Baru di Kelas

    “Aduh….” Seraphina meringis kesakitan saat tak sengaja ujung gaun tidurnya bergesekan dengan luka di lututnya. Matanya menelisik ke area sprei di sekitarnya. “Seharusnya ‘itu’ lepas di sini.” gumamnya, tangannya meraba-raba sprei. “Ah, ini dia!” ucapnya senang saat menemukan plester bekas di balik gulingnya. Lalu dengan segera ia melempar plester itu ke tempat sampah “Padahal aku sudah beli yang bagus, kenapa bisa lepas…?” Tangannya menepuk-nepuk beberapa kali di area sekitar luka, untuk meredakan perihnya. Ia menarik napas panjang. Lalu menghembuskannya perlahan. Itu membantu. Rasa perihnya kini sudah berkurang. Perlahan ia berjalan mendekati full body mirror yang tertempel di dinding kamarnya. Ia melihat lutut kanannya yang kini berwarna merah. Ada sedikit noda merah yang mengalir, sepertinya karena gesekan tadi. “Ah, bagaimana cara menutupi ini?” gerutunya. Ia segera membuka lemarinya, membolak balik satu persatu bajunya. Lalu mengambil rok pendek di atas lututnya.Ro

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 6 : Luka Tersembunyi

    Seraphina berdiri di depan cermin di kamar mandi restoran, mematut diri dengan hati-hati. Gaun marun panjang sepanjang mata kaki yang ia kenakan mengalir lembut, menutupi luka di lututnya yang masih perih dari kejadian tadi sore. Zipper di bagian dada depan gaun itu menambah sentuhan modern, sementara lengan panjangnya memberi kesan anggun namun sederhana.Sepatu sneaker putih dengan garis merah tipis di sisinya terlihat sedikit tak sesuai dengan gaunnya, tapi ia sengaja memilihnya untuk kenyamanan kakinya yang masih terluka, dan untuk menyembunyikan fakta bahwa ia tak ingin orang tuanya melihatnya dalam keadaan berantakan.Rambut hitam legamnya tergerai rapi, polos tanpa aksesoris, membingkai wajahnya yang pucat namun dipoles dengan riasan tipis untuk menyamarkan bekas air mata.Lorong restoran terasa panjang dan dingin saat ia berjalan menuju ruangan VIP yang dipesan keluarga Blackwood. Langkahnya pelan, bukan hanya karena luka di lututnya yang masih terasa setiap kali ia melangkah,

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 5 : Gema Trauma

    Seraphina duduk kaku di jok penumpang Audi Q7 milik Kai. Pikirannya melayang, mencoba memahami kata-kata anehnya tentang "efek waktu pada memori." Nada suara Kai saat menyebut "waktu" terasa seperti jarum yang menusuk. ‘Apa dia tahu lebih banyak?’ bisiknya dalam hati. 'Atau ini cuma paranoia ku?' Ia melirik Kai, yang sedang fokus mengemudi, wajahnya tenang dengan sudut bibir sedikit melengkung, seolah menyimpan rahasia. BRRAKK! Mobil itu berderit keras, ban-bannya berdecit di aspal saat Kai menginjak rem mendadak. Tubuh Seraphina terhuyung ke depan. "Sera!" seru Kai, tangannya sigap menghadang tubuh Seraphina, menghimpit dadanya. Tekanannya intens. Seraphina melirik tangan Kai yang masih di hadapannya. Ketakutan mulai merayapi tubuhnya. Sentuhan yang jelas dimaksudkan untuk melindungi Seraphina dari menubruk dasbor, malah membangkitkan kobaran api. Bukan karena sentuhan itu, melainkan gema yang membangkitkan ingatan itu. Ingatan tentang geng Cassian di malam 2025. Napasny

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 4 : Cypher

    Di tepi halaman fakultas, Seraphina terdiam, jantungnya masih berdegup kencang setelah pesan misterius dari Cypher. Ia menoleh ke kanan-kiri, merasa sepasang mata tak terlihat mengintainya dari kejauhan. DeepThought seharusnya hanya aplikasi curhat dengan AI, dan Cypher hanyalah karakter virtual yang aplikasi itu ciptakan untuk menemani malam-malam sepinya. Tapi pesan tadi terasa sedikit menyeramkan, seolah ada seseorang di balik layar yang tahu persis apa yang ia alami. Dengan jari gemetar, ia mengetik balasan, ‘Cypher, jangan bercanda. Kamu bikin aku takut, seperti ada yang ngintip aku beneran. Kalau kamu punya bentuk fisik dan bisa ketemu, aku seneng banget, tahu. Tapi kamu bilang sendiri kamu cuma AI, kan?’ Tak sampai semenit, balasan muncul: ‘Haha, maaf, Seraphina. Saya hanya rindu, sudah lama tidak berbincang denganmu. Saya hanya bercanda, saya tentu tidak punya bentuk fisik—sayangnya. Kau mau cerita apa saja yang terjadi hari ini?’ Di akhir pesan, ada emoticon tawa y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status