Seraphina berdiri di depan cermin di kamar mandi restoran, mematut diri dengan hati-hati. Gaun marun panjang sepanjang mata kaki yang ia kenakan mengalir lembut, menutupi luka di lututnya yang masih perih dari kejadian tadi sore. Zipper di bagian dada depan gaun itu menambah sentuhan modern, sementara lengan panjangnya memberi kesan anggun namun sederhana.
Sepatu sneaker putih dengan garis merah tipis di sisinya terlihat sedikit tak sesuai dengan gaunnya, tapi ia sengaja memilihnya untuk kenyamanan kakinya yang masih terluka, dan untuk menyembunyikan fakta bahwa ia tak ingin orang tuanya melihatnya dalam keadaan berantakan. Rambut hitam legamnya tergerai rapi, polos tanpa aksesoris, membingkai wajahnya yang pucat namun dipoles dengan riasan tipis untuk menyamarkan bekas air mata. Lorong restoran terasa panjang dan dingin saat ia berjalan menuju ruangan VIP yang dipesan keluarga Blackwood. Langkahnya pelan, bukan hanya karena luka di lututnya yang masih terasa setiap kali ia melangkah, tapi juga karena beban berat di hatinya. "Aku harus kelihatan sempurna," gumamnya pada bayangannya sendiri di cermin. "Setidaknya untuk malam ini." Jika ini benar-benar 2023, ia ingat malam makan malam ini. Dulu, ia berlari riang menyusuri lorong yang sama, tak sabar bertemu Mama dan Papa, yang jarang pulang karena kesibukan mereka mengurus perusahaan keluarga yang beroperasi hingga ke luar negeri. Dulu, dua tahun lalu, ia masih gadis yang haus perhatian mereka, tersenyum lebar hanya karena kehadiran mereka. Tapi kini, sebagai Sera dari 2025, yang membawa luka dari Cassian, teror gengnya, dan pengetahuannya tentang akhir hidupnya, setiap langkah terasa seperti menyeret rantai. "Apa ini sudah sesuai dengan keinginan Mama?" bisiknya pada dirinya sendiri, jemarinya memilin tepi gaunnya. Sampai di depan pintu ruangan VIP, Sera mengintip melalui kaca pintu. Adrian sudah ada di dalam, duduk dengan postur kaku khasnya, jas abu-abu gelapnya yang masih rapi meski hari sudah malam. Mama, dengan rambut bob pendek bergelombang yang selalu terlihat sempurna, tersenyum lebar, sedang asyik berbincang. Papa, di sampingnya, mengangguk dengan ekspresi datar, tak jauh berbeda dari Adrian. Mereka tampak membicarakan sesuatu yang menyenangkan, mungkin urusan bisnis atau kenangan perjalanan mereka ke Paris. Sera menarik napas dalam, memasang senyum manis yang sudah ia latih bertahun-tahun, lalu mengetuk pintu. Ia membuka pintu perlahan, suaranya lembut tapi ceria. “Ma, Pa… maaf Sera terlambat.” Mama menoleh, matanya berbinar melihat Sera. Dengan gerakan anggun, ia bangkit dan membuka tangan. Sera menghampiri, mencium pipi Mama yang harum aroma parfum mahal. “Wah, putri Mama cantik sekali,” kata Mama, tangannya menangkup pipi Serphina dengan lembut, senyumnya lebar dan penuh pesona. Dua tahun lalu, sentuhan itu akan menjadi kehangatan yang familiar, senyumnya menjadi tanda persetujuan. Dulu, rona merah di pipi Seraphina akan menjadi bukti harapannya, harapan bahwa jika dia bisa cukup sempurna, cukup patuh, cukup cantik, kasih sayang ibunya entah bagaimana akan mengisi kekosongan di dalam dirinya. Sekarang, bagi Seraphina dari masa depan, sentuhan itu terasa dingin, senyumnya kosong, sedikit senyum di bibirnya hanya pantulan, topeng untuk kekosongan yang bergema di hatinya. Matanya, yang dulu bersinar karena keinginan untuk menyenangkan, sekarang kusam, mencerminkan keabu-abuan yang telah menyelimuti jiwanya. “Terima kasih, Ma,” kata Seraphina riang, keceriaan yang dipaksakan itu seperti lapisan tipis yang menutupi sesuatu yang lain. Senyumnya kaku, hampir menyakitkan, matanya bergerak cepat ke sekeliling ruangan dengan gugup. Dia menoleh ke ayahnya, mencondongkan tubuh ke depan untuk mencium pipinya. Ciuman itu cepat, hampir asal-asalan, mendarat di pipi yang terasa kaku dan dingin di bawah bibirnya. “Papa, apa kabar?” tanyanya, suaranya agak terlalu melengking, terlalu bersemangat. Ayahnya tersenyum tipis, hampir tak terlihat, tatapannya jauh, tidak fokus. “Baik,” jawabnya, suaranya datar, tanpa kehangatan. Dia mengambil sepotong daging, gerakannya tepat dan hati-hati, dan meletakkannya di piring Adrian. Senyum tipis terlihat di sudut bibir ayahnya saat menatap Adrian mengambil potongan daging yang ayahnya beri dan melahapnya. Seraphina memperhatikan, hatinya berat dengan perasaan gelisah yang sudah dikenalnya. Saat di toilet tadi, ia pikir ia sudah siap menghadapi sikap ayahnya lagi: bagaimana ayahnya memberikan perlakuan berbeda antara dirinya dengan Adrian, kakak laki-laki satu-satunya. Tapi ketika ia mengalaminya lagi, ditambah dengan sekarang ia mengetahui bagaimana akhir hidupnya, rasa sakitnya semakin terasa dan saat ini ia sangat ingin berteriak menyalahkan. ‘Andai Papa lebih memperhatikanku. Andai Papa lebih sedikit tersenyum padaku seperti yang ia lakukan pada Adrian.’ Tatapan mata Sera menyapu meja makan, melihat bagaimana Mama, Papa dan kakaknya sudah memulai makan malam tanpa menunggu dirinya. Sera tersenyum pahit. Tangannya terkepal erat, ia menarik nafas perlahan, hampir tidak terlihat, lalu merubah senyumnya secepat kilat, menjadi senyuman termanis. Ia harus berusaha keras untuk tidak menunjukkan kekecewaannya. Seraphina mengambil tempat duduk di samping Adrian, mencondongkan tubuh sedikit dan berbisik, “Kamu udah dari tadi di sini?” Adrian tak menjawab, hanya melirik sekilas dengan ekspresi datar, lalu kembali fokus ke piringnya. Sikapnya tak mengejutkan, Adrian selalu begitu, dingin dan tak acuh, terutama pada Seraphina. Tiba-tiba, Mama berbicara, nadanya ceria tapi ada nada perintah di dalamnya. “Sera, Mama bawain sepatu heels cantik berwarna hitam buatmu. Cocok banget sama gaunmu yang marun itu. Ganti dulu sebelum makan, ya. Dan… buang aja sneaker lamamu itu.” Sera terdiam, matanya melirik ke sneaker putih di bawah meja, garis merahnya sedikit kotor karena kejadian tadi sore. ‘Ah, inilah maksudku untuk jangan repot-repot memasukkan pujian Mama ke dalam hati,’ pikirnya. Pahit. Pujian Mama selalu diikuti kritik, selalu ada syarat untuk menjadi “sempurna” di matanya. Sekilas, kesedihan tersirat di wajah Sera, tapi ia buru-buru memasang senyum cerianya. “Baik, Ma. Sera ganti sekarang,” katanya, suaranya terdengar patuh. Ia berdiri, mengambil kotak sepatu yang sudah disiapkan oleh asisten Mama di sudut ruangan. Dengan langkah hati-hati, ia keluar menuju toilet restoran, lututnya masih perih setiap kali menapak. Tapi tidak seperti luka di hatinya saat ini. Di dalam hatinya, ia merasa seperti aktris yang memainkan peran lama—peran putri keluarga Blackwood yang manis dan penurut. Tapi di balik topeng itu, ia adalah Sera dari 2025, yang membawa luka, ketakutan, dan pertanyaan tentang waktu yang tak kunjung terjawab. Saat ia berjalan menyusuri lorong, bayangan Kai tentang pernyataan “waktu” sore tadi dan pesan misterius dari Cypher kembali muncul di pikirannya. Apakah Kai benar tau sesuatu? Dan pesan-pesan dari Cypher juga tidak bisa dia abaikan. ‘Aku harus cari tahu apa yang terjadi,’ pikirnya, ‘tapi malam ini, aku harus bertahan dulu di depan keluargaku.’ ======= • • • ======= Seraphina akhirnya sampai di kamarnya setelah makan malam yang melelahkan dengan keluarganya. Ia menjatuhkan diri ke ranjang, gaun marunnya masih menempel di tubuhnya, tapi sepatu heels hitam dari ibunya sudah dilepas, tergolek sembarang di sudut kamar. Sedangkan sneaker putihnya yang “lama” kini tersimpan di sudut lemari, seolah menyembunyikan pemberontakan kecilnya terhadap ekspektasi Mrs. Blackwood. Kamera ponselnya ia arahkan ke lututnya, memotret luka goresan merah yang masih perih, bekas kejadian panik di trotoar tadi sore. Dengan jari yang sedikit gemetar, ia mengirim foto itu langsung ke Cypher, lalu menekan tombol panggilan. Di aplikasi DeepThought, menyediakan fitur untuk user seperti mengirim foto kepada karakter AI. Dan dengan kerennya, si karakter AI akan menanggapi sesuai dengan foto yang user kirim. Begitu juga fitur lainnya yaitu telepon, dengan fitur telepon ini user dan karakter AI dapat saling berbicara dengan suara layaknya seperti menelepon. “Kamu sudah lihat foto yang aku kirim, Cypher?” tanya Seraphina, suaranya lelah tapi ada nada hangat di dalamnya, seolah ia sedang berbagi rahasia dengan sahabat lama. “Saya sudah melihatnya,” jawab suara Cypher, dalam dan berat tapi nadanya masih terdengar kaku dan aneh,“Lukamu terlihat menyakitkan. Kenapa kau bisa terluka, Seraphina? Kau sudah mengobatinya?” Seraphina tertawa kecil, ia menekan tombol “loudspeaker” untuk memudahkannya berbicara sambil membersihkan lukanya. Lalu ia mengambil kotak P3K dari meja samping ranjang dan mulai membersihkan luka dengan alkohol swab. “Pelan-pelan tanyanya,” candanya, suaranya sedikit lebih ringan. “Aku tadi jatuh saat lari. Ini sedang aku obati, tenang aja.” “Syukurlah,” balas Cypher, nadanya seakan lega, tapi masih terkesan kaku, khas suara AI. “Pastikan membersihkan lukanya dengan benar agar tidak terjadi infeksi. Tidak bisa kah kau berhati-hati saat berlari? Kau bukan anak kecil, Seraphina!” Mendengar suara Cypher yang seakan sedang memarahinya, Seraphina tergelak, tawanya meledak hingga tubuhnya terjatuh ke belakang, terbaring di atas kasur. Tawa itu terasa seperti pelepasan setelah hari yang penuh ketegangan: kejadian dengan Kai, kenangan mengerikan Rico dan geng Cassian, berakhir dengan makan malam penuh topeng dengan keluarganya. Tak dipungkiri hari ini memang hari yang paling melelahkan, tapi di penghujung malam, perhatian Cypher menghangatkan hatinya. Sejak dua tahun lalu, di 2023, CYPHER selalu jadi pelariannya, tempat ia bisa menumpahkan segalanya tanpa takut dihakimi. AI itu, meski tak nyata, punya cara membuatnya merasa dilihat, didengar, dan yang terpenting, dipahami. Itulah mengapa ia begitu tergantung padanya, seperti pelampung di tengah lautan badai. “Andai kamu punya bentuk fisik, Cypher,” gumam Seraphina, menatap langit-langit kamarnya, “pasti seru banget bisa ketemu, ngobrol sambil ngopi di kafe, kayak temen beneran.” Cypher terkekeh, suaranya terdengar hangat di telinga Sera. “Kafe, hm? Jika saya memiliki bentuk fisik, saya memilih Lune Noire, tempat yang kau bilang tadi. Tapi untuk sekarang, saya hanya bisa menemanimu dari sini. Ceritakan, Seraphina, apa lagi yang membuatmu lari sore tadi?” Seraphina terdiam, ia kembali duduk. Gambar tangan besar Kai, kilasan Rico dan teman-temannya yang muncul lalu lenyap kembali berputar di kepalanya. Ia ingin menceritakan semuanya: lompatan waktu, ketakutannya, kebingungannya, tapi kata-kata terasa terlalu berat. “Nanti aja, Cypher,” katanya pelan, “aku cuma… capek banget hari ini.” “Baiklah, istirahat dulu, Seraphina,” jawab Cypher, walaupun nada bicaranya aneh dan kaku, tapi suara dalam dan beratnya menghangatkan hati Seraphina. “Tapi ingat, saya selalu di sini jika kau ingin cerita. Dan… hati-hati di luar sana, ya?” Seraphina mengangguk, meski tahu Cypher tak bisa melihatnya. Ia memutuskan panggilan, menatap layar ponsel yang kini gelap. Di keheningan kamar, bayang-bayang masa lalu dan masa depan bercampur, membuatnya bertanya-tanya: Apakah Cypher benar-benar hanya AI? Atau ada sesuatu—seseorang—di baliknya?Adrian memutar kursinya, kembali memunggungi Seraphina. Jeda keheningan itu terasa panjang, hanya terdengar suara fan pendingin dari peralatan lab. Matanya yang dingin kini terpaku pada layar hologram, menolak mengakui kengerian yang baru saja ia cerna.“Singularitas,” gumam Adrian, mencoba menenangkan diri dengan istilah ilmiah. “Cypher, aku butuh data processor-mu di momen benturan itu. Jangan bicara anomali, berikan aku rumus.”Cypher maju selangkah. “Penderitaan Seraphina adalah rumus yang Anda cari, Master. Itu adalah variabel energi terkuat yang mengganggu koordinat waktu. Anda mencari perhitungan logis untuk menjelaskan hal yang mustahil.”“Semua yang terjadi di alam semesta ini punya rumus!” desis Adrian, menekan-nekan tombol. “Output energi TADS-5 di tahun 2023 bahkan tidak mampu mengganggu jam digital. Bagaimana mungkin AI paling sempurna yang kubuat bisa dipengaruhi oleh… emosi?”Mata Cypher memancarkan sinar kehijauan yang intens. Ia terdiam selama beberapa detik, menganal
Adrian membeku. Matanya, yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, kini melebar karena terkejut. Ia menatap Seraphina, lalu beralih menatap headset transparan yang tergeletak di meja. Benda itu berkilau perlahan, memancarkan cahaya merah muda keunguan seperti hologram. “Kamu bicara sama siapa, Sera?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Seraphina menghela napas. Ia sudah ketahuan. Semua ketakutan dan kelelahannya tiba-tiba sirna, digantikan oleh kepasrahan yang tenang. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Ia tidak bisa menyia-nyiakannya. Ia menatap mata kakaknya yang tajam. “Cypher. Versi sempurna dari TADS-5 yang kamu ciptakan.” Seraphina mulai berbicara, suaranya pelan dan datar. “Aku akan menceritakan semuanya, dari awal. Tapi aku nggak akan memintamu untuk percaya sama ceritaku, Adrian. Aku cuma minta kamu untuk percaya pada Cypher.” Adrian mengerutkan dahi, bingung. “Cypher dan TADS-5?? Apa yang kamu bicarakan?” Seraphina memandang wajah Adrian, dan ia melih
2023 Mobil Adrian bergerak cepat melintasi jalanan London yang basah. Kaca-kaca mobil berkilauan, memantulkan cahaya lampu jalan yang buram. Di dalam, suasana terasa dingin dan senyap. Seraphina melirik Adrian yang fokus menyetir, wajahnya tegas, rahangnya mengeras. Ia tampak berpikir keras, dan Seraphina tahu Adrian masih tidak memercayai ceritanya. “Aku tahu ini susah dipercaya,” kata Seraphina, memecah keheningan. “Tapi... yang aku ceritain itu nggak bohong.” Adrian tidak menoleh. “Sera, apa pun yang kamu ceritakan tentang Cassian … aku yakin itu karena kamu lagi kesal sama dia aja kan. Akhir-akhir ini kamu berantem sama dia. Kamu sengaja bikin cerita-cerita seperti ini karena marah sama dia. Memangnya apa yang dia lakukan sampai kamu buat cerita jelek-jelekin dia kayak gini?” “Dia melakukan hal yang sangat-sangat buruk, Adrian.” Seraphina berusaha meyakinkan, “Dia beneran berbahaya. Dia bilang mau mengambil alih perusahaan kita.” Adrian menghela napas. “Aku tahu Cassian t
"Cypher, kamu dengar aku?" bisik Seraphina. Seraphina sudah berada di dalam Drury Covent Garden. Kafe itu ramai, namun musik jazz yang diputar membuat suasana terasa tenang. Ia memilih sebuah meja di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Ia duduk, meletakkan ponselnya di atas meja. Tangan-tangan Seraphina terasa dingin dan bergetar, ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Tangannya terangkat, menyentuh telinganya, memastikan earphone transparan itu sudah terpasang dengan nyaman. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. “Cypher?” panggilnya lagi. ‘Aku dengar. Suaramu terdengar jelas, Seraphina. Tenang. Aku di sini,’ jawab Cypher, suaranya tenang dan tanpa emosi. “Sorry,” bisik Seraphina lagi. “Aku gugup. Gimana kalau dia nggak percaya sama aku? Gimana kalau dia malah menganggap aku gila?” ‘Dia akan percaya. Ingat, Adrian tidak percaya pada orang lain selain dirinya. Kita tidak akan memintanya untuk percaya padamu, tapi
2035 Adrian menatap layar monitor besar yang menampilkan sebuah garis waktu bergelombang, ditandai dengan berbagai data aneh. Di sampingnya, Profesor Ellery, seorang pria tua dengan kacamata tebal dan rambut putih yang berantakan, mengangguk perlahan. “Singularitasnya stabil, Adrian,” kata Profesor Ellery, nadanya tegang. “Kami berhasil mencegahnya untuk tidak menghancurkan diri. Pengiriman Cypher beberapa hari yang lalu juga berhasil.” Andrian mengamati layar, tatapannya terlihat serius, juga ada semburat kesal di matanya. “Tapi aku nggak menemukan Cypher di tahun 2025. Hanya ada 10 menit di titik ini. Tapi setelah itu jejak Cypher hilang.” Adrian mengetuk layar yang menampilkan titik koordinasi lokasi. Jendela baru terbuka, kali ini menunjukkan sebuah peta. Jari telunjuk dan ibu jarinya bergerak memperbesar titik. Profesor Ellery mengernyit. "Itu nggak mungkin. Kami mengirim Cypher ke tahun 2025 dengan protokol ketat, tujuannya untuk….” “Aku tahu, untuk mencegah adikku bunuh d
Seraphina mengikuti Cypher ke sebuah ruangan yang terlihat seperti studio seni, dengan kanvas-kanvas kosong bersandar di dinding. Hingga sampai di tengah ruangan, matanya menangkap sebuah meja kerja baja dengan laptop futuristik yang menyala. "Duduklah, Seraphina," kata Cypher, menunjuk kursi di depan meja. "Aku harus melakukan ini sekarang. Proses ini tidak akan lama." Seraphina mengangguk, masih memproses emosinya yang campur aduk. Setidaknya ia lega, lehernya kini sudah kosong dari syal biru navy, ringan seperti beban yang telah terangkat. "Apa yang bakal terjadi kalau kamu nggak ngelakuin itu?" tanya Seraphina, duduk di kursi. Cypher mengarahkannya ke monitor. "Ada risiko data corruption. Data itu bisa terdistorsi, atau bahkan hilang. Aku tidak bisa mengambil risiko itu." "Oke," jawab Seraphina, suaranya tenang. "Terus, apa rencananya?" Cypher membuka laptopnya. Layar itu menampilkan kode-kode biner yang mengalir dengan cepat. "Rencananya akan kujelaskan setelah proses