Masuk
Sebuah negeri di ujung peta dunia berdiri dengan megah: Morwenia. Rakyatnya hidup tenteram di bawah naungan istana, tunduk sepenuhnya pada aturan kerajaan. Negeri itu dipimpin oleh Raja Aethelred IV dan Ratu Isolde VI, pasangan penguasa yang dikenal bijaksana sekaligus berwibawa. Di tangan mereka, Morwenia tumbuh menjadi negeri makmur, aman, dan damai.
Sebuah mahakarya arsitektur yang tak tertandingi menjulang di jantung ibu kota. Menara-menara tinggi berujung kerucut dan kubah runcing berdiri gagah, sementara sebuah menara jam besar menjadi pusat perhatian. Fasadnya dipenuhi jendela-jendela lengkung dengan cahaya lampu yang berpendar hangat dari dalam. Balkon-balkon berukir menghiasi dinding berwarna krem, dipadukan dengan atap biru keabu-abuan yang berkilau diterpa cahaya senja. Tangga marmer yang lebar mengarah ke pintu utama, diterangi cahaya emas yang mengundang setiap mata menoleh kagum. Di halaman depan, taman istana terhampar rapi: topiary berbagai bentuk, bunga-bunga merah menyala, dan jalur setapak simetris yang diapit lampu-lampu taman bercahaya lembut. Sebuah kolam tenang di tepi jalur memantulkan siluet kastil. Namun, di balik keindahan itu tersimpan kekuatan yang menjaga kedamaian negeri. Pedang istana bermata biru berkilau adalah simbol keadilan sekaligus hukuman. Pemegangnya bukanlah sembarang orang, melainkan sosok yang menjadi tangan kanan sang raja. Duke of Morwenia, Rhys Vance, bangsawan dari keluarga Vance yang masih berkerabat dengan Raja Aethelred IV. Nama Rhys Vance menggema di seantero negeri. Wajahnya dikenal semua orang; wibawanya membuat rakyat segan dan musuh gentar. Dengan pedang itu, ia mampu menebas pengkhianat di mana pun, kapan pun. Setiap eksekusinya diselesaikan tanpa cela, sering kali diiringi ajudan setia dan pasukan khusus istana yang memastikan tak ada sisa pemberontakan. Bagi rakyat, ia adalah pedang istana—tajam, pasti, dan tak mengenal ampun. Di atas sebuah bukit, berdiri sebuah mansion megah yang tak kalah luas dan anggun dibandingkan istana Morwenia. Segala tata letaknya—dari bangunan utama, halaman depan, hingga kolam bias—disusun dengan simetri sempurna, memancarkan kesan agung dan terstruktur. Halaman depannya terbentang luas, dihiasi air mancur bertingkat di pusatnya, dikelilingi kolam-kolam hias yang memantulkan cahaya bintang. Deretan topiary yang dipangkas rapi menjaga sudut-sudut halaman tetap indah, sementara lampu sorot berwarna keemasan. Dari ketinggian, pemandangan kota dengan cahaya berkelap-kelip terlihat di kejauhan. Mansion itu adalah kediaman Rhys Vance, bangsawan terkemuka sekaligus Duke of Morwenia. Namun, ia tidak tinggal seorang diri. Di kediaman sebesar itu, tiga selir menempati sayap-sayap mansion, masing-masing membawa warna tersendiri bagi kehidupan Rhys. ● Raven Sinclair, selir pertama—dikenal galak dan berwibawa, namun di balik ketegasannya tersimpan hati yang lembut. Dialah yang dipercaya Ratu Isolde VI untuk mengasuh putri kecil Rhys. ● Leona Hart, selir kedua—seorang wanita cantik yang tengah mengandung. Pesonanya tak diragukan, meski sifatnya yang mudah terbakar emosi sering memicu keributan di dalam mansion. ● Eira Shawn, selir ketiga—gadis muda berusia dua puluh satu tahun dengan paras manis dan tutur kata lembut. Kehadirannya membawa nuansa segar dan keanggunan di tengah hiruk-pikuk rumah tangga bangsawan. Selain mereka, ada sosok yang paling mencuri perhatian: Alverine Vance, putri semata wayang Rhys dari istri sah yang telah tiada karena penyakit langka. Gadis kecil itu tumbuh lincah, kerap meramaikan suasana mansion dengan tingkah jahilnya—terutama pada Leona Hart. Meski masih lima tahun, Alverine telah menjadi cahaya menyejukkan di rumah besar itu, dirawat sepenuh hati oleh Raven Sinclair sesuai amanat langsung dari sang ratu. >•< Dari balik meja kerja, seorang perempuan muda duduk dengan santai—satu kakinya naik ke kursi. Matanya terpaku pada monitor komputer, membaca ulang narasi pembuka novel kesayangannya yang kini telah menjelma menjadi best-seller di kalangan anak muda. Sengaja lampu kamar dipadamkan; hanya cahaya layar yang menerangi, menciptakan ruang hening tempat imajinasi berkuasa. “Udah berkali-kali gue baca novel ini ... anehnya nggak pernah bosan,” gumam Velian Ardyn, sang penulis fenomenal “Duke of Morwenia”. Dialah dalang di balik segala pergerakan para tokoh: tangan yang menulis, jemari yang menetapkan takdir, dan imajinasi yang menghidupkan mereka. Setiap ketukan tombol keyboard seakan menjadi garis nasib yang mengikat kehidupan karakter-karakter ciptaannya. Velian meraih sebuah toples camilan di samping monitor—wafer cokelat dan keju favoritnya. Senyum tipis terbit di wajahnya ketika matanya kembali jatuh pada nama tokoh kesayangannya: Rhys Vance. Bagi Velian, Rhys bukan sekadar karakter dalam cerita. Ia adalah sosok yang Velian agungkan, tokoh yang membuatnya rela begadang semalaman hanya demi merampungkan satu bab. Setiap kata yang tertulis, seakan menjadi napas kehidupan bagi sang Duke of Morwenia. Keputusan paling berat yang pernah ia ambil, namun tak pernah sekali pun ia sesali adalah meninggalkan pekerjaan lamanya di sebuah kantor penuh racun. Dari titik itulah ia memilih jalan berbeda, jalan yang membawahnya duduk di hadapan layar ini, hidup bersama kata-kata dan tokoh-tokoh ciptaannya. Mulut Velian sibuk mengunyah wafer, sementara tangannya terus menggulir layar ke bawah. Matanya terpaku, menelan tiap kalimat yang sudah membuat banyak orang jatuh dalam pesona Rhys yang tak terbantahkan. “Fix, kalau Rhys beneran ada di dunia nyata, gue rela jadi selir keempat, kelima, keenam, bahkan kesepuluh pun gue jabanin deh,” celetuknya sambil terkekeh sendiri. Di dinding kamarnya, sebuah poster resmi berukuran besar terpampang gagah: sosok Rhys Vance dalam balutan pakaian resmi kerajaan, sang Pedang Istana yang tampak perkasa dan berwibawa. Setiap hari poster itu selalu berhasil memikatnya, seolah Rhys benar-benar hidup menatap balik dari kertas tebal itu. Velian cepat-cepat menggeleng, mencoba mengusir imajinasi yang sudah kelewat jauh. “Tapi ... kenapa masih ada aja yang ngehujat Rhys?” gumamnya pelan. “Apa karena dia punya tiga selir? Karena terlalu ganteng? Atau karena dia udah ngebunuh banyak orang?” “Jujur aja deh, Rhys itu eksekusi orang karena memang pantas. Bukan asal tebas. Rata-rata yang mati juga koruptor sama pengkhianat...” Velian menjentikkan jarinya, seolah baru menemukan kunci jawaban. Perempuan berambut yang dikuncir asal, dengan kacamata bulat yang bertengger di hidungnya, tersenyum miring. “Mereka ngehujat karena Rhys nggak punya kekurangan sama sekali.” Tawanya pecah, lepas, hingga tangannya tanpa sadar ikut bertepuk gembira. Ada rasa lega yang aneh, seolah ia baru memenangkan kuis dengan pikirannya sendiri. “Terima kasih, Tuan Rhys,” bisiknya sambil menatap layar penuh rasa puas. “Berkat Anda, saya dapat cuan banyak.” Perhatian Velian teralihkan ketika ponselnya berbunyi sebuah notifikasi, mengabarkan fenomena bintang jatuh yang akan menghiasi langit malam ini. Tanpa pikir panjang, ia bergegas menuju balkon apartemen, meninggalkan layar komputer yang masih menyala. Di monitor, terbuka adegan percakapan antara Rhys dan Eira. “Mulai sekarang, kamu dilarang ke luar mansion. Kondisimu terlalu sering memburuk,” ucap Rhys tegas, tanpa ragu sedikit pun. “Aku hanya pergi ke luar untuk belajar di akademi pengetahuan—“ Belum sempat Eira menyelesaikan kalimatnya, Rhys sudah memotong cepat, “Jika itu maumu, silakan pergi dan jangan pernah kembali.” Di belakangnya ajudan setia Rhys, Garrick Veynar, memberi kode halus. Sebuah gelengan tipis, peringatan agar Eira tak lagi membantah bila tak ingin semakin dikekang. Tiba-tiba, layar komputer Velian berkedip. Garis-garis acak muncul seakan sistem eror, lalu teks di halaman bergerak sendiri ke bawah dengan kecepatan tak wajar. Sementara itu, di balkon, Velian sudah menyiapkan kamera ponselnya. Langit malam berkilau, lalu tiga bintang jatuh melesat bersamaan, membelah kegelapan. Ia mendecak kagum, mulutnya terbuka tanpa sadar. Dalam diam, ia berdoa lirih, “Gue nggak minta lebih ... cukup biar hidup ini terus berwarna, sampai gue lupa caranya bersedih.” Beberapa menit kemudian, Velian kembali ke kamar. Ia menjatuhkan diri ke kasur, ponsel dengan foto jepretan bintang jatuh masih terpampang. Kantuk segera menyeretnya, matanya perlahan terpejam. Tanpa ia sadari, layar komputer di meja kerja berganti sendiri, melompat hingga ke halaman ratusan. Di sana, terbaca baris monolog Rhys: “Di mana pun kamu berada, saya tetap mencintaimu.”Ruangan mendadak senyap. Leona yang mendengar ucapan itu menegang; dahinya berkerut, bibirnya menahan amarah. Seandainya Rhys tidak ada di sana, mungkin ia sudah menyeret anak itu ke luar.Leona hanya bisa menatap pahit dan bingung. Apakah ia memaksa anak itu menyukainya? Tidak, kan?Rhys menatap Leona lama, mencari celah kesalahan yang membuat putrinya meledak seperti itu. “Mengapa kamu tidak menyukainya, Alvie? Kalian satu keluarga. Kamu putriku, dan Leona adalah istriku—ibu tirimu.” Alverine menggeleng keras, mata kecilnya memerah. “Ibuku hanya Dame Raven! Jangan bilang Nona Singa itu ibuku juga!”Velian yang masih di tempat duduknya hanya bisa memandangi piring kosong di depannya. Mulutnya terkatup rapat, tapi jantungnya berdentum cepat—adegan ini terasa persis seperti konflik dalam novel yang ia tulis.[Rhys tiba-tiba menggebrak meja. Suara dentuman kayu memantul ke seluruh ruangan, membuat Alverine menjerit dan menangis histeris. Raven langsung berdir
Hanya Leona yang tampak tidak terlalu peduli dengan nasib Eira di mansion ini, kecuali jika hal itu bisa menarik perhatian Rhys.Bahkan ketika siang bolong tadi seluruh penghuni mansion geger karena Rhys menghunuskan pedang pada Eira, Leona justru terusik oleh alasan yang berbeda: itu adalah interaksi terlama yang pernah ia lihat antara keduanya sejak ia tinggal di sini.Makan siangnya jadi hambar. Ia memutuskan menyendiri di sudut taman, mencari ketenangan di antara hembusan angin dan dedaunan yang bergoyang.Namun ketenangan itu lenyap begitu matanya menangkap sosok Eira dan Garrick berjalan beriringan di koridor lantai atas. Eira tampak berbicara dengan sukacita, gerak bibirnya lincah dan matanya berkilat cerah. Sedangkan Garrick tak bisa menyembunyikan senyum kecil yang nyaris muncul karena berusaha menjaga wibawa.Senyum sinis perlahan muncul di wajah Leona. “Cinta segitiga, ya? Rhys, Eira, dan Garrick...” gumamnya pelan sebelum tawanya merendah getir. “Rhy
Velian menahan napas, tubuhnya menegang. Tatapannya panik, ketakutan, sekaligus tak mengerti.“Tu-Tuan Rhys!” Tabib dan Garrick langsung berlutut, berseru panik. “Mohon jatuhkan pedang, Tuan!”Velian mundur perlahan, suara gemetar ke luar dari bibirnya. “Beraninya pakai senjata pada perempuan,” desisnya getir.Tatapan Rhys tak beranjak. Ia menelusuri Eira dari ujung kaki hingga kembali ke matanya, tajam, meneliti setiap gerak. “Mengapa sikapmu berubah aneh seperti ini?” tanyanya rendah, mengandung curiga yang menusuk.Velian nyaris tak bernapas saat melihat sosok lain muncul di ambang pintu. Raven—selir pertama Rhys—berdiri di sana, mata abu-abunya membelalak lebar, menatap adegan yang nyaris tak masuk akal di hadapannya: Rhys berdiri dengan pedang terhunus, dan Velian beringsut ketakutan di ujung ranjang.“Dame Raven! Dame Raven, selamatkan aku dari pria ini!” teriak Velian keras, menunjuk lurus ke wajah Rhys. Suaranya pecah, penuh kepanikan nyata yang meng
“Panggil tabib sekarang,” perintahnya rendah, tapi cukup untuk membuat udara di sekitar seolah menegang.Garrick segera berlari, sementara Rhys tetap menahan Velian di pelukannya—menatap wajah pucat yang berkeringat itu dengan rahang mengeras, seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar kekhawatiran.Velian tak sanggup lagi menahan sakitnya. Pandangannya berputar, napasnya tercekat—hingga semuanya perlahan memudar menjadi gelap. Tubuhnya terkulai, kehilangan kesadaran sepenuhnya di pelukan Rhys.“Eira!” panggil Rhys, namun tak ada jawaban.Tanpa ragu, ia langsung mengangkat tubuh gadis itu ke dalam gendongannya, melewati cahaya siang yang memantul di marmer dan kaca istana. Langkahnya cepat, penuh desakan, nyaris tak memberi ruang bagi siapa pun untuk menghalangi.“Siapkan tabib! Sekarang juga!” suaranya bergema keras di koridor mansion, membuat para pelayan spontan menunduk dan berlari memenuhi perintahnya.Namun di balik ketegasan itu, matanya memancarkan sesuatu yang lebih
Suara ketukan tiga kali di pintu kamar membuat Velian mengerang pelan. Ia masih ingin melanjutkan mimpi indahnya, tapi bunyi itu terus terdengar.Dengan mata setengah terbuka, Velian duduk, meregangkan tangan malas-malasan ke atas, lalu melangkah gontai menuju pintu. Begitu dibuka, koridor di depannya kosong melompong.Ia menggaruk rambut yang berantakan, mendengus kesal. “Siapa sih, iseng banget pagi-pagi begini…” gumamnya, kemudian menutup pintu agak keras dan berbalik menuju kasur.Namun baru beberapa langkah, suara ketukan itu terdengar lagi—masih sama, tiga kali. Tok. Tok. Tok.Velian mendengus panjang, kali ini berjalan menghentak ke arah pintu. “Kalau ini prank, gue sumpahin lu—” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, suaranya terhenti begitu pintu terbuka.“Nona Eira?” suara lembut terdengar dari bawah.Velian menunduk perlahan. Di sana berdiri Alverine, gadis kecil bergaun tidur pink, memeluk boneka kelinci berpita merah di pelukannya. Rambutnya bergelombang rapi, mata
Ketika Rhys sudah berdiri di hadapannya, Velian justru bergeser menutupi sebagian tubuh Garrick dengan tubuhnya sendiri. Garrick mengerutkan dahi, tak mengerti dengan sikap aneh itu.Jika ada yang paling mengenal Rhys, maka itu adalah Velian—karena dialah pencipta tokoh pria ini dalam dunia aslinya.“Dari kamar Eira hingga gedung utama, jaraknya hampir tiga ratus meter. Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk menangkapnya?” Suara Rhys datar namun mengandung tekanan. Matanya tajam menusuk Garrick.Velian terbelalak. Tatapannya langsung tertuju pada tangan Rhys yang menyentuh sarung pedang, seolah siap mencabut senjata mematikan itu kapan saja. Ia merentangkan kedua tangannya dengan panik di depan Rhys. “Tunggu, tunggu! Kamu salah paham!”Garrick kian heran. Benar ucapan Leona tentang Eira yang berteriak. Ini pertama kalinya ia mendengar gadis itu meninggikan suara.Velian justru tertawa kecil, meski jelas-jelas suasana mencekam. “Jangan limpahkan hukuman pada Garrick...” ucapnya







