Home / Romansa / Alur Baru Sang Selir Ketiga / Chapter 2: Masuk ke Tubuh Selir Ketiga

Share

Chapter 2: Masuk ke Tubuh Selir Ketiga

Author: KIKHAN
last update Last Updated: 2025-10-06 13:55:58

“Nona Eira.”

Mata masih terpejam, Velian merasa seperti ada yang memanggil.

“Nona Eira.”

Suara itu terdengar lagi. Velian sudah terbiasa mimpi tokoh-tokoh dari novelnya. Biasanya pertanda sudah siang, seakan-akan mereka membangunkannya.

Dengan malas, ia membuka mata. Seketika terkejut, buru-buru ia pejamkan lagi rapat-rapat.

“Nona Eira?”

Pelan-pelan, ia mengintip sebelah mata. Sosok pria tua berdiri di dekat ranjang. Tubuhnya sedikit membungkuk, kedua tangan menyatu di depan perut dengan sopan. Rambut putihnya tersisir rapi, janggut tipisnya memperkuat kesan bijak. Jubah panjang abu-abu bertali kulit menandakan ia seorang tabib Morwenia.

Velian mengerjap bingung. “Gue masih mimpi, kah?” lirihnya.

Matanya menyapu sekeliling. Sebuah kamar mewah dengan dominasi warna merah muda. Tirai sutra menjuntai hingga lantai, karpet lembut menutupi marmer, dan perabotan berukir emas terasa akrab.

Pria tua itu menunduk hormat. “Mohon maaf, Nona Eira. Saya telah memanggil Tuan Rhys untuk segera datang ke rumah. Nona ditemukan jatuh pingsan di lantai dasar, dan tidak kunjung sadar.”

Belum sempat Velian mencerna semua itu, seorang wanita masuk ke kamar itu yang pintunya terbuka. Langkahnya tergesa namun tetap anggun. Rambut hitam pekatnya tergerai lembut hingga punggung, memberi kesan dingin sekaligus berwibawa. Wajahnya tirus dengan riasan tipis yang menonjolkan sorot mata tajam berwarna kelam, seakan mampu menembus siapa pun yang berani menantangnya.

Gaun malam berkilauan yang membalut tubuhnya tampak mewah, dengan potongan elegan di bagian pinggang. Meski perutnya masih kecil—tanda awal kehamilan—lekuk gaun itu menegaskan bahwa ia sedang mengandung. Balutan kain berpayet halus jatuh anggun hingga lantai.

Velian tercekat. “Nggak mungkin ... itu ... selir kedua Rhys Vance, Leona Hart?!” Ia memekik dalam hati.

Wanita itu, Leona, menoleh pada tabib. “Bagaimana kondisinya?”

Tabib membungkuk lagi meski pinggangnya hampir tak kuat. “Nona Eira harus beristirahat total. Jika terlalu banyak beraktivitas, jantungnya bisa semakin lemah.”

Velian memegang kepala yang berdenyut. “Gue jadi ... Eira Shawn?”

Leona maju selangkah, mendahului tabib. “Rhys sedang menuju ke sini dari istana karena kau pingsan lagi!” Nada kekesalan tercampur dengan kekhawatiran.

Velian justru makin panik. “Gimana ceritanya gue bisa terjebak di sini, jadi Eira Shawn yang penyakitan?”

Leona tiba-tiba meninggikan suara. “Tidak bisakah kau membuat suasana rumah ini menjadi damai sehari saja?”

Velian yang frustasi, spontan membentak balik. “Berisik!”

Leona terperanjat. Tangannya refleks menyentuh perut, seolah melindungi buah hati dari ucapan kasar. “Apa kau bilang? Be-ber-berisik?”

Velian yakin ini mimpi. Ia turun dari ranjang, mencincing gaun rumit yang menjuntai agar lebih mudah melangkah. Tujuannya jelas: kabur.

Namun langkahnya terhenti. Dua pria baru saja masuk, tubuh mereka menghadang jalan ke luar.

Velian menelan ludah, membatin nelangsa bertemu dua tokoh mematikan. “Rhys Vance ... dan ajudan setianya, Garrick Veynar.”

Pria paling depan menatap tajam, sorot matanya menusuk. Sedangkan pria di belakangnya berwajah datar, ekspresinya dingin tanpa emosi. Persis dengan deskripsi tokoh dalam novel “Duke of Morwenia”.

“Hendak ke mana?” Suara Rhys berat dan dingin. Ia maju setapak. “Masuk kembali.”

Leona segera mendekat, menuntun Velian—atau yang semua orang kira Eira—untuk duduk kembali. “Jangan membangkang,” bisiknya cepat di telinga. “Rhys bisa mengamuk kalau kau melawan. Cepat duduk!”

Telapak kakinya benar-benar menapak lantai. Velian baru sadar ini bukan sekadar mimpi. Ia benar-benar masuk ke dalam bukunya sendiri.

Dan klise sekali bila ia mengaku dirinya bukan Eira, melainkan Velian dari dunia lain. Itu hanya akan merusak plot.

Rhys dan ajudannya masuk hampir beriringan, langkah keduanya tegas menghampiri tabib. Velian, yang kini terperangkap dalam tubuh Eira, duduk di tepi ranjang. Meski merasa baik-baik saja, ia tak bisa berhenti menatap wajah Rhys dan Garrick yang tampak nyata di hadapannya.

“Hampir setiap hari dia—“ Rhys membuka suara.

Velian sontak menoleh. Dia? Hanya itu? Tanpa nama, tanpa penghormatan apa pun? Padahal Eira adalah selirnya juga! Sebagai penulis yang mengatur sendiri hubungan para tokoh, Velian harga dirinya ikut ternoda.

Rhys sempat melirik perubahan ekspresi Eira—senyum tipis yang terkesan getir—namun ia tak terlalu peduli. “Bagaimana kondisinya?”

Leona segera menyelusup, berdiri di samping Rhys sambil meraih lengannya. “Aku yang menemukan Eira jatuh pingsan di dekat tangga. Aku juga yang pertama menolongnya dan memanggil tabib.” Suaranya mendadak manja, penuh haus pujian.

“Begitukah?” Rhys memastikan, menatap bergantian pada Eira dan tabib.

Velian hanya bisa menatap lantai, lidahnya kelu tidak bisa berkata-kata mendengar betapa bangganya Leona telah menyelamatkan Eira.

Tabib pun membenarkan. “Betul, Tuan. Nona Leona sangat peduli. Sedikit saja terlambat, Nona Eira harus dibawa ke rumah sakit kerajaan.”

Rhys mengangguk singkat. “Kalau begitu, kalian bertiga ke luar dahulu. Ada yang ingin saya bicarakan dengan Eira.”

“Baik, Tuan,” jawab tabib dan Garrick hampir serentak.

“Baiklah...” Leona menahan kecewa, tapi tetap melangkah ke luar. Hatinya masih dipenuhi rasa ingin tahu, apa yang hendak dibicarakan Rhys dengan Eira.

Garrick menutup pintu, memberi ruang privat untuk keduanya. Namun di lorong, Leona tak bisa menahan diri. Ia mulai cerita pada ajudan setia Rhys. “Kau tahu apa yang Eira katakan padaku tadi?”

Garrick berhenti, tapi tidak menoleh.

“Dia berteriak padaku ... ‘Berisik!’” Leona menirukan dengan penuh drama, tangannya sampai ikut mengibaskan rambut ke belakang.

Kali ini Garrick menoleh, tatapannya dingin. “Tidak mungkin. Nona Eira tidak pernah meninggikan suara pada siapa pun selama dua puluh satu tahun.”

“Tapi sungguh! Eira benar-benar membentakku!” Leona berusaha meyakinkan, bahkan tertawa kecil sendiri.

Ekspresi Garrick tetap datar. “Maaf, Nona. Saya lebih percaya melihat beruang kutub berjalan di Hutan Tropis Morwenia ... daripada Nona Eira membentak seseorang.”

Sementara di dalam, Velian terus menunduk, sengaja menghindari tatapan Rhys. Ia tak mau berurusan terlalu jauh dengan pria itu. Pedang kematian, pedang istana—apa pun sebutannya, satu hal pasti: Rhys Vance adalah sosok menakutkan.

“Mulai sekarang, kamu dilarang keluar dari mansion. Kondisimu terlalu sering memburuk,” ucap Rhys, nada suaranya tegas tanpa ruang untuk dibantah.

Velian tertegun. Bukan karena larangan itu, melainkan karena kalimatnya terasa sangat familier. Ini … dialog yang sama persis di novel! Dalam cerita, Eira memang pingsan setelah kembali dari akademi pengetahuan.

“Jadi selama Eira pingsan … gue masuk ke tubuhnya? Terus … jiwa aslinya Eira Shawn ke mana?”

“Jawab saya,” ulang Rhys, kali ini penuh desakan.

Velian buru-buru menjawab, “Ya.” Suaranya terdengar kaku. Ia tak biasa berbicara dengan bahasa formal, apalagi harus menahan diri agar tak keceplosan dengan umpatan khas daerahnya. Sedikit saja salah bicara, bisa-bisa mereka langsung curiga.

Rhys kemudian duduk di tepi ranjang, terlalu dekat. Refleks, Velian bergeser sambil merapikan gaun ribet itu, berusaha menjaga jarak aman dari pria yang selama ini cuma ia kagumi lewat layar monitor.

"Saya harus menemui Alvie. Beristirahatlah, nanti malam pelayan akan mengantarkan makan malam ke kamar," ucap Rhys sembari beranjak, hendak membuka pintu.

Velian menegang. Bayangan nasib tragis Eira—yang mati mengenaskan dalam kesendirian—menyeruak begitu saja. Jika ia hanya berdiam, maka akhir yang sama mungkin menantinya.

"Tunggu." Refleks, Velian menghentikannya. Rhys berbalik, menatapnya dengan sorot mata tajam.

Velian menggenggam erat jemari gaunnya. Ia harus bicara, harus mengubah jalan kisah. Mati karena penyakit jantung bawaan Eira mungkin bisa ia terima … tapi mati sia-sia dalam kesepian? Tidak.

"Kondisiku memang takkan bertahan lama," katanya dengan gugup, suara dibuat setenang mungkin. "Bisakah setidaknya aku diberi kelonggaran … untuk tetap beraktivitas seperti biasa?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Alur Baru Sang Selir Ketiga   Chapter 9: Alverine Marah & Menangis

    Ruangan mendadak senyap. Leona yang mendengar ucapan itu menegang; dahinya berkerut, bibirnya menahan amarah. Seandainya Rhys tidak ada di sana, mungkin ia sudah menyeret anak itu ke luar.Leona hanya bisa menatap pahit dan bingung. Apakah ia memaksa anak itu menyukainya? Tidak, kan?Rhys menatap Leona lama, mencari celah kesalahan yang membuat putrinya meledak seperti itu. “Mengapa kamu tidak menyukainya, Alvie? Kalian satu keluarga. Kamu putriku, dan Leona adalah istriku—ibu tirimu.” Alverine menggeleng keras, mata kecilnya memerah. “Ibuku hanya Dame Raven! Jangan bilang Nona Singa itu ibuku juga!”Velian yang masih di tempat duduknya hanya bisa memandangi piring kosong di depannya. Mulutnya terkatup rapat, tapi jantungnya berdentum cepat—adegan ini terasa persis seperti konflik dalam novel yang ia tulis.[Rhys tiba-tiba menggebrak meja. Suara dentuman kayu memantul ke seluruh ruangan, membuat Alverine menjerit dan menangis histeris. Raven langsung berdir

  • Alur Baru Sang Selir Ketiga   Chapter 8: Alverine Tidak Suka Leona

    Hanya Leona yang tampak tidak terlalu peduli dengan nasib Eira di mansion ini, kecuali jika hal itu bisa menarik perhatian Rhys.Bahkan ketika siang bolong tadi seluruh penghuni mansion geger karena Rhys menghunuskan pedang pada Eira, Leona justru terusik oleh alasan yang berbeda: itu adalah interaksi terlama yang pernah ia lihat antara keduanya sejak ia tinggal di sini.Makan siangnya jadi hambar. Ia memutuskan menyendiri di sudut taman, mencari ketenangan di antara hembusan angin dan dedaunan yang bergoyang.Namun ketenangan itu lenyap begitu matanya menangkap sosok Eira dan Garrick berjalan beriringan di koridor lantai atas. Eira tampak berbicara dengan sukacita, gerak bibirnya lincah dan matanya berkilat cerah. Sedangkan Garrick tak bisa menyembunyikan senyum kecil yang nyaris muncul karena berusaha menjaga wibawa.Senyum sinis perlahan muncul di wajah Leona. “Cinta segitiga, ya? Rhys, Eira, dan Garrick...” gumamnya pelan sebelum tawanya merendah getir. “Rhy

  • Alur Baru Sang Selir Ketiga   Chapter 7: Rhys yang Sedikit Curiga dengan Perubahan Eira

    Velian menahan napas, tubuhnya menegang. Tatapannya panik, ketakutan, sekaligus tak mengerti.“Tu-Tuan Rhys!” Tabib dan Garrick langsung berlutut, berseru panik. “Mohon jatuhkan pedang, Tuan!”Velian mundur perlahan, suara gemetar ke luar dari bibirnya. “Beraninya pakai senjata pada perempuan,” desisnya getir.Tatapan Rhys tak beranjak. Ia menelusuri Eira dari ujung kaki hingga kembali ke matanya, tajam, meneliti setiap gerak. “Mengapa sikapmu berubah aneh seperti ini?” tanyanya rendah, mengandung curiga yang menusuk.Velian nyaris tak bernapas saat melihat sosok lain muncul di ambang pintu. Raven—selir pertama Rhys—berdiri di sana, mata abu-abunya membelalak lebar, menatap adegan yang nyaris tak masuk akal di hadapannya: Rhys berdiri dengan pedang terhunus, dan Velian beringsut ketakutan di ujung ranjang.“Dame Raven! Dame Raven, selamatkan aku dari pria ini!” teriak Velian keras, menunjuk lurus ke wajah Rhys. Suaranya pecah, penuh kepanikan nyata yang meng

  • Alur Baru Sang Selir Ketiga   Chapter 6: Rhys Menghunuskan Pedang

    “Panggil tabib sekarang,” perintahnya rendah, tapi cukup untuk membuat udara di sekitar seolah menegang.Garrick segera berlari, sementara Rhys tetap menahan Velian di pelukannya—menatap wajah pucat yang berkeringat itu dengan rahang mengeras, seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar kekhawatiran.Velian tak sanggup lagi menahan sakitnya. Pandangannya berputar, napasnya tercekat—hingga semuanya perlahan memudar menjadi gelap. Tubuhnya terkulai, kehilangan kesadaran sepenuhnya di pelukan Rhys.“Eira!” panggil Rhys, namun tak ada jawaban.Tanpa ragu, ia langsung mengangkat tubuh gadis itu ke dalam gendongannya, melewati cahaya siang yang memantul di marmer dan kaca istana. Langkahnya cepat, penuh desakan, nyaris tak memberi ruang bagi siapa pun untuk menghalangi.“Siapkan tabib! Sekarang juga!” suaranya bergema keras di koridor mansion, membuat para pelayan spontan menunduk dan berlari memenuhi perintahnya.Namun di balik ketegasan itu, matanya memancarkan sesuatu yang lebih

  • Alur Baru Sang Selir Ketiga   Chapter 5: Velian Mengubah Cerita

    Suara ketukan tiga kali di pintu kamar membuat Velian mengerang pelan. Ia masih ingin melanjutkan mimpi indahnya, tapi bunyi itu terus terdengar.Dengan mata setengah terbuka, Velian duduk, meregangkan tangan malas-malasan ke atas, lalu melangkah gontai menuju pintu. Begitu dibuka, koridor di depannya kosong melompong.Ia menggaruk rambut yang berantakan, mendengus kesal. “Siapa sih, iseng banget pagi-pagi begini…” gumamnya, kemudian menutup pintu agak keras dan berbalik menuju kasur.Namun baru beberapa langkah, suara ketukan itu terdengar lagi—masih sama, tiga kali. Tok. Tok. Tok.Velian mendengus panjang, kali ini berjalan menghentak ke arah pintu. “Kalau ini prank, gue sumpahin lu—” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, suaranya terhenti begitu pintu terbuka.“Nona Eira?” suara lembut terdengar dari bawah.Velian menunduk perlahan. Di sana berdiri Alverine, gadis kecil bergaun tidur pink, memeluk boneka kelinci berpita merah di pelukannya. Rambutnya bergelombang rapi, mata

  • Alur Baru Sang Selir Ketiga   Chapter 4 : Eira yang Lain

    Ketika Rhys sudah berdiri di hadapannya, Velian justru bergeser menutupi sebagian tubuh Garrick dengan tubuhnya sendiri. Garrick mengerutkan dahi, tak mengerti dengan sikap aneh itu.Jika ada yang paling mengenal Rhys, maka itu adalah Velian—karena dialah pencipta tokoh pria ini dalam dunia aslinya.“Dari kamar Eira hingga gedung utama, jaraknya hampir tiga ratus meter. Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk menangkapnya?” Suara Rhys datar namun mengandung tekanan. Matanya tajam menusuk Garrick.Velian terbelalak. Tatapannya langsung tertuju pada tangan Rhys yang menyentuh sarung pedang, seolah siap mencabut senjata mematikan itu kapan saja. Ia merentangkan kedua tangannya dengan panik di depan Rhys. “Tunggu, tunggu! Kamu salah paham!”Garrick kian heran. Benar ucapan Leona tentang Eira yang berteriak. Ini pertama kalinya ia mendengar gadis itu meninggikan suara.Velian justru tertawa kecil, meski jelas-jelas suasana mencekam. “Jangan limpahkan hukuman pada Garrick...” ucapnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status