LOGINKetika Rhys sudah berdiri di hadapannya, Velian justru bergeser menutupi sebagian tubuh Garrick dengan tubuhnya sendiri. Garrick mengerutkan dahi, tak mengerti dengan sikap aneh itu.
Jika ada yang paling mengenal Rhys, maka itu adalah Velian—karena dialah pencipta tokoh pria ini dalam dunia aslinya. “Dari kamar Eira hingga gedung utama, jaraknya hampir tiga ratus meter. Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk menangkapnya?” Suara Rhys datar namun mengandung tekanan. Matanya tajam menusuk Garrick. Velian terbelalak. Tatapannya langsung tertuju pada tangan Rhys yang menyentuh sarung pedang, seolah siap mencabut senjata mematikan itu kapan saja. Ia merentangkan kedua tangannya dengan panik di depan Rhys. “Tunggu, tunggu! Kamu salah paham!” Garrick kian heran. Benar ucapan Leona tentang Eira yang berteriak. Ini pertama kalinya ia mendengar gadis itu meninggikan suara. Velian justru tertawa kecil, meski jelas-jelas suasana mencekam. “Jangan limpahkan hukuman pada Garrick...” ucapnya lirih, lalu memberanikan diri mendekat, jemarinya menyentuh tangan Rhys yang masih menekan sarung pedang. Melihat itu, Garrick langsung bersimpuh, menunduk dalam-dalam. “Ampun, Tuan. Ini kelalaian saya. Saya gagal menjaga Nona Eira agar tetap berada di kamar, hingga bisa berlari sejauh ini.” Velian tertegun, hatinya mulai diliputi rasa bersalah. Ia melirik Garrick yang memohon ampun, lalu kembali menggoyangkan tangan Rhys, membujuk pria itu mengurungkan niatnya. “Saya hanya mengizinkanmu beraktivitas ringan, bukan kabur dari kamar, apalagi berlari.” Tatapan Rhys dingin dan sinis pada Velian, seakan perintahnya hanyalah mainan di telinga gadis itu. Di teras, Alverine menarik tangan Raven dengan panik. “Dame Raven, lakukan sesuatu! Jangan biarkan Papa marah pada Nona Eira.” Leona tersenyum sinisme. “Tak ada yang bisa meredam amarahnya. Salah Eira sendiri karena tidak patuh.” Alverine spontan menoleh. “Aku tidak bicara padamu, Nona Singa. Jadi diamlah.” Leona mendelik tajam. “Apa katamu, bocah?!” Raven buru-buru menengahi mereka, meski dadanya sendiri bergemuruh cemas. “Kalian berdua, cukup sudah...” Tapi matanya tak lepas dari Rhys. Ia tahu, jika bukan Eira yang kena hukuman, maka Garricklah yang jadi korban. Rhys perlahan menurunkan tangannya dari sarung pedang. Ia menatap lurus pada Eira. “Jantungmu tidak berdebar berlari sejauh itu?” Velian tercekat. “Ti-tidak...” jawabnya gugup. Rhys memandang Eira dan Garrick. Ada banyak alasan yang menahannya untuk mencabut pedang: Eira masih berharga, dan Garrick terlalu setia untuk dikorbankan dengan mudah. Ia akhirnya menarik napas panjang, menekan amarahnya. “Masuk. Bergabunglah bersama kami.” Velian buru-buru memberi isyarat halus agar Garrick bangun dari sikap bersimpuh. Kejutan berikutnya membuat Velian membeku. Tanpa berkata apa-apa, Rhys melepas mantel merah gelapnya, lalu menyampirkannya di punggung Velian. “Kamu bisa mati kedinginan.” Hanya itu kata-katanya, sebelum pria itu melangkah pergi lebih dulu ke dalam gedung. Velian membeku tempat, pipinya memanas memerah. Selir-selir lain yang menyaksikan jelas terkejut, tapi bagi Velian, yang lebih membingungkan adalah kenyataan bahwa pria kejam itu baru saja menahan amarahnya—dan malah memberi perhatian di depan semua orang. Velian merapikan mantel di tubuhnya sebelum mengikuti langkah Rhys dari belakang. Saat melewati kedua selir lain, Alverine tiba-tiba berlari mendekat dan menggandeng tangannya erat. Velian sedikit terkejut, namun lekas tersenyum hangat pada bocah mungil yang ceria itu. “Nona berhasil membuat Papa tenang. Ajarilah aku caranya!” seru Alverine penuh rasa penasaran. Raven Sinclair menyentuh lembut bahu Eira. “Kamu tidak apa-apa?” tanyanya penuh perhatian. Velian mengangguk pelan. “Terima kasih sudah khawatir.” Kalimat yang biasanya ke luar dari mulut Eira sendiri kini ia lontarkan untuk menenangkan Raven. “Syukurlah,” balas Raven dengan senyum tipis, melangkah di sisinya. Sementara itu, Leona yang berjalan di belakang mereka mendecih sinis. “Kalau pingsan lagi, jangan harap aku menolong.” Mereka kembali melanjutkan makan malam yang sempat tertunda, kali ini dengan suasana jauh lebih tenang. Alverine yang manja tiba-tiba meminta disuapi langsung oleh Rhys. Velian hanya bisa terdiam menyaksikan interaksi keluarga itu; hatinya bimbang, antara ikut bahagia atau justru getir. Ia senang melihat sisi hangat Rhys terhadap Alverine, namun tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa sikap pria itu terhadap selir-selirnya penuh perbedaan, seolah pilih kasih. Sebagaimana yang ia ketahui, Raven dijadikan selir bukan karena cinta, melainkan pilihan Ratu Isolde VI agar Alverine mendapat pengasuhan yang layak. Leona berada di sini sebab sedang mengandung anak Rhys—meski awalnya sempat terjadi pertengkaran karena Rhys sendiri meragukan kandungan itu. Ia bahkan berniat menunggu hingga waktunya tiba untuk memastikan, apakah benar darah dagingnya atau sekadar tipu daya. Sementara Eira, posisinya berbeda. Ia hanyalah selir karena wasiat antara ayahnya dan ayah Rhys di masa lampau. Bukannya menjadi istri, Eira lebih mirip tahanan yang menumpang hidup sambil menanti ajal menjemput. “Gue bisa ubah nasib Eira nggak ya…?” Velian mendadak murung, padahal ia baru sehari menjejakkan kaki di Morwenia. Usai makan malam, Raven membawa Alverine lebih dulu, menemaninya belajar membaca, menulis, dan etika dasar bangsawan. Leona juga segera bangkit, berpamitan singkat pada Rhys. Tinggallah Velian sendiri bersama pria itu—pria sibuk yang jarang beristirahat, apalagi memedulikan selir-selirnya. Ia pun bersiap kembali ke kamarnya setelah hari yang panjang. Namun, begitu berdiri, Velian baru tersadar. Mantel milik Rhys masih membungkus tubuhnya. “Oh iya … mantelnya,” gumamnya, bingung harus bagaimana. Rhys yang sedari tadi memperhatikan langsung menjawab tenang, “Pakai saja. Nanti saya ambil sendiri di kamarmu.” Velian spontan melotot. “Ke … ke kamarku?” Rhys mengangguk ringan. “Ya. Ada apa dengan itu?” Velian buru-buru beralasan, “Aku selalu mengunci pintu kamar sebelum tidur.” Memangnya Eira nggak begitu? batinnya. “Saya juga punya kuncinya,” balas Rhys santai. “Maksudku, kunci geser dari dalam,” Velian menegaskan, nyaris berdebat. Rhys menatapnya datar. “Jangan gunakan kunci itu kecuali dalam keadaan darurat, misalnya ada penyusup.” Velian spontan menyahut, “Bukankah kalau kamu masuk ke kamarku, itu sama saja dengan penyusup?” Ucapan itu membuat Rhys tersenyum miring. Ia tak menyangka bisa disebut begitu. “Lebih baik aku kembalikan sekarang saja,” ujar Velian, nekat melepas mantel sambil mendekati Rhys. Namun Rhys tiba-tiba berdiri, sosoknya menjulang hingga membuat Velian menengadah. “Di luar ada banyak penjaga. Mereka bisa melihat lekuk tubuhmu tanpa mantel itu. Dan pakaian yang kau kenakan malam ini…” Rhys menilai sekilas, “tidak sesuai denganmu, terlalu terbuka.” Velian menunduk, menatap pakaiannya sendiri. Menurutnya tak ada yang salah. Rhys menambahkan dingin, “Apa kamu ingin bersaing dengan Leona?” Velian mengerutkan dahi. “Untuk apa aku bersaing dengan Leona?” gumamnya malas. “Untuk menentukan tubuh siapa yang lebih menarik,” balas Rhys. Velian sontak merinding. “Gila…” sumpahnya dalam hati. Raut wajahnya berubah tegang, seperti anak kecil yang takut diculik oleh orang asing. “Sudah aku kembalikan, ya. Jangan ke kamar—awas saja.” Nada Velian terdengar ringan, tapi jelas ada ancaman terselubung di baliknya. Ia segera berbalik, melangkah cepat meninggalkan ruang makan hingga suara heels-nya menggema dan perlahan memudar di koridor. Rhys tak bergeming di tempat, matanya mengikuti punggung gadis itu sampai benar-benar menghilang. Ada sesuatu yang terasa janggal. Eira Shawn tak pernah berbicara seperti itu sebelumnya. Biasanya, Eira hanya diam seharian, bahkan menjawab pertanyaan pun sekadarnya. Kadang, sebelum Rhys menyelesaikan kalimatnya, Eira sudah pergi lebih dulu. Namun malam ini, nada bicaranya berbeda. Tatapan matanya pun bukan milik perempuan yang pasrah menunggu ajal. Rhys memejamkan mata sejenak. “Mengapa dia tiba-tiba berubah...?” bisiknya pelan.Ruangan mendadak senyap. Leona yang mendengar ucapan itu menegang; dahinya berkerut, bibirnya menahan amarah. Seandainya Rhys tidak ada di sana, mungkin ia sudah menyeret anak itu ke luar.Leona hanya bisa menatap pahit dan bingung. Apakah ia memaksa anak itu menyukainya? Tidak, kan?Rhys menatap Leona lama, mencari celah kesalahan yang membuat putrinya meledak seperti itu. “Mengapa kamu tidak menyukainya, Alvie? Kalian satu keluarga. Kamu putriku, dan Leona adalah istriku—ibu tirimu.” Alverine menggeleng keras, mata kecilnya memerah. “Ibuku hanya Dame Raven! Jangan bilang Nona Singa itu ibuku juga!”Velian yang masih di tempat duduknya hanya bisa memandangi piring kosong di depannya. Mulutnya terkatup rapat, tapi jantungnya berdentum cepat—adegan ini terasa persis seperti konflik dalam novel yang ia tulis.[Rhys tiba-tiba menggebrak meja. Suara dentuman kayu memantul ke seluruh ruangan, membuat Alverine menjerit dan menangis histeris. Raven langsung berdir
Hanya Leona yang tampak tidak terlalu peduli dengan nasib Eira di mansion ini, kecuali jika hal itu bisa menarik perhatian Rhys.Bahkan ketika siang bolong tadi seluruh penghuni mansion geger karena Rhys menghunuskan pedang pada Eira, Leona justru terusik oleh alasan yang berbeda: itu adalah interaksi terlama yang pernah ia lihat antara keduanya sejak ia tinggal di sini.Makan siangnya jadi hambar. Ia memutuskan menyendiri di sudut taman, mencari ketenangan di antara hembusan angin dan dedaunan yang bergoyang.Namun ketenangan itu lenyap begitu matanya menangkap sosok Eira dan Garrick berjalan beriringan di koridor lantai atas. Eira tampak berbicara dengan sukacita, gerak bibirnya lincah dan matanya berkilat cerah. Sedangkan Garrick tak bisa menyembunyikan senyum kecil yang nyaris muncul karena berusaha menjaga wibawa.Senyum sinis perlahan muncul di wajah Leona. “Cinta segitiga, ya? Rhys, Eira, dan Garrick...” gumamnya pelan sebelum tawanya merendah getir. “Rhy
Velian menahan napas, tubuhnya menegang. Tatapannya panik, ketakutan, sekaligus tak mengerti.“Tu-Tuan Rhys!” Tabib dan Garrick langsung berlutut, berseru panik. “Mohon jatuhkan pedang, Tuan!”Velian mundur perlahan, suara gemetar ke luar dari bibirnya. “Beraninya pakai senjata pada perempuan,” desisnya getir.Tatapan Rhys tak beranjak. Ia menelusuri Eira dari ujung kaki hingga kembali ke matanya, tajam, meneliti setiap gerak. “Mengapa sikapmu berubah aneh seperti ini?” tanyanya rendah, mengandung curiga yang menusuk.Velian nyaris tak bernapas saat melihat sosok lain muncul di ambang pintu. Raven—selir pertama Rhys—berdiri di sana, mata abu-abunya membelalak lebar, menatap adegan yang nyaris tak masuk akal di hadapannya: Rhys berdiri dengan pedang terhunus, dan Velian beringsut ketakutan di ujung ranjang.“Dame Raven! Dame Raven, selamatkan aku dari pria ini!” teriak Velian keras, menunjuk lurus ke wajah Rhys. Suaranya pecah, penuh kepanikan nyata yang meng
“Panggil tabib sekarang,” perintahnya rendah, tapi cukup untuk membuat udara di sekitar seolah menegang.Garrick segera berlari, sementara Rhys tetap menahan Velian di pelukannya—menatap wajah pucat yang berkeringat itu dengan rahang mengeras, seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar kekhawatiran.Velian tak sanggup lagi menahan sakitnya. Pandangannya berputar, napasnya tercekat—hingga semuanya perlahan memudar menjadi gelap. Tubuhnya terkulai, kehilangan kesadaran sepenuhnya di pelukan Rhys.“Eira!” panggil Rhys, namun tak ada jawaban.Tanpa ragu, ia langsung mengangkat tubuh gadis itu ke dalam gendongannya, melewati cahaya siang yang memantul di marmer dan kaca istana. Langkahnya cepat, penuh desakan, nyaris tak memberi ruang bagi siapa pun untuk menghalangi.“Siapkan tabib! Sekarang juga!” suaranya bergema keras di koridor mansion, membuat para pelayan spontan menunduk dan berlari memenuhi perintahnya.Namun di balik ketegasan itu, matanya memancarkan sesuatu yang lebih
Suara ketukan tiga kali di pintu kamar membuat Velian mengerang pelan. Ia masih ingin melanjutkan mimpi indahnya, tapi bunyi itu terus terdengar.Dengan mata setengah terbuka, Velian duduk, meregangkan tangan malas-malasan ke atas, lalu melangkah gontai menuju pintu. Begitu dibuka, koridor di depannya kosong melompong.Ia menggaruk rambut yang berantakan, mendengus kesal. “Siapa sih, iseng banget pagi-pagi begini…” gumamnya, kemudian menutup pintu agak keras dan berbalik menuju kasur.Namun baru beberapa langkah, suara ketukan itu terdengar lagi—masih sama, tiga kali. Tok. Tok. Tok.Velian mendengus panjang, kali ini berjalan menghentak ke arah pintu. “Kalau ini prank, gue sumpahin lu—” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, suaranya terhenti begitu pintu terbuka.“Nona Eira?” suara lembut terdengar dari bawah.Velian menunduk perlahan. Di sana berdiri Alverine, gadis kecil bergaun tidur pink, memeluk boneka kelinci berpita merah di pelukannya. Rambutnya bergelombang rapi, mata
Ketika Rhys sudah berdiri di hadapannya, Velian justru bergeser menutupi sebagian tubuh Garrick dengan tubuhnya sendiri. Garrick mengerutkan dahi, tak mengerti dengan sikap aneh itu.Jika ada yang paling mengenal Rhys, maka itu adalah Velian—karena dialah pencipta tokoh pria ini dalam dunia aslinya.“Dari kamar Eira hingga gedung utama, jaraknya hampir tiga ratus meter. Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk menangkapnya?” Suara Rhys datar namun mengandung tekanan. Matanya tajam menusuk Garrick.Velian terbelalak. Tatapannya langsung tertuju pada tangan Rhys yang menyentuh sarung pedang, seolah siap mencabut senjata mematikan itu kapan saja. Ia merentangkan kedua tangannya dengan panik di depan Rhys. “Tunggu, tunggu! Kamu salah paham!”Garrick kian heran. Benar ucapan Leona tentang Eira yang berteriak. Ini pertama kalinya ia mendengar gadis itu meninggikan suara.Velian justru tertawa kecil, meski jelas-jelas suasana mencekam. “Jangan limpahkan hukuman pada Garrick...” ucapnya







