Home / Romansa / Alur Baru Sang Selir Ketiga / Chapter 3: Lepas Kendali

Share

Chapter 3: Lepas Kendali

Author: KIKHAN
last update Last Updated: 2025-10-08 08:57:39

Pundak Rhys tak setegang biasanya, seolah bersiap mendengar permintaan Eira. “Jika ingin bepergian, bawa saya atau Garrick untuk menemani.”

Velian hampir mendengus. Bukankah sama saja? Rhys dan Garrick bagai pinang dibelah dua. “Kalau sendiri, tidak boleh?” tanyanya hati-hati.

“Jika kamu pingsan di luar rumah tanpa siapa pun, bagaimana?” Rhys seperti mengomel.

Velian meremas gaunnya perlahan. “Benar juga, ya...” gumamnya lirih.

Rhys memberi batasan yang jelas. “Pilihannya hanya dua: pergi dengan saya atau Garrick. Jika tidak, tetaplah di rumah.” Velian menunduk kecil, mengangguk paham.

Begitu Rhys menutup pintu dan langkahnya menjauh, Velian cepat-cepat melompat ke depan pintu. Ia mengintip lewat celah, memastikan tak ada orang di luar. Setelah yakin aman, ia menutup pintu rapat-rapat lalu bersorak kegirangan. Tubuhnya berjoget kecil, tangan terangkat ke atas merayakan kemenangan.

“Yes! Berhasil nego sama Rhys. Berarti gue terlalu kejam ya sama Eira karena dulu nulis dia dikurung di mansion segede ini. Nyatanya, bisa kok dinego.” Matanya berbinar, senyum merekah.

Ia menepuk pipinya sendiri, masih mabuk kagum. “Astaga ... tampang Rhys ternyata jauh lebih ganteng dari ilustrasi yang gue bikin. Tinggi, badan, mata ... sempurna banget!” Velian menjerit kecil sambil memeluk bantal, lalu terdiam sebentar, menimbang gaun akan dipakai nanti malam.

“By the way, si Leona agak nyebelin juga. Ngapain sih pakai gaun terbuka segitunya padahal masih sore? Genit banget.” Velian cemberut sambil menggerutu menilai tokoh buatannya sendiri. “Bodo amat deh. Yang penting alurnya masih sama.”

Di balik keriangannya, pikiran Velian kembali pada pemilik asli tubuh ini. Velian menatap kosong ke cermin, lalu bergumam lirih, “Eira Shawn ... aku janji satu hal. Bukan kematian tragis yang menanti kamu, tapi kematian yang penuh penghormatan.”

Usai mandi mewah sambil berendam dalam kolam air hangat, Velian kembali berdiri di depan cermin. Ia harus sudah tiba di gedung utama sebelum pelayan datang mengantarkan makan malam. Kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Ia ingin berkeliling bebas di negeri Morwenia.

Di gedung utama, suasana perjamuan telah sibuk. Para pelayan mondar-mandir, menghidangkan hidangan dari pembuka hingga penutup, sementara peralatan makan ditata seteliti mungkin.

Begitu Rhys hadir, semua pelayan serentak mundur dari meja makan dan kembali ke dapur. Kini, hanya tersisa sang tuan rumah yang menunggu tiga selirnya.

Rhys tampil dengan kewibawaan penuh. Tubuh tegapnya dibalut setelan jas hitam yang rapi, dengan kemeja putih bersih dan dasi kupu-kupu hitam yang mempertegas garis rahangnya. Jas hitam itu dipadukan dengan sabuk berornamen rantai emas yang melilit pinggang.

Namun yang paling mencuri perhatian adalah mantel panjang berwarna merah marun dengan lapisan dalam hitam yang menjuntai megah hingga menyapu lantai. Mantel itu terpasang di bahunya, dihiasi bros lambang kerajaan dan hiasan rantai emas yang terhubung dari dada ke bahu.

Setiap langkah Rhys terdengar mantap, sepatu kulit hitamnya memantulkan cahaya lilin di ruangan megah itu. Kehadirannya bagaikan pusat gravitasi, membuat siapa saja yang melihatnya tak mampu mengalihkan pandangan.

Di depan pembatas antara aula dan ruang makan, Garrick Veynar berdiri tegak menjaga. Perlahan, satu per satu para selir mulai datang. Leona Hart menjadi yang pertama tiba.

Leona melangkah anggun menuju tempat duduknya. Gaun berwarna abu-abu yang peraknya berkilau halus, memancarkan aura elegan yang dingin namun memikat. Potongan bagian atasnya berbentuk sweetheart neck, menonjolkan lekuk dada dengan detail payet perak yang bertaburan, menyerupai aliran cahaya bintang yang jatuh menuruni tubuhnya.

Pinggangnya dipertegas dalam kilau ornamen, sementara rok pendek di bagian dalam menampilkan kaki jenjangnya yang terbalut sepasang heels berkilau. Dari pinggang, lapisan tulle panjang jatuh menjuntai ke lantai, membentuk siluet dramatis bagai sayap kabut yang mengikuti setiap langkahnya.

“Selamat malam, Rhys.” Leona menyapa dengan anggun, satu tangan bertumpu di dada, tubuhnya sedikit menunduk memberi hormat.

Rhys mengangguk singkat. “Selamat malam.”

Tak lama kemudian, muncullah Raven Sinclair. Langkah anggunnya diiringi sosok kecil yang ia gandeng erat. Alverine atau lebih akrab dipanggil Alvie, menatap sekeliling mencari sesuatu, sementara Raven tetap tenang menjaga wibawa.

Garrick segera membungkuk dalam-dalam, memberi penghormatan penuh kepada selir pertama sekaligus anak kandung Rhys yang hadir bersamanya.

Balutan kain yang dikenakan Raven bergradasi merah marun di bagian atas hingga melembut menjadi merah muda pucat di bawah. Potongan dada berbentuk hati tanpa tali menonjolkan lekuk femininnya, sementara lengan balon tipis dari tulle pink memberi kesan lembut, menutupi pesona tajam yang dimilikinya. Sepasang sepatu hak tinggi berwarna pink pastel menyempurnakan tampilannya, membuat Raven tampak seperti bunga mewah yang sedang mekar di tengah ruangan.

Alverine Vance memiliki rambut pirang panjang bergelombang yang terurai bebas, dihiasi pita besar berwarna pink muda dengan hiasan kecil berbentuk pita biru. Matanya biru jernih berkilauan. Tangannya memeluk erat boneka kelinci putih dengan pita merah muda di lehernya, menjadi teman kesayangan yang selalu menemani. Memakai gaun bernuansa pink pastel dengan bordir bunga emas di bagian rok, serta lapisan luar dari kain tipis transparan yang berkilau.

Bagian atas gaun berhias brokat keemasan dengan potongan elegan, ditambah lengan panjang yang ditutupi kain transparan. Ujung rok dilapisi renda halus, mempertegas kemewahannya.

Tersedia dua kursi di sisi kanan untuk Rhys dan Alverine, serta tiga kursi di sisi kiri untuk Raven, Leona, dan Eira.

“Selamat malam, Papa!” sapa Alverine dengan ceria ketika Rhys mengangkat tubuh mungilnya untuk duduk di kursi.

Rhys tersenyum tipis. Mengusap lembut kepala putrinya. “Malam, Tuan Putri.”

Raven baru sempat menyapanya setelah duduk. “Malam, Rhys.”

Rhys menoleh singkat. “Ya, selamat malam.”

Tatapan Raven bergeser ke kursi kosong. “Eira belum datang?” tanyanya tenang meski tak menatap siapa pun.

“Eira harus beristirahat. Makan malamnya akan diantar ke kamar,” jelas Rhys.

Raven menarik napas berat. “Beberapa hari ini Eira sering pingsan. Aku khawatir dengan kondisinya.”

Leona menimpali datar, “Tidak banyak yang bisa kita lakukan. Eira memang memiliki kelainan jantung sejak lahir, dan donor jantung sulit didapat.”

Alverine pun menoleh pada Rhys dengan wajah polos. “Apa itu artinya Nona Eira akan pergi, Papa?”

Rhys menggeleng lembut. “Tanpa seizin Papa, Nona Eira tidak akan pergi ke mana pun.”

Alverine sempat tersenyum sumringah, namun mendadak murung lagi. “Aku ingin melihat Nona Eira setelah makan malam. Papa akan ikut denganku, kan?”

Rhys mengangguk mantap. “Tentu saja. Sekarang kita makan dulu.”

Mereka pun mulai menyantap hidangan. Namun di tempat lain, suasana berbeda tengah terjadi. Velian baru saja ke luar dari kamar menuju gedung utama. Di koridor panjang, ia tak sengaja berpapasan dengan Garrick yang kebetulan melewati jalur yang sama. Panik, Velian buru-buru menutupi wajahnya dengan kedua tangan, berharap tak dikenali.

Namun Garrick segera menghadang, tubuhnya tegak bagai tembok. “Rhys sudah memerintahkanmu tetap di kamar. Makan malammu akan dibawa ke sana. Jadi, kenapa kau di luar?”

Velian menggigit bibir, lalu mencoba beralasan. “Aku bosan di kamar.”

Garrick menghela napas panjang. “Kembalilah sebelum Rhys mengira kau mencoba kabur lagi.”

Seketika Velian menunjuk panik ke arah belakang Garrick. “Tuan Rhys!!” serunya melengking.

Refleks, Garrick menoleh. Kosong. Saat sadar ia telah diperdaya, Eira sudah berlari kencang tanpa alas kaki, menenteng sepasang heels di tangan.

“Eira! Jangan berlari!” suara Garrick menggema, cemas. Ia tahu betul, berlari dalam kondisi Eira bisa sangat berbahaya.

Namun Velian justru tertawa kecil, merasakan kebebasan berlarian di sepanjang koridor megah berhias ukiran emas, lalu menuruni tangga ke lantai dasar. Tabib tua yang baru datang hampir terjatuh karena terkejut melihatnya.

“Nona Eira! Jangan berlari, Nona...!” serunya dengan suara parau, mencoba mengejar namun jelas tak mampu.

Langkah Garrick dipercepat. Begitu jarak cukup dekat, ia berhasil menangkap tangan Eira. “Berhenti! Kau tidak boleh berlari lagi.” Napasnya terengah, menahan emosi sekaligus kekhawatiran.

Velian terperangah, lalu tersenyum tipis. “Mengapa? Berlarian di mansion sebesar ini membuatku bahagia.” Tanpa sadar, tutur katanya berubah, menyesuaikan bahasa baku istana.

“Kau bisa mati!” hardik Garrick, matanya menajam. “Lihat sekelilingmu—di mana kau berada dan siapa saja yang menyaksikanmu sekarang.” Tangan Eira dilepas perlahan.

Velian menoleh, senyumnya langsung luntur.

Di teras utama berdiri Rhys, menatapnya tajam bagaikan pedang terhunus. Di sisinya, Raven tampak cemas, Leona menyunggingkan senyum sinis, dan Alverine melambaikan tangan ceria ke arahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Alur Baru Sang Selir Ketiga   Chapter 9: Alverine Marah & Menangis

    Ruangan mendadak senyap. Leona yang mendengar ucapan itu menegang; dahinya berkerut, bibirnya menahan amarah. Seandainya Rhys tidak ada di sana, mungkin ia sudah menyeret anak itu ke luar.Leona hanya bisa menatap pahit dan bingung. Apakah ia memaksa anak itu menyukainya? Tidak, kan?Rhys menatap Leona lama, mencari celah kesalahan yang membuat putrinya meledak seperti itu. “Mengapa kamu tidak menyukainya, Alvie? Kalian satu keluarga. Kamu putriku, dan Leona adalah istriku—ibu tirimu.” Alverine menggeleng keras, mata kecilnya memerah. “Ibuku hanya Dame Raven! Jangan bilang Nona Singa itu ibuku juga!”Velian yang masih di tempat duduknya hanya bisa memandangi piring kosong di depannya. Mulutnya terkatup rapat, tapi jantungnya berdentum cepat—adegan ini terasa persis seperti konflik dalam novel yang ia tulis.[Rhys tiba-tiba menggebrak meja. Suara dentuman kayu memantul ke seluruh ruangan, membuat Alverine menjerit dan menangis histeris. Raven langsung berdir

  • Alur Baru Sang Selir Ketiga   Chapter 8: Alverine Tidak Suka Leona

    Hanya Leona yang tampak tidak terlalu peduli dengan nasib Eira di mansion ini, kecuali jika hal itu bisa menarik perhatian Rhys.Bahkan ketika siang bolong tadi seluruh penghuni mansion geger karena Rhys menghunuskan pedang pada Eira, Leona justru terusik oleh alasan yang berbeda: itu adalah interaksi terlama yang pernah ia lihat antara keduanya sejak ia tinggal di sini.Makan siangnya jadi hambar. Ia memutuskan menyendiri di sudut taman, mencari ketenangan di antara hembusan angin dan dedaunan yang bergoyang.Namun ketenangan itu lenyap begitu matanya menangkap sosok Eira dan Garrick berjalan beriringan di koridor lantai atas. Eira tampak berbicara dengan sukacita, gerak bibirnya lincah dan matanya berkilat cerah. Sedangkan Garrick tak bisa menyembunyikan senyum kecil yang nyaris muncul karena berusaha menjaga wibawa.Senyum sinis perlahan muncul di wajah Leona. “Cinta segitiga, ya? Rhys, Eira, dan Garrick...” gumamnya pelan sebelum tawanya merendah getir. “Rhy

  • Alur Baru Sang Selir Ketiga   Chapter 7: Rhys yang Sedikit Curiga dengan Perubahan Eira

    Velian menahan napas, tubuhnya menegang. Tatapannya panik, ketakutan, sekaligus tak mengerti.“Tu-Tuan Rhys!” Tabib dan Garrick langsung berlutut, berseru panik. “Mohon jatuhkan pedang, Tuan!”Velian mundur perlahan, suara gemetar ke luar dari bibirnya. “Beraninya pakai senjata pada perempuan,” desisnya getir.Tatapan Rhys tak beranjak. Ia menelusuri Eira dari ujung kaki hingga kembali ke matanya, tajam, meneliti setiap gerak. “Mengapa sikapmu berubah aneh seperti ini?” tanyanya rendah, mengandung curiga yang menusuk.Velian nyaris tak bernapas saat melihat sosok lain muncul di ambang pintu. Raven—selir pertama Rhys—berdiri di sana, mata abu-abunya membelalak lebar, menatap adegan yang nyaris tak masuk akal di hadapannya: Rhys berdiri dengan pedang terhunus, dan Velian beringsut ketakutan di ujung ranjang.“Dame Raven! Dame Raven, selamatkan aku dari pria ini!” teriak Velian keras, menunjuk lurus ke wajah Rhys. Suaranya pecah, penuh kepanikan nyata yang meng

  • Alur Baru Sang Selir Ketiga   Chapter 6: Rhys Menghunuskan Pedang

    “Panggil tabib sekarang,” perintahnya rendah, tapi cukup untuk membuat udara di sekitar seolah menegang.Garrick segera berlari, sementara Rhys tetap menahan Velian di pelukannya—menatap wajah pucat yang berkeringat itu dengan rahang mengeras, seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar kekhawatiran.Velian tak sanggup lagi menahan sakitnya. Pandangannya berputar, napasnya tercekat—hingga semuanya perlahan memudar menjadi gelap. Tubuhnya terkulai, kehilangan kesadaran sepenuhnya di pelukan Rhys.“Eira!” panggil Rhys, namun tak ada jawaban.Tanpa ragu, ia langsung mengangkat tubuh gadis itu ke dalam gendongannya, melewati cahaya siang yang memantul di marmer dan kaca istana. Langkahnya cepat, penuh desakan, nyaris tak memberi ruang bagi siapa pun untuk menghalangi.“Siapkan tabib! Sekarang juga!” suaranya bergema keras di koridor mansion, membuat para pelayan spontan menunduk dan berlari memenuhi perintahnya.Namun di balik ketegasan itu, matanya memancarkan sesuatu yang lebih

  • Alur Baru Sang Selir Ketiga   Chapter 5: Velian Mengubah Cerita

    Suara ketukan tiga kali di pintu kamar membuat Velian mengerang pelan. Ia masih ingin melanjutkan mimpi indahnya, tapi bunyi itu terus terdengar.Dengan mata setengah terbuka, Velian duduk, meregangkan tangan malas-malasan ke atas, lalu melangkah gontai menuju pintu. Begitu dibuka, koridor di depannya kosong melompong.Ia menggaruk rambut yang berantakan, mendengus kesal. “Siapa sih, iseng banget pagi-pagi begini…” gumamnya, kemudian menutup pintu agak keras dan berbalik menuju kasur.Namun baru beberapa langkah, suara ketukan itu terdengar lagi—masih sama, tiga kali. Tok. Tok. Tok.Velian mendengus panjang, kali ini berjalan menghentak ke arah pintu. “Kalau ini prank, gue sumpahin lu—” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, suaranya terhenti begitu pintu terbuka.“Nona Eira?” suara lembut terdengar dari bawah.Velian menunduk perlahan. Di sana berdiri Alverine, gadis kecil bergaun tidur pink, memeluk boneka kelinci berpita merah di pelukannya. Rambutnya bergelombang rapi, mata

  • Alur Baru Sang Selir Ketiga   Chapter 4 : Eira yang Lain

    Ketika Rhys sudah berdiri di hadapannya, Velian justru bergeser menutupi sebagian tubuh Garrick dengan tubuhnya sendiri. Garrick mengerutkan dahi, tak mengerti dengan sikap aneh itu.Jika ada yang paling mengenal Rhys, maka itu adalah Velian—karena dialah pencipta tokoh pria ini dalam dunia aslinya.“Dari kamar Eira hingga gedung utama, jaraknya hampir tiga ratus meter. Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk menangkapnya?” Suara Rhys datar namun mengandung tekanan. Matanya tajam menusuk Garrick.Velian terbelalak. Tatapannya langsung tertuju pada tangan Rhys yang menyentuh sarung pedang, seolah siap mencabut senjata mematikan itu kapan saja. Ia merentangkan kedua tangannya dengan panik di depan Rhys. “Tunggu, tunggu! Kamu salah paham!”Garrick kian heran. Benar ucapan Leona tentang Eira yang berteriak. Ini pertama kalinya ia mendengar gadis itu meninggikan suara.Velian justru tertawa kecil, meski jelas-jelas suasana mencekam. “Jangan limpahkan hukuman pada Garrick...” ucapnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status