Di rumah Keluarga Panggabean di Kota Lunvea, suasana dipenuhi kecemasan.Di atas ranjang megah, terbaring Satria Panggabean si kepala keluarga yang botak dan menua. Tubuh yang dulu berwibawa itu telah menyusut, sementara kulitnya pucat seperti perkamen. Bahkan, napasnya dangkal dan tersengal.Di sekelilingnya, keturunan Keluarga Panggabean berkumpul dalam kediaman menegangkan. Raut wajah-wajah mereka diselimuti kekhawatiran."Bayu!" Suara Hamza Panggabean pecah saat dia mondar-mandir. Sarafnya kian tak terkendali. "Ayah baik-baik saja kemarin. Kenapa bisa tiba-tiba pingsan?"Rahang Bayu Panggabean mengeras. "Jangan mulai menyalahkanku," balasnya tajam."Ayah sendiri yang menjerumuskan dirinya. Dia coba menembus level 100 di usia setua ini, itu jelas hal gila. Nggak ada yang pernah berhasil dan sekarang lihat akibatnya."Hamza berhenti dengan kedua tinju mengepal. Wajahnya menegang dipenuhi amarah tak berdaya. "Kenapa dia terus memaksakan diri seperti ini?"Teriakan seseorang tiba-tiba
Febrian menggeleng perlahan. Suaranya dipenuhi nada merendahkan."Alvaro, aku akui kau memang punya keberanian. Tapi, batas antara keberanian dan kebodohan itu sangat tipis.""Sekarang, kau cuma orang bodoh yang bahkan nggak tahu batas diri sendiri. Kau ini bukan siapa-siapa dan nggak berharga. Bahkan, untuk menjadi musuh kami pun kau nggak layak."Tatapan Alvaro tetap teguh. "Pak Febrian, seorang pria bisa dihancurkan, tapi nggak bisa dikalahkan."Bibir Febrian melengkung dan membentuk senyum getir. Dia menghela napas tajam, lalu membentak, "Oke! Bagus sekali! Kau memang bernyali, aku akui itu. Kalau kau mau dihancurkan, biarlah begitu.""Tapi demi menghargai hubungan kita di masa lalu, aku masih akan memberimu satu kesempatan. Berhentilah menemui Jasmin. Putuskan semua hubungan dengannya, maka aku nggak akan mempermasalahkan lagi. Tapi kalau bersikeras, kau akan menanggung akibatnya. Kami akan menghancurkanmu. Sekarang, cepat pergilah."Febrian berdiri dari kursinya. Tubuhnya jelas-j
Cahaya pagi menembus lewat celah jendela kayu rapuh di klinik kumuh itu.Alvaro membungkuk di atas seorang pria paruh baya yang tubuhnya terlihat sangat lemah. Dada pria itu naik turun dengan napas tipis. Tulang rusuknya menonjol seperti jeruji di balik kulit yang setipis kertas.Kekurangan gizi, itulah musuh yang setiap hari dilawan Alvaro.Tak peduli sekeras apa pun Joselin bekerja, juga tak peduli berapa banyak mulut yang berusaha dia beri makan, kelaparan sudah menggerogoti tempat tersebut dan meninggalkan luka yang tak kunjung tertutup.Tiba-tiba, ketukan terdengar di pintu.Alvaro berdiri tegak sambil mengelap tangannya dengan kain. Celyn berdiri di ambang pintu dan menatapnya lekat-lekat."Febrian mau bertemu denganmu di Kota Rosia," ucap Celyn datar.Badai emosi berkecamuk di dalam diri Alvaro.Hubungannya dengan Celyn sudah terlalu rumit. Cinta yang bercampur dengan benci, serta kasih sayang yang membusuk jadi cemburu.Alvaro menarik napas panjang, lalu menolak dengan nada din
Tuan Diamante tidak menjawab Alvaro.Dia bersikap seolah-olah tidak melihatnya. Dengan jentikan tangannya, dia menyatakan, "Jam bisnis malam ini sudah selesai. Semua orang keluar, kecuali kalian ingin mati di sini."Ruangan itu membeku. Para pelanggan memucat.Semua orang tahu ceritanya, ketika Tuan Diamante mengosongkan sebuah klub, itu bukan sekadar perintah.Itu adalah peringatan. Sebelumnya sering terjadi, orang-orang dipulangkan dalam kantong jenazah hanya karena mereka kurang cepat bergerak.Kerumunan itu berdesakan, berebut menuju pintu keluar.Kepanikan menggema di langkah kaki mereka, setiap wajah meyakini kalau Alvaro baru saja melangkah ke neraka.Dalam beberapa menit, tempat itu kosong. Kamera pengawas mati satu per satu, hanya menyisakan keheningan dan bahaya di ruangan itu.Di sudut, Marwan dan teman-temannya berkerumun gemetar. Tak seorang pun berani bergerak. Mereka tahu ini sudah lebih dari sekadar lelucon.Tuan Diamante menoleh pada ayahnya. "Ayah, serahkan ini padaku
Alvaro bisa saja membunuh para preman itu tanpa bersusah payah, tapi dia datang ke sini bukan untuk mereka.Dia membutuhkan Marwan, dan masih ada hal-hal lain yang tidak dia ketahui. Jadi, alih-alih terpancing, dia duduk di lantai, kakinya terentang, setenang batu.Para preman itu melirik ke arahnya, mengamatinya, lalu mengabaikannya.Perhatian mereka beralih ke rekan-rekan Marwan lainnya, entah itu para pengawal, klien, atau siapa pun mereka.Tujuh dari mereka dipaksa berlutut. Alvaro tetap di sudut, diam memperhatikan.Pria tua itu mengalihkan pandangannya ke Marwan, bibirnya melengkung membentuk seringai kejam."Hei, berandal. Bukankah kau bertingkah sangat arogan tadi? Merampas wanitaku? Mengancam akan mematahkan lenganku?"Dia melemparkan pentungannya ke lantai di depan Marwan. "Nah, ini kesempatanmu. Lakukan. Patahkan lenganku."Marwan memaksakan senyum lemah. "Itu salah paham. Dia melirikku sebentar, jadi aku lupa dia sedang bersama siapa. Aku bodoh.""Bagaimana kalau begini, ak
"Tembak dia!" Suara-suara berkumandang, senjata diacungkan ke segala arah."Siapa pun yang membunuhnya akan mendapatkan uangnya!"Puluhan senjata berayun ke arah Alvaro. Namun, saat peluru beterbangan, kekacauan melanda kerumunan."Berhenti menembak! Kalian menembaki anak buah kalian sendiri!" teriak seseorang, tepat sebelum peluru nyasar menembus dadanya.Tembakan menderu dari segala arah, peluru-peluru memelesat ke sasaran yang salah.Alvaro bergerak bagai hantu, meliuk-liuk di tengah badai.Setiap tebasan, setiap langkah menghindar, amarah mereka berbalik menyerang diri mereka sendiri.Pedang-pedang meleset darinya dan menebas sekutu. Peluru-peluru mengoyak tubuh-tubuh yang seharusnya menjadi rekan.Semakin mereka bertarung, semakin mereka saling menghancurkan.Orang-orang berjatuhan di tempat mereka berdiri, beberapa mencengkeram luka, yang lain jatuh tak bernyawa dengan tembakan tepat di kepala.Keadaan berubah menjadi kekacauan. Darah, jeritan, dan tembakan kawan sendiri mengubah