Gemetar pun dirasakan Izzan, semua itu terjadi karena traumanya kembali.
Ya, dua traumanya terjadi dalam waktu yang berdekatan. Pertama, api yang hampir membakarnya ketika kecil, akibat kelalaian pengasuhnya. Kedua, menunggu kecemasan hilang di rumah sakit. Mungkin, itu juga yang membuat si lelaki bersikap manis seakan melupakan balas dendamnya. Merasa sesuatu yang berbeda, Izzan langsung pergi dari depan ruang UGD. Membasuh wajah, seketika ia melihat sebuah kesalahan yang baru disadarinya. Peduli kepada si penghilang nyawa, itu yang harus diubah. “Nggak, aku akan tetap balas kematian kamu Vilia. Bagaimanapun, kamu masih orang yang begitu aku cintai. “ Izzan bergumam kemudian menampilkan senyum liciknya. Bisa saja perubahan emosi dari seorang Izzan terjadi, karena rasa kehilangan yang hampir membuatnya depresi sampai-sampai mengikuti amarahnya.Di sisi itu perempuan yang berbaring dengan jarum infus kembali menancap di punggung tangan, membuatnya menghela napas. Teringat kejadian yang mengawali semua luka yang tergores. Air mata menetes, teringat pernyataan lelaki yang telah menimbulkan luka bahkan sebelum perjanjian tersebut hadir. Setelah menikah dengan Izzan, pastinya akan sulit tertawa. Ceklek. Pintu terbuka, membuat Mawar langsung mengusap wajahnya yang penuh dengan air mata. Ia enggan menyambut meski sekadar menoleh. Suara sepatu milik lelaki itu beradu dengan lantai, membuatnya tahu jarak si lelaki yang mulai mendekat. “Bagaimana, keadaan kamu?” Kini lelaki itu berada di pinggir ranjang pasien namun Mawar, tetap tidak mengalihkan tatapannya. Izzan tersenyum licik, dia tahu bahwa gadis itu tidak mau melihat wajahnya. Bergerak perlahan, ia mulai berjalan untuk memposisikan diri di mana mata si gadis yang terbaring itu menatap.
Mawar terperanjat saat Izzan sudah berada dalam pandangan matanya, berjongkok dengan posisi wajah yang begitu dekat. Embusan napas beraroma maskulin akibat parfum yang dipakainya, hampir membuat Mawar termenung. Izzan menggerakkan tangannya, kembali menyentuh rambut gadis itu perlahan. “Jangan begitu, calon istri. Kamu lupa, siapa yang telah menyelamatkan nyawa kamu?” Suara lembut itu benar-benar memuakkan bagi Mawar. Mawar merasa aliran darahnya berhenti, ketika tangan itu tak hanya membelai rambutnya melainkan wajahnya. Dengan gugup, ia terus menelan saliva. “Calon suami kamu itu baik, membiarkan hidup meski calon istrinya itu telah menghilangkan nyawa seorang gadis.” Lelaki itu menyindir, dengan tatapan licik yang membuat Mawar kesal. Wajah mereka semakin dekat. Bukan keduanya yang saling mengikis jarak, hanya saja si lelaki yang terus mendekatkan wajahnya. Meski begitu, tatapan si gadis yang terbaring tidak terarah pada mata si lelaki. “Terus, kenapa Anda tidak membiarkan saya mati terpanggang saja?” tanyanya dengan nada kesal. “Itu, lebih baik daripada menikah dengan lelaki yang hanya akan memberikan neraka,” pelannya. Izzan terkekeh di depan wajah Mawar. Hanya beberapa detik, ekspresi itu berubah menjadi dingin. “Kamu harus tahu bahwa cara balas dendam tidak semudah itu, sayang.” Mawar diam. Pikirannya riuh karena ingin membalas semua perkataan Izzan, namun ia tidak bisa melakukan itu karena takut lelaki yang tidak berperikemanusiaan ini semakin marah. Menjauhkan badannya, berdiri dan merapikan jas yang dikenakan lelaki itu berucap, “Sebaiknya kamu istirahat, besok hanya waktu kamu untuk terus berbaring. Oh iya, pernikahan akan diadakan dalam dua hari.” Mawar langsung melotot tak percaya. Secepat itu? Apa dia tidak tahu persiapan pernikahan itu lama dan cukup sulit? “Tidak usah khawatir, semua acara sudah aku percayakan pada wedding organizer Beryl.” Lelaki itu dengan santai menggulung lengan bajunya.
“Apa, itu kan-“ “Iya, tempat kamu bekerja. Semua orang kini sudah mengetahui bahwa salah satu karyawan wedding organizer Beryl itu akan dipersunting oleh CEO Buana Dama. Jadi, jika kamu berulah seperti lari dari pernikahan, maka tempat kamu bekerja itu dipastikan bangkrut.” Mawar menggertakkan giginya. Lelaki yang melihatnya hanya menampilkan wajah datar. “Oke, sampai jumpa calon istri.” Mulai melangkah dengan tegap menuju pintu keluar. Tangan lelaki itu sudah memegang knop pintu, tapi ia berbalik kembali. “Oh iya, ayah tidak diberitahu soal ini. Jadi, jika beliau mengabari maka jangan meringis kesakitan.” Setelah mengatakan ini, Mawar teringat pada ayahnya. Lelaki tak punya hati itu ternyata punya sisi kemanusiaan terhadap orang tua. Meski begitu tega terhadap calon istrinya, Izzan begitu menghormati calon mertuanya. Ya, Mawar bersyukur setidaknya sang ayah tidak mendapat perlakuan buruk dari CEO angkuh itu. *** Satu hari setelah Mawar berbaring dengan jenuh di rumah sakit, akhirnya ia diizinkan pulang. Lebih tepatnya dipaksa pulang oleh sang CEO. Besok adalah hari pernikahan yang bisa saja menjadi awal dari segala penderitaan yang terikat pada si laki-laki. Semua teman-teman kerjanya mencecar Mawar dengan segala pertanyaan. Ya, maklum. Seorang perempuan yang diketahui sudah menjalin hubungan begitu lama namun berakhir sebuah pengkhianatan sungguh mengherankan begitu mudah percaya pada lelaki dan akhirnya memutuskan menikah. Banyak tentunya artikel dan beberapa cuitan di media sosial yang mengabarkan, bahwa Mawar Anindita itu seorang yang matre, perebut, mencari kesempatan dan berbagai hal negatif lainnya. “Tenang, semua media yang mengangkat berita tentang kamu sudah saya atasi.” Itulah kalimat calon suaminya, ketika Mawar melakukan panggilan. Segala rasa stres yang dialami Mawar ketika melihat berita-berita itu, diatasi secepat kilat dan begitu tenang. “Iya udah, tapi tetap saja beberapa orang di luar sana pasti ke hasut dan punya pemikiran gak baik tentang saya!” Mawar sedikit kesal pada calon suaminya. Belum saja si penerima panggilan itu menjawab. Mawar sudah berbicara lagi, “Kalo saja pernikahannya tidak secepat ini. Mungkin kita punya banyak waktu untuk memublikasikan dan menjelaskannya ke publik, kalo gini saya yang kena!” “Tidak usah berlebihan, saya malah senang kamu dicaci. Ingat, itu bukan apa-apa sayangku.” Izzan terkekeh dengan suara yang begitu puas terdengar. “Ya, setidaknya ja-“
“Sudah, saya tidak punya banyak urusan untuk meladeni kamu. Lagi pula saya harus bekerja. Oh iya, untuk besok ... Selamat datang di penjara sayang.” Mawar bergidik mendengarnya tapi ia tidak bisa melakukan apapun.
Tut! Panggilan dimatikan sepihak. “Dasar, CEO angkuh!” Mawar memaki Izzan dengan perantara handphone yang baru saja menjadi penghubung percakapan antara keduanya. Kabur? Masih Mawar pikirkan, ia dilema tentang pernikahannya dengan Izzan. Ini tidak baik, karena hanya didasari oleh rasa benci yang Izzan tanam dan sekarang Mawar juga mulai membenci lelaki itu. “Aaa, pusing! Kalo misalnya, semua ini tidak baik maka Ya Tuhan, gagalkanlah pernikahan tanpa harus merugikan siapapun dengan cara yang terbaik.” Mawar mengangkat tangannya, meminta petunjuk pada yang Sang Pencipta. Tok ... Tok. Mawar merebahkan diri di kasur, namun sebuah ketukan pintu membuatnya bangun dan keluar kamar untuk mengetahui siapa yang bertamu. Ia celingukan, siapa tahu pintu sudah dibuka oleh ayahnya. “Ayah, itu siapa?” Sambil berjalan, Mawar bertanya pada ayahnya namun sepertinya sang ayah tidak ada di rumah. Tok ... Tok ... “Iya, sebentar,” ucapnya. Ceklek. Pintu terbuka, menampilkan seorang laki-laki. Mawar bergeming, melihat orang di hadapannya. Sampai akhirnya lelaki itu berbicara, “Kamu, tidak boleh menikah dengan dia!” tegasnya dengan napas memburu.“Ayo, kita kabur!”
Inikah jawaban dari-Mu? Tapi, kenapa harus dia? Bersambung ...Ketika kebohongan terucap maka air mata akan terus meluncur dengan derasnya. -Ambivalensi CEO***Izzan mengernyitkan dahi, ia paham siapa lelaki yang membelakangi itu. Ternyata mantan dari Mawar--istrinya. "Bohong," ucapnya tentu tidak percaya. "Aku melihat mata kamu dan kamu juga lihat Danesh, aku tidak berbohong." Berhasil membuat bahunya bebas dari Danesh. "Jadi, ketika kamu menikah dengan Tika aku tidak keberatan. Aku tidak pernah mencoba merebut kamu kembali karena ada Izzan yang menjadi pilihan paling utama." Danesh mengepalkan tangan. Mawar lega sikap Danesh sepertinya mulai terpengaruh akan kebohongan yang ia katakan. "Aku memikirkan berbagai alasan untuk bisa putus sama kamu, ketika itu terjadi maka tidak ada penghalang aku untuk menikah dengan Izzan." Danesh menggeleng pelan tak habis pikir tentang kenyataan yang baru saja ia dengar. "Tega kamu Mawar!" Sedikit berteriak, untung saja acara musik masih berlangsung. "Ya, aku memang sejahat itu. Jadi please jangan ganggu
Di balik pertemuan memang akan selalu ada cerita. *** Mengusap air mata, ia lalu menutup pintu kamar. Izzan tak sadarkan diri ketika tatapan lembut itu datang, mungkin ia bermimpi jika Mawar adalah sang kekasih yang telah tiada. Masuk ke dalam kamar Izzan karena ia tidak mungkin satu kamar dengan lelaki yang selalu saja membencinya. Esoknya ketika matahari belum menyorot, perempuan yang sudah berganti pakaian dengan sebuah kebaya modern itu mulai pergi dari rumah yang semalam begitu ingin ia tinggalkan. Ia ingin terus melanjutkan hidup meski setiap waktu pasti ada saja mungkin hukuman yang akan ia terima karena telah memisahkan dua insan yang begitu saling cinta. Terdengar jahat, namun Mawar pun tak mengelak jika memang ia pelakunya. Ia tak terlalu ingat kejadian itu, namun ia juga melihat bahwa ada seorang perempuan. Perempuan yang mengenakan gaun merah, ya tentu ia sangat hafal warna mencolok itu. Di taksi ia meletakan kepala di kursi penumpang, menatap beberapa rumah ya
Haruskah tangis datang di pagi yang begitu cerah ini? -Mawar Anindhita. *** Cuaca tak bisa mengubah hati yang terluka. Secerah apapun pagi jika tangis ditakdirkan hadir maka dunia seakan mempelihatkan sisi buruknya. "Hei pengantin baru malah ngelamun aja, awas tuh airnya kepenuhan." Peringatan yang menyadarkan Mawar kembali ke dunia nyata. "Ini sengaja kok, biar gak terlalu manis." Mengaduk teh tarik yang menjadi minuman pertama bagi perutnya. "Lo ada masalah apa sih, kita kenal itu bukan sehari dua hari jadi gue tahu pasti ada yang lo pikirin?" sahabatnya itu tentu curiga. "Nggak kok, I am fine." Memegang pundak sang sahabat agar bisa membuatnya percaya. "Oke, lo pasti belum bisa cerita. Kalo lo siap, gue selalu ada ya." Mawar mengangguk. "Gue ke ruangan kerja ya," katanya lalu pergi. Roti sando yang ia beli sebelum pergi ke kantor menjadi sarapan yang menyatu dengan teh tarik panas yang ia seduh. "Anin, lo udah baca kan rangkaian acara yang diminta klien. Yuk, ga
Raga yang tersisa sepertinya tidak bisa bertahan jika jiwanya sudah terkubur bersama sang kekasih . -Izzan Madava *** Izzan bangkit, matanya menyiratkan api. "Kalo boleh gue juga mau!" Mencengkeram kerah baju Tio. "Raga gue di sini, tapi jiwa sudah terkubur bareng Vilia. Gue gak punya alasan buat bertahan, apa gue juga harus mati?" sarkasnya dengan senyum yang tak bisa diartikan oleh Tio. Mendengar itu Tio mendorong Izzan sampai berhasil melepaskan cengkraman di kerah bajunya. "Jangan gila Izzan! Kalo lo mati, kenapa gak dari awal aja hah?" "Lo pun gak harus menghukum Mawar dengan alasan tidak terima dengan takdir yang menimpa Vilia," tegasnya lagi. Izzan mendongak. "Hah, Mawar! Haha ... Dia pantas mendapatkan itu, lo tahu dia aja sepertinya tidak keberatan dengan yang terjadi kemarin." Tio memicingkan mata. "Tidak semua luka itu diperlihatkan, dia sama kaya lo! Kalian itu saling menyembunyikan luka jika bersama, tidak ingin terlihat lemah itu yang kalian lakukan,
Jika harus menghukum dengan cara seperti ini, maka cukup dengan kamu saja yang lebih pantas bukan orang lain. -Mawar *** "Please, keluarkan saya dari sini. Hiks!" Tangisnya, tapi tidak membuat langkah Gena berhenti. Mawar sudah terpojok, ia pasrah. Jaket denimnya sudah tergeletak di atas lantai. "Hiks ...." Sekelebat bayangan ibunya menghampiri, sang ibu pernah mengatakan, "Jangan pernah kalah oleh keadaan, cari terus jalan ya." Entah kekuatan dari mana, Mawar mendorong lelaki yang jaraknya semakin dekat dengannya. Meski lolos, tapi ia bingung mencari jalan keluar. Pintu yang ia gedor untuk meminta bantuan tiba-tiba terdengar suara kunci yang membuka. Mengambil jaket denim Mawar berancang untuk keluar, hingga sosok yang tak disangka itu datang membuatnya lega. Izzan. Mawar menghambur ke pelukan Izzan meski ia tahu lelaki itu hanya diam. "Hiks ... Izzan please, tolong." Dengan air mata yang masih membasahi wajahnya, Mawar begitu erat memeluk seakan takut p
Meski tidak punya rasa, bukan permainan seperti ini yang dirancang. -Izzan Madava *** Aroma bumbu dan rempah-rempah menyeruak di dalam dapur, membuat siapa saja merasa lapar. Ketiga penghuni lama di rumah megah ini memang sering membagi tugas namun terkadang mereka mengerjakan tugas itu secara bersamaan. Mawar bukan seorang perempuan yang buta akan memasak, namun ia terkadang hanya memanfaatkan bahan yang ada lalu mengolahnya tanpa resep. Kali ini ia belajar masakan berat seperti pepes ikan, sayur lodeh dan beberapa masakan lainnya. "Gimana Mbok Yun, enak?" Mawar bertanya ketika Mbok Yun mencicipi sayur lodeh yang dibuatnya atas instruksi Yuhasanah. Wajah yang sudah mulai kendor itu sedikit mengernyitkan alis tanda yang membuat Mawar berdegup takut jika ia mengacaukan masakan. "So delicious!" Dengan logat khas sunda yang berpadu dengan bahasa asing. "Tuan Izzan pasti suka!" Uli langsung menimpali. Menarik senyum Mawar tahu harapan ini bisa saja hancur, tapi ia menikmati