Beberapa tahun setelahnya, seorang wanita muda terlihat menenteng tasnya dan terlihat kelelahan setelah dia kembali dari universitas dan juga tempat kerja par time yang digelutinya.
Dia mendekati sebuah rumah yang sudah dia tempati selama beberapa tahun ini. Jauh dari kemewahan seperti saat dia belum kuliah di luar kediaman keluarga terpandang yang pernah mengadopsinya sebagai anak angkat. Hanya saja setelah dia keluar dari sana maka semua kemewahan itu sama dengan sirna."Bahkan pria tak bertanggungjawab itu tak pernah datang." Wanita itu menghela napas dalam-dalam. "Mana mungkin dia mau mencarimu, Rachel. Kau bahkan hanya seorang anak angkat, tidak ada harga sama sekali dimatanya. Karena dia tak pernah mencarimu sama sekali." Rachel terlihat menarik napasnya pelan.Dia berdiri di depan sebuah rumah dan tak langsung masuk ke dalam. Wajahnya dia buat sebaik mungkin lebih dulu dan mengusapnya dengan tissue basah, dia tidak boleh menunjukkan kondisi wajahnya pada orang rumah.Setelahnya, dia tersenyum dan mulai mendekati pintu. Mengetuknya beberapa kali, Rachel menunggu selama beberapa saat dan tersenyum mendengar suara langkah kaki kecil yang berlari-lari menuju pintu. Hingga tak lama kemudian pintu itu terbuka dan dua orang anak kecil laki-laki kembar tampak sumringah melihat kedatangannya."Mommy! Mommy akhirnya Mommy kembali!""Kenapa lama sekali? Nenek Vee bilang kalau kau akan pulang cepat, kenapa Mommy lama sekali karena hari sudah gelap baru sampai?""Benar, bahkan puding yang dibuat oleh nenek sudah mulai habis. Kami tidak sabar mau makannya tapi nenek mau minta agar kami menunggu Mommy.""Hei, kau hanya tahu makan!""Biarkan saja, aku memang suka makan! Kenapa kau suka protes? Mommy bekerja juga untuk mencari uang agar bisa membeli makanan. Mommy mengatakan padaku kalau dia senang melihat kita gemuk!"Rachel terkekeh melihat perseteruan dua anak kembarnya itu. Dia membawa mereka masuk dan menutup pintu sebelum berlutut di hadapan keduanya."Raysan ... Raysen, maaf kalau Mommy pulang lama. Tadi Mommy terjebak macet dan harus menunggu semua lalu lintas bergerak baru bisa pulang ke rumah. Akhir-akhir ini pekerjaan Mommy juga sedikit banyak jadi terpaksa harus lebih lama menyelesaikan pekerjaan itu. Kalian jangan bertengkar," ucapnya lembut seraya mengusap kepala masing-masing putranya."Mommy ... Mommy pasti lelah," balas Raysan, si putra sulungnya dengan wajah sedih. "Mommy harus menghidupi kami bertiga dan Mommy juga harus ambil kuliah. Wajah Mommy terlihat semakin berkerut," tambahnya sambil menggerakkan tangan kecilnya itu mengusap pipi ibunya.Rachel terkekeh kecil, lalu menggeleng. "Mommy memang lelah tapi saat tadi pulang dan bertemu kalian rasa lelah Mommy ini sudah hilang. Mommy sudah melahirkan kalian jadi Mommy harus membuat kalian besar dan mungkin supaya terlihat lebih imut dan menggemaskan. Mommy sama sekali tidak keberatan untuk hal itu, jadi jangan merasa sedih, okay?" ujarnya lembut membuat Raysan menarik napasnya kecil."Aku akan seberapa besar dan mencari pekerjaan dan memberikan gajinya untuk Mommy."Rachel menghela napas dan tersenyum. "Jangan pikirkan itu dulu, kamu masih 5 tahun. Anak usia 5 tahun belum pantas untuk memikirkan semua ini. Jangan khawatir, Mommy masih sangat kuat untuk melakukan apa saja yang diperlukan untuk kalian. Mommy senang melakukannya," ucapnya seraya menatap wajah kedua anaknya itu dengan lembut.Raysan dan Raysen tampak menatap wajahnya dan tak ada yang bicara selama beberapa saat hingga akhirnya Rachel tersenyum lagi."Mommy akan segera mandi jadi kalian main dulu dengan nenek sana. Setelah Mommy mandi kita akan makan pudingnya bersama, okay?"Raysan dan Raysen mengangguk."Kabarkan dan panggil kami kalau Mommy butuh sesuatu. Kami akan segera datang," ucap Raysen penuh perhatian, seraya Rachel dengan lembut."Aku juga, Mommy!" Raysan tak ketinggalan dan melakukan hal yang sama."Okay, masuklah lebih dulu."Kedua anak lelakinya itu mengangguk dan berlarian masuk ke dalam. Setelahnya baru Rachel melepaskan napasnya untuk begitu berat. Sudah 5 tahun lebih dia tidak kembali ke kediaman keluarga Stepson, sudah 5 tahun juga dia tidak pernah bertemu dengan salah satu pun di antara mereka.Walaupun begitu, Rachel tahu sejak kakeknya sakit anak tunggal keluarga itu yang naik tahta menjadi seorang Presdir. Menggantikan kakeknya karena ayahnya memang sudah meninggal lebih dulu beberapa tahun lalu.Hillen Stepson, Rachel masih ingat wajah dan karakter pria yang merupakan anak sah keluarga Stepson itu. Pria yang sudah mengambil kesuciannya dan tak pernah datang mencarinya. Tak ada sama sekali niatan Hillen untuk menemuinya, meskipun memang hubungan mereka tidak pernah dekat sejak dulu. Hillen sosok yang dingin, berwajah tampan, dan tak pernah mau melihat sesuatu yang tak memiliki nilai penting di matanya.Seperti contohnya Rachel yang sudah menghilang dan pergi dari tempat tidurnya pagi-pagi sekali kurang lebih lima tahun lalu itu, Hillen bahkan tak pernah ada inisiatif untuk menemuinya sama sekali."Dia menjanjikan beberapa hal malam itu padaku dan aku tetap melarikan diri. Tetapi dia sama sekali tidak ada niatan untuk mencariku padahal mustahil dengan kekuasaannya yang banyak itu dia tidak tahu siapa yang sudah dia tiduri."Hillen tak menganggapnya berharga makanya pria itu tak peduli dengan kepergiannya. Rachel juga tidak bisa melakukan apa-apa karena tahu kalau dia memang tidak akan pernah ada di dalam hati pria itu.Memutuskan untuk mandi dan menghilangkan semua pemikirannya barusan, Rachel merasa itu tidak berguna untuk dipikirkan terus-menerus. Dia hanya akan merasa kesal dengan takdir dan hidupnya, dia akan kesal pada anak-anaknya pada mereka sama sekali tidak bersalah. Kedua anak yang terlahir dari rahimnya setelah kejadian malam itu, sama sekali tak bersalah, bukan?Dia yang salah karena terlalu lemah, bahkan terlalu takut untuk mendatangi Hillen untuk meminta pertanggungjawaban atau setidaknya uang untuk membesarkan anak-anak pria itu. Rachel takut, takut membayangkan bagaimana seandainya pria itu datang dan malah akan mengambil anak-anaknya ini?Rachel meskipun belum begitu siap selama ini untuk menjadi seorang ibu muda dan ibu tunggal, tapi dia sama sekali tidak ada niatan untuk membuang anak-anak yang sudah dia lahirkan atau besarkan itu. Dia hanya bisa menahan semua rahasia ini dengan hatinya yang terkadang merasa dendam. Dendam karena Hillen Stepson yang tak pernah mau datang padanya dan tak ada menunjukkan diri sama sekali.Bahkan setelah menidurinya tanpa izin, Hillen tetap saja bersikap angkuh dan tidak mengunjunginya. Membuatnya merasa tidak ada harapan dan lebih baik memulai kehidupan baru seperti saat ini daripada harus mengharapkan pria itu dan kembali lagi pada keluarga Stepson."Hah ..." Rachel membuang napas panjang lalu mengusap wajahnya. "Sebentar lagi tahun baru, aku juga akan gajian. Lebih baik lusa aku membawa Raysan dan Raysen belanja pakaian baru ke mall."Seharian itu Rachel habiskan di dalam kantor dan dia tidak melakukan apa-apa selain bekerja sampai akhirnya rasa lelah menggerogoti. Namun, meski dia merasa lelah saat ini tapi ada rasa senang di hatinya karena tak perlu merepotkan orang lain kelak. Dia juga punya pegangan karena bekerja di perusahaan dan dia tidak akan menjadi gelandangan meski nanti harus luntang-lantung kemana-mana. Saat sedang berhenti dan menunggu taksinya datang, dia melamun sendirian di depan perusahaan sebelum akhirnya dia menghela napas berat. "Entah bagaimana kedepannya akan terjadi, aku tidak tahu. Yang pasti aku masih berdiri tegak dan masih hidup," gumamnya seraya menatap sekitar. Namun, baru saja dia akan menenangkan diri, sebuah mobil mewah berhenti di depannya membuat Rachel mengerutkan dahinya dan menatap siapa yang datang. Rekan bisnisnya yang lainnya tampak berbisik-bisik heboh melihat mobil itu, sampai akhirnya pintu mobil itu terbuka dan Vicky terlihat berjalan sebelum menunduk sopan padanya.
Rachel menyentuh dahinya dengan wajah yang masih diam saja di kamarnya. Dia teringat dengan apa yang dilakukan Hillen tadi makanya saat ini dia merasa seperti kehilangan kemampuan untuk menyembunyikan sedikit saja perasaan aneh di dadanya. Dia belum keluar sejak tadi, masih memakai seragam kerjanya. Tetapi sekarang dia masih mempersiapkan mentalnya untuk bertemu dengan anak-anaknya dan Hillen. "Non ..." Rachel menoleh sambil memasukkan notebook, dia menemukan Bibi Vee tengah bergerak masuk ke dalam kamarnya. "Kenapa, Bi?" "Sudah siap? Tuan dan anak-anak sudah menunggu di bawah untuk sarapan bersama." Rachel menghela napasnya. "Bibi turun saja dulu, bilang supaya mereka mau sarapan lebih dulu dan tidak usah menungguku. Aku akan turun setelah menyelesaikan apa saja yang kubutuhkan," ucapnya membuat Bibi Vee menatapnya. "Bibi melihat Nona berubah akhir-akhir ini, ada masalah apa?" Rachel menggeleng, lalu tersenyum menatap Bibi Vee tanpa ada niatan menjelaskan apa yang dia rasakan
Rachel membuka mata dan mengusap wajahnya perlahan. Dia membuka matanya ketika mendengar suara alarm, tidurnya benar-benar lelap saat ini dan itu cukup membuat yang rasa lebih baik sebelum akhirnya bangkit duduk. Sudah tidak ada suara anak-anaknya yang membangunkan setiap hari, Rachel sebenarnya merasa rindu tapi kalau mereka juga tak mau menemuinya itu juga bukan sebuah hal yang harus dia pikirkan lagi. Mungkin dia memang benar-benar belum dewasa tapi dia tidak mau mendapatkan penolakan dari anak-anaknya masih kecil. Itu hanya akan melukai hatinya yang sudah merawat mereka dengan sepenuh hati. "Mungkin setelah menikah nanti dan mereka semakin tidak mau denganku, aku akan memutuskan untuk berpisah. Aku lelah kalau harus menjalani hidup dalam permainan, masih banyak hal yang bisa aku gapai dan aku bisa melakukan semua itu dengan leluasa." Bangkit dari duduknya, Rachel menuju kamar mandi dan langsung membersihkan diri karena dia harus bekerja hari ini. Dia masih memiliki pekerjaan
Rachel tiba di rumah dan tidak ada anak-anak, biasanya kedua anak kembar itu akan selalu menyambutnya kalau dia pulang, tapi saat ini bahkan tak ada anak-anak yang menyambutnya, tidak ada lagi mereka yang datang dan mengerumuninya. "Bibi ..." Tidak ada sahutan, Rachel hanya bisa duduk di sofa dan memegang kepalanya yang sakit. Tidak ada tanda-tanda ada orang di rumah dan itu membuatnya tahu kalau mereka mungkin pergi entah ke mana. Mungkin bersama dengan ayah mereka atau mereka jalan-jalan ke mana. Di rumah itu dia diam sendirian, seolah bisa melihat bayangan ketika dia dulu dengan susah payah menerima kenyataan kalau dia hamil, mengandungnya dengan hampir gila, melahirkannya dengan bertaruh nyawa, membesarkannya dengan bekerja sambil kuliah. Susah payah dia melakukan semua itu tapi saat anaknya mendapatkan ayah, dia bahkan terlupakan begitu saja. Sekarang dia tidak tahu bagaimana harus bersikap, air matanya menetes begitu saja. Rachel menangis sendirian tanpa mampu menahan keses
Hari itu Hillen tidak pulang, dia tetap berada di rumah Rachel dan entah menunggu apa. Raysan dan Raysen sudah bermain lagi dengannya setelah sarapan, sementara Rachel sedang bersiap karena dia akan pergi bekerja. "Ra ... bisa kamu datang ke rumah nanti malam? Biar bagaimanapun, Kakek juga harus tahu tentang rencana pernikahan kita." Rachel menarik napasnya lalu menatap wajah Hillen. "Aku sudah keluar dari keluarga Kakak," balasnya tanpa ekspresi berlebihan. "Kalau Kakak mau mengatakan pada Kakek, Kakak bisa katakan sendiri. Sekaligus minta pendapatnya, aku yakin Kakek tidak akan setuju kalau Kakak menikahiku." "Kenapa?" "Tidak usah bertanya hal yang sudah jelas, seharusnya Kakak juga lebih tahu dariku." Hillen terdiam menatap wajah Rachel untuk sesaat. "Kalau kakek saja bisa menjadikanmu sebagai cucunya itu berarti kamu layak. Kakek bukan seseorang yang suka bermain-main, dia juga selalu serius dalam urusan apapun. Kakek menerimamu sebagai cucunya itu menunjukkan kalau kau
Hillen mengerutkan dahinya mendengar itu. Tatapannya tampak heran karena Rachel tiba-tiba mengajukan syarat seperti itu. Selama beberapa hari ini, Hillen berusaha untuk membuka hatinya walau dia tahu kalau masih belum seberapa. Hanya saja kenapa sekarang dia malah mengajukan hal seperti ini?"Apa maksud dari semua ini?" tanyanya seraya mengambil berkas itu. "Kenapa tiba-tiba mengajukan pernikahan?"Rachel duduk di sofa seberang Hillen, lalu menatapnya dengan wajah serius. "Jadi ... memang tidak ada niatan untuk menikahiku ya? Kakak datang hanya untuk mendapatkan perhatian anak-anak?"Hillen menatapnya lalu menghela napas dan kembali menatap berkas yang merupakan kertas dengan tulisan manual milik Rachel. Disana ada beberapa syarat yang sudah ditulis Rachel secara langsung."Kalau Kakak hanya mau anak-anak, aku sudah katakan. Tunggu mereka sedikit lebih besar, agar bisa memutuskan apakah mereka mau ikut dengan Kakak atau tidak. Kalau hanya dari keinginan Kakak sendiri, seharusnya Kakak