Hallo, terima kasih masih setia mengikuti kisah Jeceline yang berjuang mempertahankan keluarganya di tengah ambang kehancuran. Jujur otor juga kalau berada di posisi Jeceline pasti dah gak sanggup, hehehe. Tapi yah begitulah, dunia ini sangat besar, wanita juga sangat banyak, dan tentu saja sikap, karakter dan hati semua wanita berbeda-beda. Jadi tokoh Jeceline ini terbilang sangat langkah di dunia, jika ada yang seperti dia maka sangat harus dihargai dan jangan dilepas yah, karena selain cantik, pandai, mandiri dan pekerja keras, dia memiliki hati yang luar biasa. So ... untuk semua wanita di luar sana, tetap semangat dalam menjalani kehidupan, kalian yang terhebat! Perjuangkan apa yang menjadi milik dan hak kalian selama itu layak dan lepaskan apa yang memang tidak pantas untuk diperjuangkan! Teruntuk lelaki, hargailah istrimu sendiri sebab wanita-wanita di luar sana tak akan bisa menandingi kehebatan istri kalian!
“Tidak mungkin!” Kevin menepis perkataan Hillary sebab baginya Jeceline tidak akan pernah melakukan hal buruk seperti itu bahkan dalam pikiran sekalipun. Dia meraih tangan Hillary sekali lagi sembari menepuk punggung telapak tangannya, “dia itu istriku, aku sangat mengenal temperamennya seperti apa. Apalagi kau sekarang mengandung anakku, tentu saja dia lebih tak ingin sesuatu hal buruk terjadi padamu.” Hillary tersedu, dalam hatinya begitu kesal sebab Kevin sangat mempercayai Jeceline. Namun hal ini tak membuat dia menyerah untuk mencapai tujuannya. Tangan yang dipegang Kevin ditarik perlahan bersamaan dengan embusan napas pasrah yang terdengar begitu panjang. “Aku sangat merasa bersalah sebab telah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga kalian, jadi memikirkan untuk datang menemui Bu Selin dan meminta maaf padanya ... tapi tak disangka dia malah menyuruhku meminum racun tikus.” Hillary tersedu di sela perkataan sembari mengelus lembut perutnya yang membulat besar, “tapi
Dering ponsel yang berbunyi melerai rangkulan Kevin di tubuh Hillary. Dia merogoh saku setelan jas. Efek terkejut terpancar dari matanya begitu mengetahui penelepon itu adalah Jeceline. Ekspresi Kevin diperhatikan jelas oleh Hillary, “apa itu Selin?” Pertanyaan itu dibalas dengan anggukkan kepala Kevin. Namun Hillary begitu cepat menahan tangan Kevin, menghentikan niat untuk menjawab panggilan itu. “Tinggallah semalam di sini. Temani aku,” bujuk Hillary meratap Kevin, “aku mohon Kevin, demi anakmu, temani dia malam ini saja,” lagi ucapnya sambil mengelus perut yang membesar. Kevin terdiam sejenak, menatap ragu di layar ponsel lalu menoleh ke wajah Hillary. Semenit dia habiskan untuk berpikir mengenai keputusan apa yang harus diambil hingga pada akhirnya ponsel berhenti berdering. Kevin mengangguk, memilih untuk menyetujui permintaan Hillary. Namun bukan berarti karena memiliki perasaan lebih terhadap Hillary, tapi rasa empati dengan kondisi tubuhnya dan juga demi c
Kevin terdiam, membiarkan Jeceline keluar dari mobil dengan sendirinya. Dia masih mencerna apa maksud dari perkataan Jeceline yang membuat suatu pukulan kuat di dalam dada. “Julius, apa Bu Selin tahu aku menginap semalaman di villa Hillary?” tanya Kevin mencurigai maksud perkataan Jeceline yang menyinggungnya. Julius memaku sejenak dalam satu titik, memasang ekspresi seolah berusaha mengingat sesuatu. “Mungkin suara mobil yang kudengar tadi malam adalah mobil Bu Selin,” jawab Julius menerka-nerka. Kevin mengatup rapat kedua bibirnya, merutuki diri sendiri karena Jeceline telah mengetahui kebohongannya. “Kenapa kau tidak memberitahukan masalah ini padaku secepatnya?!” kesal Kevin menatap pantulan bayangan Julius di cermin yang ada di depan. “Tuan, semalam aku ingin memberitahukan hal itu padamu, tapi tidak mungkin aku mengganggu kalian berdua di dalam kamar,” balas Julius mengelak kesalahan yang ditimpahkan padanya. “Kau pikir apa yang aku lakukan bersama Hillar
“Semalam aku hanya menemani dia tidur, tidak lebih dari itu. Aku juga terpaksa menuruti permintaannya hanya karena mengingat anakku di dalam rahimnya. Dia sedang sakit, Selin, aku hanya mengkhawatirkan calon anakku.” Jeceline masih terdiam, tenggelam dalam sorotan manik hitam Kevin, mendengar serta memahami bagaimana perasaan Kevin jika mereka bertukar posisi. Namun hati Jeceline sudah terlanjur kecewa, bagaimana bisa seorang anak yang belum terlahir menggantikan posisinya secepat itu. Jika nanti anak itu terlahir, suasana dalam kehidupan rumah tangga mereka sudah tak sama lagi karena anak itu adalah bukti pengkhianatan Kevin yang akan hidup bersama dengannya. Bahkan mungkin nanti akan merampas hak anak pertama dalam kehidupan mereka berdua. Jeceline menghela napas panjang begitu mengingat acara pembukaan yayasan panti asuhan. Di sana banyak sekali anak-anak yang datang dengan nasib berbeda-beda, dibuang di depan pintu yayasan, diterlantarkan di jalanan, dan ada yang s
“Selama tujuh tahun ini, aku selalu mempercayaimu, memahami kesibukkanmu di luar sana meski sebenarnya aku sangat membutuhkan waktu berduaan yang lama bersamamu tanpa halangan panggilan tugasmu itu!” Jeceline mengungkapkan semua beban yang selama ini disimpannya karena tak mau Kevin terbeban. Namun sekarang, setelah mendapatkan luka teramat dalam, simpul itu telah terlepas sendiri. Kevin terbungkam, memilih tidak menyela saat Jeceline mengeluarkan semua bebannya selama tujuh tahun ini. Tanpa sadar kelopak mata Kevin mulai berkaca-kaca memperhatikan sorot mata Jeceline, seolah merasakan apa yang dirasakan istrinya itu. Sementara Jeceline masih terus mengungkapkan semua keluh kesah yang dia pendam sendiri. Dalam hatinya ada rasa lega meski telah bercampur dengan kepedihan. Bening di mata sudah tak bisa tertahankan sejak tadi, mengalir begitu saja setiap kali berucap. Saat semua telah berhasil dikeluarkan, dia terdiam. Suasana menjadi hening sebab Kevin tidak merespon. Je
Perlahan lengkungan di sudut bibir Kevin mendatar. Semangat yang ditunjukan juga menghilang begitu mendengar permintaan Jeceline. “Sa-sayang, aku....” Perkataan Kevin terhenti begitu melihat sorot mata tegas Jeceline yang mengisyaratkan tak ada negosiasi dari syarat yang diajukan. Dia terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang, “itu tidak mungkin! Bagaimana bisa anakku sendiri dilupakan? Aku bukan Ayah kejam yang menelantarkan anaknya!” “Aku hanya memintamu melupakannya,” balas Jeceline kesal, “kau bisa menyuruh Julius mengatur semua keperluan anak itu sampai dia besar tanpa berhubungan langsung denganmu!” “Baik!” Jeceline tercengang, “kau serius?” Lengkungan di sudut bibir perlahan muncul kembali saat melihat anggukkan kepala kesungguhan dari Kevin. “Aku akan meminta Julius mengaturnya.”*** Dua minggu telah berlalu dan Kevin benar-benar menepati janjinya. Meski beberapa kali kedapatan Hillary menghubungi Kevin, tapi dia hanya mengabaikan bahkan memblok
“Selamat untuk Pak Kevin!” Jeceline mengangguk dalam senyuman, merespon ucapan wanita yang duduk di sampingnya. Dia turut bahagia akan terpilihnya Kevin menjadi calon yang akan mewakili partai untuk maju dalam satu pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten. Melihat Kevin berdiri di depan sana, ada kebanggaan tersendiri baginya. Namun bangga saja tak akan cukup untuk mendampingi Kevin mencapai satu tujuan itu, sebab yang menanti di depan ada begitu banyak tantangan dalam satu kompetisi. Setelah acara pertemuan itu berakhir, Kevin meminta Julius mengantarkan mereka ke apartemen sebab dia sudah sangat lelah dan jarak untuk ke rumah lebih jauh. Sejak tadi Jeceline belum mengangkat pembicaraan mengenai terpilihnya Kevin menjadi calon yang mewakili partai dalam pemilihan kepala daerah nanti, bahkan ucapan selamat saja belum sempat terucapkan. “Selamat untukmu, Kevin. Selamat berjuang.” Akhirnya Jeceline mengungkapkan kata hatinya yang sejak tadi tertunda. “Hmph!”
KLEEK! Kevin menarik kembali tangannya yang saat itu baru menekan salah satu tombol di sisi pintu mobil, “biarkan dia duduk di sampingmu, Julius.” Begitu Julius menghentikan mobil, Hillary mendekat. Mencoba membuka pintu di sisi Kevin, tapi sayangnya sudah terkunci dari dalam. Hal ini akhirnya membuat Julius menurunkan kaca mobil yang berada di sisi berbeda lalu meminta Jeceline duduk di depan, tepatnya di samping dia. Hillary memasang wajah kecut begitu dia membungkuk saat hendak masuk ke dalam mobil, pandangan matanya tertuju ke arah Jeceline setelah beberapa detik memandang Kevin. “Nona Hill, silakan duduk,” sela Julius merasa tak nyaman akan ekspresi dari kedua wanita itu ketika saling memandang. Hillary mengangguk, menuruti perintah Julius. Mobil masuk melewati gerbang. Meski halaman rumah tidak terlalu luas, tapi jika harus berjalan kaki membutuhkan berapa puluh langkah ke depan. Seperti biasanya, setiap kali akan keluar mobil, Kevin selalu membukaka