Home / Lainnya / Anakku Terlalu Pelit / 2. Ultimatum Untuk Ibu

Share

2. Ultimatum Untuk Ibu

Author: Devie Putri
last update Huling Na-update: 2025-04-30 15:43:06

Aku terbangun saat jarum jam dinding menunjuk ke angka lima. Langit di luar jendela mulai beranjak gelap, menandakan senja akan segera berganti malam. Televisi yang tadi menyala kini sudah mati. Entah siapa yang mematikannya. Aku sedikit bingung, tapi tak terlalu memikirkannya. Mungkin Ibu, mungkin juga suamiku.

"Kok rumah sepi banget? Ke mana ibu?" Aku celingukan. Sempat mencari ibu di beberapa ruangan, termasuk ke kamarnya. Tapi tidak ku temukan ibu di ruangan mana pun. Kamarnya pun terlihat rapi. Sepertinya Ibu sudah merapikannya sebelum dia pergi. 

"Hm ... pasti dia ke luar buat ngerumpi lagi sama tetangga," gumamku sendiri. 

Tanpa mempedulikan Ibu lagi, aku segera menyambar handuk. Lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah mandi, tubuh terasa lebih ringan. Segala lelah seharian bekerja dan mengurus rumah seakan mengalir bersama air.

Aku mematut diri di depan cermin. Rambut sudah ku sisir rapi, taburan bedak dan olesan lipstik semakin mempercantik wajahku. Aku tersenyum di depan kaca setelah melihat penampilanku sempurna. 

Seperti biasa, setelah mandi, aku paling suka menikmati udara sore dengan bersantai di depan rumah, ditemani secangkir kopi hangat dan suara tawa anak-anakku yang bermain di halaman.

Kuseduh kopi dengan gula sedikit lalu mengaduknya pelan. Dengan membawa cangkir itu, aku berjalan menuju teras rumah. Angin sore menyapa wajahku, lembut dan menenangkan. Namun, kedamaian itu hanya bertahan sejenak.

Baru saja aku meletakkan cangkir itu di atas meja kecil dekat jendela, bisik-bisik dari arah rumah sebelah mulai terdengar. Awalnya aku tidak terlalu memperhatikan, tetapi telingaku otomatis menajam ketika kudengar salah satu dari mereka menyebut namaku.

"Kayak ada yang nyebut namaku," gumamku sendiri. Kopi dalam cangkir itu ku seruput pelan-pelan. Dan semakin lama, aku semakin sering mendengar namaku diucapkan. 

Ku palingkan tatapanku dari kegiatan anak-anak. Ada yang bermain sepeda dan ada juga bermain bola di jalan depan rumah. Tapi rumpian ibu-ibu terlalu menarik perhatianku. Mau tidak mau, aku beralih memperhatikan mereka. 

"Wulan itu sebenarnya anak kandung Ibu atau bukan sih?" tanya Lastri, tetangga yang dikenal manis di depan, tapi tajam di belakang. Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengannya. Tapi Ibu sangat dekat dengan dia. Tak jarang, dia bersikap seperti malaikat buat Ibu. 

"Iya, anak kandungku. Memangnya kenapa? Bukannya wajahnya mirip denganku?" jawab Ibu. Suaranya lemah tapi berusaha terdengar tenang.

Aku mengintip sedikit dari balik jejeran pot bunga di samping kiriku.  Kulihat Ibu sedang dikelilingi oleh tiga ibu-ibu tetangga: Lastri, Bu Yani, dan Bu Nur. Mereka duduk santai di kursi plastik halaman rumah Bu Yani, ditemani sepiring kue, pastel goreng, dan segelas teh manis. Anehnya, semua suguhan itu ditaruh di depan Ibu. Seolah ibu sanggup menghabiskannya seorang diri. 

"Kalau dia anak kandung Ibu, kenapa bisa jahat dan pelit banget sama Ibu?" cecar Lastri lagi.

Ibu diam. Beberapa detik berlalu, tidak ada jawaban dari mulutnya. Ia hanya menunduk, memainkan ujung kebaya kunonya yang sudah terlihat lusuh dan sedikit robek di bagian lengan.

Padahal aku penasaran, ingin mendengar jawaban ibu selanjutnya. Apa yang akan dia katakan pada orang-orang tentangku. Apa dia akan menjelek-jelekkanku di depan mereka? Atau menutupi keburukanku selama ini?

Namun sekian detik berlalu, ibu hanya diam dan menunduk. Sampai perempuan-perempuan itu melanjutkan ucapannya. 

"Iya. Aku juga dengar Ibu nggak boleh makan pudding yang dia buat. Memangnya harga pudding itu? Mahal banget ya? Sampai nggak boleh dimakan sama Ibu sendiri," sahut Bu Yani, yang duduk di sebelah kiri Ibu.

"Masak sih? Kelewatan banget si Wulan," timpal Bu Nur sambil mencibir.

Aku mengeratkan genggaman tangan. Rahangku mengeras. Bagaimana bisa mereka begitu tega menilai diriku hanya dari satu sisi cerita?

"Iya, sumpah. Aku dengar sendiri tadi pas jemur cucian. Nggak habis pikir aku. Katanya guru, tapi kelakuannya ke orang tua kayak gitu. Perhitungan banget. Masa Ibu disuruh makan nasi dingin sama tempe goreng sisa kemarin?" lanjut Lastri, seperti menambahkan garam ke luka yang sudah terbuka.

"Kalau mau lihat contoh anak durhaka, ya si Wulan itu orangnya. Memangnya dia pikir dulu lahir dari batu?" timpal yang lain. 

Aku tahu dari mana mereka tahu semua itu. Dari Ibu sendiri. Siapa lagi yang bisa menceritakan semuanya kalau bukan ibuku sendiri. 

"Sudah, Bu. Makan dulu kuenya. Biar perut Ibu kenyang. Nanti kalau dibawa pulang malah dirampas sama Wulan," kata Bu Yani dengan nada kasihan, tapi terdengar seperti sindiran yang ditujukan padaku.

"Iya, Bu. Makan yang banyak. Kalau kita mah nggak pernah pelit soal makanan. Nggak kayak si Wulan."

Rasanya aku ingin keluar dan membantah semuanya. Tapi aku menahan diri. Bukan karena takut, melainkan karena marahku sudah mencapai puncak. Kalau aku keluar sekarang, bisa-bisa aku berkata kasar di depan umum. Lebih baik aku menunggu.

Adzan Maghrib mulai terdengar dari masjid dekat rumah. Ibu bangkit dari tempat duduknya dan pamit pulang. Langkahnya pelan dan goyah, seperti tak kuat menanggung beban tubuh dan perasaannya. Tapi aku tak iba. Tidak setelah semua yang kudengar tadi.

Begitu Ibu sampai di depan pintu rumah, aku sudah menunggunya. Berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, menatapnya tajam.

"Habis ngadu apa ke tetangga?" tanyaku, nadaku tinggi, penuh kemarahan.

Ibu menggeleng cepat dengan ekspresi panik. "Eng... Enggak ngadu apa-apa, Lan," jawabnya pelan, hampir seperti bisikan. Tubuhnya gemetar.

Ibu menunduk. Tidak berani menatap wajahku. Matanya basah. Tapi tidak ada lagi kata-kata yang ke luar dari bibirnya untuk membela diri. 

"Ingat ya, Bu! Ini rumahku. Semua aturan di sini aku yang nentuin. Kalau Ibu nggak betah tinggal di sini, sana pergi tinggal sama anak-anak kesayangan Ibu! Itu pun kalau Ibu diterima sama menantu-menantu ibu." Aku memberinya ultimatum. 

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Anakku Terlalu Pelit   8. Sekar dan Sepatunya Yang Koyak

    Entah sudah berapa kali secuil kisah pahit masa kecil itu terulang dalam ingatan. Bahkan setelah puluhan tahun berlalu, aku belum juga melupakan setiap detail rasa sakitnya. Semua bagai kepingan film yang terpatri kuat dalam ingatanku. Bayangan-bayangan itu kerap muncul di waktu-waktu yang tak terduga, seperti pagi ini. Aku terisak lirih dalam perjalanan menuju sekolah. Air mata tak bisa kutahan saat berbagai hal menyakitkan itu kembali berputar ulang di dalam kepala. Sekolah tempatku mengajar mulai tampak di depan mata. Aku menarik napas panjang, menepikan kenangan ke balik relung hati yang paling sunyi. Setelah memarkir motor, aku mengeluarkan bedak dari tas kecilku dan membubuhkannya dengan cepat di wajah yang masih sedikit basah. Harus tampak segar, setidaknya tak terlihat seperti habis menangis.Aku melangkah menuju ruang guru, meletakkan tas dan map pelajaran yang sudah kubawa dari rumah. Setelah itu, seperti biasa, aku berjalan menuju kantin untuk sarapan. Udara pagi cukup sej

  • Anakku Terlalu Pelit   7. Kasih Sayang dari Ayah

    Aku berhenti mengunyah. Ayam goreng yang biasanya terasa lezat kini seperti potongan karton keras di dalam mulutku. Sulit sekali aku telan. Seolah ada benjolan besar yang mengganjal di tenggorokan. Sementara itu, nasi dalam piring mulai bercampur dengan tetesan air mata. Hangat dan asin. Rasanya menyayat. Bagaimana bisa Ibu menyebut Ayah pilih kasih, sedangkan dia sendiri sudah lebih dulu dan lebih sering melakukannya? Tanpa pernah merasa bersalah."Uangku hanya cukup buat beli satu. Lain kali akan aku belikan lagi kalau sudah gajian," ujar Ayah pelan, dengan suara tenang seperti biasa. Tak ada nada tinggi, tak ada bantahan keras. Dia hanya menjawab dengan kesabaran yang nyaris tak masuk akal.Itulah hal yang membuatku tak pernah berhenti mengaguminya. Ayah, laki-laki sederhana itu, selalu bisa bersikap tenang dalam menghadapi Ibu yang hampir setiap hari selalu marah-marah. Siap meledak untuk hal-hal remeh sekalipun. Kadang aku merasa dunia ini terlalu kejam. Mengapa Ayah yang begitu

  • Anakku Terlalu Pelit   6. Tak Ada Ayam Goreng Untukku

    Aku mendengkus kesal sambil mengendalikan kemudi. Jalanan masih lengang, namun pikiranku terlalu riuh oleh ingatan masa lalu. Tumpukan rasa sakit itu tak pernah luntur sedikit pun meski tahun demi tahun berlalu. Pagi ini, pikiranku kembali melayang ke masa kecilku, masa yang ingin kulupakan namun selalu datang menghantui di saat-saat paling rapuh seperti sekarang. Masa kecil yang tak seperti anak-anak lain. Masa kecil yang penuh luka karena cinta yang tidak dibagi rata."Andai hari itu, Ibu mau membagi ayam goreng yang sama pada anak-anaknya," gumamku sendiri. Lalu kepalaku memutar memori ingatan tentang satu kejadian menyakitkan di masa itu. Di balik pintu kamar kecil rumah kami yang sempit dan pengap, aku dulu sering bersembunyi. Hari itu, aku menahan napas, berjongkok di balik pintu agar tak terlihat. Aku ingin mendengar, ingin memastikan bahwa kecurigaanku benar. "Ibu darimana? Apa yang dia bawa dalam genggamannya?" pikirku sambil bersembunyi di balik pintu. Ibu baru saja pula

  • Anakku Terlalu Pelit   5. Dibayar dengan Mental

    "Aku nggak mau kalau Ibu tinggal di rumah kita, Mas. Ngerawat orang tua itu susah. Sudahlah, biarkan saja dia di sini. Kan Mbak Wulan itu saudara tertua. Jadi dia paham lah gimana caranya merawat orang yang sudah tua," tolak Rani sambil melipat tangannya di depan dada.Ekspresinya jelas-jelas menunjukkan penolakan. Sudah kuduga Rani akan berkata demikian. Sejak awal, aku tahu rencana membawa Ibu tinggal bersama mereka hanya akan menimbulkan pertengkaran baru."Tapi kan kamu enak. Ada yang bantu jagain Dara di rumah," bujuk Arya lagi. Suaminya itu belum menyerah. Wajahnya terlihat sabar, tapi ada nada putus asa di ujung suaranya.Rani mendengus kesal. "Dara sudah besar, Mas. Aku merawatnya sendirian juga sanggup. Memangnya selama ini aku pernah ngeluh ke kamu soal ngurus Dara? Nggak, kan. Tapi untuk merawat Ibu, maaf Mas, aku nggak sanggup," tegasnya sekali lagi. Wajahnya ditekuk. Bola matanya beralih menatap tembok. Aku memperhatikan mereka dari ujung ruang tengah, pura-pura membaca

  • Anakku Terlalu Pelit   4. Silakan Bawa Ibu Jika Kamu Mau!

    Aku baru sampai di depan rumah. Motor baru saja kumatikan, dan rasa pegal mulai menjalar di pergelangan tangan setelah menenteng dua kresek besar dari minimarket. Semuanya berisi kebutuhanku dan anak-anak. Suara tawa dari dalam rumah menyambutku begitu aku sampai di depan pintu. Gelak tawa yang terdengar akrab dan hangat. Terdengar seperti keluarga yang harmonis. Tapi tidak buatku."Ternyata mereka sudah di dalam," pikirku sambil melangkah masuk. Aku menatap pintu rumah sejenak sebelum mendorongnya pelan. Aku melangkah tanpa menyapa mereka semua. Berjalan melewati mereka begitu saja menuju ruang tengah. Lalu kuletakkan semua belanjaanku ke atas meja. Dari ruang tengah, aku bisa melihat ibu duduk di antara Arya dan Ryan, anak-anak kesayangannya. Kedua istrinya ikut tertawa, sesekali menyela obrolan. Wajah ibu sumringah. Matanya berbinar, pipinya sedikit merah karena terlalu banyak tersenyum. Aku tahu, momen seperti ini yang selalu ia rindukan. Momen ketika anak-anak yang dulu ia ra

  • Anakku Terlalu Pelit   3. Adakah Pintu Maaf Untuknya?

    “Tidak, Lan. Biarkan ibu di sini. Adik-adikmu nggak ada yang mau menerima ibu. Ibu janji nggak akan cerita apa-apa lagi ke tetangga,” rajuknya sambil memegangi tanganku. Ibu bahkan hampir bersimpuh di kakiku, tapi tubuhnya segera kutarik lagi ke atas. Aku tidak butuh dia bersujud di kakiku. Yang aku mau hanya dia tidak membuat masalah denganku. Buliran air mata jatuh satu-satu, mengalir di pipi keriputnya. Suaranya bergetar, matanya penuh harap, memohon belas kasihan dariku agar aku tak mengusirnya dari rumah ini.Aku mendesah kasar, menepis tangannya. “Ya kan. Akhirnya ngaku kalau sering ngadu ke orang-orang. Denger ya, Bu! Meskipun mereka kasihan, belum tentu mereka mau nampung ibu di rumahnya. Ujung-ujungnya siapa? Tetap aku yang harus ngerawat ibu. Maka dari itu, ibu pilih, nurut sama aku atau angkat kaki dari rumah ini. Jangan hanya menyusahkanku saja!”Tanganku mengepal, mencoba menahan luapan emosi yang sejak tadi nyaris meledak. Aku berbalik dan berjalan cepat ke kamar. Di d

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status