Ibu bahkan hampir bersimpuh di kakiku, tapi tubuhnya segera kutarik lagi ke atas. Aku tidak butuh dia bersujud di kakiku. Yang aku mau hanya dia tidak membuat masalah denganku.
Buliran air mata jatuh satu-satu, mengalir di pipi keriputnya. Suaranya bergetar, matanya penuh harap, memohon belas kasihan dariku agar aku tak mengusirnya dari rumah ini.
Aku mendesah kasar, menepis tangannya. “Ya kan. Akhirnya ngaku kalau sering ngadu ke orang-orang. Denger ya, Bu! Meskipun mereka kasihan, belum tentu mereka mau nampung ibu di rumahnya. Ujung-ujungnya siapa? Tetap aku yang harus ngerawat ibu. Maka dari itu, ibu pilih, nurut sama aku atau angkat kaki dari rumah ini. Jangan hanya menyusahkanku saja!”
Tanganku mengepal, mencoba menahan luapan emosi yang sejak tadi nyaris meledak. Aku berbalik dan berjalan cepat ke kamar. Di dalam, Mas Danar sudah berdiri, kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapannya tajam, penuh teguran.
“Ada masalah apalagi sih? Nggak bisa ya ngomongnya dijaga? Sama ibu sendiri kok kayak gitu?” ucapnya pelan tapi tegas. Nada suaranya tak tinggi, tapi cukup membuat telingaku panas.
Aku melengos. “Kalau kamu nggak ngerti, mending jangan ikut campur. Jangan ceramahi aku seolah kamu tahu semuanya!” jawabku dengan emosi yang meledak-ledak.
“Dia ibu kamu, Lan. Setua itu, masih juga kamu bentak-bentak. Nggak takut karma?”
Aku tertawa sinis. “Ibu? Ibu yang mana? Yang waktu aku kecil sering nyembunyiin makanan diam-diam dari aku? Yang selalu motong jatah apapun buatku? Yang tiap aku diberi uang saku sama ayah, dia selalu merampasnya? Jangan bandingkan hubungan aku dan ibu dengan hubungan dia sama Arya atau Ryan. Aku nggak akan sebaik mereka!”
Mas Danar terdiam. Ia tahu, membahas masa lalu hanya akan membuka luka lama yang belum sembuh. Dia menyerah. Tapi aku tahu, dalam diamnya ada kekecewaan.
Aku membuka lemari, mengambil jaket dan kunci motor. “Aku ke minimarket. Beli susu buat anak-anak.”
“Beliin juga susu buat ibu. Dia butuh kalsium. Kakinya mulai sakit-sakit lagi,” ujarnya pelan.
Aku mendengus. “Kamu pikir susu ibu itu murah? Nanti aja kalau udah ada jatah dari Arya sama Ryan. Gajiku udah pas-pasan buat kebutuhan kita. Bisa cukup sebulan aja udah bagus.”
Mas Danar menatapku, seperti ingin berkata lebih, tapi mengurungkan niatnya. Ia tahu, berdebat denganku hanya buang waktu.
“Gajiku juga kamu yang megang. Masak udah habis?”
Aku menoleh cepat. Nada suara Mas Danar membuat amarahku tersulut. “Kamu pikir dua anakmu sekolah pakai daun? Kalau kamu mau tahu detail keuangan, sini aku serahkan semuanya. Tapi jangan salahkan aku kalau kamu nggak bisa ngurus! Oh ... atau kita bertukar peran saja? Kamu urus dan atur semua pengeluaran di rumah ini?”
Dia menghela napas. “Sudahlah. Aku malas debat.”
Aku tahu, itu berarti aku menang. Di rumah ini, aku pemegang kendali. Tak ada keputusan yang lebih tinggi dari suaraku. Karena kalau aku tumbang, rumah ini ikut runtuh. Semua tahu itu.
Aku melaju ke minimarket dengan kepala penuh pikiran. Hati masih panas. Tapi wajahku kutegakkan, seolah segalanya baik-baik saja.
Sampai di halaman minimarket, aku melihat dua motor matic yang familiar. Motor Arya dan Ryan. Tentu saja mereka juga di dalam. Aku menarik napas panjang, bersiap menghadapi basa-basi yang memuakkan.
“Lho, Mbak! Mau belanja?” sapa Rani, istri Arya, sambil tersenyum. Di belakangnya, seorang anak perempuan kecil menggandeng tangannya. Sorot matanya menatapku setengah takut.
“Iya nih. Stok bahan makanan di rumah udah habis,” jawabku, mencoba ramah walau hatiku ogah.
Rani menatapku sambil mengangguk. “Kami sekalian belanja, Mbak. Tadi mampir ke rumah Mas Ryan dulu. Abis ini mau nengokin ibu. Katanya Mas Arya kangen.”
Kata ‘kangen’ seperti terucap dengan getir. Aku tak butuh waktu lama untuk membaca ekspresi Rani. Ia kesal. Aku tahu kenapa. Karena ibu masih jadi prioritas suaminya. Dan itu selalu membuatnya merasa tersisih.
“Oh, ya udah. Kalian duluan aja. Aku masih mau belanja yang lain,” tukasku, pura-pura sibuk mengecek daftar belanjaan.
Dari ujung mataku, kulihat mereka menuju kasir. Keranjang belanjaan mereka penuh. Pasti sebagian besar untuk ibu. Lumayan, pikirku. Berarti aku tak perlu keluar uang.
Banyak kenangan yang mengendap di sudut hati. Aku tumbuh dengan luka yang tak pernah betul-betul sembuh. Ibu selalu bersikap bagai malaikat pelindung untuk adik-adikku, sedangkan untukku tidak. Dia bisa berubah sebaliknya. Menjadi pembunuh paling sadis yang menghancurkan mental dan hidupku.
Sampai sekarang, luka itu jadi alasan kenapa aku tega bersikap dingin. Meski di balik kerasnya hatiku, sesekali muncul pertanyaan. Sampai kapan aku bisa berdamai dengan luka masa kecil itu?
Di rumah, ibu selalu menunggu mereka datang berkunjung. Dua anak kesayangannya. Rutinnya mereka berkunjung ke rumahku bukan semata-mata atas kemauan mereka sendiri. Tapi aku yang menekannya. Apalagi jika ada kebutuhan ibu yang habis. Aku akan langsung menelepon mereka untuk membelikannya. Biarlah aku dibilang pelit, karena dulu Ibu lebih dulu melakukannya padaku.
Aku membayar belanjaan dan melangkah pulang. Di perjalanan, aku bertanya-tanya: andai dulu ibu bersikap adil, mungkin hari ini aku tidak akan sekeras ini?
Dan apakah, di balik setiap luka yang kubawa, masih ada ruang untuk memaafkan?
***
Entah sudah berapa kali secuil kisah pahit masa kecil itu terulang dalam ingatan. Bahkan setelah puluhan tahun berlalu, aku belum juga melupakan setiap detail rasa sakitnya. Semua bagai kepingan film yang terpatri kuat dalam ingatanku. Bayangan-bayangan itu kerap muncul di waktu-waktu yang tak terduga, seperti pagi ini. Aku terisak lirih dalam perjalanan menuju sekolah. Air mata tak bisa kutahan saat berbagai hal menyakitkan itu kembali berputar ulang di dalam kepala. Sekolah tempatku mengajar mulai tampak di depan mata. Aku menarik napas panjang, menepikan kenangan ke balik relung hati yang paling sunyi. Setelah memarkir motor, aku mengeluarkan bedak dari tas kecilku dan membubuhkannya dengan cepat di wajah yang masih sedikit basah. Harus tampak segar, setidaknya tak terlihat seperti habis menangis.Aku melangkah menuju ruang guru, meletakkan tas dan map pelajaran yang sudah kubawa dari rumah. Setelah itu, seperti biasa, aku berjalan menuju kantin untuk sarapan. Udara pagi cukup sej
Aku berhenti mengunyah. Ayam goreng yang biasanya terasa lezat kini seperti potongan karton keras di dalam mulutku. Sulit sekali aku telan. Seolah ada benjolan besar yang mengganjal di tenggorokan. Sementara itu, nasi dalam piring mulai bercampur dengan tetesan air mata. Hangat dan asin. Rasanya menyayat. Bagaimana bisa Ibu menyebut Ayah pilih kasih, sedangkan dia sendiri sudah lebih dulu dan lebih sering melakukannya? Tanpa pernah merasa bersalah."Uangku hanya cukup buat beli satu. Lain kali akan aku belikan lagi kalau sudah gajian," ujar Ayah pelan, dengan suara tenang seperti biasa. Tak ada nada tinggi, tak ada bantahan keras. Dia hanya menjawab dengan kesabaran yang nyaris tak masuk akal.Itulah hal yang membuatku tak pernah berhenti mengaguminya. Ayah, laki-laki sederhana itu, selalu bisa bersikap tenang dalam menghadapi Ibu yang hampir setiap hari selalu marah-marah. Siap meledak untuk hal-hal remeh sekalipun. Kadang aku merasa dunia ini terlalu kejam. Mengapa Ayah yang begitu
Aku mendengkus kesal sambil mengendalikan kemudi. Jalanan masih lengang, namun pikiranku terlalu riuh oleh ingatan masa lalu. Tumpukan rasa sakit itu tak pernah luntur sedikit pun meski tahun demi tahun berlalu. Pagi ini, pikiranku kembali melayang ke masa kecilku, masa yang ingin kulupakan namun selalu datang menghantui di saat-saat paling rapuh seperti sekarang. Masa kecil yang tak seperti anak-anak lain. Masa kecil yang penuh luka karena cinta yang tidak dibagi rata."Andai hari itu, Ibu mau membagi ayam goreng yang sama pada anak-anaknya," gumamku sendiri. Lalu kepalaku memutar memori ingatan tentang satu kejadian menyakitkan di masa itu. Di balik pintu kamar kecil rumah kami yang sempit dan pengap, aku dulu sering bersembunyi. Hari itu, aku menahan napas, berjongkok di balik pintu agar tak terlihat. Aku ingin mendengar, ingin memastikan bahwa kecurigaanku benar. "Ibu darimana? Apa yang dia bawa dalam genggamannya?" pikirku sambil bersembunyi di balik pintu. Ibu baru saja pula
"Aku nggak mau kalau Ibu tinggal di rumah kita, Mas. Ngerawat orang tua itu susah. Sudahlah, biarkan saja dia di sini. Kan Mbak Wulan itu saudara tertua. Jadi dia paham lah gimana caranya merawat orang yang sudah tua," tolak Rani sambil melipat tangannya di depan dada.Ekspresinya jelas-jelas menunjukkan penolakan. Sudah kuduga Rani akan berkata demikian. Sejak awal, aku tahu rencana membawa Ibu tinggal bersama mereka hanya akan menimbulkan pertengkaran baru."Tapi kan kamu enak. Ada yang bantu jagain Dara di rumah," bujuk Arya lagi. Suaminya itu belum menyerah. Wajahnya terlihat sabar, tapi ada nada putus asa di ujung suaranya.Rani mendengus kesal. "Dara sudah besar, Mas. Aku merawatnya sendirian juga sanggup. Memangnya selama ini aku pernah ngeluh ke kamu soal ngurus Dara? Nggak, kan. Tapi untuk merawat Ibu, maaf Mas, aku nggak sanggup," tegasnya sekali lagi. Wajahnya ditekuk. Bola matanya beralih menatap tembok. Aku memperhatikan mereka dari ujung ruang tengah, pura-pura membaca
Aku baru sampai di depan rumah. Motor baru saja kumatikan, dan rasa pegal mulai menjalar di pergelangan tangan setelah menenteng dua kresek besar dari minimarket. Semuanya berisi kebutuhanku dan anak-anak. Suara tawa dari dalam rumah menyambutku begitu aku sampai di depan pintu. Gelak tawa yang terdengar akrab dan hangat. Terdengar seperti keluarga yang harmonis. Tapi tidak buatku."Ternyata mereka sudah di dalam," pikirku sambil melangkah masuk. Aku menatap pintu rumah sejenak sebelum mendorongnya pelan. Aku melangkah tanpa menyapa mereka semua. Berjalan melewati mereka begitu saja menuju ruang tengah. Lalu kuletakkan semua belanjaanku ke atas meja. Dari ruang tengah, aku bisa melihat ibu duduk di antara Arya dan Ryan, anak-anak kesayangannya. Kedua istrinya ikut tertawa, sesekali menyela obrolan. Wajah ibu sumringah. Matanya berbinar, pipinya sedikit merah karena terlalu banyak tersenyum. Aku tahu, momen seperti ini yang selalu ia rindukan. Momen ketika anak-anak yang dulu ia ra
“Tidak, Lan. Biarkan ibu di sini. Adik-adikmu nggak ada yang mau menerima ibu. Ibu janji nggak akan cerita apa-apa lagi ke tetangga,” rajuknya sambil memegangi tanganku. Ibu bahkan hampir bersimpuh di kakiku, tapi tubuhnya segera kutarik lagi ke atas. Aku tidak butuh dia bersujud di kakiku. Yang aku mau hanya dia tidak membuat masalah denganku. Buliran air mata jatuh satu-satu, mengalir di pipi keriputnya. Suaranya bergetar, matanya penuh harap, memohon belas kasihan dariku agar aku tak mengusirnya dari rumah ini.Aku mendesah kasar, menepis tangannya. “Ya kan. Akhirnya ngaku kalau sering ngadu ke orang-orang. Denger ya, Bu! Meskipun mereka kasihan, belum tentu mereka mau nampung ibu di rumahnya. Ujung-ujungnya siapa? Tetap aku yang harus ngerawat ibu. Maka dari itu, ibu pilih, nurut sama aku atau angkat kaki dari rumah ini. Jangan hanya menyusahkanku saja!”Tanganku mengepal, mencoba menahan luapan emosi yang sejak tadi nyaris meledak. Aku berbalik dan berjalan cepat ke kamar. Di d