Sultan menatap nanar wajah Arimbi yang tenang. Kedua matanya masih tertutup, mengeluarkan deru napas yang teratur. Untuk ke sekian kalinya Sultan menghela napas. Rasanya sudah lama sekali dia menunggu. Ternyata menyembuhkan orang sakit itu berat. Arimbi tidak kunjung siuman setelah menjalankan operasi. Cemas? Tentu saja. Berulang kali Sultan menangis untuk Arimbi, bahkan dia sampai tidak selera makan.
Perlahan, Sultan mengecup kening Arimbi yang terasa dingin. Memberi kekuatan padanya agar tetap bertahan. Menyeka ujung matanya, Sultan pun beranjak meninggalkan Arimbi dengan perasaan kecewa. Di luar Leo telah menunggu. Jadi, Sultan harus segera menemuinya untuk mendapatkan informasi penting tentang rumah.
"Ada apa?" tanyanya terkesan dingin.
Sebagai sahabat Leo sangat mengerti dengan perasaan Sultan. Dia cukup memakluminya, dan berkata tegas. "Aku mendapat email dari Pak Kades, mengenai istri keduamu."
"Apa
Di ruang tunggu Sultan memainkan jari jemarinya dengan gusar. Sudah setengah jam berlalu, dokter tidak kunjung keluar. Perasaan Sultan jadi tidak keruan. Pikirannya sekarang bercabang, tidak hanya memikirkan Arimbi, tapi juga mencemaskan Hanna yang sedang kritis. Sultan sadar telah melakukan kesalahan yang sangat fatal, terhadap istri dan calon anaknya.Melirik jam tangannya, Sultan bangkit ke sudut ruangan. Mengambil ponsel, Sultan tidak ada pilihan selain menghubungi Leo. Memberitahu apa yang terjadi, dan meminta bantuan. Jika sudah seperti ini otak Sultan jadi bekerja lambat, hanya Leo satu-satunya teman yang dapat dipercaya."Aku butuh bantuanmu," ujar Sultan begitu mendengar suara 'halo' Leo."Ya, sekarang. Akan aku jelaskan padamu di sini." Memutar bola matanya, sesekali Sultan mengecek pintu ruangan Hanna.Berharap dokter yang menanganinya memunculkan batang hidung.Berdecih jengkel
"Mas ..." panggilnya pada lelaki yang berdiri menghadap jendela. Mengusap matanya beberapa kali, Hanna pun bangkit, menyandarkan badannya pada tumpukan bantal. Saat orang yang dipanggil berbalik, Hanna sungguh terkejut. Ternyata bukan Sultan yang menemaninya, tapi Leo. Dengan tidak mengerti Hanna menatap Leo, membiarkannya membuat teh hangat tanpa suara. "Bagaimana keadaanmu, Hanna?" tanyanya seraya mendekati Hanna. Sekali lagi Hanna kaget mendengar namanya dilafalkan dengan jelas oleh Leo. Semakin sulit memahami situasi ketika Leo menyentuh keningnya yang berkeringat. Hanna menahan napasnya untuk seperkian detik, mencoba bersikap tenang, dan tidak membuat tindakan sebelum jelas. "Syukurlah, suhu tubuhmu sudah mendingan. Apa ada yang masih sakit?" Leo bertanya lagi, senyumnya selalu terbentuk sempurna. Ya Allah! Jantung Hanna berdetak sangat kencang. Dia merasa jika Leo begitu memerha
Dengan langkah besar Sultan menuju ruangan dokter yang menangani istrinya Arimbi. Sudah seminggu lebih Sultan menunggu, tanda-tanda Arimbi akan bangun masih belum terlihat. Pikirannya sedang buruk, jadi apapun yang membuat Sultan cemas, maka dirinya akan membayangkan sesuatu yang tidak diinginkan. Sosok Arimbi sangat berharga bagi Sultan, bahkan lebih berarti dari nyawanya sekalipun.Suster mengiringi langkah Sultan saat mencapai pintu ruangan yang dituju. "Dok, ada yang ingin berbicara.""Baik, silakan duduk," pinta dokter.Tanpa memberitahu tujuannya lebih dulu dokter itu sudah paham. Arimbi bukan pasien pertama yang lelaki itu tangani. Kemampuannya tidak pernah diragukan, tapi kali ini dia juga tidak mengerti di mana salahnya sehingga pasien enggan membuka mata. Dia sudah melakukan yang terbaik, bahkan menyelidiki kasusnya sampai tuntas."Sampai kapan saya harus menunggu?" Sultan menuding lelaki di depa
Arimbi? Hanna menatap kalung yang masih menggantung di leher putihnya. Perlahan, Hanna meraba benda kecil itu, menggenggam nama seseorang yang telah menjadi saingannya selama ini, dan dia selalu terkalahkan. Sejak menikah tidak pernah sekalipun Hanna menang dari Arimbi. Wanita itu seolah menutup kebahagiaan dirinya. Hanna tidak membenci Arimbi, nasibnya saja yang malang. Menyeka ujung matanya Hanna pun tersenyum, mencoba untuk tidak menangisi hal yang sama. Leo benar, Hanna berhak bahagia dengan cinta yang tepat. Orang itu bukanlah Sultan. Cintanya hanya untuk Arimbi bukan Hanna. Mengingat bunda sudah tiada sehingga tidak ada alasan bagi Sultan menahannya, dan Hanna telah siap. "Cukup sudah aku menanggung sakit." Hanna melepaskan kalung pemberian Sultan, lalu menaruhnya di atas meja. Namanya Hanna bukan Arimbi, jadi dia berhak melepasnya kapan pun. "Nona Arimbi," panggil sebu
Seketika suasana menjadi tegang, di belakang Leo mengikuti langkah Sultan yang menariknya masuk ke dalam. Tidak ketinggalan Hanna juga ikut mengejarnya, disusul oleh Marlina dan Arimbi. Tanpa berkata Sultan menurunkan ranselnya saat Leo sudah duduk di sofa. Dengan cepat lelaki itu mengeluarkan amplop, kemudian menyerahkannya pada Leo yang mulai kebingungan. Hanna jadi penasaran."Apa ini?" Leo menatap amplop putih itu dengan wajah polos."Buka saja, dan lihat isinya." Tantang Sultan, matanya sudah menyala api.Tanpa berpikir panjang Leo pun merobek ujungnya hingga setengah, lalu mengeluarkan beberapa foto dirinya bersama Hanna yang diambil begitu apik. Mulai dari kegiatan Leo dan Hanna di rumah sakit, sampai tiba di rumah semuanya dipotret oleh kamera seseorang dengan sengaja.Hanna menganga, sama kagetnya seperti Leo. Kebersamaan mereka diabadikan lewat gambar. Jika sudah seperti ini Sultan pasti salah pa
Suara gemuruh hujan di luar berhasil membangunkan tidur seorang lelaki yang tengah risau. Membuka sedikit gorden jendela kamarnya, mata Leo langsung disuguhkan pemandangan menakjubkan. Hujan petir dan kilat menyatu menjadi satu. Entah kenapa pikiran Leo langsung tertuju kepada Hanna. Wanita malang itu selalu ada dalam pikirannya di setiap waktu. Apalagi cuaca alam yang buruk, telah membangkitkan rasa cemasnya dua kali lipat. Apakah sekarang Hanna bisa tidur nyenyak?"Sudahlah, Le. Dari dulu takdir kamu memang sulit mendapatkan seorang wanita." Suara wanita di belakangnya terdengar begitu mengejek."Setidaknya, aku pernah jatuh cinta. Tidak sekarang, pasti suatu saat nanti aku akan mendapatkan wanita itu." Leo berkata penuh keyakinan.Ratih tertawa, rasanya dia seperti bukan berbicara dengan Leo. Sejak mengenal Hanna lelaki itu memang banyak berubah, terutama hatinya. Ketika dulu Ratih menyinggung soal cinta, Leo tampak tid
Mengambil keputusan tinggal dengan Sultan adalah pilihan terakhir yang Hanna tetapkan, selain harus berpisah. Kenyataannya hubungan mereka semakin harmonis, bahkan Sultan tidak pernah marah-marah lagi. Hanna menjalankan tugasnya sebagai istri yang baik, dan Sultan memperlakukannya dengan istimewa. Setiap hari keduanya selalu terlibat bersama, melakukan sesuatu berdua selayaknya pasangan baru menikah.Soal Arimbi yang kembali tidak begitu menjadi masalah. Keseharian wanita itu selalu disibukkan dengan berbagai permainan baru, Marlina menjadi teman setianya sebagai pelengkap. Di samping semua itu tentunya Sultan juga memantau, terkadang mengajak Hanna ikut mengunjungi Arimbi, dan mereka bermain bersama."Selamat pagi, Sayang." Dari belakang Sultan memeluk Hanna, lalu mengecup pipinya dengan mesra.Hanna berjengit kaget, dipukulnya kedua tangan lelaki itu yang berada di perutnya dengan kesal. "Kamu mengangetkanku, Mas. Jangan
Ting! Tong!Suara bel mengambil alih perhatian Hanna. Melirik Arimbi di sebelahnya, tanpa berkata apapun Hanna bangkit menuju pintu. Jika pagi seperti ini Marlina tidak bisa diganggu, sehingga Hanna yang mengurus Arimbi dan menjaga-jaga jika ada tamu datang. Sementara Sultan sudah berangkat kerja setengah jam yang lalu. Dengan cepat Hanna menarik kenop pintu, memunculkan Ratih yang tersenyum."Halo, Nona. Apa kabar?" Sapanya ramah. Begitu hangat dan sopan.Membalas senyumannya, Hanna pun mempersilakan wanita berseragam perawat itu masuk. "Ratih, apa ibumu sudah sembuh?""Alhamdulillah, sudah, Non. Saya pikir Tuan Sultan masih membutuhkan jasa perawat, sehingga saya lekas kembali.""Apa kamu sudah memberitahu Mas Sultan? Beliau sudah berangkat kerja." Hanna menoleh ke arah Ratih yang berjalan di sebelahnya, karena Sultan tidak meninggalkan pesan apapun.Kedatangan