Share

Rubah Api ch. 5 : Grim Reaper

Masih ada banyak waktu sebelum pukul tujuh malam, dan dia tidak akan muncul meskipun aku datang lebih awal. Sehingga aku memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu. Jenazah Juliet masih tersimpan di ruang mayat dan akan segera dimakamkan besok. Sayangnya, tidak ada yang bisa kudapatkan dari sana. Tidak ada yang mencurigakan. Mayat itu terbakar hingga habis. Tidak jejak supernatural dari tubuhnya. Satu-satunya kesempatanku adalah kertas itu.

Siapa orang itu? Orang itu ada di sekolah, aku yakin itu karena dia mengetahui letak lokerku, dan memberikan surat itu di waktu sekolah. Kalimatnya juga sederhana, diketik menggunakan komputer sehingga aku tidak bisa memastikan siapa dari tulisan tangannya. Aku memaklumi tindakannya yang membatasi diri seperti ini. Pada akhirnya, bagi para makhluk supernatural aku adalah ancaman. Pemburu yang menghukum ketidak becusan mereka mengendalikan diri. Sudah sewajarnya mereka berkomukasi denganku dalam jarak aman. Setidaknya, tindakan yang tidak sopan ini adalah satu-satunya bantuan terbaik yang kupunya.

Aku mengambil kantung burger dan gelas kopi dari Mcdonalds. Kamarku berada di lantai tiga apartemen tanpa lift. Semuda lantai bawah telah diisi. Apartemen ini tidak begitu luas, sehingga hanya sedikit penguhi di lantai tiga. Sejujurnya, aku lebih menyukai suasana seperti ini.

Saat aku membuka pintu, aku dikejutkan dengan seseorang yang telah duduk sembari menebar kertas-kertas di atas meja. Begitu mendengar suara pintu terbuka, lelaki itu mendongak. Dia menjauhkan kertas-kertas yang sedari tadi dibacanya dan menyeringai. Dari seluruh sosok yang ada di dunia, dia adalah orang terakhir yang ingin kutemui.

Matanya yang merah menatap penuh ancaman, sekalipun senyumnya begitu menyebalkan. Kulitnya begitu putih, hingga aku bisa melihat samar-samar garis biru dari pembuluh darah di pipinya. Rambutnya sehitam malam, jatuh tepat di atas matanya sehingga terlihat membayangi mata merah itu. Seluruh tubuhnya dibaluk pakaian hitam. Dia juga menggunakan sarung tangan. Tangannya panjang, begitu juga jemarinya. Rahangnya keras meskipun dia cenderung lebih kurus dari pada Daniel. Hidungnya kecil, sehingga membuatnya lebih menyerupai lelaki cantik. Lelaki cantik dengan kepribadian paling menyebalkan.

“Kau benar-benar jadi gadis yang manis, ya? Kau suka sekolahmu yang baru?”

“Apa yang kau lakukan disini, Luc?” tuntutku tidak membiarkan dia berkelakar lebih jauh.

Luc tersenyum penuh misteri. “Bekerja.”

“Apa maksudmu?”

“Jiwa-jiwa mereka tidak kembali ke negeri orang-orang mati.”

Luc adalah seorang malaikat maut. Ada banyak malaikat maut yang tersebar berdasarkan sistem negeri orang-orang mati. Aku tidak benar-benar tmengetahui sistem itu, karena negeri orang hidup dan mati benar-benar harus dipisahkan. Pemburu Artemis mengatur negeri orang hidup, sementara Malaikat Maut memastikan jiwa-jiwa kembali ke tempat semestinya. Tidak ada jiwa yang boleh terlepas dari negeri orang-orang mati karena itu akan merusak jalannya takdir.

Meskipun dunia orang mati dan dunia orang hidup telah dipisahkan, ada banyak tempat yang pemisahnya begitu tipis hingga membuat dua dunia itu bersinggungan. Hal itu menyebabkan banyak peristiwa paranormal yang berkaitan dengan jiwa tak berwujud. Dengan kata lain hantu. Peristiwa itu bukan bagian dari pekerjaanku, dan Malaikat Maut tidak bisa melakukan apa pun tentangnya, selama mereka tidak mewujud sebagai bentuk kehidupan baru.

Akan tetapi, apa yang membuat Luc ada di sini? Pekerjaan apa yang menuntunnya ada di sini?

Luc tampak menyadari kebingunganku, sehingga dia melemparkan kertas yang sedari tadi dipegangnya. Foto Juliet dan Clarissa saat mereka masih hidup.

“Jiwa-jiwa mereka tidak kembali,” jelasnya. “Apa pun yang membakar mereka, mengambil jiwa mereka, dan aku disini untuk mengambilnya kembali.”

Aku termenung menatap foto-foto ini. “Makhluk lain tidak diperkenankan memakan jiwa manusia.”

“Tepat.”

Luc menyeringai lebar dan mengangkat kakinya ke meja kaca. Kakinya menimpa kertas-kertas penyelidikanku. Aku mendelik, tetapi membuatku kesal adalah hobinya. Sehingga aku memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa tentang itu.

“Dari semua Malaikat Maut yang kompeten, kenapa harus kau yang kemari?”

“Jahat sekali! Padahal aku segera kemari ketika mendengar kau menangani kasus ini.” Dia menurunkan kakinya, dan mencondongkan tubuhnya padaku. Aku bisa merasakan gelora pengaruh yang diberikannya, bersamaan dengan senyum menggoda. Aku sudah begitu terbiasa dengannya sampai tidak terpengaruh sama sekali. “Aku kemari untuk membantumu.”

Aku menatapnya tajam. “Seperti saat kau membantu pada kasus Gadis Rembulan?”

“Jangan terlalu dendam padaku, Hyde! Kita tahu itu adalah tindakan terbaik.”

Si br*ngs*k ini selalu berpikir tindakannya adalah yang paling benar. Aku menggertakkan gigi, lantas menggebrak meja. Hal itu membuat kertas-kertas berhampuran dan menghancurkan meja kaca. Luc tampak tidak terpengaruh, bahkan ketika aku bisa merasakan desiran sihir di seluruh tubuhku. Siap untuk diledakkan. Tanganku berdenyut karena salah satu pecahan kaca menggoresku, tetapi aku tidak peduli.

“Aku hampir menyelamatkannya. Kau tahu, aku hampir berhasil.”

Luc menatap mataku tenang. Dia tidak takut, tidak terkejut, dan sama sekali tidak gentar. Senyum jahil di mulutnya digantikan oleh seulas senyuma tipis yang misterius. Seperti yang dimiliki semua Malaikat Maut yang pernah kutemui. Mata merahnya berkilat-kilat.

“Kau tahu jiwa yang telah pergi ke Negeri Orang Mati tidak bisa kembali. Gadis Rembulan telah mati, dan tidak ada pengecualian.”

Aku menggeram, lantas meraih lehernya yang panjang dengan tanganku. Luc bergeming. Dia bahkan tidak melihat pada lehernya, dan hanya berfokus pada mataku. Tanganku bergetar dengan keinginan untuk meremukkan tulang itu. Tidak akan membuatnya mati, tetapi melukai Malaikat Maut akan membuatku dihukum. Karena itulah aku membenci orang ini. Peraturan kami sudah jelas, baik Pemburu Artemis dan Malaikat Maut dilarang berseteru. Kami tidak boleh saling melukai, kecuali mereka telah melanggar peraturan. Seperti Gadis Rembulan. Bila aku melukainya terlebih dahulu, itu membuatku menjadi sasaran para Malaikat Maut. Luc tahu hal itu, dan aku tahu dia mengharapkannya.

“Lakukan!” katanya. Dia semakin mendekatkan diri. Darah dari tanganku turun ke dalam bajunya. Aku tidak bisa merasakan denyut nadi di leher Luc, karena pada akhirnya Luc bukanlah makhluk yang hidup. “Kalau itu bisa membuatmu puas. Kau bisa melakukannya. Aku takkan menganggapnya sebagai tindakan melukai.”

Tawaran itu sangat menggiurkan, tetapi aku menarik napas dalam-dalam, lantas menjauhkan diri. Sekalipun sangat membenci Luc, aku akan menyimpan itu untuk nanti. Tidak ada gunanya mendapat masalah dengan Malaikat Maut sekarang. Tidak ketika aku bahkan belum mengetahui apa pun tentang Gadis Rembulan.

“Takut?” katanya. Senyum jahil di mulutnya kembali, seolah ketegangan tadi tidak pernah terjadi.

Aku mendengkus. “Hidupku terlalu berharga untuk dibuang hanya karena kau.”

“Ouch ... itu menyakitkan.” Dia menatap tanganku. Sehingga aku mengikuti tatapannya. Aku tidak tahu kenapa dia begitu terganggu dengan luka sepele ini. “Kau ingin aku mengobati itu?”

“Bereskan saja mejanya,” gerutuku.

Luc memutar bola matanya. Sejujurnya, aku tidak menyukai situasi ini, tetapi aku tidak punya banyak pilihan. Rasanya sangat menyebalkan untuk menahan diri ketika Luc ada di depanku. Selain karena sifatnya yang menjengkelkan, apa yang dilakukannya dulu sama sekali tak bisa kumaafkan. Aku menatap Luc yang mengembalikan bentuk meja yang hancur itu dengan sihirnya. Menjadikan meja yang berantakan dan tak berbentuk itu kembali utuh. Seolah aku tak pernah menghancurkannya.

Luc memungut kertas yang berserakan di lantai di dekat kakinya. Kalau aku harus bekerja sama dengannya, sebaiknya aku memberi tahu tujuanku yang sebenarnya.

“Aku akan mencari tahu tentang Gadis Rembulan.”

Luc menatapku tidak percaya. “Kau bercanda!”

“Aku tidak berniat membangkitkannya, kalau kau khawatir tentang itu,” jelasku. “Aku tidak berniat meminta bantuanmu, tapi jangan menggangguku!”

“Itu berbahaya, Hyde. Kau tahu kasus Gadis Rembulan berkaitan erat dengan negeri orang-orang mati.”

“Aku tahu,” bentakku kesal. “Karena itulah aku harus menyelidikinya. Siapa pun yang memanfaatkan Gadis Rembulan memiliki tujuan yang lebih besar dari itu!”

Bentakkan membuat Luc terdiam. Perlu beberapa saat untukku menenangkan diri.

“Kau melakukannya bukan karena ingin mengetahui masalah sebenarnya, tetapi untuk menuntaskan egomu sendiri.”

“Aku tidak ....”

“Kalau begitu sebutkan namanya!” tantang Luc tajam. “Nama Gadis Rembulan itu.”

Aku menjilat sudut bibir. “Kau hanya perlu tidak menggangguku. Aku tidak akan melakukan apa pun yang melanggar peraturan Negeri Orang Mati.”

“Bukan itu yang membuatku keberatan,” sela Luc. Kekhawatirannya—anehnya—tampak tulus. “Kau bahkan hampir tidak selamat saat kejadian itu.”

“Aku hanya lengah.”

Luc berdiri. Aku tidak tahu apa yang membuatnya marah, tetapi dia meraih tanganku, lantas menarikku mendekat padanya.

“Aku tahu kau tidak menua, tetapi kau akan tetap mati.”

“Aku tidak takut mati.”

Dia menggeram. Cengkramannya di tanganku mengerat, sehingga aku bisa mulai merasa nyeri. Dia menatapku dalam-dalam sedangkan aku menantang. Tidak ingin merasa kalah darinya. Mata Luc menyipit. Dia menarikku maju, hingga sebelah lututku harus naik ke atas meja.

“Kau sepertinya sangat percaya diri pada kekuatanmu sebagai Pemburu Artemis,” bisiknya. “Haruskah aku melucuti kekuatanmu sekarang?”

Mataku melebar. Aku segera melayangkan tinju ke wajahnya, tetapi dia menghindarinya dengan cepat. Luc melompat dari sofa seperti kancil. Gerakannya begitu ringan seolah gravitasi tidak berfungsi padanya. Senyumnya culas, dan matanya menyipit. Gesturnya yang angkuh mengatakan dia tidak bermain-main dengan ucapannya.

“Kau tetap memiliki kelemahan, Hyde!” katanya sembari tersenyum miring. “Kau terlalu memandang tinggi dirimu. Kau tahu seseorang bisa melucuti kekuatanmu kapan saja.”

“Aku akan membunuhmu sebelum kau melakukannya!” geramku.

Alih-alih merasa takut, Luc hanya tertawa. “Aku akan kembali.”

Setelah mengatakannya, Luc menghilang. Hanya meninggalkan ruang kosong, dan aku yang ingin menghabisinya saat itu juga. Berani-beraninya dia ingin melucuti kekuatanku. Akan tetapi, aku memungut foto mayat Clarissa, kedatangannya memberikan potongan puzzle yang kuperlukan. Itu menjelaskan tentang nihilnya jejak supernatural. Kalau begitu apa yang memakan jiwa-jiwa itu? Untuk apa?

Bayangan tentang Gadis Rembulan sebelum kematiannya kembali menyusup. Aku bisa mendengar suaranya seolah dia ada di depanku, dan bukannya bayangan di dalam kepalaku. Aku bisa merasakan isak tangis, penyesalan, dan kesakitan di suaranya.

“Aku hanya ingin bertemu dengannya. Dia bilang, aku akan bisa menemuinya.”

Siapa ‘Dia’ yang dimaksud Gadis Rembulan? Dan bagaimana sosok itu memiliki akses ke negeri orang-orang mati?

Aku menjatuhkan diri ke sofa. Ada begitu banyak hal yang harus kupastikan, tetapi saat ini, aku harus mencari tahu tentang pemilik surat itu.

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status