เข้าสู่ระบบRaras berjalan cepat di depannya, mendengus dan menggerutu tanpa henti. Rakai, masih menyamar sebagai prajurit, mengikuti dari belakang dengan langkah ringan dan senyum geli yang tak kunjung surut.
Ah, Raras benar-benar tidak tahu… bahwa lelaki yang ia omeli sepanjang jalan itu adalah suaminya sendiri. Dan Rakai… sengaja membiarkannya begitu. Untuk malam ini saja. Cahaya obor berpendar hangat di halaman barak, berpadu dengan aroma kambing guling yang menggoda. Prajurit-prajurit Mandalajati duduk melingkari api, tertawa, memukul-mukul paha, dan menjejalkan potongan daging ke mulut. Asap kayu bakar mengepul, gamelan kecil berdenting pelan di sudut. Raras berdiri di tengah halaman. Kebayanya masih basah di ujung kain, tapi langkahnya tetap berwibawa… meski matanya menelisik penuh kebingungan. Rakai bersedekap di belakangnya. “Silakan, Nimas. Cari sendiri suaminya.” Raras melirik kiri-kanan. “Mana aku tahu? Aku bahkan belum pernah lihat wajahnya!” Rakai menunjuk seorang prajurit gendut yang sedang memegang paha kambing. “Itu, yang dekat api unggun. Tubuhnya… besar. Komandan kami. Sangat disegani.” Raras terbelalak. “Hah?! Itu?!” Si gendut—kumis tebal, dagu berlapis, baju zirah setengah terbuka, menghentikan kunyahannya, lalu menatap Raras dengan tatapan yang dibuat-buat kharismatik. “Ah… siapa ini wanita cantik yang datang ke sarang penyamun." Raras menyipitkan mata. “Suamiku… seharusnya tampan. Tapi ini." Dari belakang, Rakai menimpali pura-pura serius, “Tampan itu relatif, Nimas. Yang penting kuat menahan dinginnya perbatasan.” Beberapa prajurit buru-buru menunduk menahan tawa. Raras menghela napas panjang, lalu melangkah ke depan, memandang si gendut dari kepala hingga kaki. Dengan senyum tipis, ia berkata lantang, “Kalau begini perutnya… mungkin bisa dipakai nyimpen air hujan, bukan cuma nyimpen amarah istri.” Sorak tawa meledak di sekitar api. Si gendut menepuk perutnya dengan bangga. “Tanda kemakmuran, Nyai.” Raras lalu mengedipkan mata ke arah Rakai. “Sayangnya, kemakmuran itu tidak seperti yang kubayangkan. Untung dia tidak menemaniku di ranjang pengantin. Pantas para pelayan malah bergosip, katanya aku bakal jadi janda kesepian.” Rakai mulai panas telinganya, tapi tetap berusaha menjaga wajah datar. Raras berpaling ke para prajurit, nada suaranya mendayu namun penuh sindiran. “Dan sekarang kudengar, suamiku sedang mempertimbangkan mengambil selir dari selatan. Padahal aku baru seminggu jadi istrinya. Kalau tau dia gendut begini, aku ikhlas dia ambil Selir lagi." Sorak-sorai dan peluit nakal terdengar dari para prajurit. Rakai melangkah maju, tak tahan lagi, lalu menggenggam tangan Raras. “Cukup. Ayo ikut aku.” Raras menatapnya dengan tatapan marah bercampur terkejut. “Prajurit biasa berani-beraninya menyentuh istri komandan?!” --- Si gendut—Komandan Jaladri—baru saja mau berdiri untuk menahan langkah Raras, namun ketika Rakai menyentuh lengannya dan berbisik cepat, cukup hanya Jaladri yang mendengar. “Sudah cukup, Kakang. Biar aku yang urus. Saatnya ganti giliran.” Jaladri mengangguk, menahan senyum, lalu pura-pura kembali duduk sambil menyambar paha kambing lagi. Rakai melangkah pelan menghampiri Raras yang sudah berjalan menuju gerbang barak. “Nimas, tunggu dulu,” panggilnya dengan nada tenang. Raras menoleh cepat, wajahnya penuh emosi. “Apa lagi? Mau bilang kalau suamiku benar-benar seperti tadi? Pantas saja aku dijodohkan dengannya… mungkin Pangeran Rakai itu tidak laku di seluruh Majakirana!” Beberapa prajurit yang mendengar langsung terbatuk-batuk menahan tawa. Raras melanjutkan dengan nada getir yang dibuat-buat, “Aku ini putri kerajaan, seharusnya menikah dengan lelaki tampan, gagah, dan… ah, minimal bisa membuatku tidak malu jalan berdua! Tapi kalau perutnya seperti gentong berisi beras panen raya… bagaimana aku bisa….” Ia menepuk jidatnya dramatis. “Duh Gusti, mungkin ini kutukan karena aku terlalu cantik. Sampai harus mendapat suami yang bahkan di hari pernikahan pun menikah dengan keris." Salah satu prajurit berbisik ke temannya, “Waduh, kasihan banget Gusti Pangeran!" Yang lain menimpali, “Eh… kayaknya dia malah senyum-senyum ngerjain istrinya!" Rakai menahan tawa, tapi matanya mulai berkilat nakal. Ia mendekat sedikit, hingga jarak wajah mereka hanya sejengkal. “Jadi, Nimas merasa sangat… rugi, menikah dengan suami seperti itu?” Raras mendengus. “Rugi besar! Kalau bisa tukar, aku tukar. Mungkin ditukar sama kamu sekalian, Prajurit.” Rakai mengangkat alis. “Oh? Kalau aku yang jadi suami Nimas… yakin mau?” Nada suaranya santai, tapi ada senyum licik yang mulai terbentuk. Raras memutar bola mata. “Kalau kau? Entah lah. Paling tidak, perutmu tidak sebesar gentong itu.” Rakai mendekat setengah langkah lagi, menunduk hingga napasnya menyentuh telinga Raras. “Nimas… hati-hati. Kadang, suami yang kau hina-hina… justru berdiri di hadapanmu, mendengar semua keluhanmu.” Raras menegang. “Maksudmu….” Rakai hanya tersenyum, lalu menatap ke arah Jaladri dan memberi isyarat singkat. Jaladri tertawa terbahak, memukul-mukul pahanya, sementara para prajurit mulai berbisik heboh. --- Raras menatap Rakai, mencoba membaca maksud dari senyumnya yang terlalu percaya diri. “Kau… sedang apa ini? Mau menakut-nakutiku?” Rakai tak menjawab. Ia justru melepas ikatan kain di pinggangnya, menyingkap sedikit baju dalamnya, memperlihatkan ikat pinggang khas bangsawan Majakirana, berhias ukiran naga emas yang hanya dimiliki keluarga Indradipa Adiningrat. Sorak kecil terdengar dari para prajurit. Jaladri sampai tersedak dagingnya. Raras mengerjap. “I-itu….” Rakai melangkah maju, berdiri tepat di hadapan istrinya. Cahaya obor menyoroti wajahnya yang… jauh dari gambaran ‘gentong’ yang tadi Raras keluhkan. Wajah itu tampan, tegas, rahangnya tegas, sorot matanya seperti baja yang menyala. “Pangeran Rakai Indradipa Adiningrat,” katanya pelan namun terdengar oleh semua orang di halaman. “Suami yang katanya tidak laku, gendut, dan tak layak kau jalan berdua dengannya.” Para prajurit menahan napas, sebagian sudah menutup mulut agar tidak meledak tertawa. Raras membeku. Suara darahnya sendiri terdengar di telinganya. “Kau… KAU?!” Rakai mengangguk santai, namun senyumnya mengandung kemenangan penuh. “Aku. Yang Nimas omeli dari gerbang barak sampai sini. Yang Nimas bandingkan dengan gentong beras.” Tawa meledak dari arah para prajurit. Jaladri sampai terjatuh dari bangkunya. Raras, yang biasanya selalu punya jawaban cepat, kali ini hanya bisa membuka dan menutup mulut seperti ikan di udara. Wajahnya memerah padam. Rakai memiringkan kepala, mendekat sedikit. “Masih mau minta tukar suami, Nimas?” Raras mencoba membalas tatapan itu, tapi malah tergelincir ke senyum kecut. “Y-ya… kalau tahu dari awal begini, mungkin… aku tidak akan….” Ia buru-buru mengalihkan pandang, pura-pura mengusap kebayanya yang kusut. Rakai terkekeh, lalu menepuk bahu Jaladri. “Kakang, pastikan semua prajurit di sini ingat malam ini. Biar jadi pelajaran… istri seorang pangeran pun tidak bisa mengenali suaminya sendiri.” "Kamu! Bukannya kamu yang bilang dia Pangeran Rakai. Bagaimana aku mengenalmu, kalau yang aku nikahi itu keris!" Sorak-sorai dan siulan nakal kembali memenuhi halaman barak. Raras menunduk dalam-dalam, tapi di dalam hatinya ia sudah bersumpah… besok dia akan membalas ini. Dan balasannya harus… lebih memalukan dari ini.Benteng Wiru masih basah oleh hujan ketika kabar itu jatuh seperti petir di ruang pribadi Putri Wening.Pintu kamar dibuka terburu-buru. Dua pengawal masuk sambil berlutut.“Gusti Putri… Putri Ajeng tidak ada di penginapan.”Suara pengawal itu gemetar.“Kereta yang membawa Arya dan rombongannya… disergap. Mereka menghilang.”Wening berdiri perlahan dari kursi riasnya.Gerakan itu begitu pelan hingga udara seakan menahan napas.Wajahnya tetap cantik.Tetap anggun. Namun matanya kosong.“Ulangi.”Suaranya datar. Berbahaya.Pengawal kedua menelan ludah. “Gusti… wanita bernama Ajeng—”“Ajeng…!!” Wening menjerit mendadak.Cermin di meja rias bergetar.Pengawal langsung tersungkur semakin rendah.Wening melangkah maju, gaunnya menyapu lantai batu.“Apa tadi kau bilang? Ajeng menghilang?”Pengawal mengangguk dengan tubuh sepenuhnya gemetar.Tangan Wening terangkat—BRUK!Ia menyapu segala isi meja riasnya hingga berjatuhan ke lantai, sisir perak, wadah bedak, perhiasan kecil, semua hancur ber
Hujan semakin deras. Api unggun kecil yang tadi menerangi wajah Arya kini hampir padam, menyisakan cahaya jingga yang goyah.Rakai belum sepenuhnya melepaskan Raras dari pelukannya ketika suara langkah lain terdengar dari balik pepohonan.Suara serak Alin memanggil pelan:“Gusti… Raras…”Raras menoleh cepat, mata membesar lega.“Alin!”Tapi kelegaannya langsung berubah kaku begitu ia melihat siapa yang berdiri di samping Alin.Reyas.Dengan pakaian basah kuyup, rambut berantakan, dan tatapan penuh kewaspadaan.Seolah bersiap jika ada yang menyerangnya.Dan memang… ada.Rakai mematung sedetik. Napasnya terputus.Tatapannya turun ke tangan Alin. Lalu ke wajah Reyas yang berdiri menjaganya.Tatapan itu berubah gelap.Seperti bayangan badai.“Kau…” suara Rakai rendah, hampir seperti geraman binatang yang terpojok.Reyas menegakkan badan. “ Gusti!"Hanya satu kata, tapi cukup untuk membuat amarah Rakai meledak.Tanpa aba-aba, Rakai menerjang.Tinju pertamanya melesat ke pipi Reyas.BRAK!R
Udara malam terasa menggigit. Embusan angin membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang baru diguyur hujan. Di antara keremangan dan kabut tipis, Raras melangkah lebih cepat dari seharusnya. Adrenalin yang masih tersisa membuat dada dan napasnya naik-turun, tapi justru membuat lidahnya semakin lincah.“Reyas,” gerutunya tanpa menoleh, menyibak ranting dengan satu kibasan tangan, “aku ingin memastikan satu hal.”Reyas mengikuti setengah langkah di belakang, membawa obor kecil yang cahayanya terus bergetar diterpa angin. Ia tak menjawab, karena pengalaman memberitahunya bahwa sebuah jawaban bisa memicu ceramah selama sepuluh menit berikutnya.Raras berhenti, menoleh lebar, alisnya naik sebelah.“Orang normal,” ujarnya, menekankan setiap suku kata, “kalau mau bicara, ya bicara. Bukan menyergap dari belakang, ngiket orang, terus membiarkan aku tidur di lantai dingin seperti umbi-umbian yang siap dijemur.”Alin yang berjalan di tengah hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangan. Bahunya s
Raras terbangun dengan kepala berdenyut, udara dingin dan bau tanah basah mengisi hidungnya. Tubuhnya bersandar pada tiang kayu, kedua tangan diikat ke belakang dengan tali kasar yang mengiritasi kulitnya.Alin terikat tak jauh darinya, wajahnya pucat tetapi matanya masih menyala.“Gusti Raras… Jenengan sadar?” bisik Alin pelan.Raras mengangguk kecil, menelan rasa perih di bibirnya. “Kita di mana?”“Diculik,” Alin menelan ludah. “Tapi mereka tidak menyentuh apa-apa… hanya mengikat kita dan meninggalkan penjaga di luar.”Raras memejamkan mata sejenak, mengatur napas. “Mereka bukan bandit biasa,” katanya lirih. “Tali yang dipakai ini simpulnya… simpul prajurit.”“Tapi… siapa yang ingin menculik kita? Apa Wening yang—”“Jangan sebut namanya keras-keras.”Raras melirik celah dinding bambu, memastikan tidak ada bayangan mendekat.Hujan masih tipis, menetes dari celah atap. Suara gaduh para penculik terdengar samar dari luar: mereka berbicara pelan, tidak ada tawa kasar, tidak ada ancaman…
Kabut turun rendah, membuat suara langkah kuda terdengar lebih jelas dari biasanya. Arya menggenggam kendali kereta lebih kuat. Alin duduk di sampingnya, wajah pucat tetapi tenang. Sementara Raras berada di dalam, berusaha menenangkan napasnya yang belum juga stabil.Raras baru ingin membuka tirai ketika Arya tiba-tiba berkata pelan:“Jangan keluar. Ada sesuatu.”Alin menegakkan punggung.Arya menarik kudanya berhenti.Di depan mereka, empat lelaki berjubah gelap muncul dari balik pepohonan. Mereka tidak berbicara, hanya berdiri diam, seperti bayangan pepohonan yang tiba-tiba hidup.Arya turun dari kereta dengan gerak perlahan, satu tangan memegang gagang keris.“Punten… ada perlu apakah menghadang kami?”Tidak ada jawaban.Hanya satu gerakan kecil.Sesuatu melesat dari arah samping, anak panah kecil.“Tunduk, Alin!”Arya menangkis dengan bilah kerisnya. Dentuman logam terdengar tajam.Dari sisi lain jalan, empat orang tambahan keluar.Lalu dua lagi dari belakang.Sepuluh.Jumlah yang
Pagi masih pucat ketika Wening membuka jendela kamar bangsawannya.Udara segar seharusnya menenangkan, tapi bukan hari ini.Ia merasa… sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya.Dan firasat itu terbukti ketika seorang pelayan terbirit-birit datang sambil membawa baki minuman. Tangannya bergetar begitu parah hingga cangkir porselen nyaris jatuh.Wening memicingkan mata.“Apa kau membawa minum atau membawa gempa bumi?”Pelayan itu segera bersimpuh ketakutan.“A—ampun Gusti… saya… saya hanya diminta menyampaikan pesan… pesan penting…”Wening mendekat perlahan, langkahnya ringan seperti angin, tapi tekanan kehadirannya membuat pelayan itu hampir menangis.“Pesan apa?”Senyum Wening tipis. Tidak nyaman. Tidak manusiawi.Pelayan itu menelan ludah.“Orang yang semalam… orang… yang Gusti temui…”suara laki-laki itu tercekat.“Dia… ingin bertemu kembali. Katanya… ‘pekerjaannya terganggu’.”Senyum Wening pun hilang seketika.Tatapannya berubah dingin, bukan dingin biasa, melainkan dingin menu







