Share

Bab 4 Tukar Suami

Author: Fei Adhista
last update Last Updated: 2025-08-11 22:56:46

Raras berjalan cepat di depannya, mendengus dan menggerutu tanpa henti. Rakai, masih menyamar sebagai prajurit, mengikuti dari belakang dengan langkah ringan dan senyum geli yang tak kunjung surut.

Ah, Raras benar-benar tidak tahu… bahwa lelaki yang ia omeli sepanjang jalan itu adalah suaminya sendiri.

Dan Rakai… sengaja membiarkannya begitu.

Untuk malam ini saja.

Cahaya obor berpendar hangat di halaman barak, berpadu dengan aroma kambing guling yang menggoda. Prajurit-prajurit Mandalajati duduk melingkari api, tertawa, memukul-mukul paha, dan menjejalkan potongan daging ke mulut. Asap kayu bakar mengepul, gamelan kecil berdenting pelan di sudut.

Raras berdiri di tengah halaman. Kebayanya masih basah di ujung kain, tapi langkahnya tetap berwibawa… meski matanya menelisik penuh kebingungan.

Rakai bersedekap di belakangnya. “Silakan, Nimas. Cari sendiri suaminya.”

Raras melirik kiri-kanan. “Mana aku tahu? Aku bahkan belum pernah lihat wajahnya!”

Rakai menunjuk seorang prajurit gendut yang sedang memegang paha kambing. “Itu, yang dekat api unggun. Tubuhnya… besar. Komandan kami. Sangat disegani.”

Raras terbelalak. “Hah?! Itu?!”

Si gendut—kumis tebal, dagu berlapis, baju zirah setengah terbuka, menghentikan kunyahannya, lalu menatap Raras dengan tatapan yang dibuat-buat kharismatik. “Ah… siapa ini wanita cantik yang datang ke sarang penyamun."

Raras menyipitkan mata. “Suamiku… seharusnya tampan. Tapi ini."

Dari belakang, Rakai menimpali pura-pura serius, “Tampan itu relatif, Nimas. Yang penting kuat menahan dinginnya perbatasan.”

Beberapa prajurit buru-buru menunduk menahan tawa.

Raras menghela napas panjang, lalu melangkah ke depan, memandang si gendut dari kepala hingga kaki. Dengan senyum tipis, ia berkata lantang, “Kalau begini perutnya… mungkin bisa dipakai nyimpen air hujan, bukan cuma nyimpen amarah istri.”

Sorak tawa meledak di sekitar api. Si gendut menepuk perutnya dengan bangga. “Tanda kemakmuran, Nyai.”

Raras lalu mengedipkan mata ke arah Rakai. “Sayangnya, kemakmuran itu tidak seperti yang kubayangkan. Untung dia tidak menemaniku di ranjang pengantin. Pantas para pelayan malah bergosip, katanya aku bakal jadi janda kesepian.”

Rakai mulai panas telinganya, tapi tetap berusaha menjaga wajah datar.

Raras berpaling ke para prajurit, nada suaranya mendayu namun penuh sindiran. “Dan sekarang kudengar, suamiku sedang mempertimbangkan mengambil selir dari selatan. Padahal aku baru seminggu jadi istrinya. Kalau tau dia gendut begini, aku ikhlas dia ambil Selir lagi."

Sorak-sorai dan peluit nakal terdengar dari para prajurit. Rakai melangkah maju, tak tahan lagi, lalu menggenggam tangan Raras. “Cukup. Ayo ikut aku.”

Raras menatapnya dengan tatapan marah bercampur terkejut. “Prajurit biasa berani-beraninya menyentuh istri komandan?!”

---

Si gendut—Komandan Jaladri—baru saja mau berdiri untuk menahan langkah Raras, namun ketika Rakai menyentuh lengannya dan berbisik cepat, cukup hanya Jaladri yang mendengar.

“Sudah cukup, Kakang. Biar aku yang urus. Saatnya ganti giliran.”

Jaladri mengangguk, menahan senyum, lalu pura-pura kembali duduk sambil menyambar paha kambing lagi.

Rakai melangkah pelan menghampiri Raras yang sudah berjalan menuju gerbang barak. “Nimas, tunggu dulu,” panggilnya dengan nada tenang.

Raras menoleh cepat, wajahnya penuh emosi. “Apa lagi? Mau bilang kalau suamiku benar-benar seperti tadi? Pantas saja aku dijodohkan dengannya… mungkin Pangeran Rakai itu tidak laku di seluruh Majakirana!”

Beberapa prajurit yang mendengar langsung terbatuk-batuk menahan tawa.

Raras melanjutkan dengan nada getir yang dibuat-buat, “Aku ini putri kerajaan, seharusnya menikah dengan lelaki tampan, gagah, dan… ah, minimal bisa membuatku tidak malu jalan berdua! Tapi kalau perutnya seperti gentong berisi beras panen raya… bagaimana aku bisa….”

Ia menepuk jidatnya dramatis. “Duh Gusti, mungkin ini kutukan karena aku terlalu cantik. Sampai harus mendapat suami yang bahkan di hari pernikahan pun menikah dengan keris."

Salah satu prajurit berbisik ke temannya, “Waduh, kasihan banget Gusti Pangeran!"

Yang lain menimpali, “Eh… kayaknya dia malah senyum-senyum ngerjain istrinya!"

Rakai menahan tawa, tapi matanya mulai berkilat nakal. Ia mendekat sedikit, hingga jarak wajah mereka hanya sejengkal. “Jadi, Nimas merasa sangat… rugi, menikah dengan suami seperti itu?”

Raras mendengus. “Rugi besar! Kalau bisa tukar, aku tukar. Mungkin ditukar sama kamu sekalian, Prajurit.”

Rakai mengangkat alis. “Oh? Kalau aku yang jadi suami Nimas… yakin mau?”

Nada suaranya santai, tapi ada senyum licik yang mulai terbentuk.

Raras memutar bola mata. “Kalau kau? Entah lah. Paling tidak, perutmu tidak sebesar gentong itu.”

Rakai mendekat setengah langkah lagi, menunduk hingga napasnya menyentuh telinga Raras. “Nimas… hati-hati. Kadang, suami yang kau hina-hina… justru berdiri di hadapanmu, mendengar semua keluhanmu.”

Raras menegang. “Maksudmu….”

Rakai hanya tersenyum, lalu menatap ke arah Jaladri dan memberi isyarat singkat. Jaladri tertawa terbahak, memukul-mukul pahanya, sementara para prajurit mulai berbisik heboh.

---

Raras menatap Rakai, mencoba membaca maksud dari senyumnya yang terlalu percaya diri. “Kau… sedang apa ini? Mau menakut-nakutiku?”

Rakai tak menjawab. Ia justru melepas ikatan kain di pinggangnya, menyingkap sedikit baju dalamnya, memperlihatkan ikat pinggang khas bangsawan Majakirana, berhias ukiran naga emas yang hanya dimiliki keluarga Indradipa Adiningrat.

Sorak kecil terdengar dari para prajurit. Jaladri sampai tersedak dagingnya.

Raras mengerjap. “I-itu….”

Rakai melangkah maju, berdiri tepat di hadapan istrinya. Cahaya obor menyoroti wajahnya yang… jauh dari gambaran ‘gentong’ yang tadi Raras keluhkan. Wajah itu tampan, tegas, rahangnya tegas, sorot matanya seperti baja yang menyala.

“Pangeran Rakai Indradipa Adiningrat,” katanya pelan namun terdengar oleh semua orang di halaman. “Suami yang katanya tidak laku, gendut, dan tak layak kau jalan berdua dengannya.”

Para prajurit menahan napas, sebagian sudah menutup mulut agar tidak meledak tertawa.

Raras membeku. Suara darahnya sendiri terdengar di telinganya. “Kau… KAU?!”

Rakai mengangguk santai, namun senyumnya mengandung kemenangan penuh. “Aku. Yang Nimas omeli dari gerbang barak sampai sini. Yang Nimas bandingkan dengan gentong beras.”

Tawa meledak dari arah para prajurit. Jaladri sampai terjatuh dari bangkunya.

Raras, yang biasanya selalu punya jawaban cepat, kali ini hanya bisa membuka dan menutup mulut seperti ikan di udara. Wajahnya memerah padam.

Rakai memiringkan kepala, mendekat sedikit. “Masih mau minta tukar suami, Nimas?”

Raras mencoba membalas tatapan itu, tapi malah tergelincir ke senyum kecut. “Y-ya… kalau tahu dari awal begini, mungkin… aku tidak akan….” Ia buru-buru mengalihkan pandang, pura-pura mengusap kebayanya yang kusut.

Rakai terkekeh, lalu menepuk bahu Jaladri. “Kakang, pastikan semua prajurit di sini ingat malam ini. Biar jadi pelajaran… istri seorang pangeran pun tidak bisa mengenali suaminya sendiri.”

"Kamu! Bukannya kamu yang bilang dia Pangeran Rakai. Bagaimana aku mengenalmu, kalau yang aku nikahi itu keris!"

Sorak-sorai dan siulan nakal kembali memenuhi halaman barak.

Raras menunduk dalam-dalam, tapi di dalam hatinya ia sudah bersumpah… besok dia akan membalas ini. Dan balasannya harus… lebih memalukan dari ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 63 Aku suamimu

    Langit pagi di Indragiri berwarna pucat keemasan, tapi hati Raras terasa seperti diselimuti kabut tebal.Sejak ia terbangun beberapa hari lalu, semua hal terasa asing, namun wajah-wajah di sekelilingnya memperlakukannya seolah ia adalah seseorang yang harus dikenang… dan juga dibenci.Pagi itu, seorang dayang datang menunduk dalam-dalam.“Perintah dari Istana Utama, Nimas Ajeng. Ratu Palastri ingin bertemu Anda sebelum pesta penyambutan dimulai.”“Ratu… Palastri?” gumam Raras pelan. Ia menatap jendela, hatinya bergetar tanpa tahu alasan.Dayang hanya mengangguk, wajahnya kaku. “Ya, beliau ibu dari Baginda Raja.”Raras tak punya pilihan selain menurut. Ia mengenakan kebaya halus berwarna gading yang disiapkan untuknya, lalu berjalan pelan melewati lorong panjang menuju kediaman sang ratu. Setiap langkah terasa berat, seperti sedang menapaki masa lalu yang tak ingin ia temui.Begitu memasuki ruang perjamuan kecil, aroma dupa dan mawar kering memenuhi udara. Di dalamnya duduk tiga wanita

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 62 Siapa Kamu

    Dayang yang semula datang untuk mengganti kain di dahi Raras tertegun saat melihat sang putri mulai bergerak. Mata Raras terbuka perlahan, menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong.“ Nimas Ajeng?” panggil dayang itu terbata.Raras menoleh perlahan, matanya masih samar, suaranya serak, “Siapa… yang kau panggil?”Dayang itu menutup mulutnya dengan kedua tangan, air matanya jatuh tanpa sadar. Ia segera berlari keluar kamar sambil berteriak ke arah dua prajurit yang berjaga di depan pintu,“Nimas Ajeng telah sadar! Cepat laporkan pada Raden Wijaya!”Dua prajurit itu segera berlari menuju balairung. Dalam waktu singkat, suara langkah kaki terdengar dari lorong panjang istana. Raden Wijaya datang terburu-buru, jubahnya belum sempat diganti dari pakaian dinas. Nafasnya terengah, tapi matanya berbinar penuh harap.Begitu memasuki kamar, ia melihat Raras duduk lemah di ranjang, masih dikelilingi dayang yang berlutut dengan wajah haru.“Nimas Ajeng…” bisiknya pelan, suaranya bergetar

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 61 Lupa

    Langit di atas istana Indragiri malam itu seperti menahan napas. Kabut tebal menggantung di jendela, sementara lorong-lorong batu senyap di bawah langkah-langkah Rakai yang beringsut perlahan.Ia menempel pada dinding, bergerak di antara bayangan obor yang berkedip, setiap langkah diukur dengan ketelitian seorang pemburu. Sekali saja ia salah perhitungan, seluruh penjaga bisa datang menyerbu.Ketika suara pergantian jaga terdengar di ujung koridor, Rakai memanfaatkan celah itu. Ia meluncur cepat menuju pintu kamar yang dijaga dua orang pengawal.Satu penjaga berbalik, yang lain sedang menguap kelelahan. Dalam sekejap, Rakai melempar batu kecil ke arah vas bunga di seberang lorong. “Prakkk!”Suara itu cukup untuk membuat keduanya menoleh dan berlari memeriksa sumber suara. Rakai bergerak cepat, pintu kamar terbuka hanya sedikit, cukup untuk tubuhnya menyelinap masuk tanpa suara.Di dalam, udara kamar harum namun berat. Lilin-lilin kecil menyala di sudut ruangan, menerangi wajah seorang

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 60 Bunuh Dia

    Rakai berdiri di ambang pintu kamar Putri Wening. Lampu lilin yang hangus memantulkan bayangan panjang ke dinding, menambah kesan tegang di ruangan. Wening masih duduk di kursi tinggi, wajahnya merah padam, napas tersengal, marah, sekaligus terguncang oleh kabar tentang “tahanan misterius” yang ternyata menyangkut masa lalu keluarganya.Namun sebelum Rakai sempat bersuara, Wening bangkit tiba-tiba, menatapnya dengan mata berkaca-kaca, dan tak disangka memeluknya erat.“Raksa… aku tidak menyangka… aku tidak…” suaranya terputus-putus. “Pria itu… yang terkena panah, ternyata seorang wanita… dan mantan kekasih adikku!”Rakai menegang, kaget sejenak. Sosok profesionalnya bergulat dengan perasaan yang mulai bergetar. Ia tidak menunjukkan ekspresi berlebihan. Dengan tenang, ia menepuk punggung Wening perlahan, melepaskan diri, tapi tetap menjaga jarak.“Putri Wening, saya di sini untuk urusan profesional,” kata Rakai dengan suara dingin tapi lembut. “Kemarahan Anda saya pahami, tapi saya per

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 59 Terlahir kembali

    Kabut malam menyelimuti lereng barat Indragiri. Dari celah pepohonan yang rimbun, sosok bertudung hitam muncul dengan langkah terhuyung. Rakai. Wajahnya keras, tapi sorot matanya gelap dan penuh amarah. Sejak siang tadi ia hampir kehilangan penawar untuk istrinya. Saat akhirnya sampai di basecamp rahasia di balik tebing, Sitira, Alin, dan Situ yang sedang menyalakan api unggun sontak berdiri.“Pangeran Rakai!” seru Alin cepat.Rakai hanya mengangguk. Ia terlihat kelelahan. Tubuhnya berdebu, jubahnya robek di bagian bahu, dan wajahnya dipenuhi bekas goresan ranting. Tapi matanya tajam, seperti seseorang yang menahan amarah besar.“Di mana yang lain?” suaranya berat, dingin.Sitira menunduk, saling pandang dengan Alin. “Kita… kita sempat terpisah, Pangeran. Banyak prajurit Indragiri datang menyerbu pasar. Kami berusaha kabur secepatnya…”Rakai menarik napas panjang, lalu berkata dengan tegas, “Kalian harus kembali ke Pasren, setelah aku mengeluarkan Istriku. Setelah itu lanjutkan perja

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 58 Ajeng

    Pagi itu, sinar matahari belum sepenuhnya menembus tembok tinggi penjara Indragiri. Lorong batu yang lembap dan gelap dipenuhi aroma besi dan debu. Raja Raden Wijaya berjalan dengan langkah berat, dikelilingi pengawal dan prajurit istana, wajahnya serius namun menyimpan rasa penasaran yang membakar.Ia berhenti di depan salah satu sel. Seorang prajurit membuka pintu besi dengan perlahan.“Yang Mulia, ini narapidana yang dimaksud…”Raden Wijaya menunduk, matanya menelusuri tubuh yang tergeletak lemah di lantai. Napasnya tertahan.Wajah itu… tak mungkin.Raras.Wajah yang dikenalinya dari masa lalu—perempuan yang pernah menjadi sosok penting dalam hidupnya, namun kini terlihat lemah, pucat, dan nyaris tak sadarkan diri. Luka hitam di bahunya jelas terlihat, bekas racun yang belum tersembuhkan.Raden Wijaya melangkah cepat, suaranya parau.“Ajeng…? Ajeng… ini benar-benar kamu?”Para pengawal menatap satu sama lain terkejut. Raja yang biasanya tenang, kini tampak gemetar, matanya berkilat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status