Barak komando Mandalajati berdiri tegap di tengah benteng batu yang dingin. Lampu minyak di dinding memantulkan cahaya kekuningan, menyoroti meja besar yang penuh peta perang dan gulungan perintah. Aroma logam pedang bercampur dengan harum kayu pinus yang terbakar di tungku.
Pintu kayu berat itu terbuka dengan hentakan. Raras berdiri di ambang, gaunnya yang kusut berkibar pelan. Wajahnya memerah bukan karena malu, tapi karena amarah yang mendidih. Rakai Indradipa berdiri di dekat meja. Tatapannya dingin seperti baja. Tanpa kata, Raras menghampiri. Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri sang pangeran. Suaranya menggema di ruang besar, membuat dua prajurit di luar pintu menegakkan tubuh dan menahan napas. Rakai tak bergerak. Ia hanya mengangkat kepala perlahan, menatap Raras dengan sorot menusuk, lalu menyentuh pipinya yang memerah. Senyum tipis, sinis, terlukis di bibirnya. “Raras… kau berani menampar suamimu? Sopan santun macam apa yang kau pelajari di Wanasari?” Raras mendengus, dagunya terangkat. “Sopan santun? Seorang suami yang menikahkan istrinya dengan keris di pelaminan, lalu menghilang seminggu tanpa kabar… Dan saat mereka bertemu justru orang yang di sebut suami itu membuat malu istrinya di hadapan prajurit. pantaskah bicara sopan santun?” Suara Raras meninggi, matanya berkilat. “Bagi seorang perempuan, itu penghinaan! Aku bukan pusaka yang kau selipkan di pinggang lalu kau simpan di lemari!” Rakai menahan napas, matanya semakin tajam, tapi Raras tak memberi celah. “Kau pikir aku mau menikah? Tidak! Aku sudah menolak sejak awal. Tapi kerajaan memaksaku. Dan yang lebih membuatku muak, saat aku sudah berusaha menolak, aku justru diserahkan kepada lelaki yang bahkan tak hadir di pelaminan! Dan sekarang malah menipuku di sini." Suaranya pecah di ujung kalimat, tapi air mata itu bukan tanda lemah, ia tetap tegak, penuh harga diri. “Jika pernikahan ini sama-sama tak kita kehendaki…” Raras menarik napas panjang. “Ceraikan aku.” Rakai menatapnya lama. Api di tungku berderak, seolah ikut menunggu jawabannya. Pangeran itu melangkah mendekat. Suaranya rendah, berat, dan penuh tekanan. “Kau pikir… aku akan melepaskanmu hanya karena kau meminta? Meskipun pernikahan ini tidak aku inginkan. Bagaimana pun juga kamu sudah jadi Istriku." Raras membalas tatapan itu tanpa gentar. “Aku pikir… kau cukup bijak untuk tak memenjarakan seseorang yang tak ingin tinggal.” Untuk pertama kalinya, senyum sinis Rakai meredup. Tapi ia tak menjawab. Ia hanya berbalik, mengambil cangkir dari meja, lalu duduk tenang—seolah tamparan dan tuntutan cerai itu hanyalah percakapan biasa. Namun di matanya… ada sesuatu yang berubah. Raras menghela napas panjang, menahan diri agar tak kembali menampar lelaki itu. Ia berbalik menuju pintu barak. “Di mana Alin? Dan dua pengawal yang mengantarku?” tanyanya ketus. Rakai, masih di kursinya, meneguk minuman dari cangkir perunggu. Suaranya datar, tapi terasa seperti sindiran. “Mereka sudah kembali ke Mandalajati sebelum matahari tenggelam. Tak ada gunanya menunggu.” Raras berhenti di ambang pintu, menoleh tajam. “Bagus sekali. Jadi kau sengaja membuatku terjebak di sini?” Senyum tipis itu kembali. “Kau bisa menyebutnya… pengamanan.” “Pengurungan, maksudmu.” “Terserah.” Raras mendengus. “Kalau begitu aku akan pulang sendiri.” Baru saja ia melangkah keluar, suara seorang pelayan pria terdengar. “Gusti Pangeran… hidangan sudah siap.” Beberapa pelayan masuk membawa baki besar: nasi panas mengepulkan uap, sup ayam bening beraroma daun jeruk, sate kambing berbalut bumbu kacang, dan semangkuk sambal mangga muda. Harum rempah memenuhi ruangan, menusuk hidung Raras yang sejak tadi belum makan. Rakai berkata santai tanpa menoleh. “Makan dulu… baru pulang.” Raras memutar bola mata. “Aku tidak—” perutnya berbunyi pelan, memotong kalimatnya. Sial. Senyum tipis Rakai semakin jelas. “Duduk.” Dengan langkah berat, Raras berbalik, menarik kursi di sampingnya. Mereka makan dalam diam, namun bukan diam damai, melainkan senyap penuh tegangan. “Lumayan juga…” kata Raras akhirnya sambil mengunyah. Rakai menoleh sekilas. “Apa?” “Makanannya. Kupikir kau hanya pandai memeram istri di istana, ternyata di sini kau bisa memeram kambing jadi sate juga.” “Lebih baik memeram kambing,” balas Rakai tenang, “daripada memelihara istri yang hobinya melawan.” Raras tersenyum tipis. “Kalau istrinya diperlakukan seperti pusaka museum, wajar kalau berdebu… dan melawan.” Piring Raras tinggal setengah. Rakai berkata datar, “Hari sudah malam. Menginaplah di sini. Besok aku akan mengantarmu pulang.” “Kenapa tidak sekarang?” “Karena aku tak mau memungut istriku di jalan dalam keadaan beku seperti ikan asin.” Sebelum Raras sempat membalas, pintu barak terbuka. Seorang pria bertubuh besar dengan perut bundar masuk—Komandan Jaladri Wangsana. Wajahnya bulat, pipinya kemerahan, napasnya sedikit memburu. “Gusti Pangeran, maaf mengganggu… Ada laporan mendesak dari pos utara. Kita harus bergerak sekarang.” “Siapkan kuda. Aku menyusul.” Jaladri memberi hormat dan keluar cepat. Rakai bangkit, mengenakan mantel tebalnya. “Makanlah yang kenyang. Setelah itu tidur. Jangan keluyuran.” Raras menyandarkan punggung ke kursi, menatapnya santai. “Aku tidak berjanji.” Rakai menatapnya sejenak, nyaris seperti ingin mengatakan sesuatu, lalu menghela napas, berbalik, dan meninggalkan ruangan. Begitu pintu barak menutup, Raras hanya duduk diam menatap piringnya. Api di tungku bergemeretak pelan, melemparkan bayangan panjang ke dinding. Sendoknya ia letakkan perlahan. Hatinya mendidih lagi. “Dasar lelaki sombong… seenaknya mengurung orang,” gumamnya sambil meneguk air hangat dari cangkir. Ia berdiri, berjalan mondar-mandir di dalam barak. Ruangan itu memang luas dan nyaman, tapi baginya terasa seperti sangkar emas. Mata Raras menelusuri setiap sudut rak senjata, peta perang, hingga meja penuh surat perintah yang tadi dikerjakan Rakai. Tiba-tiba ia melirik ke pintu. Dua prajurit berjaga di luar. Tidak ada celah untuk keluar tanpa diketahui. Raras menghela napas panjang, lalu menyeringai tipis. Kalau tidak bisa keluar… dia bisa mencari tahu. Ia menghampiri meja kerja Rakai, jarinya menyapu gulungan peta. Beberapa tertulis laporan patroli dan catatan logistik. Tapi yang menarik perhatiannya adalah sebuah surat terlipat rapi di atas tumpukan—disegel dengan lilin merah. Capnya bukan milik Mandalajati… melainkan lambang daerah pesisir selatan. Raras memutar mata. “Jadi ini yang dimaksud ‘urusan mendesak’? Atau… selir dari selatan yang katanya mau diambil?” Senyumnya melebar nakal. Ia menaruh kembali surat itu tanpa membukanya, lalu duduk santai sambil menyangga dagu. Dari luar terdengar samar-samar derap kuda menjauh. Rakai benar-benar sudah pergi. Raras menggigit bibir, pikirannya berputar cepat. Jika benar Rakai sedang sibuk di luar… ini waktu yang tepat untuk memulai “balas dendam” kecil. Ia menatap pintu, lalu memanggil pelan, “Kakang prajurit… boleh minta sedikit madu untuk teh? Perutku belum kenyang…” Dua prajurit di luar saling pandang, salah satu buru-buru masuk. Raras tersenyum manis senyum yang biasanya menandakan seseorang akan kena jebakan halus darinya.Langit pagi di Indragiri berwarna pucat keemasan, tapi hati Raras terasa seperti diselimuti kabut tebal.Sejak ia terbangun beberapa hari lalu, semua hal terasa asing, namun wajah-wajah di sekelilingnya memperlakukannya seolah ia adalah seseorang yang harus dikenang… dan juga dibenci.Pagi itu, seorang dayang datang menunduk dalam-dalam.“Perintah dari Istana Utama, Nimas Ajeng. Ratu Palastri ingin bertemu Anda sebelum pesta penyambutan dimulai.”“Ratu… Palastri?” gumam Raras pelan. Ia menatap jendela, hatinya bergetar tanpa tahu alasan.Dayang hanya mengangguk, wajahnya kaku. “Ya, beliau ibu dari Baginda Raja.”Raras tak punya pilihan selain menurut. Ia mengenakan kebaya halus berwarna gading yang disiapkan untuknya, lalu berjalan pelan melewati lorong panjang menuju kediaman sang ratu. Setiap langkah terasa berat, seperti sedang menapaki masa lalu yang tak ingin ia temui.Begitu memasuki ruang perjamuan kecil, aroma dupa dan mawar kering memenuhi udara. Di dalamnya duduk tiga wanita
Dayang yang semula datang untuk mengganti kain di dahi Raras tertegun saat melihat sang putri mulai bergerak. Mata Raras terbuka perlahan, menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong.“ Nimas Ajeng?” panggil dayang itu terbata.Raras menoleh perlahan, matanya masih samar, suaranya serak, “Siapa… yang kau panggil?”Dayang itu menutup mulutnya dengan kedua tangan, air matanya jatuh tanpa sadar. Ia segera berlari keluar kamar sambil berteriak ke arah dua prajurit yang berjaga di depan pintu,“Nimas Ajeng telah sadar! Cepat laporkan pada Raden Wijaya!”Dua prajurit itu segera berlari menuju balairung. Dalam waktu singkat, suara langkah kaki terdengar dari lorong panjang istana. Raden Wijaya datang terburu-buru, jubahnya belum sempat diganti dari pakaian dinas. Nafasnya terengah, tapi matanya berbinar penuh harap.Begitu memasuki kamar, ia melihat Raras duduk lemah di ranjang, masih dikelilingi dayang yang berlutut dengan wajah haru.“Nimas Ajeng…” bisiknya pelan, suaranya bergetar
Langit di atas istana Indragiri malam itu seperti menahan napas. Kabut tebal menggantung di jendela, sementara lorong-lorong batu senyap di bawah langkah-langkah Rakai yang beringsut perlahan.Ia menempel pada dinding, bergerak di antara bayangan obor yang berkedip, setiap langkah diukur dengan ketelitian seorang pemburu. Sekali saja ia salah perhitungan, seluruh penjaga bisa datang menyerbu.Ketika suara pergantian jaga terdengar di ujung koridor, Rakai memanfaatkan celah itu. Ia meluncur cepat menuju pintu kamar yang dijaga dua orang pengawal.Satu penjaga berbalik, yang lain sedang menguap kelelahan. Dalam sekejap, Rakai melempar batu kecil ke arah vas bunga di seberang lorong. “Prakkk!”Suara itu cukup untuk membuat keduanya menoleh dan berlari memeriksa sumber suara. Rakai bergerak cepat, pintu kamar terbuka hanya sedikit, cukup untuk tubuhnya menyelinap masuk tanpa suara.Di dalam, udara kamar harum namun berat. Lilin-lilin kecil menyala di sudut ruangan, menerangi wajah seorang
Rakai berdiri di ambang pintu kamar Putri Wening. Lampu lilin yang hangus memantulkan bayangan panjang ke dinding, menambah kesan tegang di ruangan. Wening masih duduk di kursi tinggi, wajahnya merah padam, napas tersengal, marah, sekaligus terguncang oleh kabar tentang “tahanan misterius” yang ternyata menyangkut masa lalu keluarganya.Namun sebelum Rakai sempat bersuara, Wening bangkit tiba-tiba, menatapnya dengan mata berkaca-kaca, dan tak disangka memeluknya erat.“Raksa… aku tidak menyangka… aku tidak…” suaranya terputus-putus. “Pria itu… yang terkena panah, ternyata seorang wanita… dan mantan kekasih adikku!”Rakai menegang, kaget sejenak. Sosok profesionalnya bergulat dengan perasaan yang mulai bergetar. Ia tidak menunjukkan ekspresi berlebihan. Dengan tenang, ia menepuk punggung Wening perlahan, melepaskan diri, tapi tetap menjaga jarak.“Putri Wening, saya di sini untuk urusan profesional,” kata Rakai dengan suara dingin tapi lembut. “Kemarahan Anda saya pahami, tapi saya per
Kabut malam menyelimuti lereng barat Indragiri. Dari celah pepohonan yang rimbun, sosok bertudung hitam muncul dengan langkah terhuyung. Rakai. Wajahnya keras, tapi sorot matanya gelap dan penuh amarah. Sejak siang tadi ia hampir kehilangan penawar untuk istrinya. Saat akhirnya sampai di basecamp rahasia di balik tebing, Sitira, Alin, dan Situ yang sedang menyalakan api unggun sontak berdiri.“Pangeran Rakai!” seru Alin cepat.Rakai hanya mengangguk. Ia terlihat kelelahan. Tubuhnya berdebu, jubahnya robek di bagian bahu, dan wajahnya dipenuhi bekas goresan ranting. Tapi matanya tajam, seperti seseorang yang menahan amarah besar.“Di mana yang lain?” suaranya berat, dingin.Sitira menunduk, saling pandang dengan Alin. “Kita… kita sempat terpisah, Pangeran. Banyak prajurit Indragiri datang menyerbu pasar. Kami berusaha kabur secepatnya…”Rakai menarik napas panjang, lalu berkata dengan tegas, “Kalian harus kembali ke Pasren, setelah aku mengeluarkan Istriku. Setelah itu lanjutkan perja
Pagi itu, sinar matahari belum sepenuhnya menembus tembok tinggi penjara Indragiri. Lorong batu yang lembap dan gelap dipenuhi aroma besi dan debu. Raja Raden Wijaya berjalan dengan langkah berat, dikelilingi pengawal dan prajurit istana, wajahnya serius namun menyimpan rasa penasaran yang membakar.Ia berhenti di depan salah satu sel. Seorang prajurit membuka pintu besi dengan perlahan.“Yang Mulia, ini narapidana yang dimaksud…”Raden Wijaya menunduk, matanya menelusuri tubuh yang tergeletak lemah di lantai. Napasnya tertahan.Wajah itu… tak mungkin.Raras.Wajah yang dikenalinya dari masa lalu—perempuan yang pernah menjadi sosok penting dalam hidupnya, namun kini terlihat lemah, pucat, dan nyaris tak sadarkan diri. Luka hitam di bahunya jelas terlihat, bekas racun yang belum tersembuhkan.Raden Wijaya melangkah cepat, suaranya parau.“Ajeng…? Ajeng… ini benar-benar kamu?”Para pengawal menatap satu sama lain terkejut. Raja yang biasanya tenang, kini tampak gemetar, matanya berkilat