Share

BAB 3

"Kontrakan di sini penuh." Untuk kedua kali Ayra kecewa mendengar pemilik petakan kontrakan. Ternyata mencari tempat tinggal dalam waktu cepat tidaklah mudah. 

"Gitu, ya, Pak. Terimakasih." Ayra pamit. Berjalan kembali. Lesu tubuhnya ingin segera istirahat. Sesekali mengusap peluh di dahi. Selama bersama Haris tidak pernah melakukan jalan kaki sejauh ini. 

Satria masih mengikuti. Rela masuk dalam gang dan memberhentikan motor dari agak jauh. Mengotak atik ponsel yang dikeluarkan dari saku. Sementara Ayra terus berjalan. Berharap bisa cepat menemukan tempat bermalam. 

"Mau ke mana, Mbak?" tanya seorang pemuda tiba-tiba menghampiri. Langkah Ayra terhenti. 

"Saya cari kontrakan." 

"Ada dekat sini. Kalau Mbak minat saya tunjukkan." 

"Benar, Mas?" Seketika mata Ayra berbinar. 

"Iya. Boleh ikut saya, Mbak." 

"Baik, Mas." Ayra mengikuti. Senang mendengar kabar tersebut. Membuatnya semangat lagi. 

Pemuda itu menunjukkan deretan kontrakan yang dimaksud. "Deretan kontrakan itu ada yang kosong. Itu rumah pemiliknya." Dia menunjukkan rumah besar di sebelahnya. 

Ayra mengucap terimakasih dan menghampiri rumah pemilik kontrakan tersebut. Pemuda ramah itu berbalik pergi setelah memperhatikan cukup lama. 

"Gue udah nunjukkin tempatnya." Saat tiba dirumah dia menghubungi Satria. 

"Baguslah, thank's udah bantu." Satria tengah berada dalam minimarket memilih minuman dingin. Mengambil botol air mineral dan menutup kembali pintu lemari pendingin itu. 

"Seriusan itu cewek lo?" 

"Kenapa?" 

"Kok lain?"

"Apanya yang lain?" 

"Biasanya sama yang terbuka." 

"Gak usah bilang macem-macem." 

"Ketemu di mana, Bro? Mau dong, cewek cakep alim begitu." 

"Cari di pesantren banyak. Udah, gue otw rumah lo sekarang." Satria mematikan sambungan telepon begitu saja. Menuju kasir membayar minuman. 

Ayra sudah mengobrol dengan pemilik kontrakan. Sudah saling memperkenalkan diri. Diberi kunci setelah deal dengan harga sewa. "Terimakasih, Bu." 

"Kamu bisa bersihkan di dalam berdebu." Bu Dita juga meminjamkan sapu. Ayra menerima. Perempuan itu kemudian berlalu. 

Pintu kontrakan paling ujung dibuka, Ayra masuk ke dalamnya. Menekan saklar di samping jendela. Hingga ruangan terang. 

Ayra merasa lega telah menemukan tempat berteduh. Tapi juga bingung tidak ada apa-apa. Bagaimana ia tidur sedangkan tidak ada kasur? Juga tidak ada perabot apa pun. Ruangan ini kosong. Tiba-tiba hati Ayra dilanda pilu kembali. Cairan bening itu merembes di pipi. 

Apa keputusan mengontrak salah? Apa sebaiknya pulang kampung? Tapi Ayra tidak mau membebani ibunya, juga tidak betah adanya ayah tiri. Ada pengalaman buruk pernah dilecehkannya. Dipertemukan dan menikah dengan Haris adalah anugrah besar, bisa terbebas dari neraka di rumah sendiri. Tetapi itu dulu, sekarang ia telah kehilangan pangeran itu, telah berpaling pada putri lain. 

Ayra memutuskan membersihkan ruangan, mengalihkan rasa sesak di hati. Semua sudah terjadi, tiada guna mengeluh apa lagi meratap terus menerus. Dia harus kuat, harus bisa menghadapi semua. Ayra terus menguat-nguatkan hati sembari menyapu. 

Selesai membersihkan teras luar Ayra mengembalikan sapu tersebut ke rumah Bu Dita. Selain pemilik kontrakan Bu Dita juga berjualan membuka warung sembako. Di sana ramai. 

Bu Dita berada di teras samping warung berkumpul bersama Ibu-ibu, sedangkan pembeli dilayani anak gadisnya. Ayra menaruh sapu itu disandarkan di dinding. "Bu, mau balikin sapu. Terimakasih." 

"Ke sini kamu." Dia memanggilnya, Ayra mendekat sungkan karna masih orang baru. "Saya jualan baju, ada daster, atasan, rok, celana, sampai daleman pun ada, mau beli gak?" Ayra baru tahu dia jualan pakaian juga. 

"Bisa cash. Bisa kre-dit. Pilih-pilih saja dulu." Ayra pun ikut melihat-lihat seperti Ibu-ibu itu. Mereka penasaran dan bertanya karna baru melihatnya. 

"Namanya Ayra, penghuni baru di kontrakan saya, Bu-ibu." Bu Dita menjelaskan. 

"Sendirian atau sama pasangan, Mbak?" 

"Kerja atau masih kuliah?"

"Kerja di mana?"

"Asalnya dari mana?" 

Mereka saling melontarkan tanya. 

"Saya mengontrak sendirian. Saya tidak punya pasangan." 

"Ooh, berarti belum nikah, ya?" 

"Sudah. Tapi sudah pisah."

"Cerai?" Ayra mengangguk seraya tersenyum pahit. 

"Janda, dong." 

"Udah ya, Bu-ibu gak usah kepo. Jadi ngambil dasternya gak nih?" Bu Dita menginterupsi obrolan, menjajakan lagi dagangan. Mereka pun melihat-lihat lagi. 

"Ayra, kamu juga pilih, mau yang mana?" Perhatian Ayra teralih lagi pada baju. Jujur, dia sangat membutuhkan. Karna tidak membawa satu stel pun pakaian ganti. 

Ada gamis-gamis yang membuat Ayra tertarik, tapi ketika ditanyakan harganya mahal, baik kontan apalagi kre-dit menjadi hampir dua kali lipat. Akhirnya dia memilih daster lengan panjang. Mengambil dua. Dia juga mengambil bra dan dalaman. 

"Mau nyicil apa nggak nih?"

"Kalau bayar lunas berapa?" Bu Dita menghitung total harga barang. 

"Seratus lima puluh deh, biarin." Ayra membuka tas kecil yang sejak tadi belum lepas dari tubuhnya. Ada lima lembar uang merah. Haris tidak tahu dia membawa uang. Untunglah lelaki itu tidak menggeledah isi tasnya saat pergi hanya meminta ponsel saja. Terpaksa Ayra mengambil di lemari kamarnya. Ayra tidak mau mempunyai cicilan, cukup sewa tempat tinggal saja yang ia pikirkan tidak mau banyak beban. 

Selesai membeli baju dengan harga terjangkau, kini dia terbengong lagi di dalam kontrakan. Melihat ruangan yang kosong melompong. Perutnya juga lapar dan haus. Tidak ada perabotan untuk memasak. Tentu harus beli. Ayra dilanda pusing memikirkan hari-hari ke depan. Tanpa Haris ternyata sulit. 

Tidak. Dia tidak boleh mengharapkan laki-laki itu lagi. Yang sudah tidak percaya padanya bahkan mengusir. Dirinya tidak boleh lemah. "Aku pasti bisa melalui semua ini." Ayra menguatkan hati kembali. 

"Aku akan membeli makanan dan secepatnya cari pekerjaan. Apa saja terpenting halal." Dia meletakkan kantong belanjaan baju dan bergegas keluar lagi untuk membeli makanan dan minum. 

*** 

Hari sudah berganti malam. Ayra tidur meringkuk beralas tikar dan bantal lusuh yang dipinjami pemilik kontrakan. Tubuhnya kedinginan tanpa selimut. Banyak nyamuk, Ayra kerap kali menepuk pipi, tangan dan kaki dari gigitan nyamuk. Tidurnya pun terusik dan beranjak duduk. 

Mengusap wajah didera nelangsa lagi. Malam-malam sebelumnya tidak pernah seterganggu ini. Selalu nyaman. "Besok, aku akan pake obat nyamuk," ucapnya menahan getir. Mengambil daster dari plastik di sisinya, lalu merebah lagi, menyelimutkan daster itu ke tubuhnya untuk mengurangi dingin. 

Memejam mata mencoba tidur lagi. Mengabaikan bising suara nyamuk. Lama-lama bisa terlelap karna kantuk berat. Gigitan-gigitan nyamuk pun menjadi tidak terasa. 

Waktu terus berlalu. Suara azan subuh pun berkumandang. Ayra bangun dengan tubuh terasa pegal karna bukan di kasur. 

Pergi ke kamar mandi berwudhu. Solat memakai mukena berkain sangat tipis masih dari Bu Dita. Menetes air mata saat berdoa, meminta dikuatkan hati dan diberi kesabaran tiada batas. 

Setelahnya Ayra tidur lagi berselimutkan mukena karna masih mengantuk dan tidak tahu harus apa. 

Pagi saat hendak keluar, Ayra mendapati kantong plastik tergantung di hendel pintu. Ayra mengambil melihat isinya. Terdapat ketoprak, gorengan, roti juga botol air mineral. Ayra heran. 

"Makanan dari siapa?"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
klu udah menikah dan biarpun diceraikan pasti ada harta gono gininya.
goodnovel comment avatar
ADella'@Angkasa
assalamualaikum, lam kenal kak othor dan reader disini ......,, baru baca bab 2, awal yg bagus, masih penasaran ngikut dan nyimak...️...️
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status