Share

BAB 5: Rencana Liburan Amel

Ponsel Kiara berdering, nama My Mom tertera pada layar ponsel. Wanita muda berkulit putih itu mencari tempat yang lebih sepi untuk menjawab panggilan telepon.

"Kamu di mana, sayang?" tanya wanita yang menurunkan sikap lembut pada Kiara.

"Kia lagi di sekolah Amel, Ma," jawabnya.

"Minggu depan sekolah libur, kan?" tanya Retno dari seberang telepon.

Kiara mengangguk sambil bergumam.

"Kalau begitu kamu sama Amel bisa liburan ke sini dong," pinta seorang nenek yang merindukan cucunya. "Mama rindu sama kamu dan Amel." tambahnya.

Airmata Kiara mulai menggenang. Sebetulnya dia juga rindu pada perempuan yang telah melahirkannya. Akan tetapi rasanya sulit untuk berlibur dengan tabungan yang belum seberapa. Dirga baru bekerja, belum lagi Amel sebentar lagi masuk SD, tentu butuh biaya yang tidak sedikit.

"Kalau kamu tidak punya budget, biar mama transfer," ucap sang ibu ketika tak mendapati jawaban dari anaknya.

"Ada kok, Ma. Mas Dirga sudah kerja," jelasnya singkat.

"Nanti Kia akan bicara sama Mas Dirga dulu, Ma," ujar Kiara.

Sambungan telepon berakhir sesaat suara teriakan Amel yang memanggil ibunya.

Gadis kecil yang mewarisi senyum manis Kiara berjalan riang menuju ibunya. Dia memperagakan hasil karyanya, berupa gambar sawah dan pegunungan.

"Ma… di tempat Nenek ada sawah, kan?" tanyanya polos. Kiara mengangguk.

Orang Tuanya kini menghabisi masa tua di desa, usaha mereka dikendalikan oleh orang kepercayaan keluarga. Hanya sesekali papa Kiara mengunjungi usaha mereka di kota.

"Ma… Amel mau liburan nanti ke rumah nenek, boleh?" pinta gadis kecil itu. Wajah lugunya mengiba.

"Kita tanya papa dulu, ya. Kalau kata Papa boleh, kita liburan ke tempat nenek sama kakek."

Gadis kecil berusia lima tahun itu berloncat riang sambil teriak, "asik."

Kiara tersenyum melihat keriangan yang tampak pada wajah putrinya, meski dia tak yakin punya uang yang cukup untuk pergi mengunjungi orang tuanya.

Dalam perjalanan menuju rumah, Kiara berdoa dalam hati agar Tuhan berkenan memberikan jalan agar dia bisa memenuhi keinginan orang-orang yang disayanginya. Amelia terus tersenyum riang. Dia membayangkan bahwa liburan itu akan benar-benar terjadi. Bertemu kakek dan neneknya, mandi di sungai juga melihat sawah.

***

Senja mulai menghias langit kota. Kiara baru saja selesai siaran dari sebuah aplikasi yang menyediakan fitur live streaming. Di sana Kiara menjadi konselor masalah percintaan remaja, dia juga kerap membacakan puisi. Kiara amat mahir dalam membacakan puisi, pembawaannya selalu berhasil membuat pendengar hanyut dalam puisi yang dibacakannya. Tak heran Kiara memiliki banyak penggemar.

Aplikasi tersebut sangat cocok bagi Kiara yang tidak terlalu nyaman dengan keramaian. Kiara sebetulnya bukan introvert yang tidak suka keramaian. Dia adalah seorang Ambivert, tidak menghindari keramaian hanya terkadang lebih nyaman jika berada dalam kesendirian.

Bagi seorang Ambivert seperti Kiara, keramaian bukan sesuatu yang menakutkan. Seorang Ambivert memiliki komunikasi yang baik, layaknya ekstrovert. Ambivert juga tidak anti sosial, dia mampu berbaur dan bisa menyesuaikan porsi dalam bersosialisasi. Sikap fleksibel yang dimiliki Ambivert kerap dianggap, tidak punya pendirian.

Amelia menghampiri ibunya yang baru selesai siaran melalui aplikasi live streaming.

"Mama udah selesai," tanyanya.

Kiara mengangguk, membentangkan tangan, meminta sang anak untuk memeluknya. Bocah kecil bermata bulat itu menghampiri ibunya.

"Papa kok belum pulang, ya, Ma?" tanya gadis kecil itu.

Kiara melirik jam dinding, pukul Lima lebih 40 menit. Biasanya Dirga telah tiba di rumah.

"Mungkin papa masih ada pekerjaan, Sayang," ucap Kiara sembari mengusap punggung putri kecilnya.

Gadis itu mengangguk dalam pelukan ibunya.

Suara murottal telah diperdengarkan melalui masjid sekitar rumahnya.

"Kita siap-siap ke Masjid, yuk," acak Kiara pada putrinya.

Sang putri menggeleng, "Amel mau shalat di rumah aja, sambil tunggu papa," pintanya.

Kiara mengangguk, mengikuti keinginan sang anak. Dua wanita berbeda generasi itu mempersiapkan diri untuk segera menunaikan ibadah sholat magribh.

Selesai salam, terdengar doa sederhana Amelia, dia ingin berlibur, mengunjungi kakek dan neneknya. Dalam diam, Kiara mengaminkan doa putrinya. Ada rasa sedih menelusup dalam relung hati Kiara, saat dia tidak mampu memenuhi keinginan sederhana anaknya.

Tuhan… beri jalan agar aku bisa memenuhi keinginan orang-orang yang kusayangi, pinta Kiara.

Suara motor terdengar berhenti di pekarangan rumah mereka. Amelia yang mengenali suara motor tersebut berlari keluar. Senyum bahagia terpancar dari wajah bulatnya.

"Papa…." teriaknya.

Dirga mengusap kepala putrinya. Amelia mengikuti langkah sang ayah. Di kursi tamu yang beberapa bagiannya mulai robek, Dirga menyandarkan tubuhnya.

Amelia duduk di samping cinta pertamnya, "Papa cape?" dia bertanya sambil menatap wajah sang ayah. Dirga mengangguk, tanpa bicara.

Kiara tersenyum melihat pemandangan itu. Dirga yang temperamental selalu bersikap manis kepada Amelia. Tidak pernah sekalipun Dirga memarahi Amel. Dirga hanya kerap marah kepada Kiara bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun, meski kebiasaan itu belum sepenuhnya hilang, hanya sedikit berkurang. Itu pun karena Kiara yang selalu meminimalisir kesalahan agar sikap temperamental Dirga tidak menguap dan menjadi-jadi.

"Mau aku buatkan teh hangat, Mas?" tanya Kiara hati-hati.

Dirga menggeleng, dia masih bersandar pada sofa, kemeja yang dikenakannya terlihat kusut, juga rambut yang berantakkan.

Mata Dirga terpejam sambil tangannya mengusap pelipis. Melihat itu Kiara mengurungkan niatnya membicarakan keinginan ibu dan anaknya. Jika Kiara memaksakan bicara pada saat itu, maka Dirga akan marah dan tak segan mengeluarkan sumpah serapah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status