Masuk"Pak Ndiman!! Pak!?" teriak Jericho dengan suara keras, memecah keheningan yang tegang. Suaranya penuh otoritas, kontras dengan kegaduhan yang diciptakan Enzo sebelumnya. Jericho tidak berteriak karena emosi, melainkan karena ia ingin mengakhiri drama ini secepatnya.Tak lama, security yang dipanggil namanya langsung tergopoh-gopoh datang menghampiri, nafasnya terengah-engah. Ia adalah seorang pria paruh baya dengan seragam yang rapi, wajahnya menunjukkan kebingungan sekaligus kesigapan."Ada apa, Den?" tanyanya, melirik Enzo dan kursi rodanya yang berada di tengah-tengah ruang tamu. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia belum tahu duduk permasalahannya."Usir orang gila ini dari rumah calon istri saya!" titah Jericho, suaranya dingin, tak ada sedikit pun keraguan. Mata Enzo langsung melotot. Dia tak terima jika dirinya harus diusir oleh orang lain. Harga dirinya, yang sudah terkikis habis, kini seolah-olah diinjak-injak oleh orang asing. "Ayo, saya antar keluar, Mas!" kata
Suara Enzo terdengar lirih, hampir tak berdaya. Ia melipat tangannya di pangkuan, menutupi jemarinya yang gemetar. Bahunya sedikit membungkuk, seolah menanggung beban yang tak kasat mata. "Kita bicara di sini saja, Ra," pintanya, suaranya mengalun pelan, berusaha menahan gema rasa sakit yang ia ciptakan sendiri. Matanya yang sayu menatap Amora penuh permohonan.Namun, suara bisik-bisik tetangga sudah terlanjur membesar menjadi sorakan, menjadi paduan suara yang penuh dengan prasangka. Mereka, para penjaga moral yang tak diundang, berdiri mengelilingi Enzo dan Amora, mata mereka memancarkan rasa ingin tahu yang kejam. "Ya, kalian bicara di sini saja," seorang ibu-ibu dengan daster berwarna cerah menyahut, tangannya bersedekap di dada. "Takutnya, kalau bicara di dalam, Mbak malah menganiaya suami Mbak sendiri." Suaranya terdengar prihatin, tetapi di baliknya tersembunyi gairah untuk menyaksikan drama yang sudah lama mereka nantikan.Suara lain menyambar, penuh nada menghakimi, datang
"Mau ke mana kamu, Mas?" Enzy bertanya, suaranya terdengar tenang, namun getarannya tak bisa disembunyikan. Matanya menatap suaminya yang berdiri di depan cermin, seolah memindai setiap detailnya. Renald kini terlihat begitu rapi. Rambutnya disisir licin, kemeja birunya yang baru disetrika terlihat begitu mulus tanpa sedikit pun lipatan, dan harum parfum yang menyengat, aroma yang asing menusuk hidungnya. Parfum yang tidak pernah Enzy cium sebelumnya, bukan aroma khas Renald yang ia kenal. Aroma yang asing itu membuat hatinya mencelos, firasat buruk menyeruak. Renald terlihat berbeda, bukan Renald yang lusuh dan lelah sepulang kerja, melainkan Renald yang penuh percaya diri dan siap untuk pergi. Enzy merasakan ada sesuatu yang tidak beres, hatinya mencelos."Bukan urusan kamu!" Renald menjawab ketus, tanpa menoleh. Tangannya sibuk mengancingkan kemeja, seolah mengabaikan keberadaan Enzy. Seolah-olah Enzy adalah hiasan yang tak terlihat di ruangan itu, seolah-olah kehadiran Enzy tida
"Kamu, Zy! Beraninya kamu ngotak-atik HP-ku, hah?! Lancang!" Renald berteriak dengan suara yang menggelegar, wajahnya merah padam. Ia menarik tangannya yang memegang ponsel dengan kasar dari genggaman Enzy, seolah benda itu adalah sebuah benda pusaka yang sangat berharga. Ia mencengkeram ponsel itu erat-erat, seolah takut Enzy akan mengambilnya lagi.Enzy tersentak, tangannya yang kosong terasa dingin dan hampa, seperti ada sesuatu yang baru saja direnggut darinya, sesuatu yang sangat penting. "Mas... aku... aku cuma ingin mengantar HP-mu ke kamar," jawab Enzy, suaranya bergetar, berusaha mencari-cari alasan yang setidaknya bisa diterima, alasan yang tidak akan memicu amarahnya. "Aku lihat tergeletak di meja, Mas. Aku takut hilang." Ia mencoba meraih kembali ponsel itu, seolah dengan memegangnya, ia bisa mendapatkan kembali kendali atas situasi ini, namun Renald lebih cepat, menyembunyikannya di belakang punggungnya."Nggak usah banyak alasan! Aku tahu niatmu apa! Kamu ingin cari-car
"ENZY! Di mana kamu? ENZY!!!"Suara Renald menggelegar di malam yang sunyi, kakinya terseok-seok menabrak meja. Jaket jeans-nya terlempar, mendarat di atas tumpukan koran. Matanya nanar mencari seseorang yang tidak kunjung ditemukan. Setiap sudut ruangan terasa seperti jebakan."Kamu di mana, Enzy? Kenapa nggak jawab?!" Renald berteriak lagi, suaranya serak. Darah di dalam tubuhnya mendidih. Amarahnya memuncak seperti gelombang pasang yang siap menerjang. Napasnya memburu, memancarkan bau alkohol yang menusuk hidung, memenuhi udara lembap di dalam rumah. Punggungnya membungkuk, kepalanya pusing, dan seluruh tubuhnya terasa memberat."ENZY! DASAR PEREMPUAN SIALAN! DI MANA KAMU?!" Tangan Renald mengepal. Ia membanting tubuhnya ke atas sofa usang, membuat debu beterbangan. Pegas-pegas sofa itu mengeluh di bawah bebannya. Kepalanya terasa dipukul-pukul dari dalam, perutnya terasa kosong dan perih, seperti ada lubang yang menganga."Iya, Mas? Ada apa, sih?" Suara Enzy bergetar, tergesa-ge
Di sebuah kafe di pojok mall yang tenang, Amora menyesap boba milk tea-nya. Ia menatap Dheanda, sahabatnya, yang duduk di seberangnya. "Bang Aiden, gimana? Masih galak juga, De?" tanyanya, suaranya pelan dan penuh selidik.Dheanda tertawa kecil, memegang cangkir boba milk tea-nya. "Ya, begitulah, Mo. Tapi, sekarang aku udah mulai terbiasa. Jadi, udah nggak apa-apa," jawab Dheanda, matanya tersenyum. "Awal-awal sih, aku sering nangis. Setiap kali dimarahi, rasanya mau langsung resign. Pulang ke rumah, aku ngadu ke bapak, 'Pak, aku mau berhenti kerja aja. Atasan aku galak banget.' Eh Bapak malah cuma ketawa, 'Ya udah, sabar aja, namanya juga kerja. Nggak semua bos baik.' Tapi sekarang, udah kebal, Mo. Malah kadang aku yang pengen marah balik. Tapi nggak jadi, takut dipecat," tambahnya sambil bercanda."Wah, hebat kamu, De! Aku aja kalau dimarahin dia, rasanya pengen ngambek dan nggak mau pulang ke rumah," sahut Amora, menyilangkan kedua kakinya. "Emangnya, dia marahnya separah apa, si







