MasukBeberapa hari berikutnya, Rael menjalani rutinitas yang lebih teratur. Pagi ia berlatih ringan di halaman, siang ia membaca di perpustakaan dengan batas waktu yang ditentukan, dan malam ia beristirahat tepat waktu. Perlahan, warna di wajahnya mulai kembali, matanya tak lagi tampak redup seperti dulu.Halim memperhatikan perubahan itu dengan hati tenang. Ia tahu, anak ini bukan sembarang bocah. Di balik tubuhnya yang masih lemah, tersimpan ketajaman naluri dan daya pikir yang jarang dimiliki orang dewasa sekalipun.Suatu sore, saat langit mulai berwarna oranye, Halim memanggil Rael ke ruang kerjanya. Meja kayu besar di tengah ruangan dipenuhi peta kerajaan, laporan perdagangan, dan catatan pertahanan. Rael berdiri di ambang pintu, kagum sekaligus penasaran.“Masuklah,” ujar Halim tanpa menoleh. “Sudah saatnya kau tahu sedikit tentang tempat yang ingin kau datangi.”Rael melangkah pelan mendekat. Di atas meja terbentang peta besar Kerajaan Devaria, dengan tinta merah yang menandai beber
Tatapannya kemudian terpaku pada halaman buku yang masih terbuka. Nama keluarga Rael terpampang jelas. Halim menghela napas panjang.“Sepertinya dia sudah membaca terlalu banyak.”Mak Risa segera menyiapkan ramuan dan obat. Ia mengangkat kepala Rael dengan hati-hati dan menyentuh pipinya yang dingin.“Anak ini keras kepala… tapi aku bisa lihat matanya. Ia menyimpan beban jauh lebih besar dari yang ia akui,” gumam Mak Risa lirih.Halim mengangguk, wajahnya serius.“Kita harus mempercepat rencana itu.”Mak Risa menatap suaminya, cemas. “Kau yakin? Kerajaan sedang diawasi. Jika mereka tahu kita membantu…—”“Kita sudah terlibat sejak kita menolongnya,” jawab Halim mantap. “Dan jika anak ini benar, keluarga kerajaan mungkin menyembunyikan sesuatu yang besar.”Tangan Rael bergerak sedikit, napasnya bergetar. Mak Risa menatapnya lembut.“Kau tak sendiri lagi, Nak. Mulai sekarang, kami akan menjagamu.”Sore menjelang ketika Rael perlahan membuka mata. Pandangannya masih kabur, cahaya matahari
Halim menghela napas panjang sambil menggeleng pelan. Ia tahu Rael bukan tipe yang diam dan patuh begitu saja.Mak Risa yang memperhatikan interaksi mereka hanya tersenyum samar. Sebelum ahirnya mereka berdua berangkat Bersama ke istana, jarak yang di tempuh tidak jauh dengan menggunakan kuda, di rumah mereka juga hanya ada satu pelayan yang kadang datang kadang pula tidak, mereka tak mau memiliki banyak pekerja karena hal itu merepotkan. “Kau sebaiknya berhati-hati, Halim,” ucapnya lembut, kemudian berhenti sejenak, sebelum akhirnya dilanjukan, “Anak itu… pikirannya jauh lebih cepat dari usia tubuhnya.” “Justru itu yang membuatku khawatir,” jawabnya yang tidak terlalu khawatir.Rael mengamati pintu yang tertutup. Kesempatan kini berada di tangannya. Dengan semangat yang kembali menyala, ia mulai mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.Baiklah, saatnya mencari tahu siapa sebenarnya keluarga yang menampungku… dan seberapa dalam kekuatan mereka bisa membawaku ke Kerajaan itu.Rael
“Aku ingin ke Kerajaan.”Halim sontak menoleh, seolah baru saja mendengar sesuatu yang mustahil. Ia mengira Rael tidak akan tertarik dengan Raja yang terkenal kejam, namun ternyata dugaan itu jauh meleset.“Kau ingin ke Kerajaan?” ulang Halim, memastikan. “Lalu apa yang akan kau lakukan di sana?”“Mengacau,” jawab Rael serius tanpa berkedip. Namun beberapa detik kemudian ia tergelak kecil, seakan ia sendiri tahu betapa gila kedengarannya. “Ayolah, Paman. Kau tahu aku disiksa. Tentu saja aku akan mengadu.”“Tapi apa kau yakin Raja akan percaya?” Halim mengerutkan alis, ragu.“Jelas Raja tidak akan percaya padaku,” balas Rael lugas. “Tapi aku akan urus itu nanti.”“Sepertinya kau tidak yakin,” Halim menimpali, mencoba membaca wajah Rael.“Tentu saja,” Rael mengangguk pelan, jujur pada ketidakpastiannya sendiri. “Karena aku belum pernah melihat Raja dan belum memahami sistem kerajaan. Jika diibaratkan berperang tanpa tahu medan… itu hanya akan membunuhku.”Halim tertegun, lalu tertawa pu
Pagi hari itu, Rael terbangun. Tubuhnya terasa lebih ringan dibanding sebelumnya, meski masih ada sedikit nyeri di beberapa bagian. Ia menatap langit-langit ruangan yang asing, lalu menggerakkan kepala perlahan untuk melihat sekeliling.Ruang itu sederhana—hanya sebuah dipan kayu, meja kecil dengan beberapa ramuan, dan jendela yang membiarkan sinar matahari masuk lembut. Dari aroma kayu dan suara ayam berkokok di luar, Rael tahu ia berada di rumah salah satu penduduk desa.“Syukurlah kau sadar…”Mak Risa muncul di ambang pintu sambil membawa mangkuk berisi air hangat. Senyum lega terpancar di wajahnya. “Bagaimana perasaanmu, Nak?”Rael mencoba duduk, meski sedikit goyah. “Lebih baik… dari semalam.”“Jangan memaksakan diri dulu,” ujar Mak Risa menahan bahunya pelan. “Kau masih perlu banyak istirahat.”Tak lama kemudian, Halim menyusul masuk. Wajahnya yang semalam penuh kecemasan kini tampak tenang. “Kau membuat kami khawatir, Rael. Kami menemukanku di hutan dalam keadaan pingsan.”“Apa
Mak Risa berjalan pelan mendekati suaminya yang masih duduk di sisi ranjang. Ia bisa melihat jelas kegelisahan di wajah Halim—alis yang berkerut dan tangan yang tak henti mengepal.“Kenapa kau terlihat begitu resah?” tanya Mak Risa perlahan, duduk di sebelahnya. “Apakah ada informasi penting yang kau dapat hari ini?”Halim menghela napas panjang, seolah menimbang apakah ia harus mengatakannya atau tidak. Namun pada akhirnya ia menatap istrinya dengan sungguh-sungguh.“Iya… aku mendapati keluarga itu benar-benar mencurigakan,” ucapnya lirih namun tegas. “Banyak hal yang mereka sembunyikan. Mulai dari ladang yang sengaja dibakar hingga bau kimia yang menguar di bekas gudang.”Mak Risa terpana. Jemarinya yang tadi ia letakkan di pangkuan kini saling menggenggam lebih erat.“Tapi…” Halim memalingkan wajahnya, suara berat menahan kekesalan, “raja sudah percaya sepenuhnya pada keluarga Devan. Mereka sudah lama menyumbang hasil panen dan membantu kerajaan. Sulit bagiku mengungkapkan kecurigaa







