MasukSuara yang membuat Rael enggan untuk bangun, pengawal itu menarik paksa Rael unutk keluar, ia benar-benar kesakitan, sesekali Rael mencoba untuk melawan, tapi sayang tenaganya tidak cukup kuat untuk bisa melawan dua orang pengawal.
“Sial tubuh ini terlalu Lemah untuk melawan, kenapa pula anak ini di siksa begitu kejam,” batin Raka yang tidak bisa tenang berada di tubuh Rael, ia bahakan mearasakan kesakitan yang sama. “Lepaskan aku, aku bisa jalan sendiri kalian anggap akua nak kecil apa?” Rael memberontak mencoba melepaskan diri, ia tidak mau di seret yang membuat badannya jadi lebih sakit. “Anak ini mulai berulah, jalan sana!” bentak pengawal sembalri mendorong tubuh kecil Rael Rael hampir jatuh tersungkur, tapi dengan cepat ia menahan tubuhnya agar tidak terjatuh, dari kejauhan sudah bayak orang-orang yang sedang berkumpul seperti ada sesuatu yang harus ia lakukan, tapi melihat perlakukan pengawal yang tidak baik ia tahu pasti bukan hal baik yang akan dilakukan. Sesampainya di sana, ia di sodori makanan sebagai sarapan, Rael menatap kesal namun ia lapar akhirnya ia memakan makannan itu. Selanjutnya ia di pakasa berkeja di sebuah kebun Dimana orang oaring di san ajuga mlakukan hal yang sama, dengan mencangkul tanah yang tandus, pengairan yang tidak bagus membuat Real dia melihat ke sia-siaan tenaga yang mereka gunakan. “Apa yang sebenarnya sedang mereka kerjakan, kerja hanya pake tenaga tampa otak, cuman dapat capek saja,” guman Rael yang sedari tadi mengamati lahan di hadapannya yang begitu luas, orang-oprang yang di pakasa berkerja membuat ia geram, tapi sayang ia sendiri tak cukup kua untuk melawan, hingga akhirnya seorang sengaja mendorong Rael yang sedari tadi diam saja. “Apa yang sedang kau lakukan. Kenapa hanya melamun, kerja sana!!!” Pengawal tak segan memukul Real dengan tubuh lemahanya itu. “Bajiagan!” Rael kesal dan menarik cangkul untuk memukul pengawal itu, kesabarannya ada batasnya. Tapi para pekerja di sana langsung menghentikan Rael dan berusaha untuk menenangkannya. Rael heran dengan semua orang yang mencoba menahannya. “Kau jangan melawan, bisa-bisa kami yang di pukuli semua,” Ucap salah seorang yang sebaya dengannya terlihat begitu ketakuan. Rael melihat semua pekerja yang benar-benar tak berdaya, akhirnya ia mengurungkan niatnya. Pengawal itu menatap dengan sombong, dasar rendahan” hinanya sambil berlalau pergi dengan muka sombong membuat Rael mengepalkan tangannya menahan amarah. “Kenapa kau menghentikanku, kalian semua pasti tersiksa,” bisik Rael pada orang yang tadi menahannya, ia tak bisa bicara keras-keras karena pengawal mengewasinya terpakasa Rael berkerja sambil bertanya pada orang itu. “Kita semua bisa mati karena ulahmu, mereka tidak segan untuk membunuh kami,” jawabnya seakan memang mereka sering disiksa oleh para pengawal di sana, suasana jadi tidak menyenangkan untuk Rael. “Kenapa kau mau diperbudak?” tanya Rael pelan. Ia menatap anak kurus yang tadi sempat menahannya. Nada suaranya terdengar bingung, sebab ia benar-benar tidak mengerti aturan di tempat itu. Anak itu menoleh, raut wajahnya penuh heran. “Kau lupa ingatan apa bagaimana? Kita sudah lama begini… jangan-jangan kau juga lupa siapa aku?” katanya dengan alis berkerut. Rael mengangguk pelan, mencoba tersenyum tipis. Ia memang tidak tahu siapa anak itu. “Benar, rasa lapar itu sudah bikin kau hilang ingatan,” lanjut anak itu sambil menghela napas. “Aku Tian. Kita sudah lama kerja di sini. Dan semua ini atas perintah Nyonya rumah… bibimu sendiri.” “Hah? Bagaimana bisa?” Rael tertegun. Ucapan itu terasa janggal di telinganya. Tian menunduk sebentar lalu menatap ke arah bangunan besar di kejauhan. “Aku juga nggak tahu urusan keluargamu. Yang jelas keluargamu memang kaya raya. Mereka punya banyak tanah pertanian. Tapi cara mereka memperlakukan orang-orang di sini kejam. Kita dipaksa kerja terus, tanpa pilihan.” Rael menggigit bibir, pikirannya kacau. “Apa nggak ada tindakan dari pemimpin di atas? Raja, misalnya?” “Raja mana peduli dengan wilayah ini,” gerutu Tian kesal, melihat Rael seperti orang asing. Biasanya Tian bisa dengan mudah menyalahkan Rael atas tindakan keluarganya, atau kadang merasa kasihan padanya. Tapi sekarang semua itu percuma, karena Rael benar-benar terlihat tak mengingat apa pun. “Bagaimana bisa! Aku akan mengadukan kekejaman ini pada Raja,” kata Rael marah melihat perlakuan biadab para pengawal. Bahkan ia sendiri tidak tahu siapa pimpinan mereka. “Itu yang ku tunggu sejak lama. Bagaimana caramu melaporkan keburukan Nyonya Rumah pada Raja, sedangkan kau saja disiksa begini?” sahut Tian, heran dengan setiap kata yang keluar dari mulut Rael. “Apakah tak ada dari kalian yang pernah mencoba keluar dari neraka ini?” tanya Rael penasaran, ingin tahu bagaimana orang-orang bisa bertahan dari siksaan tanpa berusaha kabur. “Ada, banyak malah. Tapi mereka semua dipindahkan ke ladang batu—tempat yang hanya mengantar nyawa. Banyak yang mati gara-gara hukuman kejam itu,” jawab Tian, menganggap Rael benar-benar kehilangan ingatan, sehingga ia lebih mudah menjelaskan segalanya. Pemandangan itu sangat berbeda dengan Rael sebelumnya, yang jarang bicara, lebih sering diam, bahkan terlihat menyedihkan karena seperti mayat hidup. Padahal, sebenarnya ia juga korban kebiadaban bibinya yang haus akan kekuasaan—keluarga Arvendral. “Aku harus menyelidiki Nyonya Rumah itu,” kata Rael sambil menatap bangunan megah yang tak jauh dari ladang tempat ia bekerja. Mencangkul bukanlah hal sulit bagi Rael, tapi ia merasa kesal karena tahu apa yang dilakukannya sekarang hanya sia-sia belaka. Keluarga Arvendral adalah keluarga terkaya di kekaisaran, pengaruhnya sangat kuat. Tak banyak yang tahu keburukan yang telah mereka lakukan. Hal itu jelas membuat orang-orang di sana tidak ada yang benar-benar menyukai keluarga Arvendral. Tian menatap heran pada apa yang baru saja Rael katakan. Baru kemarin Rael benar-benar tampak tak ingin hidup, bahkan enggan ikut campur. Ia seperti mayat hidup yang hanya mengikuti semua instruksi tanpa berani memberontak. Kini Rael benar-benar terlihat seperti orang lain yang tidak Tian kenal. Tangan Tian menyentuh kening Rael, memastikan jika ia baik-baik saja. Namun suhu tubuh Rael normal, tidak ada tanda-tanda demam. “Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Rael sambil menyingkirkan tangan Tian yang terlihat keheranan. “Kau berbeda dari sebelumnya. Tidak mungkin kau hanya hilang ingatan, ada yang tidak beres,” jawab Tian. Ia benar-benar merasa asing dengan sikap Rael sekarang. Bahkan ekspresi marah dan geram yang ditunjukkan Rael jelas berbeda dari biasanya.Tatapannya kemudian terpaku pada halaman buku yang masih terbuka. Nama keluarga Rael terpampang jelas. Halim menghela napas panjang.“Sepertinya dia sudah membaca terlalu banyak.”Mak Risa segera menyiapkan ramuan dan obat. Ia mengangkat kepala Rael dengan hati-hati dan menyentuh pipinya yang dingin.“Anak ini keras kepala… tapi aku bisa lihat matanya. Ia menyimpan beban jauh lebih besar dari yang ia akui,” gumam Mak Risa lirih.Halim mengangguk, wajahnya serius.“Kita harus mempercepat rencana itu.”Mak Risa menatap suaminya, cemas. “Kau yakin? Kerajaan sedang diawasi. Jika mereka tahu kita membantu…—”“Kita sudah terlibat sejak kita menolongnya,” jawab Halim mantap. “Dan jika anak ini benar, keluarga kerajaan mungkin menyembunyikan sesuatu yang besar.”Tangan Rael bergerak sedikit, napasnya bergetar. Mak Risa menatapnya lembut.“Kau tak sendiri lagi, Nak. Mulai sekarang, kami akan menjagamu.”Sore menjelang ketika Rael perlahan membuka mata. Pandangannya masih kabur, cahaya matahari
Halim menghela napas panjang sambil menggeleng pelan. Ia tahu Rael bukan tipe yang diam dan patuh begitu saja.Mak Risa yang memperhatikan interaksi mereka hanya tersenyum samar. Sebelum ahirnya mereka berdua berangkat Bersama ke istana, jarak yang di tempuh tidak jauh dengan menggunakan kuda, di rumah mereka juga hanya ada satu pelayan yang kadang datang kadang pula tidak, mereka tak mau memiliki banyak pekerja karena hal itu merepotkan. “Kau sebaiknya berhati-hati, Halim,” ucapnya lembut, kemudian berhenti sejenak, sebelum akhirnya dilanjukan, “Anak itu… pikirannya jauh lebih cepat dari usia tubuhnya.” “Justru itu yang membuatku khawatir,” jawabnya yang tidak terlalu khawatir.Rael mengamati pintu yang tertutup. Kesempatan kini berada di tangannya. Dengan semangat yang kembali menyala, ia mulai mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.Baiklah, saatnya mencari tahu siapa sebenarnya keluarga yang menampungku… dan seberapa dalam kekuatan mereka bisa membawaku ke Kerajaan itu.Rael
“Aku ingin ke Kerajaan.”Halim sontak menoleh, seolah baru saja mendengar sesuatu yang mustahil. Ia mengira Rael tidak akan tertarik dengan Raja yang terkenal kejam, namun ternyata dugaan itu jauh meleset.“Kau ingin ke Kerajaan?” ulang Halim, memastikan. “Lalu apa yang akan kau lakukan di sana?”“Mengacau,” jawab Rael serius tanpa berkedip. Namun beberapa detik kemudian ia tergelak kecil, seakan ia sendiri tahu betapa gila kedengarannya. “Ayolah, Paman. Kau tahu aku disiksa. Tentu saja aku akan mengadu.”“Tapi apa kau yakin Raja akan percaya?” Halim mengerutkan alis, ragu.“Jelas Raja tidak akan percaya padaku,” balas Rael lugas. “Tapi aku akan urus itu nanti.”“Sepertinya kau tidak yakin,” Halim menimpali, mencoba membaca wajah Rael.“Tentu saja,” Rael mengangguk pelan, jujur pada ketidakpastiannya sendiri. “Karena aku belum pernah melihat Raja dan belum memahami sistem kerajaan. Jika diibaratkan berperang tanpa tahu medan… itu hanya akan membunuhku.”Halim tertegun, lalu tertawa pu
Pagi hari itu, Rael terbangun. Tubuhnya terasa lebih ringan dibanding sebelumnya, meski masih ada sedikit nyeri di beberapa bagian. Ia menatap langit-langit ruangan yang asing, lalu menggerakkan kepala perlahan untuk melihat sekeliling.Ruang itu sederhana—hanya sebuah dipan kayu, meja kecil dengan beberapa ramuan, dan jendela yang membiarkan sinar matahari masuk lembut. Dari aroma kayu dan suara ayam berkokok di luar, Rael tahu ia berada di rumah salah satu penduduk desa.“Syukurlah kau sadar…”Mak Risa muncul di ambang pintu sambil membawa mangkuk berisi air hangat. Senyum lega terpancar di wajahnya. “Bagaimana perasaanmu, Nak?”Rael mencoba duduk, meski sedikit goyah. “Lebih baik… dari semalam.”“Jangan memaksakan diri dulu,” ujar Mak Risa menahan bahunya pelan. “Kau masih perlu banyak istirahat.”Tak lama kemudian, Halim menyusul masuk. Wajahnya yang semalam penuh kecemasan kini tampak tenang. “Kau membuat kami khawatir, Rael. Kami menemukanku di hutan dalam keadaan pingsan.”“Apa
Mak Risa berjalan pelan mendekati suaminya yang masih duduk di sisi ranjang. Ia bisa melihat jelas kegelisahan di wajah Halim—alis yang berkerut dan tangan yang tak henti mengepal.“Kenapa kau terlihat begitu resah?” tanya Mak Risa perlahan, duduk di sebelahnya. “Apakah ada informasi penting yang kau dapat hari ini?”Halim menghela napas panjang, seolah menimbang apakah ia harus mengatakannya atau tidak. Namun pada akhirnya ia menatap istrinya dengan sungguh-sungguh.“Iya… aku mendapati keluarga itu benar-benar mencurigakan,” ucapnya lirih namun tegas. “Banyak hal yang mereka sembunyikan. Mulai dari ladang yang sengaja dibakar hingga bau kimia yang menguar di bekas gudang.”Mak Risa terpana. Jemarinya yang tadi ia letakkan di pangkuan kini saling menggenggam lebih erat.“Tapi…” Halim memalingkan wajahnya, suara berat menahan kekesalan, “raja sudah percaya sepenuhnya pada keluarga Devan. Mereka sudah lama menyumbang hasil panen dan membantu kerajaan. Sulit bagiku mengungkapkan kecurigaa
Cukup lama Halim berada di sana sehingga ia mulai menyadari sesuatu. Ada bau bahan kimia yang menusuk hidungnya, meninggalkan kecurigaan bahwa ada hal yang sengaja ditutupi. Namun, ia memilih mundur untuk sementara.“Baiklah, aku tidak akan ke sana,” ujarnya, pura-pura menurut sebelum melangkah menuju bagian lain dari area yang terbakar.Ia memeriksa ladang yang juga hangus dilalap api. Kali ini, aromanya berbeda—jelas, bau minyak tanah tercium kuat di setiap sudut. Halim mengernyit, tubuhnya menegang oleh dugaan yang semakin mendekati kebenaran.Apakah ladang ini sengaja dibakar? pikirnya. Kenapa bau minyak tanah ada di mana-mana?Ia melirik pekerja-pekerja yang sibuk merapikan puing. Tatapan mereka kosong, menyiratkan tekanan besar yang tak terlihat. Bertanya pada mereka hanya akan memancing jawaban yang sama: pura-pura tidak tahu.Halim menarik napas panjang.“Kalau aku bertanya pada mereka, tak akan ada yang berani bicara,” gumamnya pelan. “Sebaiknya aku tunggu Rael siuman. Mungki






