Share

Bab 2 Dunia Lain

last update Last Updated: 2025-09-04 21:16:31

Rael hanya menatap langit-langit rumahnya, menghela napas. Ia merasa kesal. Hingga ia tertidur dalam kondisi lapar.

Brak!

Pintu reyot itu akhirnya jatuh setelah ditendang untuk ketiga kalinya. Seorang pemuda berbaju penjaga berdiri dengan wajah malas, menatap Rael yang masih duduk di sudut ruangan.

"Apa kau tuli juga sekarang?" dengusnya. "Nyonya besar menyuruhmu ikut ke ladang, Hari ini jadwal pengolahan tanah.

Rael mengerjap pelan, masih berusaha mengusir rasa kantuk. Perutnya melilit, tapi tak ada makanan untuk mengisi. Ia tahu, jika melawan perintah, satu-satunya yang menantinya hanyalah cambuk atau hukuman yang lebih buruk. Tubuh Rael memnyimpan jelas ingatannya. Jadi ia tahu apa yang akan terjadi jika ia menolak.

Dengan tubuh lemah, ia bangkit perlahan. Kakinya sempat goyah, hampir terjatuh. Penjaga itu mendengus geli, seakan melihat pemandangan yang menghibur.

“Cepat! Jangan buat Nyonya menunggu. Kau kira bisa tidur seenaknya hanya karena lahir dari darah bangsawan? Sampah sepertimu hanya berguna saat mencangkul!”

Rael tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menggenggam kain lusuh yang menutupi tubuh kurusnya, lalu melangkah keluar rumah reyot itu.

Udara pagi menusuk, bercampur bau tanah basah. Di kejauhan, ladang keluarga bangsawan kecil itu terbentang, tapi para pekerja yang memenuhi tanah bukan budak atau rakyat biasa—melainkan anak-anak buangan dan orang-orang tanpa nama. Mereka bekerja keras, menebar benih dan membalik tanah dengan cangkul, sementara bangsawan-bangsawan kecil hanya mengawasi dari tepi, tertawa di bawah teduhnya payung.

Rael menarik napas panjang. Tubuhnya lemah, tangannya gemetar menggenggam cangkul. Tapi justru di ladang itu, untuk pertama kalinya, pikirannya mulai bergerak.

Ia menatap alur tanah yang kacau, cara orang-orang bekerja yang boros tenaga, dan sistem pengolahan yang hanya mengandalkan tradisi turun-temurun. Di kepalanya, pola-pola baru mulai terbentuk.

Kalau mereka terus bekerja begini, hasil panen tak akan pernah cukup. Tapi… jika aku bisa mengubah cara bercocok tanam mereka, setidaknya kelaparan ini bisa dikurangi.

Senyum samar terbit di wajahnya, meski peluh belum juga menetes.

Rael mengangkat cangkul dengan sisa tenaga, lalu menancapkannya ke tanah kering. Satu… dua… tiga kali. Nafasnya sudah memburu. Tubuh yang lemah tak mampu bersaing dengan pekerja lain. Namun matanya tetap awas, memperhatikan.

Ia melihat petani mencangkul tanah asal-asalan, membuat gundukan tak rata. Benih ditebar sembarangan tanpa pola, air irigasi dibiarkan mengalir begitu saja sampai sebagian lahan tergenang dan sebagian lain kering.

Rael mendekat, mencoba memberi saran pelan, “Kalau kita gali parit kecil di antara petak, air bisa mengalir lebih rata. Tanah di ujung sana tidak akan kering.”

Seorang anak buangan yang lebih tua darinya menoleh, mendengus. “Kau sok pintar, ya? Sudah cukup susah kita disuruh kerja, jangan tambah banyak bicara. Cepat cangkul saja, kalau tidak—” ia melirik penjaga yang mengawasi.

Rael terdiam. Ia tahu, berbicara banyak hanya akan mendatangkan masalah. Tapi pikirannya tak bisa berhenti. Ia menggambar garis-garis sederhana di tanah dengan ujung kayu: pola segitiga, kotak, lalu jalur aliran air.

Salah seorang bocah kecil, lebih muda dari Rael, mendekat penasaran. “Apa itu? Kenapa kau bikin gambar aneh?”

Rael tersenyum tipis. “Kalau kita menanam dalam barisan seperti ini, lebih mudah menyiram, lebih cepat tumbuh, dan tidak banyak benih terbuang. Kau mau coba denganku?”

Bocah itu mengangguk ragu. Mereka berdua mulai mencangkul dengan cara berbeda: membuat alur lurus kecil, menebar benih dengan jarak teratur, lalu menutup tipis dengan tanah.

Awalnya hanya dianggap main-main. Tapi beberapa pekerja lain mulai melirik, heran dengan pola yang lebih rapi. Salah satu dari mereka berbisik, “Hmph, sampah bangsawan itu lagi-lagi sok pintar. Nanti kalau gagal, kita semua bisa dihukum.”

Rael mendengar bisikan itu, tapi ia tidak goyah. Tangannya terus bekerja meski tubuhnya bergetar. Dalam hatinya, sebuah keyakinan tumbuh.

Beberapa jam berlalu. Para pekerja mulai kelelahan, keringat bercampur dengan tanah. Sementara itu, jalur yang dibuat Rael terlihat berbeda: lurus, rapi, dan benih ditanam dengan jarak teratur.

Penjaga yang sedari tadi hanya duduk di bawah pohon, bangkit dan mendekat. Alisnya mengernyit melihat apa yang dilakukan Rael.

“Apa-apaan ini?” suaranya tajam. Ia menendang cangkul di tangan Rael hingga terlempar. “Siapa yang menyuruhmu membuat pola aneh seperti ini? Kau pikir kau lebih pintar dari para tetua yang sudah mencangkul sejak sebelum kau lahir?”

Rael menunduk, menahan amarah. “Aku hanya mencoba cara agar tanah lebih mudah dialiri air….”

“Diam!” bentak penjaga itu. “Sampah sepertimu hanya boleh menurut. Bukan sok jadi guru!”

Beberapa pekerja lain menunduk, pura-pura tak melihat. Mereka tahu, melawan hanya akan membawa bencana.

Bocah kecil yang tadi membantu Rael memberanikan diri bicara. “Tapi… Kak Rael hanya menunjukkan cara yang lebih mudah. Aku ikut mencoba, dan—”

Plak!

Tamparan keras mendarat di wajah bocah itu. Penjaga mendengus. “Kau juga belajar dari sampah ini? Hati-hati, kalau ladang gagal panen, kalian yang akan dilempar ke jalanan!”

Rael mengepalkan tangan, darah mengalir dari bibir bocah itu. Amarah mendidih di dadanya, tapi ia sadar tubuhnya terlalu lemah untuk melawan.

Dengan suara serak, ia menatap penjaga itu. “Jika panen kali ini gagal karena cara kami, aku yang akan menanggungnya. Tapi jika berhasil… apakah kau berani melapor pada Nyonya besar bahwa ada metode yang lebih baik?”

Penjaga itu terdiam sejenak, lalu tertawa mengejek. “Hahaha! Dasar tolol. Baiklah, lakukan sesukamu. Tapi kalau satu petak ini tidak menghasilkan lebih banyak dari yang lain, jangan salahkan aku kalau kau dibuang lebih hina dari anjing.”

Rael menghela napas panjang, menunduk. Dari sudut matanya, bocah kecil itu menatapnya penuh percaya.

Baik. Aku akan buktikan, bahkan dengan tubuh lemah ini, pikiranku cukup untuk me Hari-hari berlalu, Rael tetap bekerja di ladang dengan tubuh lemah. Jalur tanam yang ia buat semakin jelas terlihat berbeda dari petak lain. Bocah kecil yang membantunya pun mulai semangat, meski harus menerima cemoohan dari pekerja lain.

kabar tentang “cara aneh” Rael akhirnya sampai ke telinga Nyonya besar—istri kepala keluarga bangsawan kecil yang membuang Rael.

Sore itu, saat para pekerja hendak pulang, kereta sederhana berhenti di tepi ladang. Dari dalam turun seorang wanita paruh baya dengan wajah dingin. Matanya menatap Rael seolah sedang menatap kotoran yang menempel di sepatunya.

“Jadi ini anak buangan yang berani mengubah cara kerja keluarga kami?” suaranya menusuk, penuh sinis.

Para pekerja buru-buru menunduk, tak ada yang berani menjawab. Rael berdiri kaku, menunduk hormat meski jantungnya berdetak keras ada rasa benci yang begitu kuat, perasaan pemilik tubuh asli itu membuat Rael ikut menunduk, walau sebanarnya ia enggan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BAYANGAN PENASEHAT AGUNG   5. Rencana Untuk Kabur

    Pelayan tua itu langsung menutup mulutnya rapat-rapat, wajahnya pucat pasi. Rael refleks bersembunyi di balik rak kayu berisi karung gandum, menahan napas. Detak jantungnya terdengar jelas di telinganya sendiri, seperti genderang perang.Penjaga itu melangkah masuk, matanya menyapu ruangan. Ia mendekat ke meja, lalu berhenti tepat di depan rak tempat Rael bersembunyi. Tangannya bergerak, meraih gagang pedang.“Keluar!” bentaknya.Rael merasakan keringat dingin mengalir di pelipis. Satu detik saja terlambat, pedang itu bisa menembus tubuhnya.Namun tiba-tiba, pelayan tua maju dengan cepat. “Maaf, Tuan! Itu saya… saya hanya bicara sendiri. Umur saya sudah tua, kadang saya melamun saat bekerja.”Penjaga menatapnya tajam, ragu beberapa saat. Lalu, setelah menggeram, ia menurunkan tangannya. “Jangan buat masalah lagi. Nyonya besar tidak suka pelayan bodoh berkeliaran malam-malam.”Dengan langkah berat, ia keluar, menutup pintu dapur keras-keras.Rael masih berjongkok, napasnya berat, jari-

  • BAYANGAN PENASEHAT AGUNG   Bab 4 Tempat Hukuman

    Hari-hari pertama di ladang batu adalah mimpi buruk. Panas matahari membakar kulit, debu masuk ke paru-paru, dan tangan Rael melepuh karena dipaksa memecah batu dengan palu tumpul. Para penjaga hanya tertawa setiap kali ada yang roboh, lalu menendangnya agar bangkit kembali.Bagi Rael, rasa sakit bukanlah yang paling mengganggu. Ia terbiasa menahan penderitaan. Yang membuatnya resah adalah… semua ini terasa terlalu kebetulan.Ia mengingat kembali. Sejak keberhasilan panen itu, sikap Nyonya besar tiba-tiba berubah tajam. Bukan hanya dingin, tapi seolah-olah ingin menghapus keberadaannya sama sekali. Lalu, tanpa alasan jelas, ia dipindahkan ke ladang batu—tempat yang bahkan budak jarang bisa bertahan.Kenapa secepat ini? pikir Rael. Seolah-olah mereka tidak hanya ingin membuangku, tapi memastikan aku mati tanpa jejak.Kecurigaan itu makin kuat ketika malamnya, saat semua pekerja tertidur, ia mendengar bisikan dua penjaga yang sedang berjaga.“Anak itu? Sudah pasti tak bertahan lama.”“H

  • BAYANGAN PENASEHAT AGUNG   Bab 3 Kebencian Yang Mendalam

    Nyonya besar mendekat, lalu menendang barisan tanah yang sudah Rael susun dengan susah payah. Benih tercecer. “Siapa memberimu izin melakukan ini? Kau pikir dirimu siapa?”Rael menggenggam ujung bajunya, menahan diri. “Saya hanya… mencoba cara baru agar hasil panen lebih baik.”Wanita itu menyipitkan mata, lalu menoleh pada penjaga. “Kalau nanti satu petak ini gagal, buang dia ke jalan. Jangan beri makan. Biarkan mati kelaparan.”Penjaga itu langsung mengangguk, tersenyum sinis ke arah Rael. “Seperti yang Nyonya kehendaki.”Bocah kecil yang berdiri di belakang Rael hampir bersuara, tapi Rael meraih tangannya, menggenggam erat—memberi isyarat untuk diam.Dalam hati, Rael mendesis. Jadi taruhan nyawaku hanya pada sepetak tanah ini. Baiklah. Aku akan buktikan pada mereka semua.Langit sore memerah. Di bawah tatapan penuh kebencian, Rael menunduk, tapi matanya menyala dengan tekad yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.ngguncang kebodohan mereka.Beberapa minggu berlalu. Musim tanam berge

  • BAYANGAN PENASEHAT AGUNG   Bab 2 Dunia Lain

    Rael hanya menatap langit-langit rumahnya, menghela napas. Ia merasa kesal. Hingga ia tertidur dalam kondisi lapar.Brak!Pintu reyot itu akhirnya jatuh setelah ditendang untuk ketiga kalinya. Seorang pemuda berbaju penjaga berdiri dengan wajah malas, menatap Rael yang masih duduk di sudut ruangan."Apa kau tuli juga sekarang?" dengusnya. "Nyonya besar menyuruhmu ikut ke ladang, Hari ini jadwal pengolahan tanah.Rael mengerjap pelan, masih berusaha mengusir rasa kantuk. Perutnya melilit, tapi tak ada makanan untuk mengisi. Ia tahu, jika melawan perintah, satu-satunya yang menantinya hanyalah cambuk atau hukuman yang lebih buruk. Tubuh Rael memnyimpan jelas ingatannya. Jadi ia tahu apa yang akan terjadi jika ia menolak.Dengan tubuh lemah, ia bangkit perlahan. Kakinya sempat goyah, hampir terjatuh. Penjaga itu mendengus geli, seakan melihat pemandangan yang menghibur.“Cepat! Jangan buat Nyonya menunggu. Kau kira bisa tidur seenaknya hanya karena lahir dari darah bangsawan? Sampah sep

  • BAYANGAN PENASEHAT AGUNG   Bab 1 Tertimpa Musibah

    "Apa ini... rumah sakit?" Matanya… terasa aneh. Pandangannya lebih tajam, tapi tubuhnya sangat berat. Napasnya pendek. Jantungnya berdetak cepat seperti habis lari maraton, padahal ia hanya berbaring. Tapi suara yang keluar bukan suara Raka. Lebih ringan. Lebih muda. Lebih… asing. Ia mencoba duduk. Tubuhnya gemetar hebat. Sekujur tangan kurus. Terlalu kurus. Ia menatap ke bawah, dan yang ia lihat adalah tubuh seorang remaja laki-laki dalam pakaian robek, penuh lumpur dan darah kering. "Apa ini cosplay?" Tidak. Ini bukan dunia yang ia kenal. Beberapa menit kemudian, sebuah notifikasi muncul dalam kepalanya. Tapi bukan seperti yang biasa ada di novel-novel isekai. Bukan sistem, bukan panel level-up. Hanya satu kalimat sederhana—dan tidak membantu: [Transmigrasi Selesai.] [Nama: Rael Arven De Lantheim. Usia: 17 tahun. Status: Anak buangan. Nilai: Tidak berguna.] Satu jam kemudian, Raka—sekarang Rael—sudah duduk di tanah, bersandar pada batang pohon tua, meratapi nasibnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status