Share

Bab 2 Dunia Lain

Penulis: PengkhayalMalam
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-04 21:16:31

Suara yang membuat Rael enggan untuk bangun, pengawal itu menarik paksa Rael unutk keluar, ia benar-benar kesakitan, sesekali Rael mencoba untuk melawan, tapi sayang tenaganya tidak cukup kuat untuk bisa melawan dua orang pengawal.

“Sial tubuh ini terlalu Lemah untuk melawan, kenapa pula anak ini di siksa begitu kejam,” batin Raka yang tidak bisa tenang berada di tubuh Rael, ia bahakan mearasakan kesakitan yang sama.

“Lepaskan aku, aku bisa jalan sendiri kalian anggap akua nak kecil apa?” Rael memberontak mencoba melepaskan diri, ia tidak mau di seret yang membuat badannya jadi lebih sakit.

“Anak ini mulai berulah, jalan sana!” bentak pengawal sembalri mendorong tubuh kecil Rael

Rael hampir jatuh tersungkur, tapi dengan cepat ia menahan tubuhnya agar tidak terjatuh, dari kejauhan sudah bayak orang-orang yang sedang berkumpul seperti ada sesuatu yang harus ia lakukan, tapi melihat perlakukan pengawal yang tidak baik ia tahu pasti bukan hal baik yang akan dilakukan.

Sesampainya di sana, ia di sodori makanan sebagai sarapan, Rael menatap kesal namun ia lapar akhirnya ia memakan makannan itu. Selanjutnya ia di pakasa berkeja di sebuah kebun Dimana orang oaring di san ajuga mlakukan hal yang sama, dengan mencangkul tanah yang tandus, pengairan yang tidak bagus membuat Real dia melihat ke sia-siaan tenaga yang mereka gunakan.

“Apa yang sebenarnya sedang mereka kerjakan, kerja hanya pake tenaga tampa otak, cuman dapat capek saja,” guman Rael yang sedari tadi mengamati lahan di hadapannya yang begitu luas, orang-oprang yang di pakasa berkerja membuat ia geram, tapi sayang ia sendiri tak cukup kua untuk melawan, hingga akhirnya seorang sengaja mendorong Rael yang sedari tadi diam saja.

“Apa yang sedang kau lakukan. Kenapa hanya melamun, kerja sana!!!” Pengawal tak segan memukul Real dengan tubuh lemahanya itu.

“Bajiagan!” Rael kesal dan menarik cangkul untuk memukul pengawal itu, kesabarannya ada batasnya.

Tapi para pekerja di sana langsung menghentikan Rael dan berusaha untuk menenangkannya. Rael heran dengan semua orang yang mencoba menahannya.

“Kau jangan melawan, bisa-bisa kami yang di pukuli semua,” Ucap salah seorang yang sebaya dengannya terlihat begitu ketakuan.

Rael melihat semua pekerja yang benar-benar tak berdaya, akhirnya ia mengurungkan niatnya.

Pengawal itu menatap dengan sombong, dasar rendahan” hinanya sambil berlalau pergi dengan muka sombong membuat Rael mengepalkan tangannya menahan amarah.

“Kenapa kau menghentikanku, kalian semua pasti tersiksa,” bisik Rael pada orang yang tadi menahannya, ia tak bisa bicara keras-keras karena pengawal mengewasinya terpakasa Rael berkerja sambil bertanya pada orang itu.

“Kita semua bisa mati karena ulahmu, mereka tidak segan untuk membunuh kami,” jawabnya seakan memang mereka sering disiksa oleh para pengawal di sana, suasana jadi tidak menyenangkan untuk Rael.

“Kenapa kau mau diperbudak?” tanya Rael pelan. Ia menatap anak kurus yang tadi sempat menahannya. Nada suaranya terdengar bingung, sebab ia benar-benar tidak mengerti aturan di tempat itu.

Anak itu menoleh, raut wajahnya penuh heran. “Kau lupa ingatan apa bagaimana? Kita sudah lama begini… jangan-jangan kau juga lupa siapa aku?” katanya dengan alis berkerut.

Rael mengangguk pelan, mencoba tersenyum tipis. Ia memang tidak tahu siapa anak itu.

“Benar, rasa lapar itu sudah bikin kau hilang ingatan,” lanjut anak itu sambil menghela napas. “Aku Tian. Kita sudah lama kerja di sini. Dan semua ini atas perintah Nyonya rumah… bibimu sendiri.”

“Hah? Bagaimana bisa?” Rael tertegun. Ucapan itu terasa janggal di telinganya.

Tian menunduk sebentar lalu menatap ke arah bangunan besar di kejauhan. “Aku juga nggak tahu urusan keluargamu. Yang jelas keluargamu memang kaya raya. Mereka punya banyak tanah pertanian. Tapi cara mereka memperlakukan orang-orang di sini kejam. Kita dipaksa kerja terus, tanpa pilihan.”

Rael menggigit bibir, pikirannya kacau. “Apa nggak ada tindakan dari pemimpin di atas? Raja, misalnya?”

“Raja mana peduli dengan wilayah ini,” gerutu Tian kesal, melihat Rael seperti orang asing. Biasanya Tian bisa dengan mudah menyalahkan Rael atas tindakan keluarganya, atau kadang merasa kasihan padanya. Tapi sekarang semua itu percuma, karena Rael benar-benar terlihat tak mengingat apa pun.

“Bagaimana bisa! Aku akan mengadukan kekejaman ini pada Raja,” kata Rael marah melihat perlakuan biadab para pengawal. Bahkan ia sendiri tidak tahu siapa pimpinan mereka.

“Itu yang ku tunggu sejak lama. Bagaimana caramu melaporkan keburukan Nyonya Rumah pada Raja, sedangkan kau saja disiksa begini?” sahut Tian, heran dengan setiap kata yang keluar dari mulut Rael.

“Apakah tak ada dari kalian yang pernah mencoba keluar dari neraka ini?” tanya Rael penasaran, ingin tahu bagaimana orang-orang bisa bertahan dari siksaan tanpa berusaha kabur.

“Ada, banyak malah. Tapi mereka semua dipindahkan ke ladang batu—tempat yang hanya mengantar nyawa. Banyak yang mati gara-gara hukuman kejam itu,” jawab Tian, menganggap Rael benar-benar kehilangan ingatan, sehingga ia lebih mudah menjelaskan segalanya.

Pemandangan itu sangat berbeda dengan Rael sebelumnya, yang jarang bicara, lebih sering diam, bahkan terlihat menyedihkan karena seperti mayat hidup. Padahal, sebenarnya ia juga korban kebiadaban bibinya yang haus akan kekuasaan—keluarga Arvendral.

“Aku harus menyelidiki Nyonya Rumah itu,” kata Rael sambil menatap bangunan megah yang tak jauh dari ladang tempat ia bekerja. Mencangkul bukanlah hal sulit bagi Rael, tapi ia merasa kesal karena tahu apa yang dilakukannya sekarang hanya sia-sia belaka.

Keluarga Arvendral adalah keluarga terkaya di kekaisaran, pengaruhnya sangat kuat. Tak banyak yang tahu keburukan yang telah mereka lakukan. Hal itu jelas membuat orang-orang di sana tidak ada yang benar-benar menyukai keluarga Arvendral.

Tian menatap heran pada apa yang baru saja Rael katakan. Baru kemarin Rael benar-benar tampak tak ingin hidup, bahkan enggan ikut campur. Ia seperti mayat hidup yang hanya mengikuti semua instruksi tanpa berani memberontak. Kini Rael benar-benar terlihat seperti orang lain yang tidak Tian kenal.

Tangan Tian menyentuh kening Rael, memastikan jika ia baik-baik saja. Namun suhu tubuh Rael normal, tidak ada tanda-tanda demam.

“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Rael sambil menyingkirkan tangan Tian yang terlihat keheranan.

“Kau berbeda dari sebelumnya. Tidak mungkin kau hanya hilang ingatan, ada yang tidak beres,” jawab Tian. Ia benar-benar merasa asing dengan sikap Rael sekarang. Bahkan ekspresi marah dan geram yang ditunjukkan Rael jelas berbeda dari biasanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BAYANGAN PENASEHAT AGUNG   72. konsekuensi jangka panjang

    Malam itu, setelah istana kembali sunyi dan para bangsawan pulang dengan pikiran masing-masing, Rael belum tidur.Ia duduk sendirian di ruang arsip kecil yang jarang dipakai—ruangan tanpa lambang keluarga, tanpa penjaga tetap. Tempat yang aman justru karena dianggap tidak penting.Di hadapannya hanya ada satu berkas tipis.Bukan laporan.Bukan bukti.Melainkan rangkuman keputusan hari ini—siapa dipindah, siapa dibiarkan, siapa *tidak disentuh*.Rael mengetukkan ujung jarinya ke meja.“Yang paling berbahaya,” gumamnya pelan, “selalu yang lolos tanpa luka.”Pintu terbuka perlahan. Halim masuk tanpa suara.“Kau belum selesai,” katanya, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan.Rael tidak menoleh. “Belum. Hari ini kita menyingkirkan orang yang terlalu berani.”“Dan besok?” tanya Halim.Rael menutup berkas itu. “Besok… orang-orang yang terlalu sabar akan mulai bergerak.”Halim menyandarkan punggung ke dinding. “Aku sudah perintahkan pasukan tetap netral. Tidak ikut permainan politik.”

  • BAYANGAN PENASEHAT AGUNG   71. pengejaran senyap

    Perintah Raja dijalankan tanpa teriakan, tanpa derap berlebihan. Inilah cara istana bekerja ketika situasi genting—sunyi, cepat, dan mematikan bagi siapa pun yang lengah.Gerbang utama ditutup perlahan, seolah hanya pergantian jaga biasa. Di pelabuhan, kapal-kapal dagang ditahan dengan alasan inspeksi malam. Jalan-jalan keluar kota dijaga, bukan oleh pasukan bersenjata lengkap, melainkan oleh petugas administratif yang membawa daftar nama dan surat izin. Cara yang tidak mencolok, namun efektif.Rael berdiri di balkon dalam aula, mengamati pergerakan dari kejauhan.“Dia tidak akan kabur secara kasar,” katanya pelan pada Halim. “Menteri itu terlalu rapi untuk berlari.”Halim mengangguk. “Orang seperti dia pasti mencari perlindungan hukum, bukan pedang.”“Benar,” sahut Rael. “Dan itu berarti satu tempat.”Halim menoleh. “Kediaman Dewan Lama.”Rael tersenyum tipis. “Satu-satunya tempat di mana keputusan bisa ditunda atas nama prosedur.”Raja mendekat, suaranya rendah namun tajam. “Kalau d

  • BAYANGAN PENASEHAT AGUNG   70. rapat darurat

    Malam turun sepenuhnya ketika lonceng istana dibunyikan tiga kali—tanda rapat darurat tingkat tinggi. Aula pertemuan utama diterangi puluhan lampu minyak, cukup terang untuk menampakkan wajah-wajah yang biasanya tersenyum sopan, kini tegang dan penuh perhitungan.Rael berdiri di sisi ruangan, tidak di pusat perhatian, namun justru dari sanalah ia bisa melihat semuanya.Satu per satu para pejabat tinggi dan bangsawan masuk.Keluarga Varin dengan langkah angkuh.Utusan Norvad dengan wajah datar.Perwakilan Lorian yang terlalu banyak berbicara, seolah menutupi kegelisahan.Dan akhirnya—Arven.Bendahara muda itu berjalan dengan sikap tenang yang dibuat-buat. Namun Rael menangkap detail kecil yang tak luput dari perhatiannya: napas Arven lebih pendek dari biasa, dan tangannya mengepal sesaat sebelum ia duduk.Tak lama kemudian, Raja memasuki aula. Semua berdiri.Raja mengangkat tangan. “Duduk.”Suara kursi bergeser serempak. Keheningan jatuh seperti selimut berat.“Kita berkumpul malam ini

  • BAYANGAN PENASEHAT AGUNG   69. langkah balasan rael

    Arven berjalan cepat melewati lorong pelayan, berusaha menjaga wajahnya tetap tenang. Namun langkahnya terlalu tergesa untuk disebut wajar. Beberapa pelayan menoleh, tapi Arven tidak peduli. Kepalanya penuh dengan satu pikiran: **Eldran**.Ia harus memastikan pria tua itu tidak bertindak ceroboh.Di sudut lain istana, Rael, Halim, dan Dagan mengikuti dari jarak aman. Mereka bergerak terpisah, memanfaatkan lorong-lorong kecil yang jarang dilalui. Tidak ada isyarat berlebihan, tidak ada perintah lisan—semuanya sudah disepakati sejak awal.Arven berhenti di depan pintu rumah kecil Eldran. Ia mengetuk cepat, tanpa sandi kali ini.Pintu terbuka sedikit. Wajah Eldran muncul, keriputnya makin dalam saat melihat siapa yang datang.“Kau lagi?” bisiknya tajam. “Kau ingin diperhatikan?”“Kita sudah diperhatikan,” balas Arven sambil mendorong masuk. “Mereka sudah hampir menemukan semuanya.”Pintu ditutup. Dari balik jendela kecil rumah itu, bayangan dua orang terlihat bergerak gelisah.“Kau bilan

  • BAYANGAN PENASEHAT AGUNG   68. arven tiba digudang

    Arven tiba di depan gudang kebun timur. Area itu gelap, hanya diterangi satu lampu minyak yang hampir padam. Ia memeriksa sekeliling—tidak ada siapa pun.Atau setidaknya, tidak terlihat.Dengan gugup tersamar, ia membuka kunci gudang menggunakan kunci kecil yang disembunyikannya selama ini. Suara logam berdecit pelan.Begitu pintu terbuka, aroma tanah dan pupuk menyergap hidung.Arven masuk dan menyalakan lampu gantung kecil. Gudang itu tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk menyimpan alat-alat kebun, karung pupuk, dan beberapa peti peralatan lama.Ia langsung menuju sudut belakang.Tempat di mana *Samer*—orang yang menyamar sebagai pekerja kebun—menyembunyikan sesuatu tiga hari lalu.Arven berlutut, menggeser peti kayu perlahan. Tangannya gemetar saat ia mengangkat papan lantai yang bisa dibuka.Kosong.Tidak ada apa-apa.Arven menegang. “Tidak mungkin… Tidak mungkin!”Ia merogoh lagi, memeriksa pinggiran, celah-celah, bahkan karung di sekitarnya. Tidak ada.“Siapa yang mengambilnya

  • BAYANGAN PENASEHAT AGUNG   67. Menyelasaikan masalah

    Halim menatap Rael lama, seolah menimbang apakah rencana berani itu lahir dari kejernihan pikiran atau dari keberanian berlebih. Namun kilat keyakinan di mata Rael membuatnya mengangguk perlahan.“Apa langkah pertamanya?” tanya Halim.Rael berjalan menuju jendela, menatap halaman dalam istana yang mulai gelap. Lampu-lampu obor bergoyang diterpa angin, dan beberapa penjaga malam mengganti posisi mereka.“Kita buat seolah-olah kita menemukan lebih banyak bukti daripada yang sebenarnya,” jawab Rael. “Seseorang yang sedang bersembunyi pasti panik jika merasa penyamarannya mulai terungkap.”Halim menyilangkan tangan. “Panik berarti bergerak. Dan kalau dia bergerak…”“Kita menangkapnya,” sambung Rael.Halim menghembus napas perlahan. “Tapi kalau dia cukup pintar, dia juga bisa memotong semua jejak sebelum kita mendapat apa pun.”Rael menoleh. “Paman, kita sedang melawan orang yang memahami sistem istana. Ia tidak mungkin duduk diam. Sekalipun ia berusaha menghilangkan jejak, itu justru akan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status