Home / Zaman Kuno / BAYANGAN PENASEHAT AGUNG / Bab 4 Tempat Hukuman

Share

Bab 4 Tempat Hukuman

last update Last Updated: 2025-09-04 21:21:57

Hari-hari pertama di ladang batu adalah mimpi buruk. Panas matahari membakar kulit, debu masuk ke paru-paru, dan tangan Rael melepuh karena dipaksa memecah batu dengan palu tumpul. Para penjaga hanya tertawa setiap kali ada yang roboh, lalu menendangnya agar bangkit kembali.

Bagi Rael, rasa sakit bukanlah yang paling mengganggu. Ia terbiasa menahan penderitaan. Yang membuatnya resah adalah… semua ini terasa terlalu kebetulan.

Ia mengingat kembali. Sejak keberhasilan panen itu, sikap Nyonya besar tiba-tiba berubah tajam. Bukan hanya dingin, tapi seolah-olah ingin menghapus keberadaannya sama sekali. Lalu, tanpa alasan jelas, ia dipindahkan ke ladang batu—tempat yang bahkan budak jarang bisa bertahan.

Kenapa secepat ini? pikir Rael. Seolah-olah mereka tidak hanya ingin membuangku, tapi memastikan aku mati tanpa jejak.

Kecurigaan itu makin kuat ketika malamnya, saat semua pekerja tertidur, ia mendengar bisikan dua penjaga yang sedang berjaga.

“Anak itu? Sudah pasti tak bertahan lama.”

“Hm, tapi perintahnya jelas. Kalau dia ternyata kuat… ya, kita buat saja dia ‘kecelakaan’. Batu besar jatuh, misalnya. Tidak ada yang peduli budak mati di sini.”

Rael terbangun, jantungnya berdegup keras. Ia menutup mata pura-pura tidur, tapi pikirannya berputar cepat.

Jadi benar. Ada yang menginginkan aku mati. Dan ini bukan sekadar kebencian biasa… ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku.

Sejak malam ia mendengar bisikan para penjaga, Rael tahu satu hal: bertahan hidup di ladang batu bukan hanya soal kekuatan tubuh, tapi soal kecerdikan. Jika ia bekerja terlalu keras, cepat atau lambat mereka akan membuatnya “kecelakaan”. Jika ia terlalu lemah, ia akan mati kelaparan.

Keesokan paginya, saat para pekerja dipaksa mengangkat bongkahan batu besar, Rael pura-pura jatuh tersungkur. Penjaga menendangnya sambil tertawa, “Sampah! Bahkan memegang palu saja tak becus!” Rael meringis, tapi dalam hatinya tersenyum getir. Ia sengaja terlihat rapuh, agar mereka menganggapnya tidak perlu diawasi terlalu ketat.

Siang hari, ketika penjaga mengantuk karena panas, Rael diam-diam mengamati pola kerja para budak lain. Ia memperhatikan batu mana yang lebih rapuh, bagaimana cara memecahnya dengan tenaga sedikit, bahkan bagaimana para pekerja menyelundupkan makanan kecil dari celah pagar. Semua itu ia simpan dalam ingatannya.

Malamnya, saat yang lain terlelap kelelahan, Rael menyusun strategi.

Aku tidak boleh mati di sini. Jika mereka ingin aku hancur, maka aku harus bertahan dengan cara yang tak mereka duga. Aku akan belajar, menyesuaikan diri, dan menunggu waktu yang tepat. Jika aku bisa bertahan, aku bisa mencari tahu alasan sebenarnya mengapa mereka ingin menyingkirkanku.

Hari-hari berikutnya, perlahan Rael mulai membaur. Ia membantu sesama pekerja dengan trik kecil—seperti cara mengangkat batu besar dengan tuas kayu, atau bagaimana menghemat tenaga dengan memukul retakan yang sudah ada. Awalnya para budak hanya menatap heran, tapi kemudian beberapa mulai mengikuti caranya.

Bisikan mulai muncul.

“Anak buangan itu… aneh. Tapi, berkat dia, kita bisa selamat lebih lama.”

Rael tidak mencari pujian. Ia hanya ingin hidup cukup lama untuk membuka tabir kegelapan yang menjeratnya. Namun, ia sadar—dengan semakin banyak orang memperhatikannya, risiko dirinya kembali menjadi sasaran juga semakin besar.

Malam itu, setelah semua pekerja di ladang batu terlelap karena kelelahan, Rael tidak ikut tidur. Ia menunggu hingga para penjaga lengah, lalu menyelinap keluar dari barak reyot. Dengan langkah ringan, ia menelusuri jalur kotor di belakang pagar kayu, memanfaatkan celah kecil yang sudah ia amati beberapa hari terakhir.

Tujuannya jelas Kembali Ke Rumah Utama. Di sanalah tersimpan jawaban mengapa dirinya begitu dibenci, hingga tega dibuang ke neraka ini.

Rasa penasaran yang membara mendorongnya melangkah, meski ia tahu setiap langkah menuju rumah utama hanyalah undangan pada bahaya..

Ia berjalan hati-hati, menempel di bayangan bangunan. Setelah hampir satu jam menyusuri jalan setapak, akhirnya cahaya lampu minyak rumah besar tampak di kejauhan. Jantungnya berdetak keras, bukan karena takut ketahuan, tapi karena perasaan asing yang sulit ia jelaskan. Seolah-olah tempat itu bukan hanya musuhnya… tapi juga bagian dari dirinya.

Rael tak langsung masuk lewat pintu. Ia tahu pengawasan ketat ada di gerbang depan. Jadi ia menyelinap ke sisi belakang—dapur. Tempat itu selalu punya celah, karena para pelayan sering keluar masuk membawa bahan makanan.

Benar saja. Saat ia mendekat, pintu dapur terbuka, dan seorang pelayan tua keluar membawa sampah. Rael mengenali wajahnya—perempuan itu dulu sering diam-diam memberinya sepotong roti basi ketika ia masih tinggal di gudang.

Dengan cepat, Rael menahan mulut pelayan itu dari belakang, lalu berbisik pelan, “Tenang, ini aku. Rael.”

Perempuan itu terkejut, hampir menjatuhkan bakul sampahnya. “Tuan muda?!” bisiknya tertahan, matanya melebar ketakutan. “Apa yang kau lakukan di sini? Kalau Nyonya besar tahu—”

“Justru itu,” Rael menatapnya lekat, “aku butuh tahu kenapa mereka ingin aku mati. Kenapa aku selalu diperlakukan berbeda. Katakan padaku… siapa sebenarnya aku?”

Pelayan tua itu gemetar, wajahnya pucat. Ia menoleh ke kanan-kiri, lalu menarik Rael masuk ke dapur kosong. Dengan suara bergetar, ia berkata, “Aku… aku tidak boleh. Kalau ada yang mendengar, aku juga akan dibunuh.”

Rael meraih tangannya erat. “Aku sudah setengah mati setiap hari. Aku berhak tahu.”

Hening sesaat. Lalu, dengan napas berat, pelayan itu berbisik:

“Kau bukan anak buangan biasa, Tuan muda. Darahmu… darah keluarga yang seharusnya sudah lenyap. Nyonya besar takut dunia tahu kau masih hidup.”

Rael membeku. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar kepalanya.

Jadi… dugaanku benar. Ada sesuatu tentang asal-usulku yang mereka sembunyikan.

Pelayan tua itu baru saja membuka mulut lagi, suaranya bergetar.

“Ayahmu… dia bukan orang sembarangan. Kau… keturunan dari—”

Brak!

Pintu dapur mendadak terbuka keras. Cahaya lampu minyak menerobos masuk, disertai langkah sepatu berat menghantam lantai kayu. Seorang penjaga tinggi dengan pedang di pinggang berdiri di ambang pintu, wajahnya menyipit penuh curiga.

“Siapa di sini?” suaranya bergema dingin. “Aku mendengar suara.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BAYANGAN PENASEHAT AGUNG   5. Rencana Untuk Kabur

    Pelayan tua itu langsung menutup mulutnya rapat-rapat, wajahnya pucat pasi. Rael refleks bersembunyi di balik rak kayu berisi karung gandum, menahan napas. Detak jantungnya terdengar jelas di telinganya sendiri, seperti genderang perang.Penjaga itu melangkah masuk, matanya menyapu ruangan. Ia mendekat ke meja, lalu berhenti tepat di depan rak tempat Rael bersembunyi. Tangannya bergerak, meraih gagang pedang.“Keluar!” bentaknya.Rael merasakan keringat dingin mengalir di pelipis. Satu detik saja terlambat, pedang itu bisa menembus tubuhnya.Namun tiba-tiba, pelayan tua maju dengan cepat. “Maaf, Tuan! Itu saya… saya hanya bicara sendiri. Umur saya sudah tua, kadang saya melamun saat bekerja.”Penjaga menatapnya tajam, ragu beberapa saat. Lalu, setelah menggeram, ia menurunkan tangannya. “Jangan buat masalah lagi. Nyonya besar tidak suka pelayan bodoh berkeliaran malam-malam.”Dengan langkah berat, ia keluar, menutup pintu dapur keras-keras.Rael masih berjongkok, napasnya berat, jari-

  • BAYANGAN PENASEHAT AGUNG   Bab 4 Tempat Hukuman

    Hari-hari pertama di ladang batu adalah mimpi buruk. Panas matahari membakar kulit, debu masuk ke paru-paru, dan tangan Rael melepuh karena dipaksa memecah batu dengan palu tumpul. Para penjaga hanya tertawa setiap kali ada yang roboh, lalu menendangnya agar bangkit kembali.Bagi Rael, rasa sakit bukanlah yang paling mengganggu. Ia terbiasa menahan penderitaan. Yang membuatnya resah adalah… semua ini terasa terlalu kebetulan.Ia mengingat kembali. Sejak keberhasilan panen itu, sikap Nyonya besar tiba-tiba berubah tajam. Bukan hanya dingin, tapi seolah-olah ingin menghapus keberadaannya sama sekali. Lalu, tanpa alasan jelas, ia dipindahkan ke ladang batu—tempat yang bahkan budak jarang bisa bertahan.Kenapa secepat ini? pikir Rael. Seolah-olah mereka tidak hanya ingin membuangku, tapi memastikan aku mati tanpa jejak.Kecurigaan itu makin kuat ketika malamnya, saat semua pekerja tertidur, ia mendengar bisikan dua penjaga yang sedang berjaga.“Anak itu? Sudah pasti tak bertahan lama.”“H

  • BAYANGAN PENASEHAT AGUNG   Bab 3 Kebencian Yang Mendalam

    Nyonya besar mendekat, lalu menendang barisan tanah yang sudah Rael susun dengan susah payah. Benih tercecer. “Siapa memberimu izin melakukan ini? Kau pikir dirimu siapa?”Rael menggenggam ujung bajunya, menahan diri. “Saya hanya… mencoba cara baru agar hasil panen lebih baik.”Wanita itu menyipitkan mata, lalu menoleh pada penjaga. “Kalau nanti satu petak ini gagal, buang dia ke jalan. Jangan beri makan. Biarkan mati kelaparan.”Penjaga itu langsung mengangguk, tersenyum sinis ke arah Rael. “Seperti yang Nyonya kehendaki.”Bocah kecil yang berdiri di belakang Rael hampir bersuara, tapi Rael meraih tangannya, menggenggam erat—memberi isyarat untuk diam.Dalam hati, Rael mendesis. Jadi taruhan nyawaku hanya pada sepetak tanah ini. Baiklah. Aku akan buktikan pada mereka semua.Langit sore memerah. Di bawah tatapan penuh kebencian, Rael menunduk, tapi matanya menyala dengan tekad yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.ngguncang kebodohan mereka.Beberapa minggu berlalu. Musim tanam berge

  • BAYANGAN PENASEHAT AGUNG   Bab 2 Dunia Lain

    Rael hanya menatap langit-langit rumahnya, menghela napas. Ia merasa kesal. Hingga ia tertidur dalam kondisi lapar.Brak!Pintu reyot itu akhirnya jatuh setelah ditendang untuk ketiga kalinya. Seorang pemuda berbaju penjaga berdiri dengan wajah malas, menatap Rael yang masih duduk di sudut ruangan."Apa kau tuli juga sekarang?" dengusnya. "Nyonya besar menyuruhmu ikut ke ladang, Hari ini jadwal pengolahan tanah.Rael mengerjap pelan, masih berusaha mengusir rasa kantuk. Perutnya melilit, tapi tak ada makanan untuk mengisi. Ia tahu, jika melawan perintah, satu-satunya yang menantinya hanyalah cambuk atau hukuman yang lebih buruk. Tubuh Rael memnyimpan jelas ingatannya. Jadi ia tahu apa yang akan terjadi jika ia menolak.Dengan tubuh lemah, ia bangkit perlahan. Kakinya sempat goyah, hampir terjatuh. Penjaga itu mendengus geli, seakan melihat pemandangan yang menghibur.“Cepat! Jangan buat Nyonya menunggu. Kau kira bisa tidur seenaknya hanya karena lahir dari darah bangsawan? Sampah sep

  • BAYANGAN PENASEHAT AGUNG   Bab 1 Tertimpa Musibah

    "Apa ini... rumah sakit?" Matanya… terasa aneh. Pandangannya lebih tajam, tapi tubuhnya sangat berat. Napasnya pendek. Jantungnya berdetak cepat seperti habis lari maraton, padahal ia hanya berbaring. Tapi suara yang keluar bukan suara Raka. Lebih ringan. Lebih muda. Lebih… asing. Ia mencoba duduk. Tubuhnya gemetar hebat. Sekujur tangan kurus. Terlalu kurus. Ia menatap ke bawah, dan yang ia lihat adalah tubuh seorang remaja laki-laki dalam pakaian robek, penuh lumpur dan darah kering. "Apa ini cosplay?" Tidak. Ini bukan dunia yang ia kenal. Beberapa menit kemudian, sebuah notifikasi muncul dalam kepalanya. Tapi bukan seperti yang biasa ada di novel-novel isekai. Bukan sistem, bukan panel level-up. Hanya satu kalimat sederhana—dan tidak membantu: [Transmigrasi Selesai.] [Nama: Rael Arven De Lantheim. Usia: 17 tahun. Status: Anak buangan. Nilai: Tidak berguna.] Satu jam kemudian, Raka—sekarang Rael—sudah duduk di tanah, bersandar pada batang pohon tua, meratapi nasibnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status