LOGINTian langsung pucat pasi. Cangkul di tangannya hampir terlepas. Sementara Rael menegakkan badan, menatap pengawal itu tanpa gentar.
“Kami… hanya mencoba agar benih bisa tumbuh lebih baik,” jawab Rael hati-hati, suaranya tenang tapi cukup jelas terdengar.
Pengawal mendengus kasar. “Berani-beraninya kau mengatur caramu sendiri! Siapa suruh melawan perintah?”
Tian semakin panik, tubuhnya gemetar. Dalam hati ia mengutuk kebodohannya sendiri karena mengikuti ide Rael. Sedangkan Rael, meski dalam bahaya, tetap berdiri tegak menahan tatapan tajam sang pengawal.
Seorang anak buangan yang lebih tua darinya menoleh, mendengus. “Kau sok pintar, ya? Sudah cukup susah kita disuruh kerja, jangan tambah banyak bicara. Cepat cangkul saja, kalau tidak—” ia melirik penjaga yang mengawasi.
Rael terdiam. Ia sadar, terlalu banyak bicara hanya akan memperburuk keadaan. Perlahan ia menghentikan tindakannya, menatap Tian yang sudah pucat ketakutan. Dari sudut mata, ia juga melihat beberapa pekerja lain berhenti sejenak, memandang dengan tatapan tidak setuju.Rael menghela napas berat. Ia menunduk, seolah pasrah. Tenaganya sudah hampir habis, sementara matahari perlahan turun di ufuk barat. Ia memilih diam, meski dalam hati berjanji akan mencoba lagi besok, dengan cara yang lebih hati-hati.
Pengawal tidak memberi kesempatan. Cambuk di tangannya melayang, menghantam punggung Rael dengan suara keras yang membuat pekerja lain merunduk ngeri.
“Ini peringatan! Jangan coba-coba berbuat macam-macam!” hardik sang pengawal.
Rasa perih menjalar cepat di tubuh Rael, membuat lututnya hampir goyah. Tapi ia menggertakkan gigi, menahan teriakan. Meski tubuhnya meringis kesakitan, tatapannya tetap menyimpan api kecil—tekad untuk tidak menyerah begitu saja.
Tian hanya bisa menunduk, tangannya gemetar. Ia tahu, apa yang dilakukan Rael berbahaya. Tapi entah kenapa, di balik rasa takutnya, terselip rasa kagum pada keberanian Rael yang tidak pernah dimilikinya.
Keesokan harinya, seperti yang sudah diduga, Rael kembali digiring ke ladang bersama para pekerja lain. Punggungnya masih perih bekas cambukan kemarin, tapi tekadnya tidak padam. Justru rasa sakit itu membuatnya semakin yakin bahwa ia tidak boleh diam saja.
Saat para pekerja mulai mencangkul, Rael mendekat pada Tian. Dengan suara lirih, nyaris hanya berupa bisikan, ia berkata,
“Aku punya rencana. Kali ini akan berhasil.”Tian langsung menoleh kaget. Wajahnya memucat, seolah bayangan cambuk kemarin masih menempel jelas di kepalanya. “Rael, jangan lagi. Kau sudah lihat akibatnya. Kalau kau nekat, kali ini kau bisa mati.”
Rael tersenyum tipis, meski peluh dingin menetes di pelipisnya. “Justru karena itulah aku tidak boleh berhenti. Kau lihat sendiri, cara mereka menanam tidak akan menghasilkan apa pun. Kalau aku bisa buktikan benihku tumbuh, kita punya harapan. Mungkin kecil, tapi tetap harapan.”
Tian menggeleng cepat, menunduk sambil pura-pura mencangkul agar tak dicurigai. “Kau gila. Apa gunanya harapan kalau cambuk lebih dulu membuatmu tidak bisa berdiri?”
Rael mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya semakin pelan. “Aku hanya butuh sedikit bantuanmu. Tutupi aku kalau ada pengawal lewat. Selebihnya, biar aku yang urus.”
“Apa itu? Kenapa kau bikin gambar aneh?” Rael tersenyum tipis. “Kalau kita menanam dalam barisan seperti ini, lebih mudah menyiram, lebih cepat tumbuh, dan tidak banyak benih terbuang.”Awalnya hanya dianggap main-main. Tapi beberapa pekerja lain mulai melirik, heran dengan pola yang lebih rapi. Salah satu dari mereka berbisik, “Hmph, sampah bangsawan itu lagi-lagi sok pintar. Nanti kalau gagal, kita semua bisa dihukum.”
Rael mendengar bisikan itu, tapi ia tidak goyah. Tangannya terus bekerja meski tubuhnya bergetar menahan sakit. Beberapa jam berlalu. Para pekerja mulai kelelahan, keringat bercampur dengan tanah. Sementara itu, jalur yang dibuat Rael terlihat berbeda lurus, rapi, dan benih ditanam dengan jarak teratur. Penjaga yang sedari tadi hanya duduk di bawah pohon, bangkit dan mendekat. Alisnya mengernyit melihat apa yang dilakukan Rael. “Apa-apaan ini?” suaranya tajam. Ia menendang cangkul di tangan Rael hingga terlempar. “Siapa yang menyuruhmu membuat pola aneh seperti ini? Kau pikir kau lebih pintar dari para tetua yang sudah mencangkul sejak sebelum kau lahir?” Rael menunduk, menahan amarah. “Aku hanya mencoba cara agar tanah lebih mudah dialiri air….” “Diam!” bentak penjaga itu. “Sampah sepertimu hanya boleh menurut. Bukan sok jadi guru!” Beberapa pekerja lain menunduk, pura-pura tak melihat. Mereka tahu, melawan hanya akan membawa bencana. Tian yang tadi membantu Rael memberanikan diri bicara. “Tapi, Rael hanya menunjukkan cara yang lebih mudah. Aku ikut mencoba, dan—” Plak! Tamparan keras mendarat di wajah Tian. Penjaga mendengus. “Kau juga belajar dari sampah ini? Hati-hati, kalau ladang gagal panen, kalian yang akan dilempar ke jalanan!” Rael mengepalkan tangan, darah mengalir dari bibir bocah itu. Amarah mendidih di dadanya, tapi ia sadar tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Dengan suara serak, ia menatap penjaga itu. “Jika panen kali ini gagal karena cara kami, aku yang akan menanggungnya. Tapi jika berhasil… apakah kau berani melapor pada Nyonya besar bahwa ada metode yang lebih baik?” Pengawal itu terdiam sejenak, lalu tertawa mengejek. “Hahaha! Dasar tolol. Baiklah, lakukan sesukamu. Tapi kalau satu petak ini tidak menghasilkan lebih banyak dari yang lain, jangan salahkan aku kalau kau dibuang lebih hina dari anjing.” Rael tetap bekerja di ladang dengan tubuh lemah. Jalur tanam yang ia buat semakin jelas terlihat berbeda dari petak lain. Tian yang membantunya pun mulai semangat, meski harus menerima cemoohan dari pekerja lain. kabar tentang “cara aneh” Rael akhirnya sampai ke telinga Nyonya besar. Sore itu, saat para pekerja hendak pulang, kereta sederhana berhenti di tepi ladang. Dari dalam turun seorang wanita paruh baya dengan wajah dingin. Matanya menatap Rael seolah sedang menatap kotoran yang menempel di sepatunya. “Jadi ini anak buangan yang berani mengubah cara kerja keluarga?” suaranya menusuk, penuh sinis. Para pekerja buru-buru menunduk, tak ada yang berani menjawab. Rael berdiri kaku, ia melihat dengan sinis Nyonya rumah, tangannya mengepal. Tian cepat-cepat menarik Rael untuk segera menunduk, sudah banyak cambuk yang Rael terima. Tian tidak mau melihat Rael disiksa lagi.Tatapannya kemudian terpaku pada halaman buku yang masih terbuka. Nama keluarga Rael terpampang jelas. Halim menghela napas panjang.“Sepertinya dia sudah membaca terlalu banyak.”Mak Risa segera menyiapkan ramuan dan obat. Ia mengangkat kepala Rael dengan hati-hati dan menyentuh pipinya yang dingin.“Anak ini keras kepala… tapi aku bisa lihat matanya. Ia menyimpan beban jauh lebih besar dari yang ia akui,” gumam Mak Risa lirih.Halim mengangguk, wajahnya serius.“Kita harus mempercepat rencana itu.”Mak Risa menatap suaminya, cemas. “Kau yakin? Kerajaan sedang diawasi. Jika mereka tahu kita membantu…—”“Kita sudah terlibat sejak kita menolongnya,” jawab Halim mantap. “Dan jika anak ini benar, keluarga kerajaan mungkin menyembunyikan sesuatu yang besar.”Tangan Rael bergerak sedikit, napasnya bergetar. Mak Risa menatapnya lembut.“Kau tak sendiri lagi, Nak. Mulai sekarang, kami akan menjagamu.”Sore menjelang ketika Rael perlahan membuka mata. Pandangannya masih kabur, cahaya matahari
Halim menghela napas panjang sambil menggeleng pelan. Ia tahu Rael bukan tipe yang diam dan patuh begitu saja.Mak Risa yang memperhatikan interaksi mereka hanya tersenyum samar. Sebelum ahirnya mereka berdua berangkat Bersama ke istana, jarak yang di tempuh tidak jauh dengan menggunakan kuda, di rumah mereka juga hanya ada satu pelayan yang kadang datang kadang pula tidak, mereka tak mau memiliki banyak pekerja karena hal itu merepotkan. “Kau sebaiknya berhati-hati, Halim,” ucapnya lembut, kemudian berhenti sejenak, sebelum akhirnya dilanjukan, “Anak itu… pikirannya jauh lebih cepat dari usia tubuhnya.” “Justru itu yang membuatku khawatir,” jawabnya yang tidak terlalu khawatir.Rael mengamati pintu yang tertutup. Kesempatan kini berada di tangannya. Dengan semangat yang kembali menyala, ia mulai mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.Baiklah, saatnya mencari tahu siapa sebenarnya keluarga yang menampungku… dan seberapa dalam kekuatan mereka bisa membawaku ke Kerajaan itu.Rael
“Aku ingin ke Kerajaan.”Halim sontak menoleh, seolah baru saja mendengar sesuatu yang mustahil. Ia mengira Rael tidak akan tertarik dengan Raja yang terkenal kejam, namun ternyata dugaan itu jauh meleset.“Kau ingin ke Kerajaan?” ulang Halim, memastikan. “Lalu apa yang akan kau lakukan di sana?”“Mengacau,” jawab Rael serius tanpa berkedip. Namun beberapa detik kemudian ia tergelak kecil, seakan ia sendiri tahu betapa gila kedengarannya. “Ayolah, Paman. Kau tahu aku disiksa. Tentu saja aku akan mengadu.”“Tapi apa kau yakin Raja akan percaya?” Halim mengerutkan alis, ragu.“Jelas Raja tidak akan percaya padaku,” balas Rael lugas. “Tapi aku akan urus itu nanti.”“Sepertinya kau tidak yakin,” Halim menimpali, mencoba membaca wajah Rael.“Tentu saja,” Rael mengangguk pelan, jujur pada ketidakpastiannya sendiri. “Karena aku belum pernah melihat Raja dan belum memahami sistem kerajaan. Jika diibaratkan berperang tanpa tahu medan… itu hanya akan membunuhku.”Halim tertegun, lalu tertawa pu
Pagi hari itu, Rael terbangun. Tubuhnya terasa lebih ringan dibanding sebelumnya, meski masih ada sedikit nyeri di beberapa bagian. Ia menatap langit-langit ruangan yang asing, lalu menggerakkan kepala perlahan untuk melihat sekeliling.Ruang itu sederhana—hanya sebuah dipan kayu, meja kecil dengan beberapa ramuan, dan jendela yang membiarkan sinar matahari masuk lembut. Dari aroma kayu dan suara ayam berkokok di luar, Rael tahu ia berada di rumah salah satu penduduk desa.“Syukurlah kau sadar…”Mak Risa muncul di ambang pintu sambil membawa mangkuk berisi air hangat. Senyum lega terpancar di wajahnya. “Bagaimana perasaanmu, Nak?”Rael mencoba duduk, meski sedikit goyah. “Lebih baik… dari semalam.”“Jangan memaksakan diri dulu,” ujar Mak Risa menahan bahunya pelan. “Kau masih perlu banyak istirahat.”Tak lama kemudian, Halim menyusul masuk. Wajahnya yang semalam penuh kecemasan kini tampak tenang. “Kau membuat kami khawatir, Rael. Kami menemukanku di hutan dalam keadaan pingsan.”“Apa
Mak Risa berjalan pelan mendekati suaminya yang masih duduk di sisi ranjang. Ia bisa melihat jelas kegelisahan di wajah Halim—alis yang berkerut dan tangan yang tak henti mengepal.“Kenapa kau terlihat begitu resah?” tanya Mak Risa perlahan, duduk di sebelahnya. “Apakah ada informasi penting yang kau dapat hari ini?”Halim menghela napas panjang, seolah menimbang apakah ia harus mengatakannya atau tidak. Namun pada akhirnya ia menatap istrinya dengan sungguh-sungguh.“Iya… aku mendapati keluarga itu benar-benar mencurigakan,” ucapnya lirih namun tegas. “Banyak hal yang mereka sembunyikan. Mulai dari ladang yang sengaja dibakar hingga bau kimia yang menguar di bekas gudang.”Mak Risa terpana. Jemarinya yang tadi ia letakkan di pangkuan kini saling menggenggam lebih erat.“Tapi…” Halim memalingkan wajahnya, suara berat menahan kekesalan, “raja sudah percaya sepenuhnya pada keluarga Devan. Mereka sudah lama menyumbang hasil panen dan membantu kerajaan. Sulit bagiku mengungkapkan kecurigaa
Cukup lama Halim berada di sana sehingga ia mulai menyadari sesuatu. Ada bau bahan kimia yang menusuk hidungnya, meninggalkan kecurigaan bahwa ada hal yang sengaja ditutupi. Namun, ia memilih mundur untuk sementara.“Baiklah, aku tidak akan ke sana,” ujarnya, pura-pura menurut sebelum melangkah menuju bagian lain dari area yang terbakar.Ia memeriksa ladang yang juga hangus dilalap api. Kali ini, aromanya berbeda—jelas, bau minyak tanah tercium kuat di setiap sudut. Halim mengernyit, tubuhnya menegang oleh dugaan yang semakin mendekati kebenaran.Apakah ladang ini sengaja dibakar? pikirnya. Kenapa bau minyak tanah ada di mana-mana?Ia melirik pekerja-pekerja yang sibuk merapikan puing. Tatapan mereka kosong, menyiratkan tekanan besar yang tak terlihat. Bertanya pada mereka hanya akan memancing jawaban yang sama: pura-pura tidak tahu.Halim menarik napas panjang.“Kalau aku bertanya pada mereka, tak akan ada yang berani bicara,” gumamnya pelan. “Sebaiknya aku tunggu Rael siuman. Mungki







