MasukNyonya besar mendekat, lalu menendang barisan tanah yang sudah Rael susun dengan susah payah. Benih tercecer. “Siapa memberimu izin melakukan ini? Kau pikir dirimu siapa?”
Rael menggenggam ujung bajunya, menahan diri. “Saya hanya… mencoba cara baru agar hasil panen lebih baik.” Wanita itu menyipitkan mata, lalu menoleh pada penjaga. “Kalau nanti satu petak ini gagal, hukum dia ke ladang batu.” Penjaga itu langsung mengangguk, tersenyum sinis ke arah Rael. “Seperti yang Nyonya kehendaki.”Nyonya Besar pergi setelah mengancam Rael, meninggalkan para pekerja dan penjaga begitu saja. Terlihat jelas bahwa tujuan utamanya hanyalah untuk menekan Rael dengan ancaman.
Para penjaga pun paham maksud dari Nyonya Rumah. Semua itu semakin menunjukkan bahwa Rael memang sengaja dibuang oleh keluarganya—seperti siksaan tanpa henti, bahkan ia tidak diizinkan untuk mati. Hal itu jelas terlihat dari apa yang dilakukan Nyonya Rumah.
Setelah iringan Nyonya Rumah menjauh, Tian akhirnya bisa bernapas lega. Untung saja Rael tidak sampai dipukul, ia sudah ketakutan lebih dulu.
“Untung saja kau tidak dipukul,” ucap Tian lirih, masih menahan rasa takut yang belum sepenuhnya hilang dari wajahnya.
“Untuk apa aku dipukul? Aku tidak salah apa-apa,” jawab Rael dengan nada tegas. Matanya menatap lurus ke arah tanah, mencoba menahan amarah dan rasa sakit di dadanya.
“Apa kau tidak ingat perlakuan mereka yang menyiksamu selama ini?” tanya Tian, suaranya gemetar, seolah masih tidak percaya bahwa Rael bisa berbicara setenang itu setelah semua penderitaan yang ia alami.
“Sudahlah, jangan bahas lagi. Aku sudah muak dengan perlakuan mereka. Kita hanya harus membuktikan kalau idemu ini bagus,” kata Rael, kali ini suaranya penuh tekad. Tangannya mengepal erat, memperlihatkan betapa ia menahan rasa benci sekaligus semangat untuk melawan dengan caranya sendiri.
“Butuh enam bulan untuk bisa panen. Aku tak yakin akan bisa bertahan selama itu,” balas Tian dengan raut wajah cemas. Ia menunduk, membayangkan siksaan yang mungkin harus mereka tanggung selama menunggu.
“Aku hanya butuh tiga bulan saja. Kau tenang saja, pasti ini berhasil,” ujar Rael mantap, sorot matanya tajam seakan ingin meyakinkan Tian..
Hari semkin sore dan para pekerja Kembali ke tempat istirahat mereka begitu juga Rael Dimana ia memiliki tempat yang berbeda dari para pekerja lainnya. Hal itu membuat Rael harus berpisah dengan Tian, cukup banyak informasi yang Rael dapatkan dari anak itu.
Malam itu Rael penasaran dengan rumah besar sebagai tempat tinggal Nyonya besar, dan hubungan keluarga yang di lluar nalar membuat Rael berusaha untuk menyelinap masuk ke sana, di saat para penajga sibuk dan suasan sudah terlihat sepi Rael diam-diam berjalan menuju rumah besar itu lewat pekarangan..
Langkah kakinya mendorongnya masuk lewat pintu belakang, di mana ada dapur besar yang kokoh dan mewah—sangat berbanding terbalik dengan tempat tinggalnya sekarang. Ternyata Nyonya Rumah hidup bermewah-mewahan.
Benar saja. Saat ia mendekat, pintu dapur terbuka, dan seorang pelayan tua keluar membawa sampah. Rael mengenali wajahnya—perempuan itu dulu sering diam-diam memberinya sepotong roti basi ketika ia masih tinggal di gudang.
Dengan cepat, Rael menahan mulut pelayan itu dari belakang, lalu berbisik pelan, “Tenang, ini aku. Rael.”
Perempuan itu terkejut, hampir menjatuhkan bakul sampahnya. “Tuan muda?!” bisiknya tertahan, matanya melebar ketakutan. “Apa yang kau lakukan di sini? Kalau Nyonya besar tahu—”
“Justru itu,” Rael menatapnya lekat, “aku butuh tahu kenapa mereka ingin aku mati. Kenapa aku selalu diperlakukan berbeda. Katakan padaku… siapa sebenarnya aku?”
Pelayan tua itu gemetar, wajahnya pucat. Ia menoleh ke kanan-kiri, lalu menarik Rael masuk ke dapur kosong. Dengan suara bergetar, ia berkata, “Aku… aku tidak boleh. Kalau ada yang mendengar, aku juga akan dibunuh.”
Rael meraih tangannya erat. “Aku sudah setengah mati setiap hari. Aku berhak tahu.”
Hening sesaat. Lalu, dengan napas berat, pelayan itu berbisik:
“Kau bukan anak buangan biasa, Tuan muda,”Rael membeku. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar kepalanya.
Jadi… dugaanku benar. Ada sesuatu tentang asal-usulku yang mereka sembunyikan.
Pelayan tua itu baru saja membuka mulut lagi, suaranya bergetar.
“Ayahmu… dia bukan orang sembarangan. Kau… keturunan dari—”
Brak!
Pintu dapur mendadak terbuka keras. Cahaya lampu minyak menerobos masuk, disertai langkah sepatu berat menghantam lantai kayu. Seorang penjaga tinggi dengan pedang di pinggang berdiri di ambang pintu, wajahnya menyipit penuh curiga.
“Siapa di sini?” suaranya bergema dingin. “Aku mendengar suara.”
Pelayan tua itu langsung menutup mulutnya rapat-rapat, wajahnya pucat pasi. Rael refleks bersembunyi di balik rak kayu berisi karung gandum, menahan napas. Detak jantungnya terdengar jelas di telinganya sendiri, seperti genderang perang.
Penjaga itu melangkah masuk, matanya menyapu ruangan. Ia mendekat ke meja, lalu berhenti tepat di depan rak tempat Rael bersembunyi. Tangannya bergerak, meraih gagang pedang.
“Keluar!” bentaknya.
Malam itu, setelah istana kembali sunyi dan para bangsawan pulang dengan pikiran masing-masing, Rael belum tidur.Ia duduk sendirian di ruang arsip kecil yang jarang dipakai—ruangan tanpa lambang keluarga, tanpa penjaga tetap. Tempat yang aman justru karena dianggap tidak penting.Di hadapannya hanya ada satu berkas tipis.Bukan laporan.Bukan bukti.Melainkan rangkuman keputusan hari ini—siapa dipindah, siapa dibiarkan, siapa *tidak disentuh*.Rael mengetukkan ujung jarinya ke meja.“Yang paling berbahaya,” gumamnya pelan, “selalu yang lolos tanpa luka.”Pintu terbuka perlahan. Halim masuk tanpa suara.“Kau belum selesai,” katanya, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan.Rael tidak menoleh. “Belum. Hari ini kita menyingkirkan orang yang terlalu berani.”“Dan besok?” tanya Halim.Rael menutup berkas itu. “Besok… orang-orang yang terlalu sabar akan mulai bergerak.”Halim menyandarkan punggung ke dinding. “Aku sudah perintahkan pasukan tetap netral. Tidak ikut permainan politik.”
Perintah Raja dijalankan tanpa teriakan, tanpa derap berlebihan. Inilah cara istana bekerja ketika situasi genting—sunyi, cepat, dan mematikan bagi siapa pun yang lengah.Gerbang utama ditutup perlahan, seolah hanya pergantian jaga biasa. Di pelabuhan, kapal-kapal dagang ditahan dengan alasan inspeksi malam. Jalan-jalan keluar kota dijaga, bukan oleh pasukan bersenjata lengkap, melainkan oleh petugas administratif yang membawa daftar nama dan surat izin. Cara yang tidak mencolok, namun efektif.Rael berdiri di balkon dalam aula, mengamati pergerakan dari kejauhan.“Dia tidak akan kabur secara kasar,” katanya pelan pada Halim. “Menteri itu terlalu rapi untuk berlari.”Halim mengangguk. “Orang seperti dia pasti mencari perlindungan hukum, bukan pedang.”“Benar,” sahut Rael. “Dan itu berarti satu tempat.”Halim menoleh. “Kediaman Dewan Lama.”Rael tersenyum tipis. “Satu-satunya tempat di mana keputusan bisa ditunda atas nama prosedur.”Raja mendekat, suaranya rendah namun tajam. “Kalau d
Malam turun sepenuhnya ketika lonceng istana dibunyikan tiga kali—tanda rapat darurat tingkat tinggi. Aula pertemuan utama diterangi puluhan lampu minyak, cukup terang untuk menampakkan wajah-wajah yang biasanya tersenyum sopan, kini tegang dan penuh perhitungan.Rael berdiri di sisi ruangan, tidak di pusat perhatian, namun justru dari sanalah ia bisa melihat semuanya.Satu per satu para pejabat tinggi dan bangsawan masuk.Keluarga Varin dengan langkah angkuh.Utusan Norvad dengan wajah datar.Perwakilan Lorian yang terlalu banyak berbicara, seolah menutupi kegelisahan.Dan akhirnya—Arven.Bendahara muda itu berjalan dengan sikap tenang yang dibuat-buat. Namun Rael menangkap detail kecil yang tak luput dari perhatiannya: napas Arven lebih pendek dari biasa, dan tangannya mengepal sesaat sebelum ia duduk.Tak lama kemudian, Raja memasuki aula. Semua berdiri.Raja mengangkat tangan. “Duduk.”Suara kursi bergeser serempak. Keheningan jatuh seperti selimut berat.“Kita berkumpul malam ini
Arven berjalan cepat melewati lorong pelayan, berusaha menjaga wajahnya tetap tenang. Namun langkahnya terlalu tergesa untuk disebut wajar. Beberapa pelayan menoleh, tapi Arven tidak peduli. Kepalanya penuh dengan satu pikiran: **Eldran**.Ia harus memastikan pria tua itu tidak bertindak ceroboh.Di sudut lain istana, Rael, Halim, dan Dagan mengikuti dari jarak aman. Mereka bergerak terpisah, memanfaatkan lorong-lorong kecil yang jarang dilalui. Tidak ada isyarat berlebihan, tidak ada perintah lisan—semuanya sudah disepakati sejak awal.Arven berhenti di depan pintu rumah kecil Eldran. Ia mengetuk cepat, tanpa sandi kali ini.Pintu terbuka sedikit. Wajah Eldran muncul, keriputnya makin dalam saat melihat siapa yang datang.“Kau lagi?” bisiknya tajam. “Kau ingin diperhatikan?”“Kita sudah diperhatikan,” balas Arven sambil mendorong masuk. “Mereka sudah hampir menemukan semuanya.”Pintu ditutup. Dari balik jendela kecil rumah itu, bayangan dua orang terlihat bergerak gelisah.“Kau bilan
Arven tiba di depan gudang kebun timur. Area itu gelap, hanya diterangi satu lampu minyak yang hampir padam. Ia memeriksa sekeliling—tidak ada siapa pun.Atau setidaknya, tidak terlihat.Dengan gugup tersamar, ia membuka kunci gudang menggunakan kunci kecil yang disembunyikannya selama ini. Suara logam berdecit pelan.Begitu pintu terbuka, aroma tanah dan pupuk menyergap hidung.Arven masuk dan menyalakan lampu gantung kecil. Gudang itu tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk menyimpan alat-alat kebun, karung pupuk, dan beberapa peti peralatan lama.Ia langsung menuju sudut belakang.Tempat di mana *Samer*—orang yang menyamar sebagai pekerja kebun—menyembunyikan sesuatu tiga hari lalu.Arven berlutut, menggeser peti kayu perlahan. Tangannya gemetar saat ia mengangkat papan lantai yang bisa dibuka.Kosong.Tidak ada apa-apa.Arven menegang. “Tidak mungkin… Tidak mungkin!”Ia merogoh lagi, memeriksa pinggiran, celah-celah, bahkan karung di sekitarnya. Tidak ada.“Siapa yang mengambilnya
Halim menatap Rael lama, seolah menimbang apakah rencana berani itu lahir dari kejernihan pikiran atau dari keberanian berlebih. Namun kilat keyakinan di mata Rael membuatnya mengangguk perlahan.“Apa langkah pertamanya?” tanya Halim.Rael berjalan menuju jendela, menatap halaman dalam istana yang mulai gelap. Lampu-lampu obor bergoyang diterpa angin, dan beberapa penjaga malam mengganti posisi mereka.“Kita buat seolah-olah kita menemukan lebih banyak bukti daripada yang sebenarnya,” jawab Rael. “Seseorang yang sedang bersembunyi pasti panik jika merasa penyamarannya mulai terungkap.”Halim menyilangkan tangan. “Panik berarti bergerak. Dan kalau dia bergerak…”“Kita menangkapnya,” sambung Rael.Halim menghembus napas perlahan. “Tapi kalau dia cukup pintar, dia juga bisa memotong semua jejak sebelum kita mendapat apa pun.”Rael menoleh. “Paman, kita sedang melawan orang yang memahami sistem istana. Ia tidak mungkin duduk diam. Sekalipun ia berusaha menghilangkan jejak, itu justru akan







