Share

PERINGATAN MANTAN MERTUA

Suara sang mantan ibu mertua terdengar di seberang sana, dan membuat Shelin terdiam untuk sejenak.

Lagi-lagi kata pembawa sial. Setelah Pram yang mengucapkan kalimat itu padanya sebelum bercerai kini kata-kata itu juga diucapkan oleh ibunya Pram, dan rasanya hatinya seperti ditusuk ribuan jarum hingga ia tidak bisa berkata-kata lagi untuk merespon kalimat menohok itu.

{Alhamdulillah, kalau Pram sudah menemukan pekerjaan, aku turut senang mendengarnya}

Akhirnya, kalimat itu yang diucapkan oleh Shelin untuk menanggapi apa yang diucapkan oleh sang mantan ibu mertua.

Tetapi, ibunya Pram justru kurang suka mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Shelin tadi padanya, padahal Shelin mengucapkan itu dengan tulus, tidak ada maksud lain hingga akhirnya perempuan itu melancarkan aksi protesnya pada Shelin.

{Kamu jangan ikut senang karena berpikir bisa meminta bagian dari hasil kerja Pram, ya! Anggap saja, kamu harus bertanggung jawab sudah membuat anakku jadi sengsara selama menikah dengan kamu, jadi kamu tidak perlu menghubungi Pram lagi atas alasan apapun!}

Peringatan berikutnya diterima oleh Shelin dan Shelin hanya bisa mengucapkan istighfar karena merasa apa yang dikatakan sang mantan mertua terlalu berlebihan sebab, meskipun sudah bercerai, Pram seharusnya tetap bertanggung jawab atas anak mereka.

Namun, mendengar apa yang dikatakan sang mantan mertua, keinginan Shelin untuk meminta Pram tetap bertanggung jawab atas Sheila usai mereka bercerai musnah.

Shelin bertekad untuk mengurus Sheila sendiri walaupun ia sekarang justru belum menemukan pekerjaan sama sekali.

{Mami-}

{Siapa yang kau panggil Mami? Aku bukan mertua kamu lagi, Shelin jangan pernah memanggilku dengan sebutan itu lagi}

{Ya, Tante. Aku tahu, aku juga tidak akan memberatkan Pram untuk masalah apapun, tapi, untuk Sheila, karena Pram ayahnya, aku juga tidak akan membatasi tanggungjawab Pram padanya}

{Jangan gunakan anakmu untuk menjerat Pram, Shelin! Ya! Sheila memang anak Pram, tapi, bukan berarti kamu bisa menggunakan dia untuk menguasai Pram!}

Setelah bicara demikian, mantan mertua Shelin mengakhiri percakapan. Shelin menarik napas. Dipandanginya Sheila yang sudah selesai makan dan beralih sibuk dengan kegiatannya. Menggambar apapun yang bisa ia gambar dengan jemari kecilnya.

Setelah itu Shelin beranjak menuju kamar untuk mengambil handuk.

Perkara perpisahannya dengan Pram, Shelin tidak mau memikirkannya, ia lebih peduli dengan bagaimana kelanjutan hidup ia dan anaknya jika pekerjaan saja ia belum mendapatkannya.

Beberapa hari belakangan ini ia sudah berusaha keras untuk mencari pekerjaan, memang, tidak ada satu pun lowongan hingga terkadang kata-kata pembawa sial itu terpatri lagi di otaknya, apakah benar ia pembawa sial? Jika dahulu Pram yang mendapatkan sial itu, apakah itu berarti sekarang kesialan itu untuk anaknya?

***

Esok harinya, Shelin yang tidak bisa lagi menitipkan Sheila untuk membuat ia bisa mencari pekerjaan terpaksa membawa Sheila bersamanya.

Tetangga Shelin tidak mau lagi peduli dengan kesulitan Shelin dan Shelin juga tidak mau menitipkan anaknya setelah mendengar penuturan Sheila tentang perlakuan Ratna sang tetangga yang menurut Shelin keterlaluan.

Lebih baik membawa sang anak daripada Sheila bersama orang yang ternyata tidak bisa menjamin anaknya diperlakukan dengan baik.

"Sheila capek?" tanya Shelin setelah beberapa toko yang mereka masuki tidak juga membuat ia mendapatkan pekerjaan.

"Tuma haus!" jawab Sheila yang artinya ia mengatakan bahwa dirinya haus, cuma haus.

Shelin membimbing anaknya untuk duduk di sebuah bangku yang ada di tepian tidak jauh dari jalan raya.

Mereka duduk di bangku yang teduh karena di bawah pohon hias dan perempuan itu mengeluarkan botol air minum yang sengaja ia bawa dari rumah karena membawa Sheila ikut bersamanya.

Sheila menurut, ia meminum minuman itu dengan wajah yang terlihat sedikit berkeringat.

"Maaf ya, Sheila jadi capek karena harus ikut Mama cari pekerjaan."

Shelin mengucapkan kata itu sambil mengusap puncak kepala Sheila yang ditutup topi berwarna pink agar sang anak tidak langsung terkena panas matahari saat bepergian dengannya.

"Atu macih tuat!"

Sheila tersenyum sambil mengatakan bahwa dirinya masih kuat pada sang ibu dan itu membuat Shelin terenyuh dengan apa yang dikatakan sang anak padanya.

"Sheila memang anak yang kuat, Mama bisa kuat karena ada Sheila."

"Papa duga tuat taya Mama!"

Shelin bungkam ketika sang anak mengatakan bahwa sang ayah juga kuat seperti dirinya, dengan gaya bicara yang masih belum sempurna menyebut huruf.

"Sheila kangen papa?" pancing Shelin sekedar ingin tahu perasaan sang anak pasca ia dan sang suami berpisah.

"Papa telja! Tata papa, talo papa telja dangan dipitil."

Sheila menjawab dengan kata 'papa kerja, kata papa, kalo papa kerja jangan dipikir' begitu arti ucapan yang dilontarkan sang anak pada Shelin.

"Iya, benar kata papa, Sheila tidak usah memikirkan papa kalau papa lagi kerja, ya?"

Sheila mengangguk. Bocah itu terlihat menikmati pemandangan di hadapan mereka meskipun sebenarnya itu hanya pemandangan kendaraan yang lalu lalang dan tidak indah sama sekali.

Namun, semenjak rumah tangga orang tuanya retak, Sheila bahkan jarang sekali untuk berjalan-jalan. Sang ibu sibuk mencari pekerjaan dan ia dititipkan ke rumah sewaan Ratna hingga ia hanya bisa bermain di dalam rumah.

Baru kali ini Sheila bisa keluar yang sedikit jauh dari area rumah itu sebabnya bocah itu tidak terlihat bosan sama sekali.

"Kita lanjut cari pekerjaan lagi, yuk?"

Setelah beberapa saat diam karena memberikan jeda anaknya untuk istirahat, Shelin bicara demikian dan Sheila langsung setuju.

Mereka bangkit dari tempat duduk mereka, dan mulai melanjutkan perjalanan sambil bergandengan tangan.

Shelin mengedarkan pandangannya untuk mencari tahu apakah area yang mereka lewati terdapat toko yang sekiranya butuh dengan tenaganya?

Di ujung tikungan jalan, Shelin melihat tokoh bunga yang lumayan besar. Toko itu belum pernah ia masuki untuk menanyakan lowongan.

Ke sanalah Shelin mengajak sang anak, berharap ada lowongan sebagai apapun di toko itu.

"Permisi Bu, apakah toko bunga Ibu, masih memerlukan tenaga untuk dipekerjakan?"

Dengan sopan, Shelin mengutarakan niatnya saat pemilik toko bunga itu justru mengira dirinya adalah salah satu konsumen.

"Kamu mau kerja di sini?"

Wanita dengan wajah yang tidak ramah itu melontarkan pertanyaan sambil mengarahkan pandangannya pada Sheila yang langsung menunduk ketika ia menatap bocah itu.

"Iya, saya mau kerja di sini, sebagai apapun."

"Ini siapa?"

Wanita itu menunjuk dengan mulut yang ia monyongkan ke arah Sheila.

"Oh, ini anak saya, Bu! Saya bawa karena tidak ada yang menjaga di rumah, tapi Ibu jangan khawatir, dia tidak nakal."

"Kenapa tidak dititip ke penitipan anak? Atau, kalau tidak mau keluar biaya kamu bisa menitipkan anak kamu dengan mertua, ibu, atau keluarga kamu yang lain."

"Saya sudah bercerai, dan orang tua saya sudah meninggal, keluarga saya yang lain juga tidak ada karena merantau ke luar daerah, saya tidak punya siapa-siapa untuk bisa dipercaya menjaga anak saya, sedangkan untuk dititipkan ke penitipan anak, saya juga tidak ada uang."

"Tapi, aku rasa, kamu itu tidak terbiasa untuk bekerja, dari raut wajah kamu itu."

"Saya akan berusaha untuk bisa mengerjakan apapun, asalkan Ibu memberikan saya kesempatan itu."

"Baik, aku akan memberikan tes terlebih dahulu, coba kau rangkai bunga yang ada di sana, jika kau bisa melakukannya, maka kau akan aku terima bekerja di sini."

Shelin mengikuti jari telunjuk pemilik toko bunga itu hingga ia paham dengan apa yang dimaksud oleh wanita tersebut.

"Baik, Bu! Akan saya kerjakan!"

Setelah bicara demikian, Shelin membalikkan tubuhnya masih sambil menuntun tangan sang anak untuk melangkah bersamanya.

Hanya saja saat melangkah mengikuti sang ibu, tanpa sengaja tangan Sheila mengenai salah satu vas bunga yang tinggi di dekatnya, dan karena tidak sengaja dan tidak menyangka itu akan mengenainya, Sheila terkejut, dan....

PRANKK!

Vas bunga itu jatuh dan hancur berantakan!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status