"Apa?! Aldrich sakit?!" Suara pekikan itu berasal dari Tiana, gadis yang kini terbaring di atas ranjang kamarnya. Tiana terkejut saat kekasihnya pagi hari menghubunginya dan mengatakan kalau dia sedang sakit. "Ya ampun... Kalau begitu aku ke sana!""Jangan berangkat sendiri ya, Sayang. Maaf tidak bisa menjemputmu," ujar Aldrich dari balik panggilan itu. "Iya, iya, sekarang matikan telfonnya!" pekik Tiana panik. Gadis itu langsung beranjak dari atas ranjang. Tiana membuka lemari pakaiannya dan memilih baju yang tepat. Tiana tidak bisa mendengar seseorang yang dia sayangi tengah sakit, gadis itu akan merasa cemas dan panik berlebihan. "Bagaimana bisa sakit, kemarin denganku juga masih biasa-biasa saja. Dasar Aldrich!" omel Tiana seraya masuk ke dalam kamar mandi. Gadis itu bersiap untuk beberapa menit, sebenarnya hari ini Tiana ada janji dengan Midi dan Rosse untuk menyiapkan dekorasi baru di beberapa kedainya, namun mungkin akan di undur sampai besok. Tiana berjalan turun ke l
Aldrich tertidur sampai siang hari setelah dia meminum obat yang Tiana siapkan. Laki-laki itu terbangun pukul satu siang. Tubuhnya kembali vit dan nyeri di kepalanya pun sudah reda. Aldrich menoleh ke samping di mana Tiana tertidur meringkuk di sampingnya. "Tiana, sampai tertidur begini," lirih Aldrich tersenyum tipis. Laki-laki itu meletakkan bantal di samping kepala Tiana, ia beranjak bangun gegas melangkah ke kamar mandi dan segera membersihkan tubuhnya. Aldrich merasa nyaman hari ini meskipun dirinya sakit, namun ia diperhatikan lebih oleh Tiana. Dari mengompresnya, memijit lengannya, bahkan Tiana setiap jam selalu membujuk Aldrich untuk diajak ke rumah sakit sampai-sampai mereka tertidur dengan sendirinya. "Gadis ini, lucu sekali," ucap Aldrich menatap ke arah kaca di kamar mandi saat menyadari ada perekat penurun panas yang melekat di keningnya. Dia tertawa gemas. "Lucu sekali dia. Secemas itu kalau aku sakit..." Beberapa menit kemudian Aldrich keluar dari dalam kamar ma
"Jangan bertengkar lagi, malu dilihat semua orang... Kemejamu juga jadi kotor." Tiana mengelap kemeja Aldrich yang kotor karena jus jeruk menyumpahinya. Laki-laki itu diam tidak menjawab. Dia masih marah dan kesal, namun hanya diam saat bersama Tiana belum lagi gadis itu kini mengomelinya habis-habisan. "Sudah-sudah, jangan marah lagi." Tiana memeluk tubuh Aldrich dan tidak peduli kemeja basah itu akan mengotori jaketnya. "Kemejaku kotor Sayang," bisik Aldrich tertunduk mengusap pucuk kepala Tiana. Gadisnya tetap diam dan tidak mengatakan apapun. Namun detak jantung Tiana yang berpacu mampu Aldrich rasakan saat ini. Ia pun memeluk Tiana dengan erat, mengusap punggungnya lembut. "Tidak papa. Semuanya sudah berakhir dan tidak ada keributan lagi, jangan takut," bisik Aldrich mengecup pucuk kepala Tiana. "Jangan seperti itu lagi ya, kau bisa menegurnya hati-hati, bukan malah marah seperti tadi, Aldrich..." Tiana meremas kemeja yang Aldrich pakai. "Maafkan aku, Tiana." Laki-laki i
"Aldrich ngapain ke sini tidak bilang-bilang sih, Tiana belum dandan!" Gadis cantik itu menatap kekasihnya yang baru saja datang dan sudah rapi dengan pakaian formalnya. Dia hanya tersenyum melihat Tiana yang nampak tengah kebingungan dan heboh sendiri. "Tidak berdandan pun kau masih tetap cantik, Sayang..." Aldrich mengusak gemas pucuk kepala Tiana. "Ihhh... Ya jelas tidak! Kalau tidak pakai make up pasti Tiana jelek sekali." "Sudah ayo masuk," ajak Aldrich mengajak Tiana masuk ke dalam rumahnya. Di dalam rumah ada Sebastian yang hendak berangkat ke kantor, laki-laki itu melihat Tiana yang nampak digodain oleh Aldrich saat ini. Nampak Aldrich yang begitu hangat dan sangat perhatian, dia menggoda Tiana menarik pipinya, mengacak rambutnya, dan membuat Tiana cemberut sebelum Aldrich itu pula yang memberikannya sebuah pelukan agar tidak marah. "Cepat masuk ke dalam rumah dan mandi, aku akan mengajakmu ke suatu tempat," ujar Aldrich pada Tiana. "Memangnya mau mengajakku ke mana?"
Suara bell pintu rumah Aldrich berbunyi, sampai sore pun Tiana masih di sana menemani Aldrich yang baru saja kembali dari kantor setelah berangkat sedikit lebih siang. Tiana membuka pintu rumah itu dan melihat dua orang wanita dewasa kini menatapnya seraya membawa beberapa tas."Selamat sore, ini kediaman Tuan Aldrich, kan?" tanya salah satu wanita berambut pirang itu. "Ya, benar. Ada perlu apa ya?" tanya Tiana bingung. "Oh maaf mengganggu waktu Nona, apa Kakak Nona ada? Saya sudah membuat janji dengan Tuan Aldrich sore ini," jelas wanita itu. Tiana masih bingung. Mereka membuat janji apa dengan Aldrich, dua wanita dewasa dan modis, belum lagi mereka menganggap kalau Tiana adalah adik dari Aldrich. Sungguh menjengkelkan sekali baginya. Ia membuka pintu lebar-lebar dan meminta mereka untuk masuk ke dalam rumah. "Silakan masuk, biar saya panggilkan Aldrich," pamit Tiana. "Baik Nona, terima kasih." Tiana pun bergegas naik ke lantai dua, ia membuka pintu kamar dan melihat Aldrich
"Tiana mana Mi? Kok rumah tumben sepi begini sih?" Tino menatap ke dalam rumah menatap ke arah Mami dan Papinya yang tengah duduk berdua di ruang keluarga menonton sebuah acara. "Adikmu tidak mau pulang di tempat Aldrich, katanya dia masih marah padamu," jawab Sebastian. "Ohh..." Hanya jawaban itu yang terdengar dari Tino. Pemuda itu kembali masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya. Pemandangan ini di luar dugaan Shela dan Sebastian, karena biasanya kalau adiknya tidak di rumah, maka Tino pun juga ikut tantrum rasanya. "Tumben dia tidak protes," gumam Sebastian. "Mungkin sedang ada masalah di kantornya," jawab Shela lirih. "Entahlah... Apa jangan-jangan dia kesal juga dengan Tiana?"Shela menatap suaminya. Sebastian mendengkus pelan dan menggeleng. "Mereka sudah dewasa Sayang. Tidak papa, lagipula kalau Tiana sudah menikah pasti dia juga akan merindukan adiknya, Sayang." Mendengar apa yang Sebastian katakan membuat Shela paham dan membenarkannya. Namun tak lama setelah
Meeting telah berakhir setengah jam yang lalu. Di dalam sebuah ruangan hanya ada Aldrich, Sebastian, dan juga Ferdi. Mereka baru saja membahas sebuah proyek penting yang akan mereka kerjakan di bulan-bulan ini. Aldrich mengusap wajahnya pelan, menjelang hari pernikahannya banyak sekali pekerjaan, dan waktunya dengan Tiana pun juga berkurang. "Biar Opa yang membawa dokumen hasil keputusan persetujuan, nanti akan Opa minta orang-orang kepercayaan Opa untuk mengerjakannya. Sisanya kau tangani dengan Papa mertuamu," ujar Ferdi meraih beberapa berkas. "Iya Opa. Tapi aku mungkin masih belum bisa menyelesaikan semua ini dalam satu Minggu ini." Aldrich menatap frustrasi tumpukan berkas di depannya. Melihat ekspresi Aldrich yang tertekan membuat Sebastian tertawa. "Al, urus saja keperluan pribadimu mana yang penting untuk bulan ini. Biar Papi sama Om Vir yang menangani urusan kantor. Kan Papi sudah bilang, menjelang pernikahanmu, kau sibuk. Iya kalau Papi sibuk, ada Mami Shela yang jadi b
Usai membersihkan tubuhnya, Aldrich langsung bergegas ke lantai satu di mana Tiana sedang menunggunya untuk makan malam bersama. Gadis itu tengah menyiapkan nasi dan lauk untuknya. "Sudah selesai," ujar Tiana begitu Aldrich mendekat. "Heem," jawabnya bergumam. Tiana tersenyum manis dan ia duduk berhadapan dengan calon suaminya tersebut. Baru Aldrich sadari kalau meja makannya kini dihias seolah-olah seperti rumah makan megah. Lilin hias, bunga-bunga, dan makanan yang lezat terhidang. "Ide siapa semuanya ini, Sayang?" tanya Aldrich tersenyum gemas. "Tentu saja ideku sendiri! Karena aku tahu kau pasti lelah kalau aku ingin mengajakmu dinner di luar. Jadi kita dinner di rumah saja, kan sama saja seperti makan malam di luar dengan hiasan seperti ini. Apalagi ini masakan spesial dariku, untuk calon suamiku yang baik!" seru Tiana berbunga-bunga. Wajah Aldrich menjadi teduh, ia tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasihnya karena telah memiliki seorang wanita seperti Tiana. "Aku tid