"Lusa aku akan menikahi Selena!"
Bak suara petir di siang bolong, kalimat yang Danu ucapkan membuat sang istri —Mita, terkejut setengah mati. "A-apa, Mas? Apa yang kamu katakan barusan?" "Kamu mendengarnya, Mita. Tak perlu aku mengulanginya lagi bukan?" sinis Danu menatap wanita yang sudah ia nikahi selama hampir tiga tahun lamanya itu. "Tapi kenapa, Mas? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?" "Mita, sejak setahun yang lalu kamu sudah tahu alasannya bukan. Kamu itu tidak bisa memberiku keturunan. Selain itu, Selena adalah kekasihku yang akhirnya aku putuskan karena aku harus menikah dengan kamu, yaitu wanita yang orang tuaku jodohkan karena hutang balas budi." Tak sanggup lagi Mita menahan air mata yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya. Danu, yang baru saja pulang dari kantor tiba-tiba mengatakan hal yang —sebenarnya— sering kali ia katakan belakangan ini. Menikahi Selena sudah lama Danu dengungkan di setiap kebersamaannya dengan sang istri bila sedang berada di rumah. Mita tahu sejak kembalinya mantan kekasih Danu dari menenangkan diri di luar kota —setelah diputuskan secara sepihak oleh sang suami karena harus menikah dengannya, sejak itulah badai yang memang sudah tercipta di awal pernikahan mereka, terjadi. "Sial sekali orang tuaku meminta aku menikah dengan perempuan mandul sepertimu!" Kalimat itulah yang pertama kali Danu ucapkan paska pertemuan pertamanya dengan Selena setelah hampir dua tahun tidak bertemu. Sakit, tentu saja. Tapi, Mita diam saja hanya bisa menangis dalam hati. Kini kalimat itu kembali Danu lontarkan diiringi kalimat pendukung lainnya, di mana ia akan kembali merajut tali kasihnya bersama sang mantan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu pernikahan. "Kamu tidak bisa melakukan ini, Mas. Bagaimana dengan aku?" "Agama kita memperbolehkan lelaki memiliki istri lebih dari satu seandainya kamu tidak mau bercerai denganku!" "Tapi jika lelaki itu bisa bertindak adil, Mas. Lantas, apakah sikap itu akan kamu lakukan terhadapku nanti?" Danu melengos, enggan menatap apalagi menjawab. Sebenarnya bukan Mita tidak mau berpisah dari Danu, lelaki yang sudah tiga tahun hidup bersamanya itu. Tapi, berpisah dengannya bukankah artinya ia harus menghadapi dua keluarga besar yang pastinya akan menyerang dengan berbagai pertanyaan. Belum lagi beban mental yang harus Mita alami jika keputusan Danu didukung oleh keluarganya meski hal itu mungkin saja tidak terjadi. Selain itu, benih cinta yang awalnya tidak ada di hati Mita sekarang mulai muncul dan berkembang seiring kebersamaan keduanya. Kini ia dipaksa untuk hidup bersama dalam satu atap dengan wanita lainnya jika tidak ingin bercerai dari sang suami. Apakah itu sebuah keadilan namanya? hanya karena ia masih belum diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk memiliki keturunan? Sepertinya itu tak adil. "Aku tidak membutuhkan izin darimu untuk bisa menikah dengan Selena. Jadi, ucapanku kali ini hanya sekedar info yang aku ingin sampaikan padamu supaya kamu tidak terkejut nantinya jika aku membawa Selena ke rumah ini." Setelah bicara demikian, Danu pun beranjak ke kamarnya. Kamar utama yang sudah ia tempati bersama Mita sejak keduanya menikah. Nanti setelah ia menikah dengan Selena, mungkin tidak akan setiap hari ia bersama dengan suaminya itu. Pikiran dan bayangan akan kemesraan serta keintiman Danu bersama Selena sudah tergambar jelas di pelupuk mata Mita. Itu semua membuat hatinya menjerit sakit. Wanita itu pun seketika jatuh lunglai ke lantai ruang makan setelah sosok sang suami menghilang di balik tangga. Ia menutup wajahnya dan kembali menangis. 'Kenapa begini, Mas. Apakah ini semua kesalahanku bila Tuhan belum memberikan kita anak? Bukankah aku normal dan baik-baik saja,' gumam Mita dalam kesendiriannya. Ia sangat yakin jika dirinya baik-baik saja karena itu yang dokter katakan ketika ia memeriksakan kondisinya. Menurut Mita ini hanyalah masalah waktu di mana keduanya belum juga Tuhan berikan keturunan. Wanita itu menangis dalam duka tak berkesudahan. Ia tak menduga hari itu akan tiba. Mita berpikir jika suaminya hanya sedang jenuh saja. Tak berpikir sama sekali jika pertemuannya kembali dengan wanita cantik itu ternyata tidak mampu melupakan perasaan cinta yang berusaha Danu kubur selama dua tahun lamanya. 'Kebersamaan kita selama ini ternyata tidak cukup bagimu untuk melupakan wanita itu, Mas,' lirih Mita bersuara seiring isak tangis yang memenuhi ruang makan tersebut. Lama Mita dalam kesendiriannya, hingga kemudian ia memutuskan untuk menyusul suaminya ke kamar. Namun, wanita itu tidak langsung tertidur seperti sosok lelaki yang saat ini sudah terlelap dalam tidurnya di atas ranjang. Tidur yang begitu damai, seolah tak ada masalah apapun yang tengah terjadi di dalam biduk rumah tangganya. Mita berjalan gontai menuju kamar mandi. Ia mencoba menghapus jejak air mata yang masih terlihat di area wajah terutama kedua matanya yang sembab dan memerah. Kemudian ia pun mengambil air wudhu. Satu-satunya tempat di mana masih ada harapan demi hati dan jiwanya, adalah tempat yang akan wanita itu tuju saat ini. Dengkuran halus terdengar masuk ke lubang telinga Mita. Pendengarannya masih sangat jelas saat suara kenyamanan akan aktifitas tidur yang suaminya alami, wanita itu dengar saat keluar dari kamar mandi. Mita mencoba tidak peduli. Ia memilih bersegera, menghamparkan sajadah di atas karpet berbulu tebal di ujung tempat tidur. Mukena sudah ia kenakan ketika akhirnya ia mulai dengan mengangkat kedua tangan di kedua sisi wajahnya. Salat dua rakaat pun ia lakukan demi menghilangkan resah dan kegelisahan hati dan jiwanya. Seiring ucapan yang terlontar lirih, air mata yang sudah ia coba hentikan tadi kembali terjatuh. Ia pun berdoa dan menangis dalam sujud panjangnya malam itu. "Ya Allah, jika ini memang takdir hidup yang Engkau berikan pada kehidupan rumah tangga hamba, berikanlah kesabaran hati dan ketenangan jiwa hamba dalam mengarunginya. Tapi, seandainya berpisah adalah jalan lain yang harus hamba jalani, tuntunlah hamba dan mudahkanlah." Doa itu adalah doa yang Mita pinta kepada Tuhan-nya sembari mengangkat kedua tangan ke atas. Menatap udara kosong yang seolah tengah berbicara pada Sang Maha Pemberi, Mita bicara bersamaan dengan lelehan air mata yang sudah membasahi mukenanya. *** Waktu subuh menjelang, Mita sudah terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Semalam ia habiskan dalam munajat kepada Sang Pencipta hingga tanpa sadar tertidur di atas hamparan sajadah. Wanita itu pun melepaskan mukena dan pergi menuju kamar mandi. Meski masih pagi sekali, kebiasaan mandi pagi ia lakukan seraya mengambil wudhu kembali. Tampak di cermin wastafel bayangan wajahnya sembab dengan mata membengkak sisa tangisan semalam. Mita pun mencoba untuk melupakan semua yang terjadi dan memilih untuk bersegera. Pukul lima lewat lima menit, Mita menjalankan kewajibannya sebagai hamba yang menyembah Tuhan-nya. Selesai dengan ritual ibadah yang ia jalani, sosok sang suami masih terlihat tidur di atas ranjang dengan kasurnya yang empuk. Mita pun beranjak dan mencoba untuk membangunkan suaminya itu. "Mas, bangun, Mas. Sudah pagi!" seru Mita membangunkan Danu. Wanita itu menggoyangkan tubuh sang suami supaya terbangun. Terlihat sedikit pergerakan terjadi ketika Mita membangunkan laki-laki itu dalam usahanya yang ketiga. "Bangun, Mas. Ini sudah pagi. Mumpung masih ada waktu untuk salat subuh." Mita melihat ekspresi wajah Danu yang tampak sekali kesal. "Aku masih ngantuk. Lagipula ini 'kan hari sabtu, kantor libur." Seolah tak peduli dengan apa yang istrinya ucapkan, Danu kembali menarik selimut dan berbalik. Lelaki itu pun melanjutkan tidurnya. Melihat itu Mita tak ingin memaksa supaya suaminya bangun dan melakukan ritual ibadah wajib sepertinya. Sudah cukup baginya mengingatkan. Tidak wajib bagi Mita sebagai seorang istri untuk memerintah. Akhirnya, ia pun beranjak keluar kamar dan pergi menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi. Rasa tertekan di dalam hatinya masih jelas terasa. Tapi, sebelum ia mendapatkan petunjuk dari Tuhan atas doa yang dipanjatkannya, Mita memilih untuk menjalani semuanya dalam keikhlasan yang mungkin saja sulit untuk dirinya lakukan. ***Proses ijab kabul berjalan dengan lancar. Meski sudah dua kali menikah, Danu tetap merasa gugup ketika acara hendak dimulai. Tapi, sang penghulu membuat suasana hatinya jauh lebih baik sebab kepandaiannya mencairkan suasana. Nisa dihadirkan setelah Danu mengucap ijab kabul. Gadis itu muncul bersama Mita mengenakan kebaya berwarna pink yang cantik, secantik wajahnya. Beberapa orang yang belum mengenal Nisa, tampak terpesona dengan kecantikan gadis itu yang tampak alami. Ya, Nisa meminta pada penata riaknya untuk tidak mendadaninya dengan riasan yang tebal. "Natural saja, tapi bagus."Alhasil, beginilah penampakan Nisa sekarang. Mampu membuat semua orang terpana dengan kecantikannya yang khas dan alami. "Orang kaya yang enggak banyak tingkah. Danu beruntung." Amar berkata pelan kepada istrinya. Mita tersenyum mendengar ucapan Amar. Ia setuju dengan pujian suaminya itu. "Aku pikir keduanya beruntung," balas Mita memilih tak memihak. "Setuju.""Kamu tidak cemburu atau iri 'kan, Mas
Sebelum saya melanjutkan bab terakhir kisah Danu dan Nisa, izinkan saya mempromosikan cerita terbaru yang berjudul PENGANTIN YANG TAK DIINGINKAN. Saya berharap kalian suka dan membaca cerita tersebut yang akan saya update di bulan Februari besok. Cerita ini masih ber-genre romantis. Mengisahkan dua insan manusia yaitu Shania dan Alex yang menikah bukan atas dasar cinta.Bagaimana kisah keduanya? Tentu kalian harus membacanya dari awal sampai akhir supaya tidak penasaran. Untuk itu, saya beri kalian spoiler di bab awal, ya. Untuk bab selanjutnya kalian bisa buka cerita PENGANTIN YANG TAK DIINGINKAN di baris paling bawah. Selamat membaca. Happy reading! BAB 1.Malam itu Shania berdiri di depan cermin, memandang wajahnya yang lesu. Ia merasa terjebak dalam kehidupan yang tidak diinginkannya. Pernikahan dengan Alex, putra keluarga kaya, terasa seperti sebuah kesepakatan bisnis, bukan persatuan cinta.Shania masih ingat jika teman kuliahnya itu adalah kekasih Maura, primadona kampus yang
Namun, ide dan saran Danu justru diterima dengan sangat baik oleh Rendy dan istrinya. Kedua orang tua Nisa dengan serta merta setuju dan langsung mem-booking aula hotel miliknya di tanggal yang Danu minta. "Kalian ini kenapa sih? Kok bisa-bisanya kompak untuk urusan beginian," ucap Nisa saat Danu menyampaikan keinginannya tersebut. Nisa mungkin hanya protes di mulut, karena pada kenyataannya, ia pun merasa bahagia karena akan segera melepas masa lajangnya. Ia dan Danu akan menikah dengan acara yang ayahnya buat begitu mewah. "Kamu anak Ayah dan ibu satu-satunya. Tidak mungkin kalau kami membuat pesta sederhana dengan keluarga dan kolega kita yang begitu banyak.""Lagipula, Ayah ingin semua orang tahu bahwa putri Ayah yang cantik ini sudah ada pemiliknya. Seorang laki-laki pemberani yang bisa menaklukan hati putri Ayah yang sangat terjaga ini. Danu bukan seorang lelaki pengecut yang tidak mampu menghadapi aral dan masalah."Ucapan sang ayah membuat Nisa terdiam. 'Apakah ayah sudah t
"Jadi, Mas Danu yakin kalau dia tidak akan mengganggu kita lagi?" tanya Nisa setelah mendengar penuturan Danu tentang pertemuannya dengan Selena. "Semoga saja begitu. Aku tidak mau berkata yakin sebab wanita itu bisa saja melakukan hal di luar nalarnya. Tapi, aku cukup memberinya penjelasan tentang sesuatu.""Penjelasan apa?""Bukan penjelasan. Tapi, lebih ke ancaman mungkin." Danu terkekeh. "Mas Danu ngancam apa?""Aku cuma bilang, jangan macam-macam dengan hubunganku sekarang. Karena calon mertuaku bukanlah keluarga sembarangan. Mereka bisa melakukan apa saja jika ada yang berani mengusik anaknya.""Kamu bilang begitu?" Nisa menatap tak percaya. "Ya." Danu terkekeh. Dipandangnya Nisa yang malah menggeleng karena ceritanya. "Kamu ini ada-ada saja.""Memanfaatkan kekayaan keluargamu aku pikir akan berhasil. Setidaknya, ia langsung bungkam ketika aku bicara begitu.""Haha. Kamu percaya diri sekali.""Aku kenal Selena. Dia memang bukan perempuan lemah lembut seperti Mita. Tapi, aku
Danu sudah parkir di depan gerbang rumah Nisa setelah pertemuannya dengan Selena berakhir dengan keributan. Perempuan itu jelas tidak terima dengan keputusan yang diambilnya. "Dia bukan anakku. Seharusnya kamu meminta pertanggung jawaban lelaki itu, dan bukan malah mengganggu bahkan menemui aku seperti ini.""Dia pergi meninggalkan aku, Danu.""Apa bedanya dengan kamu yang pergi meninggalkan aku dengan dalih balas dendam. Padahal saat itu aku tidak tahu menahu tentang hubungan gelapmu dengan lelaki itu. Bahkan, aku juga menyangka bahwa anak yang ada di dalam kandunganmu adalah anakku.""Aku minta maaf, Danu.""Aku sudah memaafkan kamu, Selena. Tapi, aku tidak bisa kembali denganmu. Apalagi setelah semua yang kamu lakukan.""Kamu yang lebih dulu menyakiti aku!" teriak Selena di tengah taman yang sepi. Tak banyak orang yang ada di sana, kecuali ia dan Danu juga beberapa pasangan muda mudi lain yang menempati titik berbeda. "Ya, kalau begitu kita impas bukan?""Benar. Kita impas. Jadi,
Nisa sudah akan beranjak meninggalkan Danu dan Noah, tapi tiba-tiba Danu bersuara. "Aku pikir bukan kamu yang seharusnya pergi. Tapi, aku."Nisa menoleh. "Bukannya tadi kamu mau bertanya sama dia? Kenapa jadi berubah pikiran?" tanya Nisa ketus. "Awalnya, iya. Tapi, buat apa aku bicara pada laki-laki pecundang yang bahkan kisah masa lalunya sudah tidak memiliki harapan lagi," ucap Danu yang kemudian berbalik untuk menuju ke mobilnya. Nisa tidak menghentikan langkah lelaki itu. Ia memilih diam sampai mobil milik Danu berlalu meninggalkannya dan Noah. Sekarang hanya tinggal ia dan Noah. Laki-laki itu tampak senang karena bisa berbicara berdua saja dengan sang mantan kekasih. "Apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Nisa masih tidak bergeming di posisinya. Di tempat lain Danu yang sudah meninggalkan area gedung, melajukan kendaraannya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Meninggalkan Nisa yang saat ini tengah berbicara dengan Noah, membuat dadanya sesak menahan kesal. Saat dirinya masih