"Ternyata kalian selangkah lebih maju daripada aku. Selamat ya," ucap Ayu yang sudah berdiri di belakang Rubi. "Selamat berjuang mendapatkan restu, berdoa saja keluarga Debby tidak keberatan jika cucu mereka di asuh oleh tukang masak seperti kamu," ujar Ayu tersenyum sinis."Permisi," ujar Rubi yang memilih untuk pergi daripada harus mematik emosi dengan wanita seperti Ayu."Aku baru tau kalo kamu janda, pantas ...." Ayu melipat kedua tangannya di depan dada. Rubi menghentikan langkahnya sebelum keluar dari toilet."Pantas saja Regantara tergila-gila, sepertinya servis kamu memuaskan." Senyum sinis itu terukir di wajah Ayu."Hentikan omongan busuk kamu," ujar Rubi memutar tubuhnya dan menatap tajam pada Ayu. "Rasanya sulit saya percaya seorang intelektual, lulusan luar negeri, punya karir yang bagus serta anak dari seorang pengusaha ternama di negeri ini harus mengemis cinta pada kekasih orang. Kasian sekali ...," ucap Rubi lalu tersenyum pada Ayu. "Permisi, Ibu Ayu."Rubi berjalan k
Rubi masih diam sepanjang perjalanan tadi hingga mereka tiba di hotel. Rubi mengikuti langkah kaki Regantara dari belakang, kekasihnya itu menggendong Arsa yang tertidur di saat perjalanan. "Sebentar," ujar Rubi membuka pintu kamar hotel. Regantara merebahkan putra bungsunya pelan, Rubi membuka sepatu lelaki kecil itu, membuka pakaian Arsa hingga menyisakan pakaian dalam Arsa dan kaos singlet berwarna putih. Rubi menyelimuti Arsa dan mencium pipi anak kekasihnya itu, sebelum dia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Regantara masih menunggu hingga Rubi keluar dari kamar mandi. Dia masih menuntut penjelasan dari Rubi mengapa ingin pulang segera besok pagi. "Besok pagi nggak usah di antar, aku bisa sendiri ke stasiun," ujar Rubi mengeluarkan baju tidur dari kopernya. "Kamu kenapa sih tiba-tiba begini?" tanya Regantara yang masih bingung dengan apa yang terjadi pada Rubi. "Enggak ada, aku cuma mau pulang," kata Rubi melepas bathrobe-nya begitu saja di hadapan Regantara
"Bi ...," lirih Regantara yang bergerak semakin cepat. "Bisakah kita melakukannya sekarang?" Regantara memajumundurkan tubuhnya, rahangnya mengeras menahan sesuatu yang seakan akan ingin membuncah. "Mas," ucap Rubi penuh dengan desah. "Biarkan saja dulu, Bi ...." Suara serak Regantara begitu lembut di telinga Rubi. "Mas ...." Rubi meremas lengan kekar Regantara. Regantara menjauhkan tubuhnya dari Rubi, seketika dia menghentikan aktivitas gilanya itu. "Kenapa?" tanya Rubi lalu menoleh ke arah Arsa yang meringkuk membelakangi mereka. "Basah ...." Regantara tertawa kecil sementara Rubi menarik sudut bibirnya dan menjauhkan tubuh Regantara darinya. "Mandi sana ...." Rubi tak bisa menahan tawanya. Rubi sudah memeluk Arsa saat Regantara selesai membersihkan dirinya. Regantara melangkah menghampiri anak lelaki dan kekasihnya itu. Perasaan damai itu begitu terasa jika melihat kedekatan Rubi dan Arsa. Arsa masih membutuhkan ibu tempat dia bermanja-manja, bercerita bahkan merasakan ka
Mobil MPV putih itu melaju ke arah pemukiman elite keluarga Wahyu. Rubi menepati janjinya untuk hadir dalam acara sarapan pagi bersama keluarga almarhum Debby. Mobil Regantara masuk ke halaman besar rumah megah itu. Mata Rubi terbelalak melihat megahnya rumah milik Wahyu. "Ayo turun," ajak Regantara. "Kayma, Arsa jangan lari-lari nanti jatuh!" seru Regantara. "Mungkin aku perlu puluhan tahun untuk bisa mendapatkan rumah seperti ini," canda Rubi yang sebenarnya ingin menetralkan kegugupan di hatinya. "Sama ...," ucap Regantara menggamit tangan Rubi membawa wanita itu masuk ke dalam rumah. "Selamat pagi," sapa Regantara pada Irma yang sedang menata hidangan pagi itu. "Selamat pagi, Ibu Irma," ucap Rubi sopan. "Selamat pagi, silahkan," ujar Irma sambil tersenyum. "Anak-anak tadi dimana, Re?" "Sepertinya masuk ke kamar, Ma." Regantara menarik kursi untuk Rubi dan perlakuan itu tak luput dari perhatian Irma. Hal yang sama yang sering Regantara lakukan pada almarhum istrinya. "Na
Hujan semakin lebat turun saat Rubi sampai di sebuah kafe sore itu. Wanita berambut panjang yang duduk di pojok ruangan melambaikan tangan pada Rubi, Rubi pun membalas lambaian itu sambil berjalan lebih cepat."Maaf ya, udah lama nunggu?" tabya Rubi pada Inggit."Enggak ... udah biasa kalo aku yang nunggu duluan. Mau pesan apa?" tanya Inggit.Setelah memesan makanan dan minuman untuk dirinya, Rubi menunggu Inggit untuk bercerita."Ayo, katanya mau cerita," ucap Rubi.Inggit tersenyum, wajahnya merona merah."Wah kalo gini pasti lagi jatuh cinta," ujar Rubi melihat sahabatnya itu tersenyum malu-malu."Jadi gini," ujar Inggit. "Aku kenal seorang pria ....""Akhirnya," ucap Rubi menangkup bibirnya."Haha ... iya akhirnya. Tapi dia masih dalam proses cerai," kata Inggit."Aduh, gimana ceritanya Nggit? Suami orang sekarang? Jangan bilang kamu pelakornya ....""Bukan ... bukan aku." Inggit berkali-kali menggelengkan kepalanya. "Jadi, sebelum ketemu aku memang sudah proses cerai tapi mungkin
"Bon, jangan lupa nasinya di tambah lagi, takutnya kayak kemarin kita kekurangan," ujar Rubi mengingatkan Bono pagi itu. "Siap, Mbak." Bono tergopoh-gopoh membawa satu tempat besar berisi nasi ke dalam mobil box mereka."Mbok Inah, jangan lupa hari ini Tama di jemput jam tiga ya, karena ada pelajaran tambahan.""Iya, Mbak," jawab Mbok Inah."Rubi jalan dulu ya Bu," pamit Rubi pada Widya."Hati-hati,", ucap Widya yang hari ini merasa tubuhnya sedang tidak enak."Ibu istirahat, jangan lupa obatnya," pesan Rubi sebelum mobil meninggalkan rumah itu.Pukul setengah dua belas siang hidangan di kafetaria sudah tersusun rapih, beberapa staf sudah ada yang berdatangan, Bono dan Yanti bergantian melayani mereka sementara Rubi masih berada di dapur untuk memindahkan sisa-sisa makanan ke dalam tempat yang lebih kecil."Katanya sih sedang ada masalah di bagian produksi, ya?" Pertanyaan itu terlontar oleh seorang karyawan yabg sedang menunggu giliran mengambil makanannya."Katanya sih gitu, Pak Re
"Masuk," pinta Ayu saat dia membukakan pintu kamar hotelnya untuk Dimas. Wanita itu hanya mengenakan kemeja kebesaran berwarna hitam. Raut wajahnya terlihat cantik meski dia baru saja terbangun saat bel kamarnya berbunyi. Pagi itu jelas saja Dimas berpenampilan rapih sesuai yang Ayu minta. "Aku baca riwayat hidup kamu," ujar Ayu membuka balkon kamarnya. "Sayang sekali ya, punya keluarga harmonis, istri cantik, anak yang lucu," ujar Ayu menghidupkan rokoknya dan duduk di kursi teras menyilangkan kakinya hingga paha putih mulus itu terlihat. "Dipecat karena memakai uang kantor untuk keperluan pribadi. Hhmm ... penyakit kamu ternyata receh sekali ya." Ayu tersenyum sinis menatap lelaki yang duduk menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Aku datang kesini untuk membahas tentang pekerjaan yang kamu berikan buka untuk mendengarkan ceramah kamu tentang hidupku," kata Dimas. "Haha ... oke, kita bicarakan tentang Rubi dan Regantara yang seharusnya menjadi calon suamiku. Aku mau kamu
"Bi," sapa Inggit saat Rubi membukakan pintu apartemen Regantara sore itu. Ya, Rubi memilih apartemen itu untuk bertemu dengan Inggit."Nggit," balas Rubi dengan mata yang masih sembab lalu memeluk Inggit erat."Sabar," ucap Inggit. "Oh ya kenalin ini Marchel." Lelaki tampan, bertubuh tinggi, kulit putih dan rambut yang sedikit ikal itu tersenyum pada Rubi."Marchel," katanya memperkenalkan diri."Hai, Nggit," sapa Regantara muncul dari dalam. "Masuk.""Kenalin, Re ... pacar aku, Marchel," ujar Inggit memperkenalkan Marchel pada Regantara."Regan," ucap Regantara."Jadi gimana?" tanya Inggit pada Rubi yang sudah lebih dulu duduk di sofa."Sedang di selidiki oleh asistenku," jawab Regantara."Akun fake atau akun bodong memang diciptakan untuk memfitnah dan menebar kebencian," kata Marchel yabg sudah diceritakan duduk perkaranya oleh Inggit saat mereka di perjalanan tadi. "Tapi mungkn aku bisa bantu untuk cek akun itu dari IP Address-nya. Boleh aku liat?" Rubi menyodorkan ponselnya pa