Se connecterTaman Menteng Central Park, pukul tujuh malam. Lampu-lampu mulai menyala, memantulkan cahaya ke daun-daun yang sebagian telah menguning. Udara malam terasa ringan, membawa aroma rumput basah dan sedikit wangi bunga dari sudut taman. Suara gemericik air mancur berpadu dengan tawa anak-anak di playground, walau perlahan mulai berkurang seiring matahari sepenuhnya tenggelam.
Nayla duduk di bangku kayu menghadap kolam kecil. Blazer abu-abu yang ia pakai sejak meeting tadi masih melekat, tapi bahunya kini lebih rileks. Tangannya terlipat di pangkuan, matanya tak lepas dari riak air di permukaan kolam.
Dari arah parkiran, Arvino muncul. Ia membawa dua cup kopi kertas, aroma espresso tercium samar di udara dingin. Langkahnya pelan, seolah mempertimbangkan setiap jarak yang ia tempuh.
“Latte, extra shot,” ucapnya sambil menyodorkan salah satu cup begitu tiba di bangku itu. Ia duduk di ujung yang lain—cukup dekat untuk berbicara, tapi tidak sampai menyi
Hujan turun tanpa jeda sore itu. Langit Jakarta gelap, seperti menyesuaikan diri dengan kabar yang memenuhi headline: “Alya Wijaya Diduga Menyebar Fitnah terhadap Tokoh Bisnis Muda, Nayla Rachman.”Di layar-layar televisi kafe, di portal berita, bahkan di grup-grup bisnis, nama Alya kembali menjadi bahan pembicaraan—bukan karena prestasi, melainkan karena kebohongan.Ia pikir, satu rumor kecil bisa mengguncang reputasi Nayla. Ia pikir dunia masih sama seperti dulu, ketika satu bisikan saja bisa mengubah arah opini publik. Tapi dunia telah berubah. Dan Nayla bukan lagi perempuan yang bisa dijatuhkan dengan gosip murahan.Alya duduk di halte kosong di pinggir jalan, menatap langit yang meneteskan air seperti mengolok-oloknya. Mantelnya sudah basah kuyup, rambutnya menempel di pipi, dan ponselnya berkali-kali bergetar—bukan panggilan bantuan, tapi notifikasi berita baru yang menulis ulang kebohongannya.Ia membuka satu per satu.“Alya Wijaya kembali gagal membersihkan nama.”“Nayla Rachm
Angin sore membawa aroma tanah basah dari halaman rumah sakit. Langit baru saja berhenti menangis, tapi tanah masih menyimpan jejak hujan yang deras. Di salah satu bangku panjang dekat taman kecil rumah sakit itu, Nayla duduk dengan jaket abu-abu, menatap ke arah danau buatan yang permukaannya bergetar lembut diterpa angin.Langkah cepat terdengar dari arah belakang. Alya datang, mantel lusuhnya kini tampak lebih kusam karena air hujan, rambutnya berantakan, wajahnya letih. Tapi yang paling mencolok bukan penampilannya — melainkan matanya. Ada sesuatu yang baru di sana: bukan lagi amarah, melainkan kepanikan.“Aku butuh bantuanmu, Nayla,” katanya terburu-buru, tanpa basa-basi.Nayla menoleh pelan. “Bantuan apa?”Alya menelan ludah. “Perusahaanku… sudah di ujung. Investor mundur semua. Rekening dibekukan. Aku… aku nggak punya siapa-siapa lagi.”Suara itu nyaris pecah. “Kau tahu rasanya, kan? Ketika semua orang menjauh begitu saja.”Nayla menatap lurus, ekspresinya sulit ditebak. “Aku t
Hujan turun pelan malam itu, membasahi halaman depan gedung rumah sakit. Lampu-lampu parkir memantulkan cahaya kekuningan di atas aspal basah. Di bawah atap kecil dekat lobi, dua perempuan berdiri berhadapan—bayangan masa lalu yang tak pernah benar-benar selesai.Alya masih mengenakan mantel lusuhnya. Rambutnya basah, bibirnya pucat, tapi matanya menyala—bukan oleh kehidupan, melainkan oleh amarah yang terlalu lama dipendam.Nayla berdiri tegak di depannya, tenang, dengan payung kecil di tangan kanan dan tatapan lembut yang tidak menghindar.Beberapa jam sebelumnya, keduanya sama-sama menerima kabar: Galan Prasetya, lelaki yang pernah mengikat dan menghancurkan keduanya, dirawat dalam keadaan kritis setelah kecelakaan di jalan tol. Dunia yang dulu mengikat mereka dalam lingkaran ambisi dan luka kini menarik keduanya kembali ke tempat yang sama.Dan di situlah, di depan pintu rumah sakit, semua yang tak pernah diucapkan akhirnya meledak.“Kenapa kamu datang?” suara Alya pecah di antara
Langit sore itu memantulkan warna oranye lembut ketika acara kewirausahaan tahunan diadakan di aula besar Hotel Arya. Spanduk besar bertuliskan “Empowering Women in Business” terpasang di depan panggung. Musik lembut mengalun dari pengeras suara, sementara para tamu—pebisnis muda, investor, dan mahasiswa—berkumpul, menunggu pembicara terakhir naik ke panggung: Nayla Arindya, CEO perempuan yang belakangan ini menjadi simbol kebangkitan bisnis etis dan kepemimpinan empatik di tengah dunia korporat yang keras.Namun di luar gedung yang megah itu, di parkiran yang sudah mulai gelap, seorang perempuan berdiri terpaku di balik tiang beton. Mantelnya lusuh, rambutnya acak-acakan, dan kacamata hitam menutupi mata yang sembab. Di genggamannya, sebuah ponsel dengan layar penuh notifikasi—semuanya tentang dirinya.ALYA PRAMESWARI: BISNISNYA RESMI BANGKRUT, TERLIBAT SKANDAL MANIPULASI LAPORAN KEUANGAN.INVESTOR MENARIK DANA, PROYEK BESAR GAGAL.Ia membaca judul-judul itu berulang kali, seperti in
Pagi itu, matahari muncul perlahan dari balik perbukitan, menembus celah pepohonan dan menyinari halaman rumah kayu yang sudah berumur puluhan tahun. Aroma tanah basah sisa hujan semalam masih terasa. Burung-burung kecil berkicau di ranting, dan dari dapur terdengar bunyi air mendidih—pertanda teh sedang diseduh.Nayla duduk di beranda, mengenakan sweater lembut warna krem. Di sebelahnya, ibunya dengan kain batik melingkar di bahu, sibuk menata piring kecil berisi singkong rebus dan kelapa parut. Harra, yang kini beranjak remaja, duduk di tangga kayu, menatap pemandangan pagi dengan mata berbinar.Tiga perempuan, tiga generasi, dalam satu ruang yang penuh kenangan—dan kali ini, tanpa beban.“Ibu, ini enak banget,” kata Harra sambil menggigit singkong. “Aku nggak pernah makan yang kayak gini di rumah kota.”Ibunya Nayla terkekeh. “Ya iyalah, di kota semua serba instan. Di sini masih alami. Gula aja Ibu tumbuk sendiri.”Nayla tertawa kecil, menatap dua orang yang ia cintai dengan pandan
Hujan semalam sudah reda, tapi udara pagi masih menyisakan aroma basah dan dingin yang menempel di daun-daun jambu di halaman belakang. Dari dapur, terdengar bunyi sendok mengaduk perlahan di dalam cangkir. Uap tipis teh melayang, menciptakan semacam kehangatan yang lembut di antara dua perempuan yang duduk berhadapan di meja makan tua.Nayla diam, menatap wajah ibunya yang kini tampak lebih tua dari yang ia ingat. Ada garis-garis halus di sekitar mata, tapi di balik keriput itu, tersimpan ketenangan yang tidak pernah Nayla lihat dulu—ketenangan yang lahir setelah bertahun-tahun berjuang dalam diam.“Ma…” Nayla membuka suara pelan, “tadi malam aku nggak bisa tidur.”Ibunya menatap lembut. “Masih kepikiran tentang kita?”Nayla mengangguk. “Tentang semua yang nggak pernah kita omongin. Tentang hal-hal yang mungkin seharusnya kita tangisi dulu, tapi kita tahan.”Ibunya tersenyum kecil, mengaduk tehnya pelan. “Kadang diam itu cara bertahan, Nay. Kalau Ibu dulu bicara, mungkin Ibu bakal ha







