"Arghhh .... Jaydan... hhh ... hhh ... Jaydan!!!"
Jaydan dan dua laki-laki yang bertugas di pos utama saling pandang melihat Karel berlari terbirit-birit ke arah mereka dengan wajah panik luar biasa, begitu pun dengan orang-orang di belakangnya.
"Jaydan ... ada setan hhh ... ada setan di sana!" lapor Karel setelah berdiri di hadapan sahabatnya, tak lama kemudian tubuh Karel tumbang, ia berbaring di tanah dengan napas tersengal-sengal.
"Apa yang terjadi, kenapa kalian lari-lari?"
"Kami melihat setan serigala di rute jalan menuju ke sini, Kak. Dia mencolek-colek leher kak Karel dan berniat menggigit lehernya."
"Demi Tuhan tempat ini tidak aman hhh ... kenapa kita harus melakukan pelatihan di sini, sih?!" omel Karel masih dengan napasnya yang memburu.
~Halo, apa kabar. Senang rasanya karena kamu selalu dekat meski waktu telah menyekat. Malam ini, rindu membuatku terpikat untuk membuka lembar demi lembar kisah kita yang sudah tak terlihat. Air mata menderai tak bisa usai hanya dengan baris lerai. Maka kutulis bait rasa ini pada helai daun yang jatuh dengan utuh di hadapanku. Mengukir ulang masa yang telah kita lewati bersama kala itu. Membawa pulang bayangmu ke dalam angan yang tidak akan pernah hilang. Bukan maksud ingin meratap apalagi melangkahi garis takdir yang sudah tetap. Aku hanya ingin kembali mengingat bahwa kebersamaan kita nyata adanya. Mengenang bahwa kita pernah saling melengkapi sampai akhirnya kamu pergi dan tak kembali.~ Goresan pena telah memenuhi badan daun berbentuk oval, Angel tersenyum puas membaca surat cinta yang sengaja ia tulis untuk sang ayah. Keputusannya datang ke tempat ini memang sudah tepat. Dia meraup banyak ketenangan dan perasaan damai sejak kak
Jaydan melirik sebentar pada Angel yang masih menatap lurus ke depan, lelaki itu kemudian kembali menaut rembulan dengan matanya. "Iya, kau memang aneh, sulit dimengerti. Maksudku, bagaimana bisa kau datang ke sini sendirian, malam-malam, di saat kau belum tahu jalur tempat ini seperti apa. Bagaimana kalau ada binatang buas yang menerkammu?" "Aku sudah biasa dikelilingi binatang berkedok manusia. Jadi ancaman itu tidak berlaku untukku. Kalau boleh memilih, lebih baik mati dimakan binatang buas daripada hidup di antara manusia yang sifatnya seperti hewan." "Tetap saja, kau itu perempuan, kau harus memiliki rasa takut sebagai alarm keamananmu. Kau harus menyimpan rasa itu agar hatimu tidak lupa bagaimana caranya meminta pertolongan saat kau dalam bahaya. Rasa berani yang berlebihan bisa menyeretmu pada sesuatu yang mengerikan."
Para peserta pelatihan berangsur-angsur memasuki bus yang akan membawanya pulang ke kampus. Setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam dari titik perkemahan, mereka tampak senang dan antusias. Tidak sabar rasanya bersantai, duduk manis sambil ngemil, atau tidur dalam bus sepanjang perjalanan yang lumayan memakan banyak waktu. Wajah lelah dan kurang tidur terpeta jelas di masing-masing peserta dan panitia namun hal itu tak mengurangi semangat dan kebahagiaan karena akhirnya mereka berhasil melewati dua malam yang penuh cerita di sana. Momen ini tidak akan terlupakan sepanjang hidup mereka, menjadi kenangan yang akan terasa menyenangkan walaupun saat mengalaminya terasa penuh siksaan. Bisa dibilang Jaydan adalah orang yang paling bahagia melihat pemandangan ini. Dia bersyukur karena acara yang selama kurang lebih satu bulan ia rencanakan ini akhirnya berhasil. Semuanya berkat kekompakan dan kerja sama anggota BEM yang bahu membahu mengerahkan seluruh tenaga demi
Jaydan tersenyum geli melihat tingkah gila teman-temannya, ada perasaan senang ketika melihat para anggota baru BEM bisa melebur akrab bersama seniornya. Memang itu yang ia harapkan, kebersamaan sesama anggota adalah kunci paling penting dalam sebuah organisasi. Meskipun aksi teman-temannya itu sedikit mengusik kegiatan Jaydan yang sedang mendengarkan musik pilihannya, dia tidak kesal sama sekali. Dilihatnya Angel yang menampakkan raut terganggu dengan kehebohan yang ada. "Kau mau ikut menyumbang suara?" tanya Jaydan yang langsung dibalas delikan sebal Angel. "Jangan harap!" "Eh, benar juga, sebaiknya jangan. Suasana bus ini akan mendadak seperti kuburan kalau kau bernyanyi." "Tidak usah bicara padaku, nikmati saja kegiatanmu." Angel melipat kedua tangannya di atas perut,
Angel mengembuskan napas berat beberapa kali, tak peduli seberapa sering otaknya berputar mencari solusi, jawaban dari permasalahannya hari ini tak kunjung menemui titik terang. Dia mengeluarkan dompet, hanya tersisa beberapa lembar uang yang cukup untuk uang sakunya selama satu minggu ke depan sebelum uang saku berikutnya cair. Dia memerlukan uang tambahan untuk membayar biaya inap Moca di tempat penitipan hewan. Karena peraturan asrama kampus yang tak mengizinkan Angel membawa hewan peliharaan ke sana maka ia terpaksa menitipkan kucing kesayangannya itu. Selayaknya layanan akomodasi untuk manusia, biaya yang diperlukan untuk penginapan Moca tentu tidak sedikit. Meski sudah jatuh miskin, ia tetap ingin menjaga kucing pemberian ayahnya itu dengan baik karena hanya Moca satu-satunya hadiah dari sang ayah yang Angel miliki sekarang. Sebenarnya ia bisa saja menitipkan kucing itu di kediaman pamannya, tapi Angel khawatir
Beberapa saat kemudian, langkah cepat Angel membawanya tiba di tempat tujuan dalam waktu singkat. Begitu pun dengan Alessa yang kini sudah tahu apa tujuan Angel datang ke tempat yang didominasi para lelaki itu. "Kamu yakin mau menitipkannya pada Jaydan?" "Sebenarnya tidak yakin, tapi kurasa dia lebih baik daripada Renata dan Hena. Moca juga pernah bertemu dengannya dan kelihatannya kucing ini menyukai Jaydan." "Bagaimana kalau dia menolak?" "Coba saja dulu, siapa tahu dia mau." "Ya, sudah, sana kamu panggil Jaydannya." "Temani aku," pinta Angel mulai ragu untuk mendatangi Jaydan sendirian. Bukan apa-apa, saat ini Jaydan sedang berkumpul dengan teman-temannya di gazebo dekat ruang sekretariat BEM. Lelaki itu tampak sibuk berkutat dengan laptopnya, ada juga Karel, Brian, dan Gerry yang sedang asyik bernyanyi bersama diiringi gitar yang dimainkan Karel. Selain pandai mengoleksi kekasih, rupanya Karel juga cukup lihai dalam memaink
"Pulang, Vin, pulang. Main futsalnya belum tapi otakmu sudah bergeser jauh sekali dari tempatnya," komentar Karel jengah, ia mengusir Kevin dengan tangannya mengibas-ibas agar lelaki itu segera pergi dari hadapannya sebelum emosi Karel semakin meledak. Brian dan Gerry hanya tertawa melihat Kevin yang kebingungan mendapati Karel yang kesal. Kedua lelaki itu akhirnya merangkul Kevin bersama-sama lantas menyeretnya menjauh dari gazebo. Karel mendesah berat setelah kepergian teman-temannya. Sesaat kemudian dia sadar bahwa sejak tadi ada seseorang yang memperhatikan perdebatannya dengan Brian, Kevin, dan Gerry. Alessa masih di tempat semula, berdiri sambil memegangi sebuah kandang yang menyerupai keranjang. "Hei, duduk!" kata Karel pada Alessa. Gadis berambut pendek dan berkacamata bulat itu celingukan setelah mendengar perintah Karel. "Aku?" tanya Alessa sambil menunjuk dirinya sendiri. "Kau pikir ada orang lain di sini?" Alessa sontak men
"Kau mau mematung semalaman?" tanya Jaydan akhirnya karena Angel tak kunjung mengutarakan maksud dan tujuannya minta bertemu. Lima menit mereka mengasingkan diri dari Karel dan kawan-kawan, selama itu pula Jaydan berdiri menanti Angel membuka percakapan namun yang dilakukan gadis itu hanya melamun, menatap Moca, lalu melirik Jaydan sekilas setelahnya ia melenguh panjang. Begitu terus selama lima menit. Jaydan tidak keberatan diajak bicara empat mata karena ia pikir memang ada hal mendesak yang ingin gadis itu katakan padanya. Jika dia tahu Angel mengajaknya ke sana hanya untuk saling bersahutan napas, lebih baik Jaydan menyelesaikan tugas kuliahnya untuk besok. "Aku ... aku mau ... mau ..." "Mau jadi kekasihku lagi? Sudah kubilang aku belum—." "Bukan itu!" sungut Angel lantang ketika Jaydan mulai menyinggung hal memalukan itu lagi di depan Angel, lelaki itu menarik sudut bibirnya tipis. "Lalu mau apa?" "Di keluargamu ada yang alergi bu