Hari berlalu dengan singkat. Tak terasa Una sudah menempati rumah susun kurang lebih dua purnama. Sayangnya, tak ada pekerjaan yang kunjung didapatkan. Berdiri di depan jendela adalah hobi barunya. Pandangan melihat ke bawah, tepatnya ke rumah megah di bawah sana. Sesekali ujung bibirnya terangkat, tatkala mendapati sang suami duduk berdua dengan Qia. Begitu hangat kedua pasangan yang menanti kehadiran buah hati mereka. Tiap pagi berjalan mengelilingi taman. Saat lelah, keduanya duduk di bangku taman. Terlihat senyum semringah dari kejauhan. Tak jarang, Fajrul mengelus lembut perut Qia yang kian membesar. Kebahagiaan yang bisa dirasakan Una. Pilihannya untuk mengizinkan sang suami menikah lagi ternyata tak berujung sia. Ia bisa menikmati kebahagiaan suami juga sahabatnya, hanya dengan bantuan kedua mata. Aneh? Tentu sangat tak masuk akal. Melihat lelakinya bermesraan dengan sahabatnya sendiri, sama sekali tak melukai batinnya. Nyatanya, tak sepedih yang dibayangkan.
Sontak tubuh wanita itu membungkuk, memberi salam hormat. Pria paruh baya berjalan ke arah Una. Disertai tarikan bibir yang membentuk lengkung senyum indah. Setelah sekian lama tak berjumpa, akhirnya mereka dipertemukan kembali. Masih berdiri dengan kedua telapak tangan menyatu. Bersalaman tanpa menyentuh kulit satu sama lain, karena keduanya bukan mahram. "Alhamdulillah, sudah lama ayah tidak bertemu denganmu, Riz," tutur beliau sangat bahagia. Bak anak sendiri, Una sudah dianggap seperti bagian keluarga dari lelaki yang tak lain adalah ayah dari Qia. Beliau juga banyak membantu biaya perkuliahan Una hingga lulus. Tentunya, karena hubungan Una yang sangat erat dengan putri semata wayangnya. Lima menit dihabiskan dengan perbincangan hangat. Bertukar kisah juga tak lupa menanyakan kabar kesehatan. Keduanya hanyut dalam rindu yang akhirnya terobati. Una pun terlihat nyaman, bak sedang duduk dengan sosok ayah yang memang tak pernah dirasakan selama hidupnya. "Jadi,
Masa penantian membuat debaran jantung para manusia di ruang tunggu makin tak karuan. Proses operasi yang memakan waktu cukup lama. Khawatir terjadi sesuatu yang menjadi kendala selama proses melahirkan. Di dalam sana, Qia terlentang lepas. Dipenuhi selang-selang bening yang menghubungkan tubuhnya dengan alat-alat medis. Tit … tit … tit! Suara itu memekikkan telinga Qia. Tubuhnya yang menggigil juga menahan sakit akibat suntik bius pada tulang belakang. Sangat malu, ketika para ahli medis berdiri mengelilingi. Hanya dilapisi selembar kain tanpa resleting. Juga satir diantara kepala dan perutnya yang siap dibedah. Tak ada harapan lain, selain bisa lulus melewati pertaruhan nyawa yang tak bisa diwakilkan. Suara detak jantung yang keras, membuatnya teringat akan dosa-dosa selama hidupnya. Terlebih, wajah Una yang terus memenuhi kelopak mata. Membuatnya semakin rapuh dan tak bisa membayangkan, bagaimana ia harus menghadapi sahabat sekaligus madu untuknya saat berjumpa n
Dilema, harus pergi saat itu juga. Atau menanti jenazah sahabatnya di semayamkan. Di sisi lain, ia tak ingin melewatkan kesempatan yang pasti tak datang dua kali. Kabar duka datang dari Mbah Aab dan Niswa. Keduanya baru saja mengalami kecelakaan tunggal saat dalam perjalanan ke sebuah rumah makan di mana akan dilangsungkan pertemuan dua keluarga. Keadaan Mbah Aab cukup parah, mengharuskan pria renta itu dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan lanjut. Dengan pertimbangan cukup rumit, akhirnya Una memutuskan untuk menemani ibunda Qia hingga beliau merasa tenang. Bukan atas kemauan pribadi, namun atas permintaan ayah Qia yang tak tega melihat istrinya terpuruk dalam suasana berkabung. Ratusan orang memenuhi pelataran rumah Qia. Rentetan karangan bunga bersemat ungkapan turut berbelasungkawa, berjajar rapi di sepanjang jalan masuk. Kereta beroda manusia, bergerak cepat menuju tempat pemakaman. Dengan iringin kalimah tahlil yang menggema, hingga menggetarkan ha
Setelah melewati perhelatan panjang, akhirnya Una luluh dengan para petugas. Namun ia hanya minta untuk segera diantar ke tempat pemakaman sang kakek. Ia harus menyaksikan prosesi yang hanya bisa terjadi sekali dalam seumur hidup. Melalui prosedur yang sesuai, walau cukup memakan waktu panjang. Akhirnya, Una diperbolehkan pergi karena kondisinya yang tak terlalu parah. Ditemani sepupu Fauzi, keduanya gegas berlalu dari rumah sakit. Setengah jam perjalanan. Membuat Una tak bisa tenang. Untung saja, tak terjebak macet di pusat kota. Begitu mereka sampai di tempat pemakaman umum, dekat rumah Fauzi. Puluhan orang sudah ramai berhamburan pulang. Nahas, Una terlambat untuk kesekian kalinya. Tanah basah bertabur bunga mawar yang harum. Terlihat gundukan sepanjang tinggi badan manusia pada umumnya. Lengkap dengan nisan marmer bertuliskan nama Abdullah bin Muhaimin. Kedua lutut Una terjatuh menyentuh bumi. Ia tak kuasa melanjutkan langkahnya untuk sampai di depan pusara sang
Hari-hari berlalu tanpa rasa. Cahaya yang biasa menerangi, kian meredup bahkan tak lagi memancarkan kilauan terang. Hidup Una terasa gelap. Memilih menjauh dari kehidupan lama yang sempat membuatnya dikira gila. Ia menolak untuk ikut sang kakak tinggal di rumah Fauzi. Pernikahan Niswa sudah berlangsung beberapa bulan lalu. Tanpa kehadiran satupun keluarga dari pihak mempelai wanita, termasuk Una. Una pergi, tepat sehari setelah kepergian Mbah Aab. Tanpa membawa harta benda apapun, kecuali gamis yang ia kenakan. Juga satu ponsel miliknya pribadi, tak lupa mukena yang senantiasa dibawa dalam tas. Mendatangi salah satu desa terpencil di pinggiran kota. Ia pernah datang ke sana, saat masih belia. Tujuannya hanya satu, mencari ketenangan. Untungnya, Una dipertemukan dengan seorang wanita berhati malaikat. Yang sudi memberikan tempat sekaligus pekerjaan untuk Una yang sama sekali tak dikenal. Keduanya bertemu tanpa sengaja. Di sebuah masjid saat mereka menunaikan ibadah salat Magri
Wajah wanita itu masih kosong. Tak terasa ia tertidur setelah tangisnya reda. Melihat gawai merah muda, tergeletak dalam kondisi tengkurap. Kening Una mengerut tipis. Kepala tiba-tiba pusing, membuatnya enggan untuk beranjak bangun. Tulisan rapi masih terpampang di layar. Una kembali menggerakkan bola mata, untuk mengikuti kata demi kata hingga tanda titik terakhir. "Untukmu, Rizquna. Wanita cantik berhati putih yang insya Allah kelak menjadi penghuni surga. Terima kasih atas kebaikan yang selama ini tak pernah kamu tunjukkan. Kebaikan yang tentunya tak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Rela menahan sakit, demi kebahagiaan orang lain. Entah dari apa hatimu terbuat. Yang jelas, lebih indah dari mutiara yang memancarkan gemerlap cahaya. Lebih kuat dari baja yang sulit dihancurkan. Andaikan aku yang berada di posisimu, mungkin aku akan memilih pergi dan tak kembali. Selama ini, aku menganggapmu sebagai sahabat yang rela mendengarkan keluh-kesah setiap waktu. Namun
Lelaki itu tak tinggal diam. Semakin mendekat ke arah Una. Hingga keduanya sangat dekat. Tanpa basa-basi, Fajrul mendorong wanita yang berdiri di hadapannya. Membuat tubuh Una terjatuh ke tanah. Bruk! Suara benturan terdengar jelas. Tampak wanita itu meringis kesakitan. Mengelus punggungnya yang terbentur lantai. Kemudian duduk, kebingungan. Ia menatap sekeliling, ternyata masih di tempat yang sama. "Astagfirullah, Una. Kamu jatuh dari ranjang?" ucap Laila dengan kedua mata membola. Langsung membantu Una untuk bangkit dari duduknya. Una membisu, ternyata semua hanyalah bunga tidur yang menghiasi tidur panjang malam ini. Wajah sang suami masih terngiang. Tapi mengapa, harus berakhir dengan sikap Fajrul yang sangat kasar. Pikiran Una melayang tanpa arah disertai kekhawatiran mendalam. "Kamu mimpi buruk? tanya Laila sekali lagi, sembari memberikan segelas air putih untuk Una. Kepala wanita itu mengangguk pelan. Gegas meneguk setengah gelas tanggung air dalam g