Sambil menghapus air mata dengan jemarinya, mama kembali berdiri tegak. Ia menatap Elsa dan Rangga secara bergantian, “Apa kamu mau melakukan apapun demi bisa membuat Elma kita kembali tersenyum lagi?” tanyanya.
“Iya, Mama. Selama aku bisa aku akan melakukan apapun untuknya,” jawab Elsa tanpa mengetahui maksud terselubung dari pertanyaan mamanya itu.
“Termasuk menyerahkan suamimu itu pada Elma?”
Tentu saja hal itu membuat tidak hanya Elsa tapi juga Rangga tersentak. Bahkan Rangga langsung merangkul pinggang Elsa seolah tidak ingin melepaskannya hanya karena Elma.
“Tidak, Ma! Aku akan melakukan apapun kecuali yang satu ini!” tegas Elsa.
Menyerahkan suaminya pada adiknya itu? Ia tahu selama ini kasih sayang mama padanya memang timpang sebelah, tapi ini yang terburuk sampai-sampai mamanya itu mengabaikan perasaan Elsa hanya demi Elma.
“Hanya untuk sementara, Sa. Hanya sampai kondisi Elma berangsur normal, dan ingatannya sedikit demi sedikit kembali membaik lagi. Dan Mama harap saat itu Elma sudah tidak terlalu sedih lagi dengan kepergian Samu dan Jingga,” pinta mama.
Benarkah?
Dulu juga mama mengatakan hal yang sama tiap kali Alter Egonya Elma mengambil alih kepribadiannya saat adiknya itu menjadi Elsa. Mama selalu meminta Elsa untuk membiarkan Elma bersama dengan kekasih Elsa, ‘Hanya untuk sementara’ itulah yang selalu digaungkan mamanya kala itu.
Tapi apa yang terjadi selanjutnya? Mereka semua jatuh ke dalam pelukan Elma. Semuanya! Kecuali Ananta. Dan Elsa tidak mau kejadian serupa terulang lagi sekarang.
Bukan berarti ia meragukan cintanya Rangga padanya, ia tahu persis betapa dalamnya cinta suaminya itu padanya. Tidak mudah Rangga mendapatkan hati Elsa dan membuatnya mampu move on dari Ananta, hingga berhasil membawa Elsa ke pelaminan.
Rangga bukan tipe pria yang melepaskan begitu saja apa yang telah pria itu dapatkan dengan susah payah. Dan keyakinan Elsa itu dipertegas dengan penuturan Rangga,
“Saya juga tidak akan pernah setuju, Ma. Saya tidak akan mempermainkan rumah tangga saya hanya demi menghibur Elma. Saya tahu Elma sedang berduka, tapi banyak cara yang dapat kita lakukan selain dari cara gila yang Mama tawarkan tadi.”
“Apa kalian berniat menolak permintaan Mama?”
“Ya! Mungkin Elsa masih terlihat ragu-ragu. Tapi tidak dengan saya. Saya akan tegaskan sekali lagi atas ketidaksetujuan saya pada ide gila itu. Cukup Mama turut campur dalam masalah anak, saya tidak akan membiarkan Mama merecoki rumah tangga saya dan Elsa lebih jauh lagi!”
Napas mama tercekat. Tidak pernah sebelumnya Rangga meninggikan suaranya di depan mama, bahkan tidak di depan Elsa sekalipun. Tapi sepertinya saat ini emosi Rangga tengah berada di puncaknya.
“Maaf saya menginterupsi kalian sebentar. Silahkan lanjutkan diskusi kalian, saya harus visit pasien saya yang lainnya!” seru sang dokter yang tidak ingin terlibat ke dalam masalah rumah tangga pasiennya, sebelum melangkah keluar dari ruangan itu bahkan sebelum mereka menjawabnya.
Suasana yang untuk sesaat terlihat tegang dan seketika sunyi setelah penegasan Rangga tadi dipecahkan oleh suara tangisan Mama. Elsa bahkan tidak dapat menghindar lagi saat tiba-tiba mama bersimpuh di kakinya,
“Tolong, Sa. Tolong lakukan saja demi Elma … ” pintanya.
Sontak saja Elsa segera jongkok untuk membantu mamanya berdiri, tapi mama tetap bersikeras bersimpuh di kaki Elsa sambil terus terisak pilu.
“Ma! Jangan membuat aku menjadi seperti anak durhaka. Mana ada seorang ibu yang bersimpuh di kaki anaknya. Ayo berdiri, Ma!”
Meski Elsa sekuat tenaganya berusaha membuat mamanya kembali berdiri, tapi mama tetap bergeming,
“Mama akan terus bersimpuh seperti ini sampai kamu dan Rangga menuruti keinginan Mama!”
Terjadi lagi …
Mamanya yang selalu memohon-mohon demi kebahagiaan Elma dan mengabaikan kebahagian Elsa. Adakah ketimpangan kasih sayang dari mama lain seperti halnya ketimpangan yang Elsa rasakan dari mamanya kandungnya sendiri?
Tidak hanya satu atau dua kali saja, tapi berkali-kali di sepanjang hidupnya bersama dengan mamanya itu.
“Ma, jangan seperti ini, tolong ngertiin aku sekali saja, Ma … ” pinta Elsa dengan suara parau.
Rangkulan tangan Rangga semakin mengencang di pinggangnya, pria itu berusaha menguatkan istrinya, tapi tetap saja tidak mampu mempertahankan pendirian Elsa yang mulai goyah lagi akibat dari rengekan mamanya itu.
“Berikan aku dan mas Rangga waktu untuk mendiskusikannya, Ma," lirihnya.
“Beb … ”
“Kita harus bicara, Mas!” Elsa memotong perkataan Rangga yang baru saja akan mengajukan keberatannya itu.
Barulah saat itu mama mau berdiri kembali meski dengan susah payah dan Elsa harus membantunya. Sementara Rangga sama sekali tidak mau mengulurkan tangannya untuk membantu mertuanya itu.
Pria itu terlihat memberengut kesal, Elsa tidak pernah melihat suaminya semarah itu. Tapi mau bagaimana lagi? Ia tidak bisa membiarkan mamanya terus bersimpuh di kakinya.
“Apa kamu sudah gila, Beb?” geram Rangga saat mereka telah berada di luar ruangan.
“Aku tahu aku memang sudah gila, Mas. Tapi aku tidak bisa melihat Mama terus bersimpuh seperti itu! Tolong mengerti posisiku, Mas!”
“Apa kamu mengerti posisiku, Beb? Aku seperti sebuah barang yang bisa dipindahkan begitu saja sekehendak hati kalian! Yang bisa kalian pinjamkan pada siapapun yang kalian inginkan!"
“Aku mengerti, Mas. Aku mengerti! Dan aku minta maaf untuk itu. Aku minta maaf atas sikap Mamaku juga. Tapi semua Mama lakukan demi Elma, hal yang wajar dilakukan seorang ibu pada putrinya."
“Apa kamu bukan putrinya?"
Melihat Elsa yang hanya terdiam dan asik dengan pikirannya sendiri, Rangga kembali menegaskan,
"Mas tanya sekali lagi, apa kamu bukan putrinya? Mamamu bisa dengan mudahnya memohon kebahagiaan Elma meski dengan cara mengambil kebahagiaanmu! Lalu bagaimana denganmu? Bagaimana dengan kebahagiaanmu sendiri?”
“Bagaimana dengan Elma dan Mama?” “Itu urusan nanti. Yang jelas Mas tegaskan sekali lagi, setelah satu bulan masih belum ada kemajuan dari Elma juga, maka Mas akan mengakhirinya. Silahkan benci Mas kalau memang kamu mau, itu jauh lebih baik daripada kita hidup seperti ini!” Setelah menimbang keputusan Rangga, akhirnya Elsa pun menyetujuinya. Ya Rangga benar, ia juga berhak untuk bahagia. Apakah ia egois? Entahlah. Tapi yang pasti, ia ingin sekali-kali mementingkan dirinya sendiri, kebahagiaannya sendiri, seperti yang baru saja Rangga ucapkan. Pikiran seperti itu terus saja berkecamuk di dalam diri Elma, ia ingin membenarkan keputusan yang akan ia dan Rangga ambil dalam akhir bulan nanti. Namun apakah keputusan yang akan Elsa dan Rangga ambil itu benar dan tidak akan ada penyesalan di kemudian hari? Ya, semoga saja. “Kamu setuju kan?” tanya Rangg
Rangga mencondongkan sedikit tubuhnya untuk berbisik di telinga Elsa, “Mas juga sudah memesan Villa di sini. Pemandangannya luar biasa, Aku yakin sekali kamu akan menyukainya juga.” “Villa? Apa kita akan bermalam di sini?” Alih-alih menjawab, Rangga malah menyeringai lebar. Sontak saja kelakuannya itu membuat Elsa dongkol padanya, “Jangan konyol, Mas. Kita tidak bisa bermalam tanpa memancing kecurigaan Elma. Lagipula, Mama pasti akan sangat murka pada kita.” Rangga merangkul pinggang Elsa, bersama-sama mereka menikmati pemandangan yang disuguhkan Kafe itu, “Kita tidak bermalam di sini, Beb. Mas hanya ingin memelukmu jauh lebih lama. Menikmati kembali kebersamaan kita tanpa harus merasa takut Mama dan Elma akan melihatnya.” “Bisakah Villa disewa hanya untuk setengah hari saja?”
“Sa!” panggil Tasya untuk yang kesekian kalinya, membuat perhatian Elsa teralihkan dari layar monitornya, “Astaga, Tas. Kalau kamu mau istirahat, kamu ke kantin saja duluan, nanti Aku nyusul!” “Tadinya aku juga memang mau duluan, Sa. Tapi ini si Bos. Tahu kamu sudah masuk malah minta Aku ajak kamu makan bareng di Kafe sebelah.” “Tas please, jangan mulai deh.” “Ih, aku serius, Sa. Nih liat chatnya kalau kamu tidak percaya.” “Cariin alasan deh, Tas. Banyak file yang harus aku terjemahkan.” “Kalau alasannya pekerjaan, Bos Nanta pasti bakal kasih kamu dispensasi, Sa. Jadi mau kasih alasan apa lagi dong? Sudah banyak bohong aku sama dia,” sungut Tasya. “Bukan aku yang minta kamu berbohong. Kamu sendiri yang tidak mau kasih alasan yang sebenarnya ke dia kalau aku tidak
Setelah menghadapi drama Elma yang kembali meminta Rangga untuk memandikannya, dan Rangga kembali lolos dengan alasan yang sama seperti yang Rangga gunakan sebelumnya, Elsa pun dapat kembali bekerja. Setelah mendengar ocehan panjang lebar mama Tian mengenai keegoisan Elsa yang memilih kembali bekerja daripada memperhatikan Elma tentunya. Mama Tian yang selalu menempatkan kepentingan Elma di atas kepentingan Elsa yang juga merupakan putri kandungnya. Dan sesampainya Elsa di ruang kerjanya, Ia menjatuhkan diri ke kursinya dengan helaan napas beratnya hingga menarik perhatian Tasya padanya, “Bertengkar lagi dengan Mamamu? Masih terus mendesakmu untuk segera hamil?” tebak Tasya sambil tersenyum miring. Biasanya, Elsa datang ke kantor dengan kondisi seperti itu tiap kali ia bertengkar dengan mama Tian. Dan Tasya tahu itu karena Elsa selalu mencurahkan keluh kesahnya pada sahabat baiknya itu. Satu-satunya saha
“Kamu mengerti kan, kenapa Mas menolak keras saran kamu itu?” tanya Rangga yang langsung menghubungi Elsa sesampainya ia di kantor. “Aku tidak kepikiran sampai ke arah sana, Mas. Aku … “ “Sudahlah, jangan bahas lagi. Sekarang sebaiknya kita cari cara menghindari Elma. Tidak mungkin juga kan Mas beralasan pergi pagi-pagi buta untuk rapat setiap harinya?” “Iya juga sih, selama kakinya belum mantap melangkah Elma pasti akan terus meminta bantuan Mas untuk mandi, atau melakukan hal lainnya. Mungkin yang bisa aku lakukan hanya membantu Elma belajar melangkah lagi. Aku akan menyemangatinya untuk terus melakukan terapi yang by the way, susternya sudah datang. Saat ini sedang di kamar Elma.” “Apa kamu pikir dengan kembalinya kekuatan kaki Elma akan membuat masalah selesai? Tidak, Beb. Masalah baru lagi akan terus berdatangan selama Elma belum mendapatkan kembali ingatannya.” “Maksud Mas?”
“Kamu sudah mau berangkat, Mas?’ suara serak Elma membuat Rangga tersentak kaget. Ia baru saja menutup pintu kamar mandi sepelan mungkin agar Elmq tidak terbangun. Namun ternyata Elma telah Bangun lebih dulu. “Eh iya. Kenapa pagi-pagi sekali kamu sudah bangun, Sayang?” Rangga bertanya dengan senyum canggungnya. Sambil menguap lebar, Elma merentangkan kedua tangannya dengan manja, “Kemarilah, Mas. Aku ingin memelukmu,” pintanya. “Mas harus segera bersiap-siap, Sayang. Mas harus menghadiri rapat pagi ini,” elak Rangga. “Sebentar saja, Mas. Aku merasa ketakutan sekali semenjak mendapati diriku terbaring di rumah sakit. Aku … Aku takut sekali, Mas.” Sebagai kakak ipar, sudah pasti Rangga merasa iba melihat Elma yang begitu rapuh. Mungkin jauh di dalam dirinya masih tersisa trauma akibat dari kecelakaan itu. Meski saat ini Elma tidak dapat mengingatnya.