Melihat Elsa yang hanya terdiam dan asik dengan pikirannya sendiri, Rangga kembali menegaskan,
"Mas tanya sekali lagi, apa kamu bukan putrinya? Mamamu bisa dengan mudahnya memohon kebahagiaan Elma meski dengan cara mengambil kebahagiaanmu! Lalu bagaimana denganmu? Bagaimana dengan kebahagiaanmu sendiri?”
Ya, Elsa tahu benar kasih sayang mamanya memang selalu timpang sebelah dan selalu condong kepada Elma. Tapi tetap saja dia mamanya, wanita yang telah melahirkannya. Dan Elsa akan menjadi anak yang durhaka kalau sampai menyakiti hati mamanya itu.
Sejak dulu, satu-satunya hal yang tidak ingin Elsa lakukan adalah menyakiti hati mamanya. Ia sangat menyayangi orangtuanya, terutama wanita yang telah melahirkannya itu. Jadi, meski tahu akan merasakan sakit di hatinya lagi, Elsa tetap akan menuruti apapun keinginan mama Tian, apapun.
“Mas, ini hanya untuk sementara waktu saja. Tolong berpura-puralah menjadi suami Elma dan menganggap Elma sebagai aku. Selama ini aku tidak pernah meminta apapun darimu, Mas. Jadi tolong kabulkan permintaanku kali ini saja.”
“Ya, kamu memang tidak pernah meminta apapun dariku, tapi sekalinya kamu meminta sesuatu, kamu meminta yang besar sekaligus, yang bahkan bisa membahayakan rumah tangga kita!”
“Apanya yang dapat membahayakan rumah tangga kita, Mas? Mas hanya harus berpura-pura menjadi suami Elma saja, apa susahnya dengan itu? Toh hanya berlangsung sementara sampai ingatan Elma kembali.”
“Apa itu berarti Elma akan tidur di kamar kita bersama dengan Mas, sementara kamu tidur di kamar tamu sendirian?”
"Kenapa bisa begitu?"
"Mas harus menjadi suami adikmu itu kan? Bagaimana bisa suami istri tidur terpisah?"
Deg!
Tadi Elsa tidak berpikir sampai sejauh itu. Ia hanya fokus pada apa yang menjadi permintaan mamanya saja, juga pada Elma yang kembali berulah dengan menjadi Elsa. Tapi ia sama sekali tidak memikirkan dampak dari sandiwara itu.
Melihat Elsa yang mulai merasa ragu, Rangga memanfaatkannya dengan menambahkan,
“Bagaimana kalau Elma mengajak Mas untuk melakukan hubungan suami istri? Sampai kapan Mas akan terus menolaknya? Dan bagaimana kalau dia curiga tiap kali Mas menolaknya? Mas harus bagaimana saat itu? Apa Mas juga harus mengabulkan permintaannya itu juga? Apa kamu rela kalau Mas melakukannya dengan adikmu itu?” Rangga memberondong Elsa dengan pertanyaan demi pertanyaan, dan berhasil membuat wajah istrinya itu memucat pasi.
Ya Tuhan … Elsa sama sekali tidak memikirkannya sampai sejauh itu, ia hanya mementingkan kesehatan mental Elma tanpa memikirkan lagi dampak dari keputusannya untuk merelakan Rangga yang akan berpura-pura menjadi suami adiknya itu.
Betapa cerobohnya Elsa. Rangga benar, bagaimana kalau ternyata Elma memintanya untuk melakukan hubungan suami istri? Apa Elsa akan merelakannya begitu saja?
Tidak, Rangga adalah suaminya, dan hanya akan menjadi miliknya. Ia tidak akan berbagi suaminya itu dengan wanita lain meski wanita itu adalah adiknya sendiri yang sedang sakit.
Sambil beruraian air mata, Elsa memeluk Rangga dengan erat, ia tidak mau membagi suaminya itu, Rangga adalah miliknya dan hanya akan menjadi miliknya,
“Tidak, aku tidak akan membiarkannya, Mas! Membayangkannya saja sudah membuat hatiku hancur. Aku tidak akan sanggup membagimu dengan wanita yang lain even itu adik aku sendiri,” isaknya dengan penuh sesal.
Ya, Elsa menyesal karena sempat menyarankan hal segila itu pada suaminya tanpa memikirkan lagi dampak baik dan juga buruknya dari keputusannya itu. Untunglah Elsa memiliki suami yang bijak seperti Rangga, dan ia teramat sangat mencintai suaminya itu.
Sambil menghela napas lega, Rangga membalas pelukan Elsa dan mengecup puncak kepalanya dengan penuh kasih. Hal yang terlihat ringan namun dampaknya mampu membuat dada Elsa membuncah dengan kebahagiaan atas kelembutan Rangga padanya.
“Lain kali, tolong pikirkan masak-masak apapun yang menyangkut rumah tangga kita. Jangan asal menyenangkan Mama dan adikmu itu sampai kamu mengorbankan kebahagiaan kamu sendiri, mempertaruhkan rumah tangga kamu sendiri, rumah tangga kita,” ujarnya dengan lembut.
Rangga selalu dapat menenangkan Elsa dalam hal apapun, dalam kondisi seberat apapun. Juga dapat meluruskan Elsa tiap kali ia membuat keputusan yang salah. Elsa sangat bersyukur mendapatkan Rangga sebagai imamnya.
“Iya Mas, maafkan aku,” ucap Elsa dengan lirih.
“Mas sudah memaafkan kamu bahkan sebelum kamu memintanya, Sayang. Jadi … Kamu sudah memutuskan untuk membatalkan rencana gila dan tidak masuk akal kamu itu kan?”
“Ya, aku akan membatalkannya, Mas. Aku tidak akan menuruti permintaan Mama yang satu ini. Kita akan mencari jalan keluar lainnya, kita pasti akan menemukan cara lain untuk membahagiakan Elma kan, Mas?"
Rangga tahu kalau saat ini Elsa sedang membutuhkan kepastian untuk menenangkan dirinya atas keputusan yang akan Elsa ambil itu. Dan Rangga bukan Tuhan yang dapat menentukan segalanya. Namun Rangga dapat sedikit menenangkan kegundahan hati istrinya itu,
"Kita banyak-banyak berdoa saja Sayang, semoga seiring dengan berjalannya waktu ingatan Elma akan segera pulih kembali seperti sedia kala. Memang beban yang sedang adik kamu pikul saat ini amatlah berat, namun Tuhan tidak menguji hambanya di luar batas kemampuan hambanya itu sendiri.”
"Ya, itulah yang menjadi harapan terbesar aku saat ini, Elma kembali mendapatkan ingatannya lagi. Tapi ... Elma pasti akan merasa terpukul sekali saat dia tahu kalau suami dan juga anaknya telah tiada."
"Elma wanita yang kuat. Mas yakin itu. Jadi, kamu jangan terlalu mengkhawatirkannya lagi, ok?"
Elsa baru akan merespon Rangga ketika terdengar teriakan histeris mama Tian dari dalam ruang rawat Elma,
“Elma!”
Sontak saja teriakan mama Tian itu membuat Rangga dan Elsa saling melepaskan pelukan mereka dan bergegas masuk. Apa yang Elsa lihat di dalamnya membuatnya kembali bersedih. Adik satu-satunya itu duduk di lantai sambil memukuli kedua kakinya, dengan isakan tangisnya yang terdengar begitu memilukan hati Elsa.
Entah bagaimana caranya hingga adik satu-satunya itu bisa terjatuh ke lantai.
“Aku lumpuh! Kenapa aku jadi tidak bisa jalan!” teriaknya histeris dengan suaranya yang terdengar serak.
Sementara mama Tian turut terisak sedih di samping Elma, tangan tuanya membelai lembut rambut Elma dan terus membelainya sambil membisikkan kata-kata yang dapat menenangkan Elma.
Tidak dapat berdiam diri begitu saja melihat mama Tian dan Elma terlihat sedih hingga seperti itu, Elsa pun ikut duduk di samping mereka, “Kenapa Elma bisa duduk di lantai, Ma?” tanyanya sambil menepuk lembut punggung Elma untuk menenangkannya.
“Tadi Elma tersadar lalu menanyakan Samu dan Jingga. Mama tidak tahu harus jawab apa, tapi sepertinya Elma teringat kalau suami dan putrinya itu telah meninggal, jadi Elma langsung turun dari tempat tidur dan terjatuh,” jawab mama Tian di sela isakannya.
Elsa menghela napas lega karena ternyata Elma telah kembali menjadi dirinya sendiri lagi. Jadi, Elsa tidak akan merasa bersalah karena tidak dapat meminjamkan Rangga untuk membantu proses penyembuhan adiknya itu.
“Bagaimana dengan Elma dan Mama?” “Itu urusan nanti. Yang jelas Mas tegaskan sekali lagi, setelah satu bulan masih belum ada kemajuan dari Elma juga, maka Mas akan mengakhirinya. Silahkan benci Mas kalau memang kamu mau, itu jauh lebih baik daripada kita hidup seperti ini!” Setelah menimbang keputusan Rangga, akhirnya Elsa pun menyetujuinya. Ya Rangga benar, ia juga berhak untuk bahagia. Apakah ia egois? Entahlah. Tapi yang pasti, ia ingin sekali-kali mementingkan dirinya sendiri, kebahagiaannya sendiri, seperti yang baru saja Rangga ucapkan. Pikiran seperti itu terus saja berkecamuk di dalam diri Elma, ia ingin membenarkan keputusan yang akan ia dan Rangga ambil dalam akhir bulan nanti. Namun apakah keputusan yang akan Elsa dan Rangga ambil itu benar dan tidak akan ada penyesalan di kemudian hari? Ya, semoga saja. “Kamu setuju kan?” tanya Rangg
Rangga mencondongkan sedikit tubuhnya untuk berbisik di telinga Elsa, “Mas juga sudah memesan Villa di sini. Pemandangannya luar biasa, Aku yakin sekali kamu akan menyukainya juga.” “Villa? Apa kita akan bermalam di sini?” Alih-alih menjawab, Rangga malah menyeringai lebar. Sontak saja kelakuannya itu membuat Elsa dongkol padanya, “Jangan konyol, Mas. Kita tidak bisa bermalam tanpa memancing kecurigaan Elma. Lagipula, Mama pasti akan sangat murka pada kita.” Rangga merangkul pinggang Elsa, bersama-sama mereka menikmati pemandangan yang disuguhkan Kafe itu, “Kita tidak bermalam di sini, Beb. Mas hanya ingin memelukmu jauh lebih lama. Menikmati kembali kebersamaan kita tanpa harus merasa takut Mama dan Elma akan melihatnya.” “Bisakah Villa disewa hanya untuk setengah hari saja?”
“Sa!” panggil Tasya untuk yang kesekian kalinya, membuat perhatian Elsa teralihkan dari layar monitornya, “Astaga, Tas. Kalau kamu mau istirahat, kamu ke kantin saja duluan, nanti Aku nyusul!” “Tadinya aku juga memang mau duluan, Sa. Tapi ini si Bos. Tahu kamu sudah masuk malah minta Aku ajak kamu makan bareng di Kafe sebelah.” “Tas please, jangan mulai deh.” “Ih, aku serius, Sa. Nih liat chatnya kalau kamu tidak percaya.” “Cariin alasan deh, Tas. Banyak file yang harus aku terjemahkan.” “Kalau alasannya pekerjaan, Bos Nanta pasti bakal kasih kamu dispensasi, Sa. Jadi mau kasih alasan apa lagi dong? Sudah banyak bohong aku sama dia,” sungut Tasya. “Bukan aku yang minta kamu berbohong. Kamu sendiri yang tidak mau kasih alasan yang sebenarnya ke dia kalau aku tidak
Setelah menghadapi drama Elma yang kembali meminta Rangga untuk memandikannya, dan Rangga kembali lolos dengan alasan yang sama seperti yang Rangga gunakan sebelumnya, Elsa pun dapat kembali bekerja. Setelah mendengar ocehan panjang lebar mama Tian mengenai keegoisan Elsa yang memilih kembali bekerja daripada memperhatikan Elma tentunya. Mama Tian yang selalu menempatkan kepentingan Elma di atas kepentingan Elsa yang juga merupakan putri kandungnya. Dan sesampainya Elsa di ruang kerjanya, Ia menjatuhkan diri ke kursinya dengan helaan napas beratnya hingga menarik perhatian Tasya padanya, “Bertengkar lagi dengan Mamamu? Masih terus mendesakmu untuk segera hamil?” tebak Tasya sambil tersenyum miring. Biasanya, Elsa datang ke kantor dengan kondisi seperti itu tiap kali ia bertengkar dengan mama Tian. Dan Tasya tahu itu karena Elsa selalu mencurahkan keluh kesahnya pada sahabat baiknya itu. Satu-satunya saha
“Kamu mengerti kan, kenapa Mas menolak keras saran kamu itu?” tanya Rangga yang langsung menghubungi Elsa sesampainya ia di kantor. “Aku tidak kepikiran sampai ke arah sana, Mas. Aku … “ “Sudahlah, jangan bahas lagi. Sekarang sebaiknya kita cari cara menghindari Elma. Tidak mungkin juga kan Mas beralasan pergi pagi-pagi buta untuk rapat setiap harinya?” “Iya juga sih, selama kakinya belum mantap melangkah Elma pasti akan terus meminta bantuan Mas untuk mandi, atau melakukan hal lainnya. Mungkin yang bisa aku lakukan hanya membantu Elma belajar melangkah lagi. Aku akan menyemangatinya untuk terus melakukan terapi yang by the way, susternya sudah datang. Saat ini sedang di kamar Elma.” “Apa kamu pikir dengan kembalinya kekuatan kaki Elma akan membuat masalah selesai? Tidak, Beb. Masalah baru lagi akan terus berdatangan selama Elma belum mendapatkan kembali ingatannya.” “Maksud Mas?”
“Kamu sudah mau berangkat, Mas?’ suara serak Elma membuat Rangga tersentak kaget. Ia baru saja menutup pintu kamar mandi sepelan mungkin agar Elmq tidak terbangun. Namun ternyata Elma telah Bangun lebih dulu. “Eh iya. Kenapa pagi-pagi sekali kamu sudah bangun, Sayang?” Rangga bertanya dengan senyum canggungnya. Sambil menguap lebar, Elma merentangkan kedua tangannya dengan manja, “Kemarilah, Mas. Aku ingin memelukmu,” pintanya. “Mas harus segera bersiap-siap, Sayang. Mas harus menghadiri rapat pagi ini,” elak Rangga. “Sebentar saja, Mas. Aku merasa ketakutan sekali semenjak mendapati diriku terbaring di rumah sakit. Aku … Aku takut sekali, Mas.” Sebagai kakak ipar, sudah pasti Rangga merasa iba melihat Elma yang begitu rapuh. Mungkin jauh di dalam dirinya masih tersisa trauma akibat dari kecelakaan itu. Meski saat ini Elma tidak dapat mengingatnya.