Satu minggu berlalu, pasca kecelakaan yang menimpa Senja terjadi. Wanita itu belum juga menunjukkan tanda-tanda siuman. Langit selalu setia menunggu. Tidak sekalipun ia meninggalkannya."Senja, buka matamu. Saya mohon. Apa kau tidak lelah menutup mata terus? Saya merindukanmu, Sayang." Langit meraih sebelah tangan Senja yang terbalut perban. Kemudian, mencium mesra punggung tangannya.Cukup lama itu terjadi. Tak berapa lama, jadi-jemari Senja mulai bergerak. Menyentuh bibir Langit yang sedang menciumnya. Pria itu tersentak dan mendongak."Sayang, kau sudah siuman?" Langit berkata sambil menatap kedua bola mata Senja yang terbuka perlahan."Sa--saya di mana? Ke--kenapa ada di sini? A--apa yang terjadi?" Senja berkata lirih dengan terbata. Menatap ke arah Langit."Kau kecelakaan beberapa waktu lalu. Tidak sadarkan diri pasca kejadian itu," jelas Langit sambil mendekat dan membelai lembut wajah Senja."Kecelakaan? Aww!" Senja berkata bingung. Kemudian sedikit berteriak karena merasakan s
"Senja, bukan begitu maksud saya. Sejak awal bertemu dan saya memutuskan untuk menikah denganmu. Saya yakin kau bukan perempuan seperti itu. Oleh karena itulah, saya yakin kau cocok untuk menjadi istriku," jelas Langit sambil menggenggam sebelah tangan Senja meski wanita itu berusaha melepaskannya."Cocok? Cocok untuk Anda jadikan kelinci percobaan. Memenuhi semua keinginan Anda. Sekarang, semua sudah terwujud, apalagi yang Anda inginkan dari saya?" Senja semakin menjadi, ia semakin kesal dengan perkataan Langit."Saya tidak pernah menjadikanmu kelinci percobaan. Saya memang menikahimu awalnya hanya di atas kertas dan tidak ada perasaan cinta. Namun, semenjak kejadian malam itu, saat saya ...."Langit menggantung kalimatnya. Pemuda itu semakin merasa bersalah kala harus mengingat kejadian yang sudah menghancurkan perjanjian antara dirinya dan Senja sebelum memutuskan untuk menikah."Apa? Kejadian yang telah menghancurkan semua mimpi dan hidup saya hingga terjebak dalam belenggu Anda?"
Semakin hari, kondisi Senja semakin membaik. Memar di tubuhnya sudah tidak terlihat. Senja sudah diperbolehkan pulang setelah hampir satu bulan dirawat pasca kecelakaan itu terjadi. Meskipun sebelah tangannya juga kepala masih terbalut perban.Langit begitu hati-hati menjaga. Lelaki itu merasa bersalah dengan kejadian yang menimpa Senja. Ia ingin menebusnya dan memperlakukan Senja dengan baik."Kenapa membawa saya pulang ke sini? Saya ingin pulang ke rumah ibu." Senja sedikit kesal karena Langit membawanya pulang ke apartemen."Saya akan merawatmu di sini. Setelah pulih, saya akan mengantarmu ke rumah ibu." Langit menjelaskan alasannya dengan wajah serius."Tuan, saya ingin mengakhiri perjanjian kita. Saya sudah lelah." Senja berkata pelan tak berani menatap Langit."Apa? Kau bilang apa barusan? Tuan? Mengakhiri perjanjian? Perjanjian apa? Tidak ada perjanjian di antara kita, Senja." Langit tampak tidak suka dengan perkataan Senja."Kontrak pernikahan kita. Bukankah akan segera berakh
Senja berkata lirih saat melihat Langit yang sedang berdiri sambil menatapnya tajam. Pria itu mendekati Senja dan duduk di sebelah wanita yang sedang memangku Baby La tersebut."Siapa yang meneleponmu?" tanya Langit dengan tatapan penuh selidik. Senja terdiam sambil mengusap lembut kening Baby La yang tampak lahap menyusu. Wanita itu berusaha menghindari tatapan Langit yang mengintimidasi."Senja," panggil Langit tanpa melepaskan pandangannya."Teman," jawab Senja singkat sambil terus mengusap-usap Baby La."Teman? Siapa? Laki-laki? Perempuan?" tanya pria itu kembali dengan curiga."Mas ....""Jawab, atau saya akan mencari tahu sendiri," ucap Langit sambil berusaha mengambil ponsel Senja yang tergeletak di samping wanita itu."Kenapa ingin tahu urusanku? Aku saja tidak pernah ingin tahu urusanmu?" Bukannya menjawab Senja malah balik bertanya sambil mengambil cepat ponselnya dan menggenggamnya erat."Jangan berkilah. Jawab saja. Atau saya akan merebut ponselmu dan menghancurkannya," a
Langit terus memikirkan ucapan orang yang ia tangkap kemarin. Rasanya sulit dipercaya dengan apa yang dikatakan tawanannya tersebut. "Apa benar yang dikatakannya? Tapi bagaimana mungkin dia melakukannya? Saya harus mencari tahu sendiri kebenaran itu. Kalau sampai dia membohongiku untuk menyelamatkan diri, tidak akan saya ampuni." Langit berkata pelan sambil mengepalkan kedua tangannya.Lamunan Langit buyar ketika netranya melirik ke arah Senja yang baru saja keluar dari kamar sambil mendorong kereta bayi. Langit mendekat."Kau mau ke mana, pagi-pagi sudah rapi dan membawa Baby La?" tanya Langit dengan curiga."Apa kau lupa kalau hari ini saya kontrol?" tanya balik Senja dengan raut wajah sedikit kesal."Astagfirullah. Maaf, saya lupa. Saya akan mengantarmu," ucap Langit sambil menepuk keningnya cukup keras."Kalau kau sibuk, saya bisa pergi sendiri." Senja kembali berkata dengan nada lembut. Namun, cukup membuat Langit mengelus dada untuk bersabar."Saya tidak sibuk. Maaf, jika saya
Langit melakukannya cukup lama. Kemudian melepaskan perlahan. Menatap Senja dengan begitu intens. Napasnya bergemuruh menahan rasa yang bergejolak di dalam dadanya. Antara kesal, cemburu, dan takut kehilangan."Saya tidak suka kau berdekatan dengan dokter itu. Saya tidak suka dia menyentuhmu, meski hanya pemeriksaan. Kau istriku dan sampai kapan pun, saya tidak akan melepaskanmu," ucap Langit penuh penekanan.Pria itu kembali mencumbu Senja tanpa memberi kesempatan sang istri berkata-kata. Langit tak hanya mencium bibir Senja, ia juga menghujani kecupan di pipi dan tengkuk wanita di hadapannya dengan begitu lembut."A--apa yang kau inginkan, Ma--Mas?" Senja berkata saat ada kesempatan sambil menahan sentuhan-sentuhan Langit. Napasnya pun bergemuruh. Jantung Senja berdegup dua kali lebih cepat dari normal."Saya menginginkanmu sebagai istriku. Saya ingin menghapus setiap jejak yang ditinggalkan dokter itu di tubuhmu dan menggantikannya denganku," ucap Langit yang semakin menggebu. Rasa
Langit tampak sudah rapi dengan kemeja putih dasi dan jas berwarna hitam. Pria tampan itu tengah bersiap ke kantor. Senja seperti biasa menyiapkan sarapan. Meskipun sudah ada Bi Inah yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di apartemennya. Namun, tetap saja Senja tidak bisa menghilangkan kebiasaannya saat ia masih tinggal bersama Safroni dan Suningsih.Ketika Senja sedang merapikan piring di meja makan, Langit tiba-tiba memeluknya dari belakang. Membuat wanita itu sedikit terperanjat. Kebiasaan Langit yang selalu menggoda sang istri saat sedang serius."Mas, kau mengejutkanku. Sudah siap?" ucap Senja sambil berusaha melepaskan pelukan Langit."Menurutmu?" ucap Langit sambil membalikan tubuh Senja menghadap dirinya.Senja tersenyum. "Ya sudah. Kita sarapan, ya." Senja berkata sambil meraih kedua tangan Langit dan menggenggamnya."Emm, tunggu dulu." Langit berkata menghentikan langkah Senja."Ada apa?" tanya Senja bingung sambil menautkan kedua alisnya."Ada yang kurang," ucap Langit s
Senja menelan ludahnya. "Mas, saya tidak sedang bermimpi, bukan?" tanya Senja tidak percaya."Ini nyata, Senja. Bukankah saya sudah berjanji untuk membahagiakanmu? Saya ingin menebus kesalahan karena membuatmu berhenti kuliah. Tolong kau terima. Saya tulus melakukannya.Senja kembali menelan ludah. Mas, saya ... saya mau. Terima kasih banyak, Mas." Wanita itu berkata sambil meneteskan air mata, ia tidak menyangka jika Langit mewujudkan keinginannya yang sempat terpendam."Jangan menangis, Sayang. Mulai sekarang, kau bisa mewujudkan cita-citamu. Saya akan membantumu jika kesulitan belajar. Kau juga bisa belajar berbisnis denganku. Saya akan membantumu dengan ikhlas," jelas Langit sambil menyeka air mata Senja. Wanita itu bangkit dari kursi dan memeluk Langit erat.Langit tersenyum. Pria itu pun memeluk erat tubuh Senja. Hatinya lega karena Senja menerima tawarannya."Perlahan, tapi pasti. Saya akan terus membuat kau bahagia, Senja," batin Langit sambil terus memeluk sang istri."Ma--ma